Kapankah kita harus merasa malu?

Janganlah ada di antara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau. Tetapi, jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu. 1 Petrus 4:15-16

Pernahkah anda merasa malu? Tentunya setiap orang pernah mengalami peristiwa yang memalukan dalam hidupnya. Di zaman sekarang orang mudah merasa malu jika mobil sudah nampak tua, atau rumah yang tidak sebesar rumah tetangga. Tetapi, banyak orang tidak merasa malu ketika ketahuan sudah menyalah-gunakan uang perusahaan atau uang negara. Mereka yang bisa memperoleh banyak uang dengan cara menjual diri pun tidak merasa malu mempertunjukkan hasil jerih payahnya.

Ayat di atas menyatakan bahwa rasa malu kita harus pada tempatnya. Janganlah kita sampai harus menderita sebagai orang-orang yang melakukan hal yang tidak baik di mata Tuhan. Karena itu, kita tidak boleh mengabaikan tanggung jawab kita sebagai umat Kristen. Tetapi, jika kita menderita karena kita adalah orang Kristen, maka kita tidak perlu malu melainkan hendaklah kita memuliakan Allah dalam Kristus. Mengapa demikian?

Allah yang berhikmat sempurna, mahaadil, dan mahamurah itu sering membiarkan anak-anak-Nya untuk sementara waktu menghadapi berbagai godaan dan kerusakan hati mereka sendiri, untuk menghukum mereka atas dosa-dosa mereka di masa lalu atau untuk membuka mata mereka bagi kekuatan tersembunyi kerusakan dan tipu daya hatinya. Maksud-Nya agar mereka dibuat rendah hati, dan untuk membuat mereka semakin erat dan terus menerus tergantung pada sokongan dari diri-Nya, dan semakin waspada terhadap segala kesempatan berdosa yang bakal timbul. Di samping itu, ada lagi berbagai tujuan lain yang adil serta kudus. Itulah bunyi pengakuan iman Westminster Bab 5 Poin 5.

Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” 2 Korintus 12:7-9

Bagi orang Kristen yang benar-benar hidup dalam Tuhan, rasa malu bukanlah karena merasa kalah dengan orang lain dalam hal duniawi. Rasa malu boleh timbul karena kita melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh anak-anak Tuhan. Tuhan bukanlah yang menimbulkan rasa malu, tetapi umat Tuhan bisa merasa malu karena apa yang kurang baik yang diperbuatnya jika Roh Kudus ada dalam hati mereka. Pada waktu Adam dan Hawa melanggar larangan Tuhan di taman Firdaus, mereka tiba-tiba sadar akan ketelanjangan mereka (Kejadian 3:7). Mereka merasa malu bukan karena Tuhan menemukan mereka yang bersembunyi, dan bukan juga karena adanya bentuk tubuh mereka yang berlainan, tetapi karena adanya kesadaran bahwa mereka sudah mengkhianati kasih Tuhan.

Memang ketika Adam dan Hawa masih berada dalam keadaan tidak berdosa, mereka memiliki kebebasan dan kuasa yang membuatnya mampu menghendaki dan melakukan apa yang baik dan berkenan dan kepada Allah. Akan tetapi, dalam kemampuan itu bisa dipengaruhi oleh iblis, sehingga mereka jatuh dan kehilangan kemampuan itu. Karena jatuh ke dalam keadaan berdosa, manusia sama sekali kehilangan kemampuan menghendaki harta rohani apa pun yang menyertai keselamatan. Maka itu, manusia secara kodrati sama sekali menolak apa yang baik dan secara bebas memilih apa yang jahat, sehingga ia tidak mampu untuk dengan kekuatannya sendiri untuk sadar, merasa malu atas kerusakan rohaninya, atau mempersiapkan diri untuk bertobat. Mnausia samasekali tidak mengerti apa yang baik dalam pandangan Allah.

Bila Allah membuat orang berdosa bertobat dan memindahkan dia ke kedudukan seorang yang telah beroleh rahmat, Dia membebaskannya dari perhambaan kodratnya di bawah dosa dan oleh rahmat-Nya semata-mata menjadikan dia mampu menghendaki dan melakukan apa yang baik secara rohani. Manusia yang sudah dilahirkan baru akan sadar atas apa yang bisa membuat Tuhan marah jika dalam mengalami kesulitan hidup, mereka mengambil arah yang salah dan melakukan apa yang bisa merendahkan nama Tuhan Sang Pencipta. Mereka bisa merasa malu jika mereka tetap hidup dalam dosa lama atau seringnya membuat dosa baru.

