Jangan bakar jembatanmu

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” Roma 12:18

Bertambahnya usia dan hidup jauh dari keluarga sering kali membuat seseorang lebih sadar bahwa hidup tidak hanya diukur dari harta, pencapaian, atau fasilitas kesehatan, tetapi dari hubungan. Kehadiran orang lain—saudara, teman, atau anggota gereja—sering kali menjadi sumber kekuatan ketika ada masalah dalam hidup. Namun tidak semua orang memiliki orang yang bisa mendampingi. Ada yang hidup sendirian, dan itu membuat relasi dengan orang-orang di sekitar menjadi semakin penting. Dalam kondisi seperti itu, Firman Tuhan di atas mengingatkan kita dengan sederhana namun mendalam: “hidup dalam perdamaian dengan semua orang.” Artinya, jagalah relasi—bahkan relasi yang tidak sempurna sekalipun.

Jangan bakar jembatanmu. Dalam bahasa Inggris, istilah “do not burn your bridge” sebenarnya berasal dari sebuah kisah motivasional yang terkenal. Konon katanya ada seorang jenderal perang yang membuat sebuah jembatan sehingga bisa sampai ke pihak musuh. Namun, agar para serdadunya berperang secara maksimal, maka setelah jembatan itu selesai dan dilewati, jembatan itu pun dibakar. Dengan demikian para serdadu hanya punya satu pilihan yakni bertempur sampai titik darah penghabisan sebab tidak ada lagi jembatan untuk kembali.

Dalam bahasa rohani, frasa ini bisa diartikan: jangan menutup pintu pengampunan dan persahabatan, jangan mengucapkan kata yang menghancurkan tanpa perlu, jangan memutus hubungan sampai tidak ada jalan kembali. Percayalah bahwa Tuhan adalah Allah yang mampu memulihkan. Ia adalah Bapa yang membuka pintu bagi anak yang hilang untuk pulang. Demikian pula, kita dipanggil untuk menjaga jembatan agar tetap dapat dilalui suatu hari nanti—baik untuk kita maupun untuk orang lain. Relasi yang renggang masih bisa dipulihkan, tetapi relasi yang sudah “dibakar habis” membuat hidup menjadi jauh lebih sunyi.

Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk relasional. Bahkan Adam pun, yang hidup dalam taman yang sempurna, tidak dibiarkan sendirian. Tuhan juga dapat memakai saudara, kerabat, jemaat gereja, atau bahkan tetangga sebagai saluran kasih-Nya. Namun relasi itu tidak muncul begitu saja—itu harus dijaga dan dipelihara. Dalam hal ini, sikap pragmatis adalah bagian dari hikmat Tuhan.

Tetapi, ada banyak orang yang suka menjaga jarak selama bertahun-tahun: tidak mau dekat dengan keluarga atau teman segereja, mudah tersinggung, menghindar karena pernah kecewa, tidak mau ke gereja, dan memilih kesendirian. Tetapi ketika usia senja tiba, atau jika masalah besar mendatangi, hati mulai merindukan kehangatan dan dukungan. Ayat di atas mengingatkan kita bahwa relasi itu seperti jembatan—jika tidak dirawat, bisa rapuh; jika dibakar, tidak dapat dilalui lagi. Firman Tuhan di atas mendorong kita untuk menurunkan ego, belajar mengalah, memilih kata-kata yang mendamaikan, dan membuka pintu bagi pemulihan demi kebaikan kita sendiri.

“Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh.” (1 Petrus‬ ‭2‬:‭15‬‬)

Tidak semua relasi harus disukai, tetapi bisa kita hadapi dengan sikap pragmatis atau praktis yang penuh kasih. Pragmatis bukan berarti munafik, tetapi bijaksana—melakukan yang terbaik agar hubungan tetap terjaga, selama itu memungkinkan. Dalam hal ini, “Don’t Burn Your Bridge” berarti “Jangan Membakar Jembatan Relasimu“.

Tuhan mengajar kita untuk mengambil langkah pertama, seperti Ia sudah mengirimkan Yesus ketika kita masih hidup dalam dosa.

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Roma 5:8

Dengan demikian, kita juga harus menunjukkan kasih kita sekalipun orang lain sering memusuhi kita. Roma 12:9-21 adalah daftar berbagai perintah singkat yang berisi poin-poin penting. Secara keseluruhan, perintah-perintah tersebut melukiskan gambaran tentang bagaimana seharusnya kehidupan Kristen yang hidup dan berkorban. Tema pemersatu dari daftar tersebut adalah mengesampingkan diri kita sendiri, untuk secara efektif mengasihi dan melayani Tuhan, satu sama lain, dan bahkan musuh kita.

“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.” (Efesus 4:26-27)

Tujuan kita sebagai orang Kristen adalah untuk saling mengasihi dan menghormati. Kita harus memfokuskan pengharapan kita pada kekekalan dan menanti dengan sabar dan berdoa agar Bapa kita menyediakan kebutuhan kita. Kita harus menolak untuk jatuh ke dalam kejahatan, memberikan kebaikan kepada mereka yang menyakiti kita, alih-alih membalas dendam.

Apa yang dibutuhkan untuk bisa hidup seperti ini? Kita harus mau mengambil tindakan: mengakui kesalahan kita, meminta maaf, memperbaiki keadaan, dan memaafkan. Di sinilah gagasan “sejauh itu bergantung padamu” berperan. Ego, kesombongan, keinginan, dan prasangka kita sendiri tidak boleh menghalangi kita untuk hidup damai dengan orang lain. Itu berarti kita tidak boleh melakukan tindakan yang “keliru” terhadap orang lain.

Sebagai orang percaya, kita harus hidup damai dengan semua orang. Ini termasuk saudara-saudara kita di dalam Kristus, serta orang-orang yang tidak percaya. Cara lain untuk membaca perintah ini adalah, “Jangan pernah membiarkan diri Anda menjadi alasan untuk hubungan yang tidak damai dengan orang lain. Sebakiknya, tunjukkanlah kasih Anda.”

Untuk menunjukkan kasih kita, kdang satu sapaan kecil sudah cukup: “Apa kabar?” “Selamat ulang tahun.” “Semoga sehat selalu.” “Saya minta maaf kalau dulu ada salah.”

Langkah kecil itu bisa menjadi awal dari jembatan yang baru. Dan sering kali, Tuhan bekerja melalui langkah-langkah kecil seperti ini untuk memulihkan fungsi jembatan relasi kita.

Namun, ini bukan pernyataan pasifisme total atau apatis sepenuhnya. Paulus memberikan dua syarat yang jelas: “Jika mungkin” dan “sejauh itu bergantung padamu.” Perintah ini mengakui bahwa konflik terkadang tidak dapat dihindari. Beberapa orang memang tidak tertarik untuk berdamai dengan kita. Ada waktu dan tempat yang tepat untuk tidak setuju, untuk berdebat, atau bahkan untuk bertengkar. Tidak semua tindakan yang menyenangkan orang lain adalah sesuatu yang baik, atau sesuatu yang Tuhan inginkan agar kita lakukan.

Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa ketika menciptakan “perdamaian” hanya mungkin dengan mengkompromikan kebenaran atau perintah-perintah Allah (Kisah Para Rasul 5:28-29), penyelesaiannya tidak lagi bergantung pada pendapat kita. Kita harus lebih taat kepada Allah daripada manusia. Sikap ini mungkin bisa mengakibatkan penderitaan atau penganiayaan kita sendiri. Tetapi Paulus telah menunjukkan bahwa lebih penting bagi kita untuk mewakili Kristus dengan baik daripada mendapatkan hasil yang kita anggap menguntungkan (Filipi 4:11-13).

