Mengenali faham hyper-calvinisme

“Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, – supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya” Roma 9: 11

Pernahkah Anda bertemu dengan orang Kristen yang sangat bersemangat dalam mengajarkan teologi pemilihan (predestinasi) dan selalu menekankan bahwa Tuhan sudah menentukan orang yang akan diselamatkan dan orang yang akan dibinasakan dari mulanya? Orang hyper-Calvinis adalah mereka yang meyakini kalau Allah akan menyelamatkan orang-orang pilihan-Nya semata-mata berdasarkan kedaulatan-Nya, dengan sedikit ataupun sama sekali tidak menggunakan metode apapun untuk menjangkau manusia yang lain (apakah melalui penginjilan, khotbah, dan doa). Bertentangan dengan ajaran Alkitab, pandangan ini terlalu menekankan soal kedaulatan Allah, sampai-sampai mengabaikan tanggung jawab manusia terkait pemberitaandan penerimaan Injil.

Tanda yang jelas dari hyper-Calvinis adalah kurangnya hasrat untuk memberitakan Injil kepada mereka yang sama sekali belum mengenal Kristus dan keseganan mengajarkan hidup baik kepada sesama orang Kristen. Kebanyakan gereja atau denominasi yang menyakini teologi hyper-Calvinis ini biasanya akan memiliki ciri-ciri: fatalisme, dingin, dan hampir tidak memiliki kepastian akan imannya. Hampir tidak ada penekanan atas kasih Allah bagi mereka yang masih “tersesat” dan umat-Nya. Sebaliknya, pengajaran mereka dalam gereja mereka hanya seputar soal kedaulatan Allah, keselamatan bagi orang-orang pilihan-Nya, dan murka bagi mereka yang tidak dipilih-Nya. Injil yang diberitakan kelompok hyper-Calvinis kurang lebih hanya mengenai keselamatan bagi orang-orang pilihan-Nya dan kebinasaan bagi mereka yang tidak. Selain itu, mereka sering mentatakan rasa tidak senang kepada ajaran yang menegaskan bahwa setiap umat Kristen harus bertanggungjawab atas hidupnya.

Hyper-Calvinis (aliran Reformed keras) memegang doktrin yang alkitabiah terkait kedaulatan Allah, tapi mereka memahaminya secara ekstrim sampai kemudian menjadi tidak alkitabiah. Mereka telah mengabaikan kasih Allah dan pentingnya melakukan penginjilan. Alkitab dengan jelas menyatakan kalau Allah berdaulat atas alam semesta ini, termasuk keselamatan bagi umat manusia. Walaupun menyatakan kedaulatan Allah, Alkitab juga menyatakan hasrat Allah menyelamatkan manusia terkait kasih-Nya, tetapi juga menegaskan perlunya pertobatan manusia yang berdosa. Sarana untuk menyelamatkan adalah melalui pemberitaan Firman-Nya kepada mereka yang belum mengenal Allah atau belum mau menerima anugerah-Nya (Roma 10:14-15). Alkitab juga menyatakan kalau kita memang memiliki hasrat dan tekad untuk memberitakan Injil kepada dunia; sebagai wakil Kristus, kita harus “memohon” orang-orang agar mau untuk diperdamaikan dengan Allah:

“Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” 2 Korintus 5:20-21

Bagi sebagian orang Kristen, kepercayaan atas keselamatan mereka adalah sebuah keyakinan. Tetapi, jika mereka ditanya bagaiman mereka bisa menerima keselamatan, sebagian besar orang Kristen dari golongan apa saja akan menjawab bahwa keselamatan mereka semata-mata karena anugerah Tuhan. Walaupun demikian, ada pertanyaan kapankah Tuhan memutuskan untuk memberi keselamatan kepada mereka. Apakah keselamatan kita sudah ditentukan (predestinasi) sebelum dunia diciptakan atau sesudahnya?

Ada dua pendapat utama mengenai urutan di atas (sebenarnya ada banyak pendapat, tetapi kita hanya membahas dua di antaranya). Supralapsarianisme – supra yang berarti “di atas” atau “sebelum” dan lapsum yang berarti “jatuh”- merupakan pandangan yang berpendapat bahwa ketetapan Tuhan untuk menyelamatkan umat pilihan terjadi sebelum Ia menciptakan dunia dan mengizinkan kejatuhan manusia. Infralapsarianisme, di sisi lain, menegaskan bahwa ketetapan Tuhan untuk menyelamatkan umat pilihan terjadi setelah ketetapan-Nya yang terkait dengan penciptaan dan kejatuhan (infra berarti “di bawah” atau “setelah”).

Pandangan orang hyper-calvinis biasanya bersifat supralapsarian yang menggarisbawahi kedaulatan Tuhan yang tinggi. Apa alasannya? Sebelum si kembar Yakub dan Esau melakukan sesuatu yang baik atau buruk, Tuhan sudah mengasihi Yakub dan membenci Esau (Roma 9:11). Jadi, menurut pandangan supralapsarian, Tuhan pertama-tama pasti bermaksud untuk menetapkan sebagian orang untuk diselamatkan dan sebagian lagi untuk dibinasakan. Kemudian Tuhan memberikan firman-Nya dan menetapkan kejatuhan manusia agar kemuliaan-Nya dalam pemilihan dan penolakan manusia dapat diwujudkan. Sebagai alasan, orang hyper-calvinis menyatakan bahwa Tuhan yang mahakuasa boleh saja berbuat apa yang dimaui-Nya.

Pada pihak yang lain, posisi infralapsarian menyoroti belas kasihan dan kasih Tuhan. Ayat Roma 9:11, menurut pandangan infralapsarian hanyalah sebuah pernyataan tentang beda kasih Tuhan kepada dua orang, dan tidak ada hubungannya dengan keputusan untuk menyelamatkan yang satu dan membinasakan yang lain. Roma 9:14 menggambarkan pemilihan sebagai Allah yang berbelaskasihan kepada siapa Ia akan berbelaskasihan. Jika demikian, ketetapan Allah untuk menyelamatkan haruslah terjadi setelah ketetapan-Nya untuk mengizinkan kejatuhan; jika tidak, bagaimana belas kasihan bisa muncul sebelum kejatuhan?

Sebenarnya, posisi infralapsarianlah yang diajarkan kepada pengikut Calvin (aliran Reformed) seperti yang dinyatakan dalam Canons of Dort. Itu terdiri dari pernyataan doktrin Protestan yang diadopsi oleh Sinode Dort yang bertemu di kota Dordrecht pada tahun 1618-19. Meskipun merupakan sinode nasional dari gereja-gereja Reformasi Belanda, sinode ini bersifat internasional, karena tidak hanya terdiri dari delegasi Belanda tetapi juga 26 delegasi dari delapan negara asing.

Tetapi, sampai sekarang ada sebagian orang Reformed yang sama sekali tidak (mau) mengerti bagaimana menyerasikan prinsip kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusiawi manusia. Mereka ingin menyelamatkan Tuhan dari tindakan “bebas” manusia (seolah-olah Tuhan perlu diselamatkan) sehingga dengan mengorbankan adanya kewajiban dan peranan manusia, mereka hampir secara eksklusif hanya mempertimbangkan kedaulatan Tuhan. Meskipun Alkitab menekankan tanggung jawab manusia dalam tugas mereka terhadap Tuhan, golongan ini mati-matian akan menyangkal hal ini.

Penafsiran Alkitab melalui segi Supralapsarianisme sering menyebabkan kesalahan teologi. Supralapsarianisme menegaskan bahwa ketetapan-Nya dari awal, adalah untuk mengutuk beberapa orang dan menyelamatkan orang lain hanya menurut kehendak-Nya. Padahal, manusia tidak dapat diselamatkan atau dikutuk tanpa kejatuhan. Kaum pendukung Supralapsarianisme mengajarkan bahwa Tuhan menyelamatkan dan menghukum menurut pilihan-Nya dari awalnya, tanpa mempertimbangkan keadaan manusia yang jatuh. Ini berarti meminta pertanggungjawaban makhluk atas dosa yang tidak mereka lakukan, atau yang tidak diperhitungkan kepada mereka. Bagaimana Tuhan bisa mahaadil? Teolog termasyhur R.C. Sproul menulis bahwa ketika manusia menghadap Tuhan untuk diadili, tidak akan ada seorang pun yang bisa mengingkari kesalahan/dosa mereka.