Manusia baru seharusnya mempunyai hati yang bisa merasakan perlunya hidup dalam kekudusan. Ia akan malu jika melakukan apa yang tidak berkenan kepada Allah, tetapi tetap tabah dalam menghadapi tantangan kehidupan. Akan tetapi, sebagai manusia yang tidak sempurna, ia sering tidak menghendaki apa yang baik itu secara sempurna, dan hanya itu saja, tetapi menghendaki juga apa yang jahat. Ia masih bisa lupa akan kewajiban dan tanggung jawab yang ditutuntut dari setiap umat Tuhan. Dalam hal ini, jika Roh Kudus mengingatkannya akan apa yang salah, ia akan sadar dan mengakui kesalahannya. Dengan demikian, orang Kristen sejati selalu berusaha supaya tidak membawa malu kepada dirinya sendiri.

“Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku.” Filipi 1: 20

Adanya rasa malu atas hal-hal yang silam bukanlah hal yang ringan dalam hati seorang umat Tuhan. Terkadang, penderitaan yang dialaminya bisa menjadi pergumulan berat. Bagaimana aku bisa menjadi umat-Nya yang setia? Aku tidak sanggup! Itu juga merupakan perasaan Petrus ketika ia menyadari bahwa ia sudah menyangkali Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok. Petrus kemudian menangis, dan pada saat itu ia bertobat. Untunglah bahwa dalam pertobatan umat Kristen, penebusan oleh darah Kristus sudah mencuci bersih dosa lama kita (Yesaya 1: 18). Apa yang dulunya gelap, sekarang menjadi terang; apa yang dulunya kotor sekarang menjadi putih bersih. Dengan itu semua rasa bersalah, rasa malu dan rasa pahit dari masa lalu kita seharusnya bisa dihilangkan dari pikiran kita. Karena pengampunan Tuhan, kita juga wajib mengampuni diri kita dan juga orang lain, melupakan hal-hal memalukan dari masa lalu.

Walaupun demikian, ayat diatas menyatakan jika kita tidak memuliakan Kristus sepenuhnya sesudah kita diampuni, patutlah kita merasa malu. Hidup baru orang yang sudah diselamatkan seharusnya bisa terlihat dari apa yang diperbuatnya dan apa yang dihasilkannya. Karena kita sudah diselamatkan bukan karena usaha kita, kita harus selalu memuliakan Kristus Juruselamat kita, baik oleh hidup kita maupun oleh mati kita. Kita sudah diberi Tuhan kemampuan untuk itu. Selama hidup ini kita harus memuliakan Kristus dalam segala apa yang kita kerjakan, sehingga jika tiba waktunya untuk kita meninggalkan dunia ini, Tuhan akan menerima kita dengan ucapan selamat atas segala jerih payah kita (Matius 25: 21).

Hari ini, marilah kita menganalisa hidup pribadi kita. Marilah kita memikirkan apa yang sudah kita lakukan dalam hidup kita sampai sekarang. Apakah kita sudah memakai segala apa yang kita punyai untuk memuliakan Tuhan dalam segala kesempatan yang diberikan-Nya? Apakah kita merasa puas dengan pujian orang lain atas hidup kita yang terlihat indah di depan umum? Ataukah kita secara pribadi mengakui bahwa kita masih sering mementingkan apa yang kita senangi saja dan melupakan rasa malu kepada Tuhan yang sudah mencurahkan kasih-Nya yang sungguh besar kepada kita? Semua itu hanya bisa dijawab oleh setiap orang percaya secara pribadi sesuai dengan panggilan Tuhan dan bukannya dengan mendengarkan pendapat dunia. Semoga pencerahan Roh Kudus bisa kita rasakan dan sadari dalam hidup kita.

“Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.” 1 Korintus 15:10

Apakah saya benar-benar sudah bertobat jika saya terus melakukan dosa yang sama?

“Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran.” Roma 6: 18

Apakah saya benar-benar bertobat jika saya terus melakukan dosa yang sama? Ini adalah salah satu pertanyaan paling umum yang harus ditanyakan oleh seorang Kristen yang jujur dan serius, terutama mengingat tuntutan Perjanjian Baru untuk kekudusan dan juga peringatannya:

  • Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. (Yakobus 2:17)
  • Kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan. (Ibrani 12:14)
  • Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku. (Yohanes 14:15)
  • Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan! (Matius 7:22–23)
  • Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya? (Roma 6:2)
  • Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.(Yohanes 8: 11)

Dosa bukan hanya perbuatan besar dan buruk seperti pembunuhan atau pencurian atau perzinahan, atau bahkan dosa yang lebih umum dan sering dilakukan orang Kristen seperti ketidakjujuran atau bahasa kotor atau ketidaksabaran. Dosa adalah kondisi hati yang menyimpang dari Allah dalam preferensi untuk hal-hal lain, dan dosa adalah ekspresi dari preferensi itu dalam pikiran atau sikap atau perilaku kita.