Doa Penutup:

Tuhan yang penuh kasih, ajarlah kami untuk menjaga hubungan dengan orang-orang yang Engkau hadirkan dalam hidup kami. Berikan kami hati yang rendah, sabar, dan penuh hikmat, khususnya dalam menghadapi sanak keluarga yang sulit atau tidak cocok dengan kami. Jangan biarkan kami membakar jembatan yang Engkau maksudkan sebagai saluran berkat di masa depan. Tolong kami menabur benih kasih dan kedamaian hari ini, agar ketika kami menghadapi masalah, kami menuai ketenangan, bukan kesunyian. Di dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.

Orang Kristen adalah atlit pilihan

“Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!”1 Korintus 9:24

Sejak kapan Anda menjadi orang Kristen? Sebagian orang mungkin bisa menjawab dengan menyebut tahun tertentu, tetapi sebagian lagi mungkin tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Mengapa demikian? Karena menjadi orang Kristen bukanlah hal identitas administratif seperti surat baptis, dan bukan pula kebiasaan yang melekat sejak kecil. Paulus tidak pernah menggambarkan kehidupan Kristen sebagai sesuatu yang santai, statis, atau sekadar label yang dipakai tanpa proses perjuangan.

Sebaliknya, Paulus memakai gambaran seorang pelari yang sedang bertanding, yang berlari dengan tekun, yang memandang lurus ke depan, dan yang tidak berhenti sebelum mencapai garis finis. Dengan demikian, orang Kristen sejati bukanlah orang biasa dalam pengertian umum. Bukan karena mereka lebih mulia dari siapa pun, tetapi karena mereka hidup dalam sebuah panggilan yang jauh lebih besar daripada sekadar rutinitas keagamaan atau warisan orang tua.

Paulus memahami kehidupan sebagai sebuah perlombaan. Ia berkata bahwa kita semua dipanggil untuk “berlari dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita” dengan tekun, sambil menyingkirkan segala beban dan dosa yang begitu mudah memperlambat langkah (Ibrani 12:1)

Gambaran ini menunjukkan bahwa iman bukanlah perjalanan pasif. Iman menuntut gerak, arah, fokus, dan komitmen. Seseorang tidak mungkin berlari tanpa kesadaran bahwa ia sedang menuju ke suatu tujuan. Demikian pula orang Kristen sejati tidak hidup tanpa arah; mereka tahu bahwa hidup ini memiliki garis finis rohani yang harus dicapai—suatu tujuan surgawi di mana Kristus sendiri menanti.

Banyak orang menganggap bahwa menjadi Kristen sejak kecil sudah cukup untuk menjamin kualitas rohani seseorang. Namun Paulus tidak pernah mengatakan bahwa awal yang baik menjamin akhir yang baik. Ia justru menekankan pentingnya ketekunan, karena di tengah perjalanan iman akan ada kejenuhan, kelelahan, pencobaan, dan pergumulan yang menguji kemurnian hati.

Seorang pelari yang hanya mengandalkan awal yang cepat tetapi tidak memiliki daya tahan tidak akan pernah menyelesaikan lomba. Demikian juga, orang Kristen yang hanya mengandalkan kebiasaan masa kecil tanpa komitmen pribadi untuk mengikut Kristus akan mudah berhenti di tengah jalan. Kekristenan bukan tentang siapa yang berangkat paling awal, tetapi siapa yang setia sampai akhir.

Paulus sendiri adalah contoh pelari yang pantang menyerah. Ia pernah mengalami kapal karam, dipukul, dipenjara, dan ditolak oleh bangsanya sendiri. Namun ia tidak berhenti. Ia berkata, “Aku melupakan apa yang di belakang dan mengarahkan diri kepada apa yang di depan.” Kata-kata ini menegaskan bahwa seorang pelari tidak boleh terus menoleh ke masa lalu.

Penyesalan, kegagalan, keberhasilan, kebosanan, kesibukan, luka batin, atau nostalgia dapat menjadi beban yang membuat seseorang tersangkut dalam apa yang sudah lewat. Paulus memilih untuk tetap bergerak maju. Ia tidak menyangkal masa lalunya, tetapi ia tidak membiarkan masa itu menentukan masa depannya. Ini adalah sikap iman yang matang: hidup bukan dari kenangan, tetapi dari panggilan Allah yang terus mendorong kita ke depan.

Bila seorang atlet dunia saja rela berlatih keras demi sebuah mahkota yang fana, betapa lebih lagi orang percaya dipanggil untuk bertekun demi mahkota kehidupan yang kekal? Di sinilah letak perbedaan orang Kristen sejati dan mereka yang hanya memakai label Kristen.

Orang Kristen yang asli tidak hidup hanya untuk apa yang terlihat, tetapi untuk apa yang kekal. Mereka berlari bukan untuk mendapat penghargaan manusia, tetapi untuk menyenangkan Tuhan. Mereka menolak gaya hidup yang longgar dan kompromistis, bukan karena ingin terlihat lebih suci, tetapi karena mereka tahu bahwa beban apa pun dapat menghambat larinya.

Banyak hal yang dianggap lumrah oleh masyarakat, tetapi tetap bisa menjadi beban. Kesibukan yang berlebihan, ambisi pribadi, rasa iri, hobi yang mengikat, kemarahan yang dipelihara, atau kenyamanan hidup yang membuat seseorang malas mengejar hal-hal rohani—semua itu dapat memperlambat laju seorang pelari rohani.

Kita hidup di dunia di mana identitas Kristen mudah dipakai, tetapi komitmen Kristen semakin jarang diperjuangkan. Banyak orang ingin berkat Kristus, tetapi tidak ingin memikul salib. Banyak yang ingin damai sejahtera, tetapi tidak mau hidup dalam ketaatan. Mereka ingin sampai ke garis finis, tetapi larinya sering terhenti karena hal-hal kecil: sedikit ejekan, sedikit kekecewaan, sedikit ketidakadilan, atau sedikit pertentangan dalam gereja.

Paulus tahu bahwa perjalanan iman seperti ini penuh tantangan. Karena itu ia menasihati, “Jangan hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala, dan layanilah Tuhan.” (Roma 12:11). Pernyataan ini seakan berkata: jangan berhenti hanya karena perjalanan terasa berat. Jangan biarkan kelesuan menggantikan panggilan. Teruslah berlari, meskipun langkah terasa lambat.

Banyak orang Kristen mulai dengan semangat, tetapi mengakhiri dengan kekecewaan. Ada yang merasa imannya tidak lagi sekuat dulu. Ada yang merasa pelayanan pernah begitu menggairahkan, tetapi kini terasa hambar. Ada yang melihat masalah hidup bertambah, sementara tenaga dan usia menurun. Dalam kondisi seperti ini, seorang pelari rohani mungkin bertanya, “Apakah aku masih mampu mencapai finis?”

Jawaban Paulus tegas: kita mampu, bukan karena kekuatan kita, tetapi karena Kristus yang sudah memanggil kita. Kita berlari bukan sendirian; Yesus berlari bersama kita. Bahkan Ia telah lebih dulu berlari dan menang, sehingga kita memiliki teladan sekaligus jaminan kemenangan. Kita tidak mengejar kegelapan yang tidak pasti; kita mengejar Kristus yang sudah menanti.