Dalam kenyataannya, pandangan supralapsarian menyebabkan sebagian orang cenderung merasa sudah dipilih untuk ke surga tanpa perlu memikirkan cara hidup mereka, karena ‘nasib’ mereka sudah ditentukan sebelum dunia dijadikan. Ini tentunya sama sekali tidak dapat dibenarkan. Mengapa begitu?

  • Manusia tidak dapat menjadi objek pilihan Tuhan tanpa terlebih dahulu menjadi entitas yang nyata. Non-entitas tidak bisa menjadi objek kemarahan atau kasih Tuhan.
  • Belas kasihan dan keadilan Tuhan adalah bagian integral dari pilihan dan penolakan Tuhan. Menganggap manusia ditakdirkan, tanpa mempertimbangkan kejatuhan yang dikaitkan dengan mereka, akan menyalahgunakan gagasan tentang keadilan dan belas kasihan Tuhan.
  • Semua manusia dapat dianggap ditakdirkan jika pilihan Tuhan terjadi ketika manusia masih berupa non-entitas. Kalau keputusan Tuhan sudah ada sebelum penciptaan, cara hidup manusia (termasuk cara hidup umat Israel) tidaklah perlu dipersoalkan oleh Tuhan.
  • Dosa bukanlah akibat kutukan, tetapi kutukan adalah akibat dosa. Tuhan tidak mungkin baik, atau bijak, untuk menghukum manusia tanpa alasan. Tanpa kejatuhan Dia tidak akan melakukan hal itu.

Pagi ini, kita melihat bahwa Tuhan telah mengungkapkan diri-Nya dan karya-karya-Nya kepada kita dan membawa kita ke dalam dua pengertian yang berbeda. Satu pengertian menunjukkan kepada kita Tuhan dari sudut pandang ketetapan-ketetapan-Nya. Yang lainnya adalah perspektif tindakan dan keinginan Tuhan dalam aktivitas alam manusia. Menolak yang satu dengan mengorbankan yang lain bisa membuat kita jatuh ke pandangan ekstrem. Sebagaimana penginjil Reformed terkenal yang bernama Charles Spurgeon (1834-1892) pernah berkata: “Tidak seorang pun akan mendapatkan pandangan yang benar tentang Injil sampai dia tahu bagaimana melihat dua garis sekaligus.” Sebuah kebenaran yang akan kita lihat ketika kita berjumpa dengan Tuhan. Sementara kita hidup di dunia, kita harus menerima kenyataan bahwa Tuhan 100% berdaulat atas apa pun yang sudah dan akan terjadi, dan manusia 100% harus bertanggungjawab kepada Tuhan atas hidup dan perbuatan mereka seperti apa yang terjadi pada Adam dan Hawa.

Ajaran Kristus adalah yang terpenting

“Setiap orang yang tidak tinggal di dalam ajaran Kristus, tetapi yang melangkah keluar dari situ, tidak memiliki Allah. Barangsiapa tinggal di dalam ajaran itu, ia memiliki Bapa maupun Anak.” 2 Yohanes 1: 9

Apakah Anda pergi ke gereja secara rutin pada hari Minggu? Jika ya, tentunya Anda tahu siapa yang menjadi gembala gereja Anda. Anda mungkin tahu latar belakang pendidikan teologi beliau, dan juga tahu apa yang menjadi dasar pengajaran dan iman gereja. Jika gereja anda percaya kepada Allah Tritungal, besar kemungkinan bahwa Anda adalah pengikut ajaran yang benar. Itu adalah pemikiran banyak anggota gereja, tetapi belum tentu benar. Mengapa begitu?

Ada banyak gereja di zaman ini yang sudah terpengaruh oleh faham duniawi, termasuk ajaran yang mengakui pernikahan sejenis dan yang memakai teologi yang berbau ajaran Zaman Baru (New Age) dan psikologi. Semua itu nampaknya sesuai dengan zaman sekarang dan cukup menarik terutama untuk kaum muda yang merasa bahwa ajaran zaman dulu sudak ketinggalan zanan. Walaupun demikian, banyak gereja yang tidak mempunyai organisasi dan teologi yang baik sering dipengaruhi oleh ajaran dan pandangan yang menyimpang dari ajaran Kristus. Banyak gereja yang terkenal, yang menjadi besar bukan karena Yesus, tetapi karena pendeta, musik atau teologinya yang berbeda dengan gereja-gereja “tradisional”.

Satu hal yang sangat penting, untuk tidak dikatakan terpenting, dalam kehidupan gereja dan pertumbuhan iman umatnya, adalah ajaran atau doktrin gereja. Doktrin adalah hal yang penting untuk mengarahkan pengertian jemaat agar tidak tersesat, tidak terpecah-pecah dan tidak dipengaruhi olen ajaran manusia. Doktrin harus memiliki kesatuan pengertian yang sistimatis, agar menjadi kesatuan yang utuh tentang firman Tuhan, yaitu kehendak Tuhan yang sudah dinyatakan dalam Alkitab. Doktrin adalah berguna, selama itu tidak bertentangan dengan ajaran Yesus.

Alkitab secara keseluruhan dipercaya dengan akurat dalam mengambarkan Yesus Kristus. Akan tetapi dalam pemahamannya banyak ditemukan bahwa pengertian yang dihasilkan manusia sering bertentangan dengan Alkitab. Sejarah membuktikan bahwa gereja selalu berhadapan dengan pengajaran-pengajaran sesat yang menyerang gereja dari dalam. Dalam hal ini berbentuk ajaran-ajaran yang menyesatkan atau bidat-bidat yang menyelewengkan ajaran murni Alkitab. Bahaya ajaran-ajaran sesat ini tidak saja timbul pada abad-abad belakangan ini, melainkan sudah ada sejak gereja didirikan.

Patut dicatat bahwa Yesus juga memberikan doktrin kepada murid-murid-Nya. Ia memberikan berbagai pesan, perintah, perumpamaan, dan berbagai pernyataan ilahi. Tetapi, terlalu banyak gereja di zaman ini yang memusatkan perhatian kepada doktrin ciptaan manusia yang seolah menjadi pusat perhatian dan ibadah. Bukannya memberirakan firman Tuhan yang kekal, gereja-gereja itu menampilkan doktrin-doktrin sebagai pesan dari Tuhan yang baru dinyatakan atau bisa dimengerti.

Memang, di zaman paska modernisasi ini, banyak doktrin adalah buatan manusia, yang makin merasa pandai, berdasarkan pengertian manusia atas apa yang difirmankan Tuhan dalam Alkitab. Karena itu, penekanan yang berlebihan atas ajaran satu doktrin bisa membuat jemaat lupa bahwa tidak ada satu doktrin pun yang bisa menggantikan firman Tuhan. Kepercayaan kepasa satu doktrin yang “paling benar” juga membuat orang malas untuk belajar apa yang diperbuat, yang disaksikan dan dikatakan oleh Yesus dan murid-murid-Nya. Pemusatan pikiran pada doktrin juga akan membuat orang memuja doktrin dan penciptanya, melaksanakan dokttin atau ajaran manusia, dan bukannya memuja Tuhan dan melaksanakan perintah Yesus.

Kristologi adalah merupakan pokok terpenting dalam ajaran iman Kristen. Kristologi juga bisa disebut sebagai pusat kekristenan itu sendiri, dengan itu kristologi adalah pusat dari ilmu teologi. Karenanya adalah lebih penting bagi jemaat Kristus untuk mempelajari pribadi dan karya Kristus. Yesus Kristuslah yang memberikan identitas kepada kekristenan, yang sekaligus membedakannya dari agama atau kepercayaan yang lain. Bukan tokoh-tokoh gereja seperti Agustinus, Martin Luther, John Calvin atau Joseph Arminius. Keistimewaan doktrin Kristologi yang benar terletak dalam dua hal: pribadi dan karya Yesus Kristus sebagai Tuhan yang menjadi satu-satunya jalan menuju kepada keselamatan yang kekal, dan juga kepada perlunya pertobatan perubahan hidup manusia karena pekerjaan Roh Kudus. Bukan salah satu, tapi keduanya.