Sebagai manusia yang sudah diselamatkan, kita masih bisa jatuh ke dalam dosa. Tetapi, bagaimana jika kita sudah bertobat tetapi masih melakukan hal yang sama? Berapa kali kita boleh bertobat? Perjanjian Baru sebenarnya tidak mendorong kita untuk menggunakan kata “bertobat” untuk mengakui dosa-dosa itu setiap kali kita berdoa. Sebaliknya, kata pertobatan dalam Perjanjian Baru mengacu pada satu perubahan pikiran yang lebih mendasar, yang kita alami pada awal kehidupan Kristiani kita, dan yang harus kita alami jika hidup kita akan mengalami kehancuran dari mana kita perlu dipanggil kembali — seperti di gereja-gereja di pasal pertama Wahyu, yang semuanya dipanggil untuk bertobat, karena mereka akan dihancurkan jika tidak mau bertobat.

Tetapi Perjanjian Baru tidak menggunakan kata pertobatan untuk doa sehari-hari mengakui dosa kita yang berulang-ulang kita lakukan. Sebaliknya, 1 Yohanes 1:8–9 mengusulkan kata pengakuan dosa: “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”

Dosa adalah sesuatu yang harus kita hindari, tetapi sayangnya sebagian orang Kristen mengabaikannya karena keyakinan bahwa mereka adalah orang-orang terpilih, untuk siapa darah Yesus sudah ditumpahkan. Pada pihak yang lain, ada orang-orang yang mengalami tekanan jiwa yang besar karena adanya dosa yang begitu sering dilakukan sehingga mereka tidak pernah yakin akan jaminan keselamatan mereka sebagai seorang Kristen. Ini adalah dua keadaan ekstrem yang harus kita hindari.

Teolog John Piper menjelaskan bahwa ada dua jenis pengakuan, dan ada dua jenis dosa.

Pertama, ada pengakuan yang, pada satu tingkat, mengungkapkan rasa bersalah dan kesedihan karena berbuat dosa, tetapi di dalamnya ada perasaan bahwa dosa ini akan terjadi lagi, mungkin sebelum minggu ini berakhir.

  • Saya akan melihat film porno di web lagi jika ada waktu senggang.
  • Saya akan minum banyak alkohol lagi, mungkin akhir pekan ini.
  • Saya akan menertawakan lelucon yang merendahkan orang lain di tempat kerja lagi besok.
  • Saya akan melakukan ketidakjujuran dalam bisnis saya lagi.
  • Saya akan meremehkan istri saya lagi, mungkin esok lusa.

Dengan kata lain, pengakuan semacam ini sangat dangkal. Itu adalah bentuk fatalisme tentang dosa-dosa yang menimpa seseorang. Orang merasa buruk tentang dosanya, tetapi ia telah menyerah pada kepastian akan munculnya dosa itu lagi. Mungkin dengan alasan bahwa manusia mana pun tidak ada yang sempurna. Ini juga bisa menjadi sikap antinomian yang berarti tidak lagi tanggap kepada firman Tuhan untuk hidup kudus.

Pengakuan jenis lain adalah bahwa Anda mengungkapkan rasa bersalah dan kesedihan karena berbuat dosa, sama seperti pengakuan yang pertama, tetapi kebencian Anda terhadap dosa begitu nyata sehingga Anda memiliki niat yang besar untuk menang saat Anda mengaku berperang melawan dosa itu. Anda bertujuan dan berjanji, dengan kuasa Roh Kudus, untuk mengalahkannya. Anda akan mencari cara apa pun yang akan membantu Anda mematikan dosa ini. Anda bertekad akan menumpas kekuatannya. Itulah rencana Anda – tidak ada kemunafikan – sekalipun tidak ada orang yang percaya akan hal itu.

Bagaimana pula dengan dua macam dosa? Yang pertama, jenis dosa yang membutakan Anda. Itu tidak direncanakan atau sengaja, dan hampir tidak ada pertempuran pada saat itu terjadi. Sebelum Anda menyadari apa yang Anda lakukan, itu sudah terjadi. Mungkin itu adalah sebuah ledakan kemarahan, dan hampir seketika Anda dapat mengatakan bahwa itu berlebihan — itu tidak suci; itu tidak benar. Mungkin kata-kata kasar spontan keluar begitu saja dari mulut Anda, dan mungkin Anda malu segera setelah mengucapkannya. Atau mungkin ada fantasi seksual karena adanya iklan yang muncul di media sosial. Ini adalah dosa, meskipun timbulnya secara spontan dan tidak direncanakan sebelumnya.

Jenis dosa lain adalah sesuatu yang direncanakan sebelumnya. Anda benar-benar duduk di sana atau berdiri di sana menimbang apakah akan melakukannya atau tidak – apakah akan melihat pornografi atau tidak, apakah akan tetap tinggal diam dan mendengarkan lelucon kotor atau tidak, apakah akan melakukan ketidakadilan di tempat kerja atau tidak, apakah akan tidak jujur pada pengembalian pajak Anda atau tidak. Anda mengambil sepuluh detik atau sepuluh menit atau sepuluh jam bergulat, dan kemudian Anda melakukan dosa dengan kesadaran penuh.