Ketika usia bertambah, banyak orang mengira bahwa iman akan bisa menjadi semakin kuat. Namun pengalaman menunjukkan sebaliknya. Justru pada usia lanjut, perjuangan iman bisa menjadi lebih berat karena tubuh melemah, relasi berubah, dan banyak sahabat mulai dipanggil Tuhan. Namun panggilan untuk tetap berlari justru menjadi semakin relevan.

Bagi banyak orang Kristen, garis finis semakin dekat, tetapi godaan untuk menyerah juga semakin besar. Paulus memahami dinamika ini ketika ia berkata bahwa perjalanan iman harus diselesaikan, bukan ditinggalkan di tengah jalan. Ada sukacita besar menanti bagi mereka yang setia sampai akhir. Ada mahkota kebenaran yang dijanjikan Tuhan kepada setiap orang yang tetap setia dalam mengasihi Dia.

Oleh sebab itu, mari kita hidup sebagai orang Kristen yang benar-benar mengerti panggilan kita. Jangan biarkan diri kita menjadi “orang Kristen biasa” hanya karena kita sudah lama berada dalam lingkungan gereja atau karena lahir dalam keluarga Kristen.

Kekristenan bukan warisan pasif; itu adalah komitmen aktif untuk mengikuti Yesus setiap hari, dalam suka dan duka, dalam pengharapan maupun kelelahan. Bila langkah kita melemah, mari kita kembali menguatkan diri dalam firman, doa, dan persekutuan. Bila hati kita mulai dingin, mintalah agar Roh Kudus kembali menyalakan bara kerinduan kepada Tuhan. Bila kita jatuh, bangkitlah lagi dan lanjutkan perlombaan.

Kita semua sedang berlari menuju garis finis yang sama. Tidak ada yang tahu kapan kita akan mencapainya, tetapi kita tahu siapa yang menanti kita di sana. Kristus sendiri—Dia yang memulai dan yang akan menyempurnakan iman kita. Karena itu, jangan berhenti. Jangan menyerah. Teruslah berlari, sampai hari ketika kita dapat berkata bersama Paulus, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah memelihara iman.” (2 Timotius 4:7).

Kesabaran yang bagaimana?

“Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” — ‭‭Efesus‬ ‭4‬:‭2‬‬

Ada ungkapan lama yang berbunyi “sabar itu subur”. Orang sabar, kata orang, dapat digambarkan seperti pepohonan. Dipangkas cabang daunnya berkali-kali seperti pohon lamtoro gung, di musim hujan ia akan bersemi kembali. Dikurangi akarnya, seperti pohon kelengkeng yang lama tak berbuah, ia akhirnya berbunga dan berbuah lebat. Kesabaran akan menghasilkan kesuksesan. Benarkah ini?

Kesabaran di Alkitab PB pada umumnya dikaitkan dengan kasih, bukan keberhasilan. Sebagai orang Kristen kita menghadapi berbagai tantangan dan masalah kehidupan. Mungkin dalam pekerjaan, sekolah, keluarga, gereja dan negara. Dalam hal ini, orang Kristen dipanggil untuk tetap rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Sekalipun penyelesaian masalah belum ada, tetapi ketekunan membuat kita tetap percaya bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan rencana Tuhan.

Efesus 4:1–10 adalah deskripsi Paulus yang meyakinkan tentang kesatuan umat Kristen. Setiap orang percaya yang diselamatkan, terlepas dari bakat atau keterampilannya, Yahudi atau non-Yahudi, pria atau wanita, diselamatkan oleh iman yang sama kepada Allah yang sama. Oleh karena itu, setiap orang Kristen adalah bagian dari satu keluarga universal umat beriman di dalam Yesus Kristus.

Pada saat yang sama, Allah memberikan karunia yang berbeda kepada setiap orang, agar mereka dapat menjalankan berbagai peran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-Nya di bumi. Alih-alih mengkhawatirkan karunia apa yang mungkin kurang, setiap orang Kristen dapat bersukacita dalam kesatuan kita, dan berfokus untuk melayani Allah sebaik mungkin dengan apa yang kita miliki.

Hidup dengan cara yang layak bagi panggilan Kristus (Efesus 4:1) mencakup empat sifat yang dijelaskan dalam ayat di atas.

Pertama, jemaat Efesus—dan semua orang Kristen—harus hidup dalam kerendahan hati. Kristus memanggil orang lain untuk hidup dengan kerendahan hati seperti anak kecil (Matius 18:4) dan menyatakan bahwa:

“.. barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Matius 23:12).

Kedua, orang percaya harus hidup dengan lemah lembut. Bersikap lemah lembut adalah bagian dari buah Roh (Galatia 5:23) dan penting dalam kehidupan setiap orang percaya. Sifat ini tidak hanya membantu menghindari konflik yang tidak perlu, tetapi juga menunjukkan kasih yang seharusnya kita tunjukkan setiap saat:

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”(Yohanes 13:34-35)

Ketiga, orang percaya harus menunjukkan kesabaran. Kesabaran adalah bagian lain dari buah Roh (Galatia 5:22) dan juga suatu keharusan jika kita ingin menunjukkan kasih kepada sesama. Di tempat lain, Paulus mengingatkan orang percaya bahwa:

“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.” (1 Korintus 13:4).

Keempat, orang percaya harus hidup dengan kasih terhadap satu sama lain. Paulus menyatakan bahwa karunia Allah yang terbesar adalah kasih. Sebagaimana digunakan dalam Perjanjian Baru, “kasih” bukan sekadar perasaan atau emosi. Kasih berarti melakukan tindakan yang bermanfaat bagi orang lain. Perasaan yang tidak menghasilkan tindakan bukanlah “kasih” yang alkitabiah.

“Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” 1 Korintus 13:13

Lalu dalam praktik sehari-hari, bagaimana kita menerapkan prinsip kesabaran dalam kasih?

Kesabaran Kristen yang pragmatis adalah kemampuan untuk bertindak dengan kebijaksanaan praktis dan daya tahan yang langgeng dalam menghadapi situasi sulit, serta mengakui perlunya pendekatan yang realistis sambil tetap berakar pada iman.

Ini melibatkan kepercayaan pada waktunya Tuhan, memperkuat karakter seseorang melalui cobaan, memahami kapan harus mengejar prinsip dengan tindakan sabar, dan mengerti kapan harus menunjukkan pengekangan diri dan berokus pada membangun hubungan antar manusia. Ini adalah alat untuk pertumbuhan spiritual, membantu orang percaya menanggapi kesulitan dengan rahmat daripada frustrasi.

Aspek kunci dari kesabaran Kristen pragmatis:

  • Percaya pada waktunya Tuhan: Menunggu dengan sabar rencana dan waktu Tuhan, seperti seorang petani menunggu hujan yang tepat untuk membawa panen, adalah landasan kesabaran Kristen.
  • Kebajikan untuk pertumbuhan spiritual: Kesabaran, sering kali merupakan produk dari Roh Kudus, membangun karakter yang matang dan lengkap, membantu seseorang bertahan dalam kesulitan dan menjadi “tidak kekurangan apa-apa”.
  • Respon terhadap oposisi: Kesabaran diperlukan ketika menghadapi kesulitan, dan itu bisa menjadi pengekangan yang diberikan Tuhan dalam menghadapi oposisi atau penindasan.
  • Alat untuk kebijaksanaan: Kesabaran pragmatis berarti mengenali kapan harus bersabar daripada konfrontatif. Ini melibatkan membedakan apakah suatu hal menyangkut prinsip utama, atau hanya sesuatu yang tidak terlalu penting.
  • Kesabaran dengan diri sendiri: Ini juga berarti memiliki kesabaran dengan ketidaksempurnaan Anda sendiri dan tetap berusaha meningkatkan diri setiap hari.