Pagi ini, biarlah kita mengerti bahwa pemahaman yang benar terhadap doktrin Kristologi tidak lepas dari pengetahuan yang sehat terhadap Alkitab, sebab Alkitablah satu-satunya sumber utama yang dengan jujur dan terbuka memberikan kesaksian mengenai pribadi Yesus sebagai juruselamat dunia.

Setiap orang Kristen harus mengerjakan keselanatannya

“Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” Filipi 2: 12-13

Apa yang menyebabkan seseorang mengerjakan sesuatu? Mungkin itu perlu untuk mencari nafkah. Selain itu mungkin karena apa yang dikerjakan adalah bagian dari cara hidupnya. Ada juga kemungkinan bahwa apa yang dikerjakan adalah diharuskan oleh yang berwenang. Atau mungkin juga itu karena suatu hobi. Semua itu mudah dimengerti jika bertalian dengan hidup manusia di dunia. Tetapi bagaimana jika apa yang harus dikerjakan adalah bersangkutan dengan kehendak Tuhan? Mungkin jarang orang yang melakukan hal itu dengan benar karena berbagai alasan.

Jika seseorang bukan Kristen, sudah pasti mereka tidak dapat mengerti apa kehendak Tuhan yang ada dalam Alkitab. Tetapi, jika orang itu mengaku Kristen, mungkin saja ia jarang mempelajari firman-Nya. Selain itu, ada orang Kristen yang tidak percaya bahwa mereka tetap harus bekerja untuk Tuhan dan sesama, karena mereka merasa sudah diselamatkan. Ada juga orang Kristen yang percaya bahwa jika mereka tidak dapat bekerja untuk kemuliaan Tuhan, itu adalah sudah ditentukan Tuhan.

Ayat di atas beralih dari fokus Paulus pada kerendahan hati Kristus menjadi kebutuhan orang Kristen untuk menghidupi iman mereka untuk dilihat dunia (Filipi 2: 8-10). Dia mencatat peralihannya dengan menggunakan “oleh karena itu”, mengacu pada pembacanya sebagai “kekasihku” atau orang yang dicintai. Paulus juga akan menggunakan rujukan ini kepada orang Kristen Filipi dalam Filipi 4:1. Dalam kedua konteks tersebut, fokusnya adalah untuk menekankan kasihNya kepada pembacanya, yaitu orang Kristen yang sudah diselamatkan, dan sekaligus memberi mereka perintah untuk dipatuhi.

Paulus mencatat orang-orang Filipi dengan setia mengikuti ajarannya apakah dia bersama mereka, atau tidak. Mengikuti instruksi seorang guru ketika mereka tidak hadir adalah ujian kesetiaan yang terakhir, dan orang Kristen Filipi telah melakukan hal itu. Selama tahun-tahun mereka berpisah, Paulus tetap berhubungan dengan kelompok orang percaya ini. Bab 4 membahas beberapa kali mereka telah mengirimkan kepadanya sumbangan keuangan untuk membantu dia dalam pelayanannya.

Paulus juga memberikan perintah dengan menggunakan ungkapan yang aneh dan sering disalahpahami: “kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar.” Pernyataan unik ini berbicara tentang ketaatan yang berkelanjutan bagi mereka yang telah diselamatkan. Sangat penting untuk dicatat bahwa Paulus tidak mengatakan kepada mereka untuk bekerja demi keselamatan mereka. Pernyataan ini menyiratkan kebutuhan untuk menghidupi—untuk mempraktikkan, mendemonstrasikan, dan menunjukkan—keselamatan yang dimiliki orang percaya di dalam Kristus.

Konsep “takut dan gentar” membahas rasa hormat yang memuja kepada Tuhan. Ini bergema kembali ke konteks setiap lutut yang bertekuk lutut di hadapan Tuhan yang disebutkan dalam ayat 11. Banyak orang Kristen yang tidak mengerti bahwa keselamatan yang sudah dikaruniakan kepada mereka bukanlah surat izin untuk berbuat dosa, mengerjakan apa saja untuk kenikmatan pribadi dan untuk melupakan adanya kewajiban sebagai hamba Allah.

Paulus menulis bahwa Allahlah yang memberi jemaat Filipi baik kemauan maupun pekerjaan menurut keputusan-Nya. Setiap orang Kristen sudah diberi tugas dan kemampuan untuk bekerja demi kemuliaan-Nya. Setiap umat Kristen harus menyadari hal itu dengan rasa takut dan gentar, dalam arti dengan sungguh-sunnguh, dan tidak mengabaikan atau menghindarinya.

Orang yang sudah diselamatkan pasti akan mengerti peringatan Paulus ini karena mereka sadar akan kasih dan kuasa Allah yang sudah mengaruniakan anugerah-Nya. Tetapi, mereka yang belum lahir baru tidak akan benar-benar bisa mempunyai rasa takut dan gentar kepada Allah. Mereka tidak akan merasa perlu untuk berubah dari hidup lamanya. Mereka tidak pernah merasa perlu untuk bersungguh-sungguh dalam mempraktikkan keselamatan yang terasa sudah dalam genggaman. Mereka justru tidak pernah menganjurkan orang lain untuk hidup baik demi kemuliaan Tuhan.

Hal mengecewakan Allah

“Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya?” Galatia 4: 8-9

Sebagian orang Kristen membayangkan karakter Allah adalah mirip dengan karakter manusia. Bukankah manusia diciptakan menurut gambat-Nya? Allah tentunya bisa marah, senang, cemburu dan sebagainya. Itu ada benarnya, sekalipun harus dimengerti dalam konteks keilahian Allah. Allah yang mempunyai kemiripan dengan manusia adalah Oknum Ilahi yang mahasuci, mahakasih, mahatahu, mahabenar, mahabijaksana dan mahakuasa. Karena itu, dalam semua reaksi-Nya atas perbuatan manusia, Allah tidak mungkin berdosa atau membuat kesalahan.

Bagaimana dengan rasa kecewa? Dapatkan Tuhan merasa kcewa atas hidup manusia? Rasa kecewa adalah suatu perasaan yang menyesali terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan. Bagaimana Tuhhan bisa merasa kecewa jika Ia tahu semua yang akan terjadi, dan Ia tahu bahwa manusia akan jatuh dalam dosa? Bagaimana Ia bisa menyesali apa yang diperbuat-Nya? Bukankah Ia adalah Tuhan yang tidak dapat membuat kekeliruan?

Pada pihak yang lain, bukankah Tuhan yang mendatangkan banjir di zaman Nuh, karena Ia merasa menyesali kelakuan manusia dan marah atas kedurhakaan manusia? Bahkan Ia juga yang dalam kekecewaan-Nya dan kemarahan-Nya sudah membiarkan Anak-Nya untuk mati di kayu salib?

Satu hal yang penting disadari bahwa dalam kemarahan-Nya, Allah tidak bisa membuat kesalahan karena Ia adalah Tuhan menetapkan segala apa yang ada di alam semesta. Semua yang terjadi adalah sesuai dengan rencana-Nya, dan Ia tidak terikat oleh hukum yang dibuat-Nya untuk manusia dan alam semesta. Walaupun demikian, Tuhan dalam kemarahan-Nya juga tidak melampiaskan muka-Nya tanpa alasan; lebih dari itu Ia selalu mempertimbangkan semua keputusan-Nya dengan tidak menanggalkan kasih-Nya yang amat besar kepada mereka yang beriman kepada-Nya.

Bagaimana pula dengan rasa kecewa Tuhan yang sering muncul dalam Alkitab? Rasa kecewa yang ditunjukkan oleh rasul Paulus dalam ayat di atas mungikin dapat menggambarkan rasa kecewa Tuhan kepada umat-Nya yang sesudah mengenal Allah, atau lebih tepat, sesudah dikenal Allah, mereka kemudian berbalik lagi kepada hal-hal duniawi dan menghambakan diri mereka kepada apa yang tidak berguna. Tetapi, rasa kecewa Tuhan kepada orang yang dipilih-Nya adalah bukan rasa kecewa atas umat-Nya, tetapi rasa kecewa untuk umat-Nya. Rasa kecewa yang membuat Dia mengingatkan mereka atas dosa dan kekeliruan mereka. Kekecwaan Allah kepada umat-Nya selalu didasarkan oleh kasih-Nya yang ingin membimbing mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Banyak orang Kristen yang yakin sudah dikenal Tuhan dan dijadikan-Nya sebagai umat-Nya, tidak merasakan rasa kecewa Tuhan untuk mereka, karena mereka tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhan. Hati mereka tidak lagi peka. Mereka menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi, termasuk hal-hal yang nampaknya rohani, tetapi sebenarnya bukan untuk kemuliaan Tuhan. Mereka tidak sadar bahwa Tuhan merasa kecewa, merasa sedih untuk mereka.