Adalah mungkin bagi seorang Kristen untuk melakukan kedua jenis dosa tersebut dan masuk ke dalam pola dari kedua jenis pengakuan itu selama satu musim. Tapi pengakuan yang menyelubungi fatalisme, keputusasaan, damai dengan dosa, dan dosa yang direncanakan lebih berbahaya bagi jiwa kita. Jangan salah paham; keduanya berbahaya. Tetapi pengakuan yang bercampur dengan kemunafikan dan dosa yang berdasarkan ketidakbenaran yang direncanakan adalah lebih berbahaya.

Dosa akan selalu ada selama kita hidup di dunia. Paulus mengakui dalam Roma 7:16–19, yang secara tegas berbunyi: “Saya melakukan apa yang tidak saya inginkan, dan saya tidak melakukan kebaikan yang saya inginkan.” Dia juga berteriak, “Aku ini manusia celaka!” (Roma 7:24). Banyak orang Kristen yang memakai ayat-ayat ini sebagai “alasan” untuk tidak berbuat apa-apa guna melawan dosa. Tetapi, Paulus bukan begitu, ia berusaha keras untuk selalu dekat dengan Kristus agar bisa dikuatkan dalam perjuangan hidupnya.

Kita pasti tidak dapat menetapkan jumlah atau frekuensi terjadinya dosa yang bisa membuat kita dapat dengan lega berbuat dosa yang sama dan lolos begitu saja. Berapa banyak dosa yang membuktikan bahwa kita bukan seorang Kristen? Ini tidak mungkin terjawab karena Tuhan adalah mahasuci. Sebaliknya, apa yang dapat dipastikan: sejauh pengakuan dosa kita telah membuat semacam perdamaian fatalistik dengan keniscayaan dosa, dan sejauh dosa kita termasuk dalam kategori ketidakbenaran yang direncanakan sebelumnya, pada tingkat itu, kita patut takut bahwa kita berada di jalan yang mungkin mengarah pada kehancuran. Kedua hal itu bisa menunjukkan bahwa kita belum menjadi umat-Nya, karena mata rohani kita belum dicelikkan.

Hari ini, kita diingatkan bahwa jika kita sudah lahir baru, kita seharusnya mendengar panggilan oleh Roh Kudus untuk hidup dalam moralitas yang sesuai dengan firman Tuhan. Pada pihak yang lain, kita harus sadar bahwa dalam hidup di dunia kita tidak dapat menghindari berbagai kekeliruan, yang mengharuskan kita berdoa kepada Bapa yang di surga untuk meminta pengampunan hari demi hari. Tetapi, selain itu kita juga harus sadar bahwa pengampunan dosa bukanlah persiapan untuk membuat dosa baru. Tanpa usaha untuk menjaga kebersihan hidup, kita akan mudah terkena berbagai masalah jasmani maupun rohani. Selain itu, kebersihan hidup juga akan membawa kesegaran dan semangat baru dalam hubungan dengan Tuhan.

Menghindari fatalisme yang tersamar

“Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya.” Yeremia 10:23

Yeremia menubuatkan bagaimana bangsa Israel akan tercerai berai dan menyaksikan kehancuran yang mengerikan dari bait suci dan kehancuran kota Yerusalem yang dicintainya. Dia mengerti bahwa umat Tuhan tidak memiliki alasan untuk berbuat dosa dan status istimewa mereka sebagai umat pilihan Tuhan tidak bisa membebaskan mereka dari tongkat koreksi-Nya. Dan meskipun dia meratapi penghakiman yang akan datang, Yeremia berdoa memohon belas kasihan Tuhan atas umatnya.

Perjanjian Lama mencatat penolakan Israel terhadap Bapa, Injil mendokumentasikan penolakan Israel terhadap Putra, sedangkan pasal-pasal awal Kisah Para Rasul mencatat penolakan Israel terhadap Roh, namun Allah dalam rahmat-Nya mencurahkan kasih karunia-Nya untuk suatu masa pada Gereja dan pada waktunya akan memulihkan bangsa Israel-Nya yang bersalah kembali kepada diri-Nya sendiri.

Tuhan adalah penulis dan penyelesai sejarah (dan iman kita) dan meskipun kita memiliki kebebasan untuk membuat pilihan kita sendiri yang dapat mengakibatkan kesulitan yang dipaksakan sendiri, namun Tuhanlah yang menentukan jalan umat manusia dan Tuhan yang mengarahkan langkah anak-anak-Nya pada saat-saat yang tepat. Dialah yang telah menggerakkan rencana dan tujuan bagi bangsa-bangsa di dunia dan Dialah yang akan mengarahkan hidup kita untuk memenuhi rencana dan tujuan akhir-Nya, demi keuntungan kita dan kemuliaan-Nya.