Bagaimana cara melatih kesabaran pragmatis:

  • Pakailah pendekatan yang realistis: Pahami bahwa selama hidup di dunia akan ada hal-hal yang tidak nyaman. Alih-alih melawan ini, belajarlah untuk menanggungnya dengan penerimaan rendah hati terhadap apa yang tidak dapat Anda kendalikan.
  • Berdoalah lebih giat: Di saat-saat sulit, terutama dalam hubungan, berdoalah untuk bimbingan dan pengendalian diri sebelum berbicara di saat yang panas.
  • Bertindak dengan kebijaksanaan: Ketika sebuah masalah bergantung pada rencana yang jelas untuk bergerak menuju kesetiaan kepada Tuhan yang lebih besar, akan lebih bijaksana untuk menggunakan kesabaran untuk membiarkan rencana itu terungkap daripada terburu-buru maju.
  • Fokus pada rahmat Tuhan: Ingatlah pengampunan besar yang telah Anda terima dari Tuhan. Hal ini dapat mencegah Anda menjadi orang yang tidak bisa mengerti kelemahan orang lain.

Pagi ini kita belajar bahwa bagi umat Kristen, kesabaran belum tentu membawa hasil atau kesuksesan seperti yang kita harapkan, tetapi akan membawa kedamaian secara pribadi maupun kolektif jika itu dilandaskan kasih.

Jika hari ini Anda merasa sulit untuk bersabar dalam menghadapi tantangan hidup, ada baiknya Anda mengingat Doa Ketenangan (Serenity Prayer) yang merupakan doa terkenal yang dapat diterapkan secara luas kepada banyak orang Kristen yang menghadapi masalah. Doa ini umumnya dikaitkan dengan teolog Reinhold Niebuhr. Doa ini biasanya berbunyi:

“Tuhan, berikanlah aku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah; keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah; dan kebijaksanaan untuk membedakannya.”

Semoga kita bisa selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar, serta menunjukkan kasih kita kepada semua orang dalam menghadapi setiap persoalan.

Hidup santai bukanlah tujuan kita

“Kita dikelilingi orang-orang besar yang beriman ini sebagai contoh kita. Jadi, kita juga harus berlari dalam perlombaan yang ada di depan kita, tanpa menyerah. Marilah kita membuang dari hidup kita semua yang akan memperlambat kita dan semua dosa yang membuat kita sering terjatuh.”
— ‭‭Ibrani‬ ‭12‬:‭1‬‬ (AMD)

Pembagian pasal Ibrani 11-12 dan munculnya ayat di atas bukanlah seperti teks asli Alkitab. Ayat 1 dan 2 dari pasal 12 seharusnya mengalir secara alami dari akhir pasal 11, dan memberikan penerapan langsung dari poin-poin yang terdapat dalam bagian tersebut.

Ibrani 11:32—12:2 adalah salah satu bagian Alkitabyang paling menggugah dan menginspirasi. Tema ayat-ayat sebelumnya adalah para tokoh Perjanjian Lama yang mencontohkan iman, yang didefinisikan sebagai kepercayaan yang berwawasan ke depan, kepada Allah. Penekanan dari contoh-contoh ini bergeser dari iman umum, ke iman dalam menghadapi pilihan-pilihan sulit, hingga iman yang menghasilkan kemenangan. Di sini, penulis memasukkan semua ini, dalam daftar singkat orang-orang yang menunjukkan kuasa iman yang sejati dan saleh. Sebagai surat yang disampaikan kepada orang-orang Kristen Yahudi yang teraniaya, contoh-contoh ini dimaksudkan untuk memberi semangat dan inspirasi, sekaligus meyakinkan. Allah menunggu untuk memberikan penggenapan akhir dari janji-janji-Nya agar kita—mereka yang hidup saat ini—bisa bertahan dalam iman yang menyelamatkan. Dengan hak istimewa itu, orang Kristen seharusnya berusaha untuk bertahan, dan berpegang teguh, menghidupi iman ilahi yang sama.

Bab 11 menjelaskan kemenangan beberapa tokoh Perjanjian Lama, tetapi juga menjelaskan penderitaan dan penganiayaan mereka. Kemenangan mereka bukanlah sesuatu yang mudah diperoleh, seperti yang dibayangkan oleh banyak orang di zaman sekarang.

Banyak orang Kristen di zaman ini yang menganggap bahwa menjadi orang percaya adalah serupa dengan mempunyai KTP; sesudah dibaptis pasti selamat. Tidak perlu berjuang untuk mempertahankan kekristenan mereka dalam hidup sehari-hari. Itu mungkin karena mereka tidak menjalani hidup yang berbeda dengan orang yang bukan Kristen: mereka bebas melakukan apa saja seperti orang lain.

Tidak ada orang Kristen sejati yang tidak mengalami perjuangan batin melawan pengaruh dunia. Dunia menghendaki kita hidup dalam kompromi dan buka melawan apa yang jahat. Dunia mengajarkan bahwa kebebasan dan kenikmatan pribadi adalah yang paling penting dalam hidup. Karena itu, sebagian orang Kristen memilih jalan yang lebar dan santai daripada jalan yang sempit. Mereka lebih selang memilih hidup yang santai daripada hidup yang benar, sekalipun iman yang santai itu adalah iman yang palsu.

“Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.” Matius 7:13-14 

Mungkin kita tidak mau terbebani dalam hidup sebagai orang Kristen, dan karena itu lebih senang memilih cara hidup yang lebih enteng. Tetapi, bab 11-12 menggunakan contoh-contoh orang yang menderita tetapi akhirnya menang, untuk membuktikan bahwa Allah tidak akan meninggalkan kita ketika kita menderita. Dalam banyak kasus, Dia menggunakan pengalaman-pengalaman itu untuk “melatih” kita, seolah-olah kita adalah atlet, untuk membuat kita lebih kuat. Dalam kasus lain, itu adalah jenis disiplin yang sama yang diterima seorang anak dari seorang ayah yang pengasih. Tidak seperti perjanjian lama, yang memang mengilhami orang Israel dengan rasa takut dan gentar, perjanjian baru menawarkan orang yang mempunyai iman yang sejati agar mereka bisa memperoleh kedamaian dengan Tuhan dalam segala keadaan.

Apa yang harus kita lakukan agar kita bisa menjadi orang Kristen yang sejati? Jawaban penulis tampak sederhana, dan mudah disalahpahami ketika ayat ini diambil di luar konteks. Kita tidak membutuhkan perbuatan baik untuk diselamatkan, karena iman semata-mata adalah anugerah Tuhan. Tetapi, iman yang benar bukanlah iman yang tidak membuahkan perbuatan baik dan perjuangan melawan dosa.

Dalam hal memilih kebenaran dan menghindari kepalsuan, kita harus berpegang teguh pada apa yang benar, sehingga kita dapat menjadi sempurna di dalam Kristus.

“Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” Ibrani 12:2

Jadi, respons yang tepat dari seorang Kristen sejati, mengingat semua “saksi” iman yang saleh, dan keberhasilan mereka di tengah kesulitan, dan dalam terang kesabaran Allah yang penuh kasih, adalah dengan sengaja menanggalkan dosa dan keegoisan kita dan “berpegang teguh pada Firman” saat kita berusaha untuk memenuhi rencana yang telah Allah siapkan bagi kita. Semua yang kita ketahui tentang karya Allah sebelumnya seharusnya mengilhami kita untuk pengabdian yang penuh dan berdedikasi kepada kehendak-Nya.

Seperti yang akan diingatkan ayat berikutnya, contoh utama dari hal ini adalah Kristus sendiri. Yesus tidak hanya mencontohkan bagaimana kita seharusnya menjalani hidup (Ibrani 2:10-11), tetapi Ia melakukannya dengan melawan semua godaan yang kita hadapi (Ibrani 4:15), dan dengan pemahaman yang teguh bahwa penderitaan-Nya adalah bagian dari rencana Allah untuk “bekerja bersama untuk mendatangkan kebaikan” dalam segala sesuatu demi kemuliaan-Nya dan kebaikan kita (Roma 8:28; Filipi 2:8-11).

Pagi ini kita diingatkan: berapa lama kita sudah mengaku Kristen? Baik dalam usia muda ataupun tua, masih adakah semangat perjuangan Anda untuk melaksanakan firman Tuhan di saat ini? Apakah Anda tetap ingin untuk mengalahkan unsur-unsur duniawi yang ingin melemahkan iman dan hidup Kristen Anda? Apakah Anda masih mempunyai kerinduan untuk berbakti kepada Tuhan dan mempelajari firman-Nya? Ataukah Anda sudah merasa terbiasa dengan hidup santai, tanpa komitmen, berjalan perlahan-lahan dan bukannya berlari kencang dalam perlombaan hidup untuk mengikut Dia? Hanya Anda yang bisa menjawab.

Kehendak bebas dan kehendak Tuhan

“Suatu waktu Yesus berada di suatu kota di mana seorang yang sangat sakit tinggal. Tubuhnya ditutupi dengan penyakit kulit yang mengerikan (kusta). Ketika ia melihat Yesus, ia sujud menyembah Yesus dan memohon kepada-Nya, “Tuhan, Engkau berkuasa untuk menyembuhkan aku, jika Engkau mau.” ‭‭Lukas‬ ‭5‬:‭12‬‬ (AMD)

Ada seorang teman yang baru-baru ini bertanya apakah saya percaya bahwa manusia memiliki kehendak bebas (free will). Saya menjawab bahwa kenyataan hidup dan bahkan Alkitab sendiri jelas-jelas menunjukkan bahwa manusia bisa dan bebas untuk memilih apa saja yang dikehendakinya. Tetapi, ini buka berarti bahwa manusia akan selalu mendapatkan apa yang diingininya karena hanya apa yang sesuai dengan kehendak Tuhanlah yang akan terjadi.

Kisah Lukas tentang Yesus yang menyembuhkan orang yang sakit kusta menarik karena beberapa hal yang berkaitan dengan ayat ini. Matius mengatakan orang itu mendekati Yesus ketika Ia “turun dari gunung” (Matius 8:1) dan Markus tidak menyebutkan lokasi lain selain Galilea (Markus 1:39), sementara Lukas mengatakan mereka berada di sebuah kota. Dengan demikian, orang itu pasti sudah memikirkan, merencanakan dan melaksanakan tindakannya. Itu adalah kehendak bebasnya karena ia tidak dipaksa orang lain untuk melakukan hal itu.

Mengingat peraturan ketat yang diberlakukan bagi penderita kusta dalam hukum Musa, hal ini terdengar penuh risiko. Imamat 13:45-46 mengatakan, “Orang yang sakit kusta harus berpakaian yang cabik-cabik, rambutnya terurai dan lagi ia harus menutupi mukanya sambil berseru-seru: Najis! Najis! Selama ia kena penyakit itu, ia tetap najis; memang ia najis; ia harus tinggal terasing, di luar perkemahan itulah tempat kediamannya.” Meskipun beberapa sejarawan kuno mengklaim Musa melarang penderita kusta memasuki kota mana pun, kitab Talmud hanya melarang mereka memasuki kota-kota bertembok. Hanya ada sedikit informasi tentang kota mana, jika ada, di Galilea yang dikelilingi tembok. Walaupun demikian, jelas bahwa kehendak bebas penderita kusta itu memiliki risiko yang harus ditanggungnya.

Catatan kedua yang unik untuk Lukas adalah bahwa orang itu “penuh kusta.” Para ahli mengatakan bahwa sebagai seorang dokter (Kolose 4:14), Lukas akan lebih tepat dalam deskripsinya tentang kondisi medis. Jika ini adalah penyakit kusta yang sekarang dikenal sebagai “penyakit Hansen”, ini menyiratkan stadium lanjut yang hampir mematikan. Penderita kusta dapat mengalami luka dan borok di wajah, tangan, dan tubuh mereka. Hal ini akan mengakibatkan stigma sosial yang besar, serta banyak penderitaan pribadi bagi si penderita.

Penyakit Hansen adalah infeksi bakteri kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang terutama menyerang kulit dan saraf. Gejalanya, selain meliputi lesi kulit (bintik dan benjolan pucat, merah, atau mati rasa), juga termasuk kerusakan saraf (kehilangan sensasi, kelumpuhan), dan potensi efek kerusakan pada mata, hidung, dan testis. Di zaman sekarang, penyakit ini dapat disembuhkan dengan pengobatan antibiotik jangka panjang, yang biasanya berlangsung selama satu hingga dua tahun.

Poin ketiga dalam ayat ini tercatat dalam ketiga Injil. Orang yang sakit kusta beriman bahwa Yesus dapat menyembuhkannya tetapi tidak yakin apakah Yesus mau. Ia tahu bahwa sebesar apapun keinginannya, ia tidak dapat memaksa Yesus untuk melakukannya. Tetapi Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu, dan berkata: ”Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga lenyaplah penyakit kustanya. Orang kusta itu tentunya terkejut bahwa Yesus menjawabnya dengan cara yang sangat berlawanan dengan budaya saat itu: Ia menjamah orang najis ini (Lukas 5:13). Yesus tidak takut akan penyakit kusta!

Lukas 5:12 menghadirkan sebuah gambaran yang sangat indah tentang hubungan antara kehendak bebas manusia dan kehendak Allah. Seorang penderita kusta—yang secara sosial, rohani, dan fisik terbuang—datang kepada Yesus dengan sebuah keputusan sadar. Tidak ada yang memaksanya. Ia melangkah mendekat karena pilihan iman. Tindakannya memohon, “Tuhan, jika Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkan aku,” adalah pernyataan kehendak bebas: ia memilih untuk percaya, memilih untuk mendekat, memilih untuk berserah.

Permohonannya agar Yesus “menjadikannya tahir” bukan sekadar permintaan pemulihan fisik. Baginya, itu adalah ungkapan kerinduan akan pemulihan rohani. Ia ingin bukan hanya sembuh, tetapi dipulihkan—dibersihkan, dikembalikan ke hadapan Allah dan komunitas. Inilah inti dari kehendak bebas dalam konteks Alkitab: kemampuan untuk merespons Allah, untuk memilih datang kepada-Nya dalam iman.