Hari ini marilah kita renungkan hidup kita saat ini. Mungkin kekeliruan seperti apa yang dilakukan jemaat di Galatia juga yang kita buat saat ini. Tuhan merasa sedih bukan atas hidup kita, tetapi merasa sedih untuk kita. Ia tidak henti- hentinya mengingatkan kita untuk kembali kepada-Nya. Ia menunggu kita untuk kembali mementingkan apa yang difirmankan-Nya untuk dilaksanakan dalam hidup kita. Tuhan ingin kita hidup sebagai umat yang memancarkan terang-Nya ke seluruh pelosok dmia. Keputusan ada di tangan kita, apakah kita mau menurut bimbingan Roh Kudus dan berbalik kepada-Nya.

Perintah Tuhan untuk mereka yang sudah lahir baru

“Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus, yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.” Efesus 4: 21-24

Anda sudah lahir baru? Pertanyaan ini mungkin pernah anda dengar. Jika Anda mengaku percaya kepada Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus, sudah tentu Anda akan menjawa “ya”. Setelah kita dilahirkan kembali, di dalam Kristus kita telah dibangkitkan dari keadaan mati kita secara rohani, untuk masuk ke hidup yang baru.

Apakah setelah lahir baru kita boleh merasa lega karena Tuhan sudah memilih kita? Seperti apa yang terjadi pada murid-murid Yesus ketika mereka dipilih oleh Yesus untuk mengikut Dia, tugas kita belum berakhir, tetapi justru baru dimulai. Kita yang pernah diperbudak oleh dosa dan keinginan daging kita sendiri, tidak akan mudah melepaskan diri dari ekses-eksesnya. Sebab itu, sekarang sebagai orang percaya kita harus “menanggalkan” hal-hal daging dan “mengenakan” hal-hal tohani (Efesus 4:21-24).

Dilahirkan kembali dimaksudkan untuk membalikkan cara hidup kita yang dulunya terpisah dari Kristus. Dan karena itu, kita harus meninggalkan dunia dan kekuasaannya atas kita. Inilah yang Paulus perintahkan untuk dilakukan oleh setiap orang percaya dalam Efesus 4:17-19.

Dalam Efesus 4, Paulus dengan nada serius memperkenalkan pengajarannya melalui peringatan yang sungguh-sungguh akan pentingnya apa yang akan dia katakan:

Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan: Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia.” Efesus 4: 17

Paulus mengklaim bahwa kata-katanya bukan dari dia sendiri. Apa yang akan dia katakan adalah instruksi dari Tuhan. Perintah Paulus adalah perintah Kristus. Paulus menetapkan perintah yang harus diperhatikan oleh semua orang Kristen. Perintah apakah itu?

Pertama, iman kepada Kristus menuntut perubahan radikal dalam gaya hidup orang percaya dari cara dia berperilaku dulu. Paulus yang pernah hidup dengan cara duniawi, dengan kuasa Roh Kudus kemudian bisa meninggalkan dan menolaknya. Karena itu, perintah Paulus adalah untuk berhenti hidup seperti dulu dan menempuh hidup baru dengan cara yang memuliakan Tuhan.

Kedua, perintah ini berkaitan dengan hubungan baru orang Kristen dengan dunia. Dulu, sebagai bagian dari sistem dunia, kita diasingkan dari Allah dan asing bagi kerajaan-Nya. Sekarang, sebagai orang-orang di dalam Kristus, kita adalah warga kerajaan Allah dan anggota tubuh-Nya, sekalipun kita masih hidup sebagai orang asing dan peziarah ke dunia ini (lihat Ibrani 11:13-16; 1 Petrus 1:1; 2:11).

Dunia kita saat ini adalah adalah budaya tempat kita hidup, yang berusaha menekan kita untuk menyesuaikan diri dengan nilai, standar, tujuan, dan perilakunya. Dunia yang paling memengaruhi kita adalah budaya tempat kita dibesarkan. Dunia ini seringkali membuat kita acuh tak acuh atas kebenaran Alkitab sebagai firman Tuhan. Itu adalah hidup “normal” menurut lingkungan kita.

Kekristenan, menurut Paulus, sering melintasi batas budaya kita, dan dengan demikian kita harus memutuskan untuk mengikuti Kristus dan berhenti mengikuti aturan dunia tempat kita hidup. Tekanan teman sekerja atau siapa pun yang bertentangan dengan kehendak Allah dan Firman-Nya seharusnya ditolak oleh orang Kristen, agar dia dapat berjalan sesuai dengan panggilan yang telah kita terima (Efesus 4:1).

Ketiga, Paulus berpendapat bahwa perilaku moral manusia adalah hasil dari proses mentalnya. Pemikiran yang dominan di sini, seperti yang kita temukan di tempat lain di Efesus, adalah bahwa doktrin kekristenan yang kita anut akan menentukan tingkah laku kita. Apa yang kita yakini memengaruhi cara kita berperilaku. Jika kita percaya bahwa kita sudah dipilih Tuhan, tetapi kurang yakin kalau Tuhan menyuruh kita untuk berubah dari hidup lama kita, mungkin kita mempunyai pengertian yang keliru tentang kehendak Tuhan. Mungkin juga kita belum mengenal Dia yang mahasuci.

Pagi ini, kita harus sadar bahwa jika kita puas dengan cara hidup kita, itu mungkin berarti kita merasa sudah sempurna. Atau mungkin, kita merasa tidak dapat berbuat apa-apa melawan “nasib” dan “kodrat” kita. Semua itu tidak benar, karena Tuhan jelas menyatakan melaui rasul Paulus bahwa perubahan hidup kita adalah suatu proses yang diperintahkan-Nya bagi kita untuk dilaksanakan. Kita harus tetap berusaha menanggalkan apa yang buruk, dan mengenakan apa yang baik, selama kita hidup di dunia.

Mengapa kita harus berusaha untuk hidup baik

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”Roma 12: 2

Sebagian besar orang Kristen tahu bahwa mereka harus hidup baik. Walaupun demikian, sebagian lagi memilih untuk tidak menekankan hal ini dengan alasan bahwa penekanan atas hidup baik seakan menunjukkan bahwa anugerah Tuhan adalah tidak cukup untuk menjamin keselamatan. Perbedaaan pendapat ini seringkali menimbulkan perdebatan antar umat Kristen, sekalipun dalam kenyataannya tidak ada orang Kristen yang percaya bahwa keselamatan dapat diperoleh dari perbuatan baik (seperti yang diajarkan dalam agama lain).

Semua orang Kristen percaya bahwa keselamatan dan iman datang dari Tuhan. Jadi mengapa orang Kristen harus berbuat baik? Hidup baik berarti hidup dengan melakukan apa yang baik untuk menyatakan kasih kita kepada Tuhan dan kepada sesama. Kita tahu bahwa hukum yang utama bagi setiap orang Kristen bukanlah hukum Taurat, tetapi dua hukum yang merupakan inti dari hukum Taurat:

“Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Jawab Yesus kepadanya: ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Matius 22:36-40

Pelaksanaan hukum yang utama adalah bukan saja tanda orang percaya, tetapi adalah syarat untuk menjadi orang benar-benar percaya. Mengapa begitu? Suksesnya sesorang dalam menjalankan hukum ini memang bukan kunci keselamatan, tetapi kemauan sesorang untuk selalu berusaha melakukan hukum ini adalah tanda bahwa orang itu adalah orang Kristen sejati, orang yang sudah dipilih. Mereka yang bukan orang percaya susah tentu tidak akan memahami hukum Tuhan ini, sedangkan mereka yang mengaku percaya pasti tidak dapat menghindarinya. Perintah Tuhan ini berlaku atas semua orang percaya, sekalipun Tuhan tahu bahwa tidak ada seorang pun yang bisa melaksanakannya dengan sempurna. Kita ingat bahwa pada waktu Yesus memerintahkan Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya, Ia tahu bahwa Petrus jauh dari sempurna.