Kita harus mengakui bahwa jalan manusia bukanlah bergantung pada dirinya sendiri. Bukan pada manusia yang berjalan sendirian untuk mengarahkan langkahnya, dan kita juga tidak bisa memanipulasi kehendak Tuhan, tetapi percaya kepada-Nya dalam segala hal. Tetapi, apakah ini bukan fatalisme?

Istilah “fatalisme” dapat mengacu pada salah satu gagasan berikut:

  • Yang pertama, fatalisme diartikan sebagai pandangan apa pun yang menyatakan bahwa manusia tidak berdaya untuk melakukan apa pun selain dari apa yang sebenarnya mereka lakukan. Termasuk di dalamnya adalah keyakinan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi masa depan atau hasil dari tindakannya sendiri. Keyakinan itu berarti bahwa peristiwa ditentukan oleh takdir yang berada di luar kendali manusia. Salah satu pandangan tersebut adalah fatalisme teologis, yang menyatakan bahwa kehendak bebas tidak sesuai dengan keberadaan Tuhan yang mahatahu, yang menentukan sebelumnya semua kejadian, besar ataupun kecil, di masa depan. Ini adalah determinisme teologis.
  • Pandangan kedua adalah fatalisme logis, yang merupakan kumpulan proposisi (pernyataan) yang benar tentang apa yang akan terjadi, dan ini benar terlepas dari kapan itu terjadi.
  • Pandangan ketiga adalah determinisme kausal. Determinisme kausal (sering disebut “determinisme”) biasanya diartikan secara berbeda dari fatalisme, dengan alasan bahwa agar sustu sistem terjadi perlu adanya penentuan setiap keadaan sebelumnya, dan bukan hanya keadaan akhir dari suatu sistem yang sudah ditentukan sebelumnya. Secara umum, reaksi yang sering terjadi terhadap pastinya suatu peristiwa di masa depan adalah penerimaan atau pengunduran diri, bukan penolakan. Pandangan ini adalah apa yang diartikan dalam kata “fatalisme” sehari-hari, dan serupa dengan kekalahan.

Apakah Anda percaya bahwa Tuhan adalah berdaulat dan kehendak-Nya harus terjadi? Saya yakin Anda akan menjawab “ya’ jika Anda pernah mengucapkan Doa Bapa Kami. Dalam doa itu ada kalimat ” Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga”. Setiap orang Kristen seharusnya percaya. Tetapi, setiap kali saya mendengar orang berbicara tentang iman Kristen sebagai pandangan fatalistik, saya bisa mengerti karena di antara orang Kristen sendiri ada yang percaya (seperti pengikut agama lain) dan menafsirkan bahwa Tuhan yang mahakuasa selalu memaksakan kehendak-Nya agar terjadi (bandingkan dengan pengakuan Westminster bab 9). Sebenarnya, jika ada satu hal yang tidak dimiliki oleh Kekristenan adalah fatalistisme yang tersamar seperti ini.

Hari ini firman Tuhan mengingatkan kita bahwa kita tidak perlu memakai pandangan fatalis untuk menjelaskan kedaulatan Tuhan. Tuhan berdaulat, tetapi keputusan manusia adalah penting supaya kebesaran Tuhan dinyatakan. Pandangan fatalistik bukan meninggikan kedaulatan Tuhan, tetapi sebaliknya merendahkan Dia, karena kita membatasi cara kerja-Nya. Kita tidak dapat menharapkan Tuhan berindak atas nama diri kita, karena setiap manusia harus bertanggung jawab atas hidupnya; dalam setiap tindakan dan pekerjaan kita. Kita bekerja untuk kemuliaan-Nya, bukan karena ditentukan, tetapi dengan kerelaan. Karena itulah kita harus berusaha mencari kehendak Tuhan sebelum kita mengambil keputusan. Jika kita yang sudah menerima Roh Kudus tidak bertindak atau tidak mau memilih apa yang baik, itu pun adalah tindakan yang harus kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan.

Jika kita tidak mau bertindak, berubah, atau memilh apa yang lebih baik karena kita menganggap Tuhan sudah menetapkan hidup kita, itu pun keputusan yang kita pilih dan harus dipertanggungjawabkan. Jika kita memandang Tuhan sebagai Oknum yang tidak memberi kebebasan memilih, itu pun keputusan kita yang tidak menghargai kebijaksanaan Tuhan yang sudah menciptakan kita sebagi gambar-Nya. Tuhan yang berdaulat tidak akan terkejut jika kita membuat tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya; sebaliknya kita akan terkejut jika apa yang kita kehendaki ternyata tidak terjadi karena kita mengabaikan firman-Nya.

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” Amsal 3: 5-6

Apakah Tuhan mengasihi aku?

“Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.” Yohanes 14:21

Bagaimana Anda menanggapi pertanyaan seseorang yang belum percaya: “Apakah Tuhan mengasihi aku?”. Anda mungkin berudaha menghibur dia dengan jawaban: “Tentu saja! Tuhan memberikan kasih-Nya kepada semua ciptaan-Nya. Bukankah sinar matahari jatuh pada setiap orang?”. Ini mudah dijawab. Tetapi, situasi akan berbeda jika orang itu bertanya: “Apakah Tuhan ingin menyelamatkan aku?” Jawaban yang jujur atas pertanyaan in bergantung pada keyakinan Anda, apakah Tuhan hanya bermaksud menyelamatkan orang tertentu saja, atau semua orang. Dengan demikian, jika Anda ingin menjawab sekalipun tidak pasti akan jawaban yang benar, mungkin Anda akan menjawab secara diplomatis: “Yesus sudah mati untuk setiap orang yang percaya, yaitu semua orang yang dikasihi-Nya”. Lalu siapa yang dikasihi-Nya?

Ada perasaan bahwa Allah mengasihi semua orang di seluruh dunia (Yohanes 3:16; 1 Yohanes 2:2; Roma 5:8). Kasih ini tidak bersyarat—itu berakar pada karakter Allah dan berdasarkan fakta bahwa Dia adalah Allah yang penuh kasih (1 Yohanes 4:8, 16). Kasih Allah yang penuh belas kasihan kepada dunia juga dinyatakan dalam kenyataan bahwa Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk bertobat: “Tuhan tidak lambat menepati janjinya. . . . Sebaliknya Ia sabar terhadap kamu, tidak ingin seorang pun binasa, tetapi semua orang datang untuk bertobat” (2 Petrus 3:9). Kasih Allah yang tak bersyarat terkait dengan panggilan umum-Nya untuk keselamatan dan apa yang sering disebut kehendak-Nya yang sempurna—aspek kehendak Allah yang mengungkapkan karakter-Nya, dan menunjukkan apa yang menyenangkan Dia.

Pada pihak yang lain, kita tahu bahwa kasih Allah kepada semua orang tidak berarti bahwa setiap orang akan diselamatkan (lihat Matius 25:46). Allah tidak akan mengabaikan dosa, karena Ia adalah Allah yang adil (2 Tesalonika 1:6). Dosa tidak dapat luput dari hukuman selamanya (Roma 3:25-26). Jika Tuhan mengabaikan dosa dan membiarkannya terus merusak ciptaan selamanya, maka Dia bukanlah mahakasih. Mengabaikan kasih Allah yang penuh belas kasihan, menolak Kristus, atau menyangkal Juruselamat yang telah membeli kita (2 Petrus 2:1) berarti menyerahkan diri kepada murka Allah untuk selama-lamanya (Roma 1:18), bukan kepada kasih-Nya.

Apakah Tuhan benar-benar mengasihi semua orang? Sebagian orang percaya bahwa Tuhan hanya mengasihi mereka yang beriman, sebagian lagi yakin bahwa Tuhan membenci mereka yang “kafir”. Selain itu, ada juga orang yang percaya bahwa Tuhan hanya mengasihi mereka yang banyak berbuat amal dan berkurban untuk sesamanya. Sudah tentu, ada juga orang yang meragukan kasih Tuhan kepadanya, karena merasa bahwa hidupnya jauh dari apa yang dikendaki Tuhan. Selain itu, ada orang yang tidak yakin akan keselamatannya karena adanya penekanan yang berlebihan atas kedaulatan Tuhan yang memilih manusia menurut keputusan-Nya semata-mata.

Sebenarnya, apakah Tuhan mempunyai kasih kepada semua orang? Ya! Dia menunjukkan belas kasihan dan kebaikan kepada semuanya. Apakah berkat Allah kepada orang Kristen selalu lebih besar jika dibandingkan dengan orang non-Kristen selama hidup di dunia? Tidak, tidak dalam hakikat-Nya yang penuh belas kasihan kepada semua ciptaan-Nya. Karena itu kita tidak boleh menyatakan bahwa umat Tuhan akan selalu mendapat kenyamanan di duia. Sebagai anak Tuhan kita tidak boleh kaget jika kita mengalami berbagai masalah selama hidup di dunia, karena Tuhan mendidik umat-Nya melalui berbagai persoalan yang mereka hadapi.

“Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?” Ibrani 12:6-7

Mereka yang jauh dari Tuhan sering kali justru hidupnya enak dan nyaman karena mereka bebas untuk berbuat apa saja, dan Tuhan tidak mendidik orang yang tidak akan menjadi umat-Nya. Mereka yang sombong dibiarkan sombong, mereka yang hidup dalam dosa dibiarkan-Nya demikian, sehingga mereka tidak dapat mempunyai alasan ketika menghadapi pengadilan Tuhan setelah mereka meninggalkan dunia ini.