Namun, tindakan iman itu selalu disertai kesadaran yang benar tentang siapa Yesus. Di balik permintaannya, ada kerendahan hati yang menakjubkan. Ia tidak menuntut, tidak memerintah, tidak memaksa karya ilahi. Ia berkata: “jika Engkau mau.” Dalam satu kalimat ini, kita melihat keseimbangan teologis yang dalam: Manusia menggunakan kehendak bebasnya untuk datang kepada Tuhan, tetapi manusia juga harus mengakui bahwa segala sesuatu bergantung pada kehendak Allah.

Inilah relasi iman yang sehat—kehendak bebas yang tunduk kepada kehendak ilahi. Sang penderita kusta secara bebas memilih untuk percaya, tetapi ia juga berserah kepada rencana dan otoritas Tuhan. Iman yang sejati bukan hanya keberanian untuk meminta, tetapi juga kerelaan menerima apa pun yang Tuhan kehendaki.

Respons Yesus memperlihatkan bahwa kehendak Allah bukanlah musuh bagi kehendak bebas manusia, tetapi justru kasih karunia yang mempertemukan keduanya. Yesus menjawab, “Aku mau, jadilah engkau tahir!” Manusia berseru; Allah menjawab. Manusia memilih untuk datang; Allah memilih untuk memulihkan.

Cerita ini mengingatkan kita bahwa iman bukanlah pasivitas, melainkan tindakan sadar untuk datang kepada Kristus. Tetapi pada saat yang sama, iman juga adalah penyerahan penuh kepada kehendak Allah yang baik. Dua unsur ini—kehendak bebas dan kedaulatan Allah—berjalan berdampingan, bukan saling meniadakan.

Dengan demikian, Lukas 5:12 tidak hanya menceritakan kesembuhan seorang penderita kusta, tetapi juga mengajarkan dinamika indah antara pilihan manusia dan rencana Allah. Dalam iman, kita datang; dalam kasih-Nya, Ia melakukan apa yang benar dan baik bagi kita.

Jika dilihat lebih dalam, kisah itu bukan hanya tentang manusia yang menggunakan kehendak bebasnya, tetapi juga tentang anugerah Allah yang memungkinkan manusia untuk bisa beriman. Dalam perspektif iman Kristen, terutama dalam pemahaman yang dekat dengan tradisi Reformed, tindakan si orang kusta itu tidak berdiri sendiri.

Ia mendekat, berpikir dengan benar, merendahkan diri, dan mengucapkan kata-kata iman—karena Allah terlebih dahulu bekerja dalam dirinya. Dengan kata lain: Ia bisa melihat bahwa Yesus adalah harapan — karena Tuhan yang membuka matanya. Ia bisa percaya bahwa Yesus dapat menyembuhkan — karena Tuhan yang menumbuhkan iman itu. Ia bisa merendahkan diri dan berkata dengan tepat — karena Roh Kudus memampukannya. Ia bisa melangkah mendekat — karena kasih karunia menariknya kepada Kristus.

  • Di sisi manusia, tampak seperti ia “memilih” untuk beriman.
  • Di sisi Allah, itu adalah karya kasih karunia yang lembut dan mendalam.

Itulah harmoni indah antara: Kehendak bebas manusia yang nyata dan Karya Allah yang mendahului, menopang, dan menyempurnakan.

  • Manusia bertindak — tetapi Allah yang memberi kemampuan untuk bertindak dalam iman.
  • Manusia berkata — tetapi Allah yang menuntun hati agar berkata benar.
  • Manusia mendekat — tetapi Allah yang terlebih dahulu menarik.

Itulah sebabnya, tindakan orang kusta itu bukan sekadar pilihan moral atau tekad pribadi. Itu adalah respons terhadap kasih karunia yang sudah lebih dulu bekerja dalam dirinya, memampukannya untuk datang kepada Yesus dengan kata-kata yang tepat:

“Tuhan, jika Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.”

Kisah ini pada akhirnya bukan memuliakan kehendak manusia, tetapi memuliakan karya Yesus yang bekerja sebelum, selama, dan sesudah tindakan iman itu. Inilah panggilan kita selaku aorang Kristen, agar menggunakan kehendak bebas kita untuk melakukan apa yang baik karena Tuhan sudah memberi kita kemampuan untuk itu. Kita harus yakin bahwa Dia mau menopang kita jika kita mau memilih jalan yang benar menurut kehendak-Nya.

Antara percaya, taat dan bertindak

Tetapi Paulus berkata kepada perwira dan para prajurit lainnya, “Jika orang-orang tidak tetap di kapal, kalian semua tidak akan selamat.” Kisah Para Rasul‬ ‭27‬:‭31‬‬

Bacaan: Kisah Paulus di Tengah Badai (Kisah Para Rasul 27–28)

Kisah Paulus di tengah badai laut bukan sekadar kisah petualangan dramatis, tetapi cermin kehidupan rohani yang mendalam. Ia sedang dalam perjalanan menuju Roma sebagai tahanan, ditemani seorang perwira Romawi bernama Yulius dan 275 penumpang lainnya. Paulus sebenarnya telah memperingatkan agar mereka tidak berlayar pada musim badai, tetapi nasihatnya diabaikan. Tak lama kemudian, angin kencang bernama Euraquilo menghantam kapal mereka dengan dahsyat.

Selama empat belas hari, langit gelap tanpa matahari atau bintang. Para pelaut kehilangan harapan hidup. Mereka membuang muatan dan peralatan kapal untuk meringankan beban, namun badai tidak juga reda. Dalam kekacauan itulah, berdiri satu pribadi yang tenang — Paulus. Ia tidak panik, tidak mengeluh, dan tidak menyalahkan siapa pun. Ia berdiri teguh di atas janji Allah yang ia dengar melalui malaikat. Paulus percaya kepada Tuhan.

“Tetapi sekarang aku menasihatkan kamu, supaya kamu tetap tabah, sebab tidak seorang pun di antara kamu yang akan binasa, kecuali kapal ini.” Kisah Para Rasul 27:22

Kisah ini menyingkap dua sisi iman yang sering kita butuhkan dalam hidup: percaya dan taat (trust and obey), serta percaya dan bertindak (trust and do).

Ketika semua orang kehilangan arah, Paulus memilih untuk berpegang pada janji Tuhan. Malaikat Tuhan berkata bahwa nyawa mereka akan diselamatkan, meskipun kapal akan hancur. Paulus tidak hanya mempercayai kabar itu, ia menaati apa yang Allah firmankan — dengan menyampaikan pengharapan kepada orang lain.

Inilah inti dari “trust and obey”: percaya kepada kedaulatan Allah, dan taat untuk tetap berjalan sesuai firman-Nya, meski kita tidak tahu kapan badai akan berhenti. Paulus tidak bisa mengendalikan arah angin, tetapi ia bisa mengendalikan sikap hatinya. Ia menunjukkan ketaatan dengan menenangkan orang lain, memberi semangat, dan berdoa sebelum mereka makan.

“Sebab aku percaya kepada Allah, bahwa semuanya pasti terjadi seperti yang dikatakan kepadaku.” Kisah Para Rasul 27:25

Percaya dan taat tidak berarti pasrah tanpa arah. Artinya, kita menaruh kendali hidup di tangan Tuhan yang jauh lebih tahu jalan ke pelabuhan keselamatan. Dalam badai kehidupan, ketaatan menjadi jangkar iman kita — menahan kita agar tidak terombang-ambing oleh rasa takut. Namun Paulus tidak berhenti pada doa dan iman saja. Ia juga melakukan apa yang perlu dilakukan. Ia memerintahkan para pelaut untuk makan supaya kuat, dan memastikan agar semua tetap di kapal hingga saat yang tepat. Ketika kapal mulai pecah, ia memberi petunjuk agar semua orang berenang atau berpegang pada serpihan kayu untuk sampai ke darat. Inilah “trust and do” — iman yang bergerak.