Tuhan memberikan perintah untuk hidup baik, dan ini tidak boleh diingkari dengan alasan bahwa kita tidak dapat menyelamatkan diri kita dari kematian akibat dosa dengan berbuat baik. Kita tidak dapat menolaknya dengan alasan kita tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna. Itu karena kita adalah orang yang sudah dipilih menjadi hamba-Nya. Seorang hamba harus taat kepada tuannya. Perintah Tuhan untuk hidup baik yang muncul berkali-kali dalam Alkitab adalah perintah untuk orang percaya yang sudah diselamatkan, agar selama hidup di dunia mereka mempunyai relasi yang baik dengan Tuhan dan sesamanya. Ia tidak memberikan kedua hukum ini dan berbagai petunjuk hidup baru lainya untuk mereka yang tidak percaya, karena mustahil bagi mereka untuk bisa mengerti dan mau melaksanakannya tanpa bimbingan Roh Kudus.

Sebagian orang Kristen kurang mau memikirkan perintah Tuhan ini dengan alasan bahwa kemampuan setiap orang Kristen adalah berbeda, dan itu sudah ditetapkan Tuhan. Karena itu Tuhan yang sudah memilih mereka, sudah pasti akan mengerti mengapa mereka tidak dapat memaksakan diri untuk berbuat baik dan hidup baik. Mereka berpendapat bahwa penekanan akan pentingnya hidup baik akan mengurangi penghargaan atas kedaulatan Tuhan yang sudah memberi anugerah keselamatan dengan cuma-cuma. Tetapi, pandangan yang keliru ini bukanlah pandangan rasul Paulus. Untunglah, hanya sebagian kecil orang Kristen yang terjebak dalam pandangan ini.

Dalam ayat di atas, Paulus menulis bahwa kita harus mau untuk berubah dari hidup laa kita. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu”, begitu tulisnya. Karena kita sudah lahir baru, kita harus mau menolak apa saja yang membuat kita mirip dengan orang yang tidak diselamatkan. Kita bertanggung jawab atas cara hidup kita, sehingga kita benar-benar mau memilih apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Kita tidak boleh memakai alasan bahwa semua yang terjadi dalam hidup kita sudah ditetapkan Tuhan dan kita tidak dapat melawan berbagai godaan iblis yang berusaha membuat hidup kita serupa dengan orang dunia. Apa perbedaan antara umat Tuhan dan umat iblis, dapat dilihat dari ayat ini.

“Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” Matius 7: 16-20

Ayat ini sering dipakai untuk menimbang apakah sesorang adalah orang yang sudah diselamatkan. Dari apa yang dihasilkan dalam hidup mereka, orang bisa menetapkan apakah si A akan masuk ke surga atau tidak. Ini tidak tepat. Apa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah, bahwa orang yang sudah diselamatkan sudah tentu akan mau diubah dari hidup lamanya yang tidak berbuah, menjadi hidup baru yang menghasilkan banyak buah yang baik. Mereka yang tidak berbuah yang baik adalah orang-orang yang tidak diselamatkan, atau orang-orang yang sudah diselamatkan tetapi masih mengabaikan ajakan Roh Kudus untuk berubah. Hari ini kita harus sadar bahwa cara hidup kedua golongan ini tidak akan membawa kemuliaan bagi Allah. Mereka yang sudah diselamatkan tapi belum mau berubah dari hidup lamanya adalah orang-orang Kristen yang justru bisa menjadi batu sandungan dan penyesat bagi mereka yang ingin menjadi orang Kristen yang setia, yang berusaha menjalankan apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Mereka juga bisa menjadi penghalang bagi orang lain untuk mau menerima panggilan Yesus untuk bertobat.

Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: ”Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. Lukas 17:1

Kehendak Tuhan adalah agar kita hidup sebagai anak-anak terang

“Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan.” Efesus 5: 15-17

Hari-hari ini adalah jahat. Bukan saja Paulus mengemukakan kenyataan pada saat itu, kita sekarang pun tahu bahwa dunia ini semakin kotor dan jahat. Memang dengan adanya pendidikan dan hukum, manusia di zaman modern ini kelihatannya jauh lebih beradab jika dibandingkan dengan manusia di zaman Paulus. Tetapi, manusia modern lebih berani melawan Tuhan dengan peradaban modern yang mengizinkan manusia melanggar hukum dan firman Tuhan selama tidak melanggar hukum pemerintah. Karena itu ada berbagai hal di dunia ini, seperti korupsi, aborsi, hidup bersama tanpa menikah, pernikahan sejenis, penggunaan narkoba dll. yang dipandang lumrah.

Bagi orang Kristen yang menganut faham determinisme, semua kejahatan dan kekacauan dalam hidup manusia modern adalah sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka yang lebih ekstrem pandangannya, mungkin percaya bahwa Tuhan sendiri yang memungkinkan dan membuat manusia melakukan hal yang jahat. Itu karena kedaulatan Tuhan yang menentukan jalannya segala sesuatu di alam semesta, sampai hal yang sekecil-kecilnya. Bagi mereka, manusia tidak mempunyai kehendak bebas, dan karena itu semua yang terjadi di dunia harus terjadi sesuai dengan rencana Tuhan. Apakah ini yang disebut faham fatalisme? Belum tentu!

Secara umum, fatalisme didefinisikan sebagai suatu pandangan filsafat, yang meyakini bahwa seseorang sudah dikuasai oleh takdir dan tidak bisa mengubahnya. Menurut fatalisme, manusia tidak berdaya untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya di saat ini, begitu pula tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masa depannya. Kata dasar fatalisme adalah fatal, sebuah kata sifat yang berasal dari bahasa Latin fatum yang artinya “takdir” atau “ketentuan”. Berbeda dari fatalisme, determinisme meyakini bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh bagaimana atau apa yang sudah pernah dilakukannya. Ini adalah pengertian umum yang berbeda dengan pengertian teologi.

Dalam pengertian teologi, determinisme berarti kehidupan dalam alam semesta sudah ditentukan oleh Tuhan sepenuhnya. Mereka yang menganut faham ini percaya bahwa pada akhirnya semua yang dilakukan manusia akan terjadi sesuai dengan rencana Tuhan. Faham fatalisme dalam teologi adalah kelanjutan dari faham determinisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak berdaya untuk melakukan sesuatu di luar kehendak Tuhan, begitu pula tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masa depannya, atau memastikan hasil dari upaya yang telah dilakukannya. Dengan demikian, keselamatan juga sepenuhnya takdir Tuhan, dan reaksi manusia terhadap tawaran keselamatan dari Tuhan (yaitu cara hidup mereka) tidaklah mempunyai peranan apa-apa.

Mereka yang menganut faham teologi determinisme, kebanyakan tidak mau disebut penganut faham fatalis. Mereka berargumen bahwa sekalipun Tuhan sudah menentukan hasil akhirnya (yang mungkin belum diketahui), mereka tetap harus bekerja keras. Menurut mereka, orang fatalis adalah orang yang putus asa dan sudah tidak mempunyai semangat untuk bekerja. Walaupun demikian, faham determinisme mempunyai ciri yang sangat menarik dalam kehidupan orang Kristen.

Ayat di atas adalah salah satu dari banyak ayat Alkitab yang menganjurkan agar umat Kristen untuk bekerja keras. Ini bukan kerja keras tanpa tujuan yang jelas, tetapi kerja keras untuk hidup dalam terang Kristus. Paulus menyuruh orang Efesus untuk memperhatikan dengan saksama, bagaimana mereka hidup, agar jangan seperti orang Kristen yang bodoh, tetapi seperti orang Kristen yang bijaksana. Orang Efesus diminta untuk mempergunakanlah waktu dengan baik, karena manusia pada hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu mereka diminta agar bijaksana dan berusaha supaya mereka mengerti kehendak Tuhan.