Kasih Allah yang membenarkan orang berdosa tidak diberikan kepada semua orang, tapi itu adalah kanunia khusus kepada mereka yang beriman kepada Yesus Kristus (Roma 5:1). Kasih Allah yang membuka mata dan membawa manusia ke dalam keintiman dengan diri-Nya tidak diberikan kepada semua orang, tetapi hanya kepada mereka yang mengasihi Anak Allah (Yohanes 14:21). Kasih ini dapat dianggap sebagai “kasih perjanjian” Allah, dan itu khusus, hanya diberikan kepada mereka yang beriman kepada Yesus untuk keselamatan (Yohanes 3:36). Mereka yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus dikasihi, bebas dari murka Tuhan untuk selamanya.

Apakah Tuhan mengasihi orang Kristen dengan cara yang berbeda dari Dia mengasihi orang non-Kristen? Ya; karena orang percaya telah melaksanakan panggilan iman yang datang dari Tuhan, mereka diselamatkan. Tuhan memiliki hubungan yang unik dengan ciptaan-Nya, di mana hanya orang Kristen yang memiliki pengampunan berdasarkan kasih karunia Tuhan yang kekal. Kasih tanpa syarat dan penuh belas kasihan yang Allah harus membawa kita pada hidup baru, dengan menerima dengan rasa syukur kasih perjanjian yang Dia berikan kepada mereka yang menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat.

Orang Kristen percaya bahwa Tuhan yang mahasuci menuntut umat-Nya untuk hidup baik sesuai dengan firman-Nya. Tuhan membenci dosa dan tidak dapat dipermainkan oleh manusia dengan segala pikiran dan perbuatan mereka. Walaupun demikian, tidak ada apapun yang bisa diperbuat manusia untuk mencuci dosanya, untuk memenuhi syarat kesucian Tuhan. Semua manusia sudah berdosa dan tidak layak berdiri di hadapan Tuhan. Umat manusia tidak akan mempunyai harapan masa depan jika Tuhan tidak mengasihi mereka.

“Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” Roma 3: 23

Oleh sebab itu, Tuhan bukan saja memberi karunia dan berkat kepada seisi dunia, tetapi Ia juga mengaruniakan AnakNya yang tunggal untuk menebus dosa manusia. Yesus datang ke dunia, supaya barangsiapa yang percaya kepadaNya bisa menerima hidup yang kekal di surga.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Yohanes 3: 16

Apakah Tuhan mengasihi semua orang? Apakah Tuhan menghendaki semua orang untuk diselamatkan? Pertanyaan ini tidaklah mudah dijawab. Kalau jawabnya “ya”, tentunya Ia tidak mau seorang pun ke neraka. Neraka dengan demikian tidak akan diperlukan karena Tuhan yang mahakasih tentunya akan berusaha agar semua orang untuk bisa menemukan jalan ke surga melalui kepercayaan apa pun. Sebaliknya, adanya neraka tentunya menegaskan kenyataan bahwa sebagian orang akan menuju ke sana. Karena itu, Tuhan tentu tahu bahwa tidak semua orang akan percaya kepada Yesus Kristus sebagai Anak Allah yang merupakan satu-satunya jalan keselamatan. Ayat di atas dan juga Yohanes 3: 16 menunjukkan bahwa mereka yang tidak mengenal Yesus akan menemui kebinasaan.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Yohanes 3: 16

Mereka yang terpanggil dibukakan matanya oleh kuasa penciptaan Allah yang berdaulat sehingga mereka tidak lagi melihat salib sebagai kebodohan tetapi sebagai kekuatan dan hikmat Allah. Panggilan yang efektif adalah keajaiban menghilangkan kebutaan kita. Jadi, sekalipun Tuhan tidak memaksa manusia untuk percaya kepada-Nya, Ia bekerja dan memberi manusia kemampuan untuk melihat jalan kebenaran dan tidak terus menerus melawan uluran tangan kasih-Nya. Ini adalah cara kerja Tuhan yang bisa menaklukkan orang yang ingin diselamatkan-Nya. Mereka akan menjadi orang-orang percaya.

Tuhan yang mahakasih menghendaki semua orang untuk mau menerima uluran tangan penyelamatan-Nya. Tetapi Tuhan yang mahaadil hanya menerima mereka yang dengan pertolongan Roh Kudus benar-benar mau berusaha hidup sesuai dengan firman-Nya, bukan hanya mereka yang gemar mempelajarinya. Tanda hidup baru adalah perubahan hidup yang bisa dilihat dari buah-buahnya (Matius 7: 20). Jika ini tidak terlihat, Yesus berkata:

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” Matius 7: 21

Manusia dalam kodratnya, memang selalu ingin melakukan apa yang melawan Tuhan. Jika seseorang menjadi cukup rendah hati untuk tunduk kepada Tuhan, itu berarti bahwa Tuhan telah memberi orang itu sifat baru yang rendah hati. Jika seseorang tetap berkeras hati dan sombong untuk tunduk kepada Tuhan, itu karena orang itu belum diberi semangat dan kemampuan untuk tunduk kepada Tuhan.