Iman sejati tidak menunggu keajaiban datang tanpa usaha, tetapi juga tidak berlari tanpa arah. Iman sejati berjalan seiring dengan hikmat dan ketaatan. Paulus mempercayai janji Tuhan bahwa semua akan selamat, tetapi ia juga melakukan tindakan konkret yang sesuai dengan janji itu.

Kita sering berada di titik serupa: antara menunggu dan bertindak. Tuhan ingin kita mempercayai-Nya sepenuhnya, tetapi juga menggerakkan tangan dan kaki kita sesuai dengan petunjuk-Nya. Kadang itu berarti berdoa lebih lama; kadang itu berarti menelpon seseorang, memaafkan, bekerja kembali, atau menolong sesama. Kita harus ingat bahwa:

  • Percaya dan taat mengarahkan hati kepada Tuhan.
  • Percaya dan bertindak menggerakkan hidup dalam rencana Tuhan.

Keduanya bukan berlawanan, melainkan dua sisi dari iman yang hidup.

Akhir kisah Paulus itu meneguhkan kebenaran janji Tuhan. Semua 276 orang selamat, persis seperti yang dikatakan Paulus. Mereka terdampar di pulau Malta. Di sana, Paulus digigit ular berbisa, tetapi tidak mengalami apa-apa. Orang-orang setempat tercengang dan menyadari kuasa Allah yang menyertai dia. Melalui kesembuhan dan mukjizat berikutnya, banyak orang di pulau itu mengenal kasih Tuhan.

Dari badai menuju pantai, dari kapal karam menuju kesaksian, kehidupan Paulus memperlihatkan bahwa iman yang percaya, taat, dan bertindak selalu mengarah pada keselamatan dan kemuliaan Allah. Terkadang, kita juga harus mengalami “kapal karam” agar menyadari bahwa keselamatan kita bukan bergantung pada perahu, tetapi pada Allah yang memegang ombak dan angin. Kadang-kadang Tuhan mengizinkan kapal kita hancur, supaya kita sampai di pantai anugerah-Nya dengan iman yang lebih murni.

Dalam menghadapi kesulitan, manusia mudah terjebak di dua ekstrem: terlalu menunggu mukjizat hingga kehilangan kesempatan untuk bertindak, atau terlalu berlari dengan kekuatan sendiri tanpa menunggu kehendak Tuhan. Kisah Paulus memberi keseimbangan: Percaya dan taat menjaga hati tetap tenang dalam badai; Percaya dan bertindak menolong kita berjalan bersama Tuhan menuju daratan yang dijanjikan. Iman tidak membuat kita pasif, dan tindakan tidak membuat kita mandiri dari Tuhan. Iman yang sejati justru melahirkan tindakan yang tepat — dilakukan dalam waktu dan cara Tuhan. Ketika kita menaruh kepercayaan penuh pada-Nya, ketaatan menjadi dasar, dan tindakan menjadi buah.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita percaya dan taat, tetapi juga percaya dan bertindak. Ini berarti kita berdoa sebelum bekerja, mendengar sebelum berbicara, menunggu sebelum memutuskan, dan bertindak ketika Tuhan membuka jalan. Seperti Paulus, kita diajak untuk memimpin diri sendiri dan orang lain bukan dengan panik, melainkan dengan tenang dalam iman. Kapal mungkin hancur, tetapi janji Tuhan tidak akan pernah tenggelam.

Doa Penutup:

Tuhan yang berdaulat atas angin dan ombak, ketika badai hidup mengamuk dan arah hilang, ajarlah aku untuk percaya kepada firman-Mu lebih dari keadaan. Ketika Engkau memintaku untuk diam, tolong aku untuk taat. Ketika Engkau memintaku untuk bertindak, beri aku keberanian dan hikmat. Jadikan imanku hidup — yang tidak hanya percaya dalam kata, tetapi juga dalam langkah. Seperti Paulus, kiranya aku tetap kuat di tengah badai, menjadi pembawa harapan bagi orang lain, dan menemukan bahwa setiap “kapal karam” adalah jalan menuju kasih-Mu yang lebih dalam. Dalam nama Yesus aku berdoa, amin.

Satu koin, dua sisi

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Filipi 4:6

Tentunya pada zaman ini banyak orang sudah terbiasa melalukan pembayaran online, dengan memakai credit card atau melalui bank transfer. Walaupun demikian, di Indonesia rakyat biasa masih akrab dengan penggunaan uang kertas, sekalipun uang logam atau koin sudah tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran sejak 1 Desember 2023. Begitu pula dengan uang koin Rp500 yang memilki gambar bunga melati dan berwarna kuning keemasan, baik TE 1991 maupun TE 1997, saat ini sudah tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran.

Di Australia, uang plastik dengan denominasi $5, $10, $20, $50 dan $100 masih dipakai dan uang koin logam juga masih ada sekalipun jarang dipakai kecuali untuk tabungan anak-anak. Koin Australia terdiri dari 5 sen, 10 sen, 20 sen, 50 sen, satu dolar, dan dua dolar . Koin $1 dan $2 berwarna emas. Sekalipun lebih berharga, koin $2 adalah lebih kecil daripada koin $1.

Pada zaman Alkitab, koin merupakan bagian penting dari sistem ekonomi, yang memfasilitasi perdagangan dan niaga. Penggunaan koin disebutkan dalam beberapa bagian Alkitab, yang mencerminkan signifikansinya dalam kehidupan sehari-hari dan praktik keagamaan.

Koin pada zaman kuno biasanya terbuat dari logam mulia seperti emas, perak, dan perunggu. Koin-koin tersebut sering kali dicap dengan gambar penguasa atau dewa, yang menandakan otoritas dan keaslian. Pengenalan koin di Alkitab dapat ditelusuri kembali ke abad ke-7 SM, dengan bangsa Lidia sering dianggap sebagai yang pertama mencetak koin. Pada waktu itu, koin adalah syarat untuk hidup karena tanpa koin orang tidak dapat membeli barang kebutuhan sehari-hari kecuali kalau bisa melakukan tukar menukar barang/jasa (barter). Selain itu, koin juga diperlukan untuk membayar pajak kepada penguasa dan persembahan di bait suci.

Kepingan logam yang sekarang dinamakan koin dalam Alkitab sering kali melambangkan kekayaan materi dan potensi tantangan moral yang terkait dengannya. Penggunaan keping uang logam dalam narasi Alkitab berfungsi sebagai pengingat akan sifat sementara dari harta benda dan nilai kekal dari kekayaan rohani. Melalui berbagai ajaran dan perumpamaan, Alkitab mendorong orang percaya untuk memprioritaskan hubungan mereka dengan Tuhan di atas kekayaan duniawi, menggunakan sumber daya mereka untuk melayani sesama dan memajukan kerajaan Allah. Walaupun demikian, orang percaya juga membutuhkan dan menggunakan koin untuk bisa hidup di dunia.