Pernyataan Paulus itu agaknya cukup membingungkan. Apakah perlu orang Kristen bekerja keras untuk mempertahankan keselamatan mereka? Tidak! Keselamatan adalah pemberian Tuhan, dan jika Tuhan memang sudah memberikan itu kepada kita, tidak ada yang bisa mengambilnya. Walaupun demikian, jika ada orang yang mengaku Kristen tetapi tidak mau bekerja keras untuk kemuliaan Tuhan, ada kemungkinan orang itu belum menerima hidup baru dari Tuhan. Orang sedemikian tidak mau mempelajari kehendak Tuhan dan masih ingin menuruti kekendak diri sendiri. Pada pihak yang lain, ada kemungkinan bahwa orang Kristen yang hidupnya berantakan, adalah orang Kristen yang bodoh, yang tidak mengunakan waktu yang ada untuk mempelajari firman Tuhan dengan baik. Hidup mereka tidak dapat memancarkan terang Tuhan.

Salah satu kebodohan orang yang sudah diselamatkan adalah kurang adanya kesadaran bahwa hari-hari ini adalah jahat. Iblis bekerja keras untuk mengacaukan kehidupan manusia, terutama umat Kristen, agar mereka tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhan. Karena itu, mereka sering kurang mengerti bahwa orang yang sudah diselamatkan tidak dapat mengharapkan bahwa tanpa berbuat apa pun, hidupnya di dunia sudah berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Mengapa begitu? Karena kehendak Tuhan yang ada justru agar kita bekerja untuk menjadi anak-anak terang. Untuk bisa menjadi terang dunia, setiap umat Kristen harus mau bekerja keras, dan memilih untuk tunduk kepada kehendak-Nya.

Ayat-ayat dalam Efesus 5: 1-21 diberi judul “Hidup sebagai anak-anak terang” dan berisi nasihat bagaimana kita harus hidup di dunia agar nama Tuhan dipermuliakan. Nama Tuhan dipermuliakan jika kita mau bekerja keras untuk hidup sesuai dengan firman-Nya. Nama Tuhan tidak akan dipermuliakan jika kita yakin bahwa cara hidup kita tidak perlu diperbaiki karena semuanya sudah ditetapkan Tuhan. Atau jika kita percaya bahwa Roh Kudus akan mengubah hidup kita tanpa kita harus berbuat apa-apa.

Hari ini, firman Tuhan jelas menyatakan bahwa orang Kristen yang sejati bukanlah orang Kristen yang tidak lagi merasa perlu berbuat baik dalam hidup. Orang Kristen yang bijaksana bukanlah orang yang hanya menekankan kedaulatan Allah, tetapi mengabaikan peranan mereka selama hidup di dunia. Itu karena kehendak Tuhan adalah agar kita hidup sebagai anak-anak terang. Jika kita memang betul-betul mengakui kedaulatan Allah, kita harus mau tunduk kepada Dia dan melaksanakan firman-Nya untuk menjadi terang dunia, agar nama-Nya dipermuliakan.

Kenalkah Anda kepada Allah?

“Dan inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya. Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran. Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia. Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.” 1 Yohanes 2: 3-6

Mungkinkah ada orang yang bisa hidup sepenuhnya menuruti perintah-perintah Tuhan? Semua orang Kristen yang percaya adanya kedaulatan Tuhan seharusnya berpendapat bahwa itu mungkin, jika Tuhan membuatnya begitu. Tetapi, dalam kenyataannya ada orang percaya yang justru tidak mau menekankan bahwa manusia bisa dan perlu untuk berbuat baik. Mengapa begitu? Menurut mereka, itu karena karena manusia yang berdosa bukanlah orang yang sempurna, tetapi adalah orang yang penuh cacat cela yang sudah dianugerahi keselamatan. Jadi perbuatan baik manusia bukanlah hal yang masih perlu digarisbawahi jika mereka diselamatkan semata-mata oleh penebusan Kristus.

Sebenarnya Alkitab PL dan PB banyak menampilkan contoh-contoh di mana umat Tuhan menuruti perintah-perintah Tuhan karena Tuhan yang membimbing dan menggerakkan mereka. Ini bukan suatu keadaan yang kekal, karena mereka yang kemudian melupakan Tuhan (seperti Daud, Salomo dll.), kemudian jatuh dalam dosa. Tanpa bimbingan Tuhan, umat Kristen mana pun akan jatuh. Mereka yang tidak dibimbing Tuhan sudah pasti tidak dapat hidup baik; dan karena itu, mereka yang selalu tidak bisa atau tidak mau berbuat baik sudah pasti bukan orang percaya.

Jika manusia bisa berbuat baik dengan bimbingan Tuhan, adakah manusia yang sempurna? Tentu saja tidak ada, sekalipun ada orang Kristen yang saleh. Orang Kristen yang saleh, yang mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhan, bukanlah orang yang suci. Jadi apa yang dimaksud dengan orang yang menuruti perintah-perintah Tuhan? Orang yang sedemikian adalah orang yang sadar akan kehendak Tuhan yang dinyatakan, agar mereka menghidari hal-hal yang jahat dalam pandangan Tuhan. Mereka yang sudah mendapat Roh Kudus, tidak mau mendukakan-Nya. Mereka selalu ingin mendengarkan suara-Nya yang mengingatkan mereka jika ada hal-hal yang jahat yang harus mereka hindari.

Menuruti perintah-perintah Tuhan, dengan demikian bukan berarti bahwa manusia bisa selalu mengikut Tuhan, tetapi berarti bahwa manusia selalu mempunyai kesadaran akan apa yang baik dan yang buruk. Mereka akan merasa sedih jika mereka gagal melakukan apa yang baik, dan bukannya melupakan keharusan untuk taat kepada Tuhan.

“Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.” Roma 7:18-19

Ayat dari 1 Yohanes di atas lebih lanjut menyatakan bahwa orang berkata bahwa ia mengenal Tuhan, tetapi ia tidak (selalu ingin) menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran. Tetapi barangsiapa (selalu ingin) menuruti firman-Nya, orang itu sungguh sudah sempurna dalam kasih Allah. Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Tuhan, ia adalah orang yang sudah lahir baru dan wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup. Sebaliknya, orang yang belum lahir baru tidak akan tahu apa kehendak Tuhan yang sudah dinyatakan dan tidak mengenal apa yang dipandang baik oleh Tuhan. Mereka tidak tahu bagaimana mereka bisa menjauhkan diri apa yang jahat menurut mata Tuhan.

Orang bisa saja bertanya-tanya, “Jika saya diselamatkan oleh anugerah dan semua dosa saya telah diampuni, mengapa saya harus berusaha untuk hidup suci?” Pemikiran ini bukanlah hasil dari pertobatan sejati. Pertobatan yang sejati akan menghasilkan hasrat yang lebih besar untuk menjadi taat, bukan sebaliknya. Kehendak Allah – dan kehendak kita saat kita telah dilahirkan kembali oleh Roh Kudus – adalah bahwa kita akan berusaha keras untuk menjadi sempurna seperti Dia. Itu harus dikerjakan dengan serius sampai saat kita meninggalkan dunia (Filipi 2: 12).

Suatu hal yang penting kita ingat adalah bahwa orang Kristen bukan dipilih oleh Tuhan karena mereka adalah orang yang suci atau orang yang baik, tetapi karena Ia mempunyai rencana untuk masa depan mereka. Jika mereka mempunyai dosa sebesar dan seburuk bagaimanapun, Tuhan akan membersihkan mereka dari dosa mereka melalui darah Kristus jika mereka bertobat. Itu bukan berarti bahwa mereka bisa menjadi sempurna selama hidup di dunia. Walaupun demikian, Tuhan menyuruh mereka yang sudah dipilih untuk menuruti perintah-perintah-Nya. Dengan demikian, keinginan dan kemauan untuk berbuat baik adalah lebih bersangkutan dengan pandangan hidup orang Kristen daripada kenyataan hidup manusia selagi masih di dunia.