Paulus mencatat bahwa pengalamannya telah mengajarinya untuk mencukupkan diri dengan berkat-berkat materi apa pun yang dimilikinya. Ketergantungan pada kuasa Kristus ini tidak hanya memungkinkan orang percaya untuk merasa cukup, tetapi juga menghasilkan kedamaian dalam hubungan kita dengan sesama orang Kristen. Hal ini juga menuntut keputusan yang disengaja untuk mengarahkan perhatian kita pada hal-hal yang positif.

Nasihat Paulus adalah untuk berfokus pada kemampuan kita untuk bersukacita dalam persekutuan kita dengan Kristus. Hasil dari penekanan itu seharusnya berupa sikap “masuk akal”, yang terlihat oleh semua orang. Dengan fokus yang tepat pada hal-hal positif, kita dapat mengalami kedamaian melalui kuasa Allah.

Karena Tuhan sudah dekat, atau akan segera datang kembali (Filipi 4:5), orang percaya hendaknya mengatur hidup dan pikiran mereka dengan cara-cara tertentu. Paulus memulai dengan kontras antara kekhawatiran dan doa. Ia mencatat bahwa orang percaya tidak boleh “khawatir tentang apa pun.” Ini tidak berarti sama sekali tidak ada kekhawatiran. Ini juga tidak berarti orang Kristen harus ceroboh. Sebaliknya, ini berarti orang percaya tidak boleh takut, paranoid, atau gelisah. Mengapa tidak? Orang percaya dapat berbicara langsung dengan Allah, Pencipta langit dan bumi, yang memiliki segala kuasa dan otoritas, yang memegang kendali penuh atas situasi.

Sebagai orang Kristen, kita tidak berbeda dalam kebutuhan sehari-hari. Kita tentu memerlukan uang untuk membeli berbagai jasa atau produk yang kita perlukan. Sekalipun uang koin sudah tidak atau jarang dipakai, uang dalam berbagai bentuknya selalu kita bawa kemana saja. Uang dengan demikian, bisa menjadi sesuatu yang tanpanya kita tidak dapat hidup. Karena itu banyak orang merasa khawatir jika uang menyusut atau tidak cukup. Apa yang harus kita lakukan jika “koin” kita tinggal sedikit?

Sebagai orang percaya, kita pagi ini belajar dari dari ayat di atas bahwa sebuah koin yang kita butuhkan mempunyai dua sisi. Di satu sisi kita melihat perlunya permohonan kepada Tuhan, di sisi lain kita melihat adanya rasa syukur. Dengan demikian, bagi kita orang percaya, tidak mungkin bagi kita untuk memikirkan perlunya permohonan kepada Tuhan saja, tetapi kita juga perlu bersyukur atas apa yang sudah diberikan-Nya pada saat-saat yang telah lalu.

Alih-alih merasa cemas, orang percaya harus dengan rendah hati dan penuh syukur menghampiri Allah dengan apa pun yang ada dalam pikiran mereka. Doa yang dewasa mencakup bersyukur kepada Allah atas apa yang telah Dia lakukan, selain meminta bantuan di bidang-bidang yang membutuhkan. Ini adalah resep Kristen untuk mengurangi kecemasan di semua bidang kehidupan. Ini tidak berarti orang percaya akan menjalani hidup tanpa kekhawatiran. Ini juga tidak berarti bantuan tambahan tidak akan dibutuhkan. Namun, ayat ini menunjukkan bahwa mengatasi masalah dalam hidup kita harus dimulai dengan doa.

Dalam surat Paulus kepada jemaat Filipi, ada sejumlah hal yang mungkin mereka khawatirkan. Paulus menulis surat ini ketika ia sedang menjalani tahanan rumah, atas izin Kekaisaran Romawi. Jemaat di Filipi telah mendukung pekerjaan misionarisnya, dan mereka mungkin mengkhawatirkan kesejahteraannya (Filipi 1). Rupanya, ada perselisihan di gereja dengan orang-orang yang bertindak egois, dan mereka perlu berfokus pada teladan Kristus (Filipi 2). Guru-guru palsu juga berusaha menggoyahkan keyakinan mereka kepada Kristus (dan ajaran Paulus) dengan mengajarkan bahwa suatu bentuk ketaatan kepada Hukum Taurat diperlukan untuk keselamatan (Filipi 3). Dan, akhirnya, perselisihan di gereja telah mencapai titik sedemikian rupa sehingga Paulus memanggil dua perempuan dengan nama mereka dan meminta mereka untuk rukun (Filipi 4:2).

Paulus kemudian mengakhiri suratnya dengan nasihat dalam Filipi 4:4 untuk “bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Di sini, jemaat menghadapi tekanan eksternal dan masalah internal, dan mereka mungkin bertanya-tanya apakah mungkin untuk merayakannya dengan sukacita.

Jika keputusasaan atas masalah yang dibahas dalam surat itu (atau hal lainnya) merampas sukacita jemaat Filipi, maka Paulus memberikan solusinya dalam Filipi 4:6. Tidak perlu resah dan khawatir tentang keadaan. Solusinya adalah menyerahkan masalah kepada Dia yang Mahakuasa yang sungguh-sungguh dapat mengatasinya. Jemaat Filipi harus berdoa dalam segala situasi, menyampaikan permohonan mereka kepada Tuhan dan memanjatkan doa syukur atas apa yang telah Tuhan lakukan. Satu koin dengan dua sisi.

Paulus tidak berjanji bahwa Tuhan akan melakukan setiap hal yang mereka minta. Mereka tidak diberi cek kosong. Namun, ia berjanji bahwa ketika jemaat Filipi berdoa tentang berbagai hal, Allah akan mengubah jemaat Filipi itu sendiri:

“Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Filipi 4:7

Ketika mereka sungguh-sungguh berdoa tentang masalah mereka dan memilih untuk bersyukur, Allah akan memberi mereka damai sejahtera.

Meskipun ditulis untuk jemaat Filipi, prinsip Filipi 4:6 berlaku untuk semua orang percaya. Ketika kita memiliki masalah dan kekhawatiran, kita sering lupa untuk mendoakannya. Kemudian, ketika kita berdoa, kita mungkin berpikir bahwa satu-satunya pertolongan yang dapat Allah berikan adalah mengabulkan permohonan yang telah kita ajukan dan mengubah situasi. Allah mungkin saja melakukannya. Dia memiliki kuasa untuk mengubah situasi apa pun, tetapi Dia tidak akan terbatas pada itu. Allah tidak berjanji untuk mengubah setiap situasi sesuai keinginan kita. Yang Dia janjikan adalah memberi kita damai sejahtera dalam situasi apa pun. Dengan kata lain, Allah mungkin mengubah keadaan atau mungkin tidak, tetapi Dia akan mengubah watak kita terhadapnya sehingga hal itu tidak menyebabkan kekacauan batin dalam diri kita.

Secara praktis, Filipi 4:6 memberi kita contoh doa yang perlu kita panjatkan ketika kita cemas atau khawatir. Pertama, kita menolak kekhawatiran: jangan cemas tentang apa pun. Kemudian, kita cukup meminta kepada Tuhan apa yang kita butuhkan: dalam setiap situasi, dengan doa dan permohonan, sampaikan permohonan kita kepada Tuhan. Dan kita bersyukur kepada-Nya atas semua yang telah Dia lakukan: dengan ucapan syukur. Akhirnya, kita beristirahat, mengetahui bahwa Dia mengasihi kita dan akan mengerjakan segala sesuatu untuk kebaikan kita dan kemuliaan-Nya. Damai sejahtera Allah pun menjadi milik kita karena kita bisa menghitung berkat Tuhan selama ini satu persatu.