Orang Kristen memang tidak harus menaati Hukum Perjanjian Lama atau hukum apa pun untuk dianugerahi keselamatan. Ketika Yesus Kristus mati di atas kayu salib, Dia menggenapi Hukum Perjanjian Lama (Roma 10:4). Walaupun demikian, ada kesimpulan yang tidak alkitabiah yang muncul: Allah tidak mengharuskan orang Kristen untuk menaati hukum moral dan etika Kristen karena sudah diselamatkan. Di zaman ini, saya kurang melihat adanya orang Kristen sejati yang dengan sengaja mengabaikan ajakan Tuhan untuk berbuat baik dan melupakan adanya etika Kristen. Saya melihat kurang adanya kemauan untuk taat kepada perintah-perintah Tuhan.

Rasul Paulus membahas itu dalam Roma 6:1-2, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” Kritik yang paling sering dilontarkan terhadap doktrin keselamatan melalui “Melalui Anugerah semata-mata saja” atau ” By Grace alone” adalah: doktrin itu bisa mendorong seseorang untuk kurang peduli akan dosa dalam hidupnya. Selain itu, mungkin juga doktrin itu mendorong seseorang untuk tidak berusaha untuk menghasilkan apa yang baik untuk Tuhan dan sesama dari apa yang sudah diterimanya. Bukankah harga keselamatan sudah dilunasi Yesus?

Harus dimengerti bahwa sesudah menerima keselamatan, manusialah yang harus mau mengambil keputusan untuk hidup suci, menaati firman-Tuhan dan menjalankan semua perintah-Nya. Ini bukan untuk mempetahankan keselamatan yang sudah diterima mereka, karena keselamatan orang yang sudah terpilih tidak akan ditarik kembali oleh Tuhan yang setia. Tetapi, mereka yang benar-benar sudah menjadi orang percaya tentu akan mengerti bahwa tanda keselamatan mereka adalah adanya kerinduan untuk hidup suci karena adanya rasa syukur atas karunia keselamatan dan berbagai karunia yang lain. Mereka yang tidak mau menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, dan tidak rindu untuk berbuat baik selama hidup di dunia, mungkin saja bukan orang Kristen yang sejati. Orang Kristen yang sejati selalu ingin menjadi murid Yesus yang bisa dipakai-Nya untuk melebarkan kerajaan-Nya dan membawa kemuliaan bagi-Nya baik dalam hal yang besar maupun yang kecil (Matius 25: 14-30).

Hari ini, firman Tuhan menyatakan bahwa sebagai orang Kristen kita adalah orang yang sudah mendapat karunia terbesar, yaitu penebusan Kristus. Kita mengenal Kristus. Dengan demikian patutlah dengan rendah hati menyatakan kemauan kita untuk menjadi budak-Nya yang berguna dan berusaha untuk hidup sesuai dengan perintan-Nya. Satu hal yang jelas adalah bahwa tidak ada alasan bagi kita yang mengaku Kristen sejati, untuk tidak membiarkan Roh Kudus memimpin kita untuk mengubah hidup kita. Kita harus ingat bahwa setiap manusia harus memberi pertanggungan jawab kepada Dia, yang telah siap sedia menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Hanya orang Kristen sejati yang akan mendapat pengampunan oleh darah Kristus.

Mengapa kita harus bertanggung jawab atas hidup kita?

“Tetapi mereka harus memberi pertanggungan jawab kepada Dia, yang telah siap sedia menghakimi orang yang hidup dan yang mati.” 1 Petrus 4: 5

Pernahkah anda memikirkan arti kata “adil”? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “adil” bisa berarti sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak; berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; sepatutnya; dan tidak sewenang-wenang. Definisi kata itu agaknya mudah di mengerti, tetapi masalahnya ialah bahwa selama hidup di dunia ini kita sering melihat apa yang kurang atau tidak adil.

Dalam hidup sehari-hari, mungkin kita sering melihat bahwa ada banyak orang yang bersalah tetapi tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, dan sebaliknya ada orang yang tidak bersalah tetapi memperoleh hukuman berat. Bagaimana manusia bisa diharapkan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya jika hukum yang ada tidak dapat dilaksanakan dengan benar?

Dalam hal ini kita juga tahu bahwa setiap orang yang berhadapan dengan masalah bisa mendapatkan bantuan hukum untuk mendapatkan keringanan dan bahkan pembebasan dari hukuman. Orang yang mampu dan berpengaruh memang bisa menyewa ahli-ahli hukum ternama untuk membela kasus mereka. Sekalipun seseorang bersalah secara fakta, ia mungkin tidak bersalah secara hukum; dan karena itu tugas para pembela hukum adalah meringankan hukuman sang klien. Orang yang bebas dari hukuman harus dipandang sebagai orang yang tidak bersalah. Itulah hukum di dunia, dan sekalipun tidak sempurna, sebagai orang Kristen kita harus menaatinya.

Selama hidup di dunia, orang Kristen adalah warga dunia tetapi juga warga surga. Mereka harus menaati hukum dunia tetapi juga hukum Tuhan. Ketaatan kepada pemerintah dan hukumnya adalah keharusan bagi setiap orang Kristen dan itu diajarkan dalam Alkitab (Roma 13: 6 – 7). Walaupun demikian ada kalanya apa yang dibenarkan oleh hukum setempat belum tentu sesuai dengan apa yang tertera dalam Alkitab. Makin banyak hal yang disetujui oleh masyarakat di zaman modern ini yang bertentangan dengan firman Tuhan. Itu bukan saja menyangkut uang, bisnis, sekolah, hubungan antar manusia dan budaya, tetapi juga menyangkut soal makanan dan pakaian dan sebagainya. Dengan demikian, banyak orang Kristen menjadi bimbang: manakah yang harus dituruti?

Adalah kenyataan bahwa ada banyak orang Kristen yang sekarang segan untuk menunjukkan kekristenan mereka dan sebaliknya cenderung untuk mengikuti arus dunia. Banyak orang Kristen yang tidak mau dipandang “aneh” oleh masyarakat atau dianggap sebagai “orang Farisi” oleh sesama umat. Ada juga orang Kristen yang kuatir dianggap sesat karena berusaha untuk berbuat baik sekalipun keselamatan hanya diperoleh melalui anugerah Allah. Menjadi orang Kristen adalah orang yang dibebaskan dari tuntutan hukum, begitu kata mereka. Jadi, selama apa yang dilakukan dianggap sah dan adil menurut hukum setempat, mereka akan hidup dan bekerja seperti orang bukan Kristen, agar tidak mengalami masalah dalam hidup bermasyarakat. Mereka tidak sadar bahwa walaupun mereka bisa menghindari masalah yang bertautan dengan hukum dunia dan cara hidup manusia, mereka tidak akan bisa menghindari fakta bahwa mereka mungkin melanggar hukum Tuhan karena tidak hidup menurut cara hidup yang sudah dinyatakan Tuhan dalam Alkitab. Berbeda dari hukum dunia yang bisa berubah-ubah dan bisa dihindari, hukum Tuhan adalah kekal dan tidak bisa dipengaruhi oleh kehendak manusia dan situasi. Manusia harus bertanggung jawab atas hidupnya kepada Tuhan, hakim yang di surga.

Ada orang Kristen yang berpendapat bahwa karena Tuhan adalah mahakuasa, umat pilihannya harus yakin bahwa tidak ada apa pun yang perlu dilakukan untuk keselamatan mereka. Yesus yang akan menghakimi manusia, adalah pembela kita. Dengan demikian, kita tidak perlu memikirkan cara hidup kita di dunia. Benarkah itu? Sudah tentu itu tidak benar karena mereka yang sudah diselamatkan harus mau meninggalkan cara hidup yang lama, yang tidak sesuai dengan hukum Tuhan. Umat pilihan-Nya yang sejati adalah orang yang dibebaskan dari perhambaan kepada dosa, dan kemudian menjadi hamba Allah. Dengan demikian, mereka sekarang harus memakai hukum surgawi sebagai pedoman hidup mereka.

Pagi ini, ayat pembukaan di atas mengingatkan kita bahwa sebagai orang percaya, kita mempunyai Tuhan di surga yang mengawasi semua tingkah laku dan perbuatan kita. Jika hidup kita hanya berdasarkan apa yang dianggap pantas, layak, lumrah , jamak dan adil di dunia, lambat laun kita akan hidup seperti mereka yang belum percaya. Tuhan yang mahaadil adalah Tuhan yang sudah menanamkan hukum-Nya dalam hati setiap orang percaya. Sekalipun dalam hidup sehari-hari kita tidak terus menerus membaca hukum utama tentang mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama kita, seharusnya kita bisa mengingatnya setiap kali kita melangkahkan kaki kita. Rasa takut akan Tuhan haruslah selalu ada dalam hati kita, dan itu membimbing kita untuk hidup dengan bijaksana. Memang pada akhirnya kita harus memberi pertanggungjawab kepada Dia, Tuhan yang mahaadil, yang telah siap sedia menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Sebagai umat-Nya, kita tentu berharap bahwa Tuhan akan menyambut kita dengan tangan terbuka di surga.

“Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” Matius 25:23

Rasa malu harus pada tempatnya

“Tetapi, jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu.” 1 Petrus 4: 16

Pernahkah anda merasa malu? Tentunya setiap orang pernah mengalami peristiwa yang memalukan dalam hidupnya. Mungkin itu hanya soal kecil seperti memakai pakaian yang kurang sesuai ke pesta, atau hal yang lebih besar seperti lupa mengerjakan tugas penting yang diberikan atasan.

Untuk hal yang kecil, biasanya orang lebih mudah melupakan rasa malunya, tetapi ada hal-hal lain yang signifikan yang membuat rasa malu sulit hilang dari pikiran. Dalam hal ini, ada hal yang sekalipun terasa kecil untuk seseorang, merupakan hal yang besar untuk orang lain. Walaupun demikian, ada orang yang tidak pernah merasa malu sekalipun ia melakukan hal-hal yang membuat orang lain merasa sangat malu. Tidak tahu malu, istilahnya. Tetapi rasa malu adalah soal pribadi, dan tiap orang agaknya mempunyai kesadaran yang berbeda. Begitu juga, jika orang percaya memiliki rasa malu kepada Tuhan atas cara hidupnya, orang yang tidak kenal Tuhan tidak akan sadar akan dosanya, dan karena itu tidak pernah malu atau menyesal atas perbuatannya.

Di zaman sekarang orang mudah merasa malu jika mobil sudah nampak tua, atau rumah yang tidak sebesar rumah tetangga. Tetapi, banyak orang tidak merasa malu ketika ketahuan sudah menyalah-gunakan uang perusahaan atau uang negara. Mereka yang bisa memperoleh banyak uang dengan cara menjual diri pun tidak merasa malu mempertunjukkan hasil jerih payahnya

Sering kali kita mendengar bahwa hidup orang yang beriman adalah hidup yang diberkati Tuhan. Dari mimbar gereja sering dikumandangkan pesan bahwa Tuhan yang mengasihi anak-anak-Nya, akan juga memberikan berkat-Nya dengan berkelimpahan. Malahan, ada banyak pendeta yang mengkhotbahkan bahwa orang Kristen akan mempermalukan Tuhan yang mahakaya jika tidak kaya. Untuk menjadi kaya, apa yang diperlukan adalah iman yang kuat, dan dengan itu Tuhan akan memenuhi kebutuhan umat-Nya di dunia. Orang Kristen yang sedemikian, tidak merasa malu ketika mereka memperlakukan Tuham seperti dewa Mamon.

Apa yang kita lihat sebagai kenyataan hidup adalah sebaliknya. Mereka yang hidupnya tidak baik sering kali terlihat jaya dan nyaman hidupnya, dan mereka yang berusaha hidup dalam kejujuran justru sering mengalami kekurangan dan penderitaan. Lebih payah lagi, jika penderitaan bisa datang kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, sebagian orang Kristen mungkin merasa terpukul kalau sanak saudara, teman atau diri sendiri mengalami musibah. Adakah keuntungan menjadi orang Kristen di dunia ini?

Ayat diatas jelas mengatakan bahwa sebagai orang Kristen kita tidak perlu merasa malu jika kita mengalami penderitaan. Itu jika kita tidak berbuat jahat atau salah (1 Petrus 4: 15). Jadi, apa pun yang terjadi atas diri kita, kita tidak perlu merasa tertekan, sedih, malu, gundah ataupun merana.

Penderitaan memang bisa datang kepada orang percaya melalui beberapa sebab:

  • Dunia sudah jatuh dalam dosa, apa yang sekarang ada di dunia adalah cacat dan jahat.
  • Pengikut Tuhan sering dibenci oleh mereka yang membenci Tuhan Yesus.
  • Iblis ingin menghancurkan umat Tuhan dan gereja-Nya.
  • Tuhan mendidik anak-anak-Nya untuk bisa lebih baik.
  • Pengikut Yesus ingin mengikuti cara hidup-Nya di dunia dan mau berkurban untuk sesama dan membela keadilan seperti Dia yang sudah mati untuk mereka.

Jika kita merasa hidup kita berat, kita mungkin mengalami salah satu atau sebagian dari sebab diatas. Firman Tuhan mengatakan bahwa kita tidak perlu merasa malang; sebaliknya kita harus merasa bersyukur karena ada kesempatan bagi kita untuk menunjukkan iman kita kepada seisi dunia, bahwa dalam semua hal kita bisa merasakan penyertaan Kristus dan menyelami betapa besar kasih-Nya yang sudah menebus dosa kita. Lebih dari itu kita bisa berharap bahwa pada suatu saat kita akan mendapat kemuliaan di surga sebagai anak-anak Allah.

“Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.” Roma 8: 17

Bagi orang Kristen yang benar-benar hidup dalam Tuhan, rasa malu bukanlah karena merasa kalah dengan orang lain dalam hal duniawi. Tuhan bukanlah yang menimbulkan rasa malu, tetapi umat Tuhan yang sejati bisa merasa malu karena apa yang kurang baik yang diperbuatnya. Pada waktu Adam dan Hawa melanggar larangan Tuhan di taman Firdaus, mereka tiba-tiba sadar akan ketelanjangan mereka (Kejadian 3: 7). Mereka merasa malu bukan karena Tuhan membuatnya muncul, dan bukan juga karena adanya bentuk tubuh yang berlainan, tetapi karena adanya kesadaran bahwa mereka sudah mengkhianati kasih Tuhan.

Dalam kehidupan umat Kristen, penebusan oleh darah Kristus sudah mencuci bersih dosa kita (Yesaya 1: 18). Apa yang dulunya gelap, sekarang menjadi terang; apa yang dulunya kotor sekarang menjadi putih bersih. Dengan itu semua rasa bersalah, rasa malu dan rasa pahit dari masa lalu kita seharusnya bisa dihilangkan dari pikiran kita. Karena pengampunan Tuhan, kita juga wajib mengampuni diri kita dan juga orang lain, melupakan hal-hal memalukan dari masa lalu.

Walaupun demikian, jika kita tidak memuliakan Kristus sepenuhnya, patutlah kita merasa malu. Hidup baru orang yang sudah diselamatkan seharusnya bisa terlihat dari apa yang diperbuatnya dan apa yang dihasilkannya. Karena kita sudah diselamatkan bukan karena usaha kita, kita harus selalu bersyukur dan memuliakan Kristus Juruselamat kita, baik oleh hidup kita maupun oleh mati kita. Selama hidup ini kita harus memuliakan Kristus dalam segala apa yang kita kerjakan, sehingga jika tiba waktunya untuk kita meninggalkan dunia ini, Tuhan akan menerima kita dengan ucapan selamat atas segala jerih payah kita (Matius 25: 21).

Hari ini, marilah kita menganalisa hidup pribadi kita. Marilah kita memikirkan apa yang sudah kita lakukan dalam hidup kita sampai sekarang. Apakah kita sudah memakai segala apa yang kita punyai untuk memuliakan Tuhan dalam segala kesempatan yang diberikan-Nya? Apakah kita merasa puas dengan pujian orang lain atas hidup kita yang terlihat indah di depan umum? Ataukah kita secara pribadi mengakui bahwa kita masih sering mementingkan apa yang kita senangi saja dan melupakan rasa malu kepada Tuhan yang sudah mencurahkan kasih-Nya yang sungguh besar kepada kita? Semua itu hanya bisa dijawab oleh setiap orang percaya secara pribadi sesuai dengan panggilan Tuhan dan bukannya dengan mendengarkan pendapat dunia. Semoga pencerahan Roh Kudus bisa kita rasakan dan sadari dalam hidup kita.

“Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku.” Filipi 1: 20