Jelas dari sini bahwa walaupun Tuhan mengasihi seluruh umat manusia, Ia tidak memaksa kita untuk percaya jika itu bertentangan dengan keinginan kita. Memang, ada orang Kristen yang percaya bahwa kehendak Tuhan tentu tidak dapat dibantah atau dilawan oleh manusia. Tetapi, manusia dalam dosanya selalu cenderung untuk tidak menurut kepada Allah. Sebaliknya, Tuhan mempunyai kuasa untuk memungkinkan (bukan memaksa) orang untuk mau mendengar-Nya. Kasih karunia Tuhan bisa dibayangkan sebagai khotbah dan kesaksian yang mencoba untuk membujuk orang untuk melakukan apa yang masuk akal dan apa yang sesuai dengan kepentingan terbaik mereka. Di sini, pertobatan juga termasuk karunia Allah.

Lalu Ia berkata: ”Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya.” Yohanes 6:65

Hari ini kita harus sadar bahwa penginjilan harus tetap dilakukan agar makin banyak orang yang mau mendengar panggilan untuk menjadi umat-Nya. Tuhan bisa membuat panggilan ini sebagai sesuatu yang mencelikkan mata rohani mereka untuk bisa mau menjawab “ya’ atas keselamatan yang ditawarkan oleh Yesus Kristus kepada semua orang. Penginjilan hanya bisa efektif jika kita percaya sepenuhnya bahwa Tuhan mengasihi kita dan sudah menyelamatkan dan mengubah cara hidup kita. Dengan demikian kita bisa dengan yakin menyatakan bahwa Tuhan yang mengasihi ingin menyelamatkan semua orang yang mau percaya kepada-Nya. Sebab bagaimana kita bisa meyakinkan orang lain akan kasih Allah jika kita masih tidak yakin akan keselamatan kita sendiri?

Bagaimana kehendak Tuhan yang baik bisa terjadi di antara perbuatan jahat manusia

Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya. Amsal 16:9

Ayat di atas adalah salah satu ayat yang sering diutarakan jika ada sesuatu yang terjadi di luar dugaan manusia. Ayat ini sering ditafsirkan bahwa apa juga yang kita perbuat, Tuhan akan menentukan hasilnya. Dengan demikian, kesuksesan atau kegagalan dalam hidup seseorang dipercaya sebagai keputusan Tuhan. Tuhan yang menetapkan segalanya, termasuk apapun yang dilakukan manusia baik hal yang jahat atau yang baik. Apa alasannya? Karena Tuhan yang berdaulat dan mahakuasa sudah menetapkan segala sesuatu untuk berakhir sesuai dengan rencana-Nya, dan untuk mencapai itu Ia harus menetapkan segala sesuatu sampai ke hal yang sekecil-kecilnya agar hasil akhirnya bisa tercapai.

Pendapat semacam ini sepertinya meninggikan Tuhan, tetapi sebenarnya merendhakan kedaulatan dan kemahakuasaan Tuhan. Tuhan dianggap hanya bisa bekerja menurut cara manusia yang harus melakukan segala sesuatu yang perlu agar mencapai hasil yang baik. Pendapat ini juga menyebabkan orang berpikir bahwa segala sesuatu terjadi sesuai dengan kehendak Tuhan, termasuk hal yang jahat dan dosa. Tuhan dianggap satu-satunya penyebab semua kejadian di alam semesta. Pandangan ini sering disebut faham determinisme,yang dalam bentuk ekstrim bisa menjadi faham fatalisme karena segala sesuatu yang terjadi dianggap sudah merupakan kehendak Tuhan yang final.

Menurut pandangan Reformed klasik, Tuhan adalah penyebab utama dari segala sesuatu di alam semesta, yang memungkinkan apa saja terjadi sesuai dengan rencana-Nya, sekalipun bukan merupakan hal yang dikehendaki-Nya. Manusia bisa melakukan apa yang tidak dikehendaki-Nya (seperti Ailkitab sudah mencatat banyaknya orang yang melawan Tuhan), tetapi pada akhirnya kehendak Tuhanlah yang akan terjadi. Dalam hal ini, manusia, makhluk lain serta seisi alam sermesta bisa menjadi penyebab kedua atas terjadinya sesuatu. Manusia yang diciptakan sesuai dengan gambar Allah bisa berpikir dan bertindak menurut perasaan dan pikiran mereka, sedangkan apa yang ada di muka bumi bisa menghasilkan sesuatu berdasarkan hukum alam yang juga diciptakan Tuhan.

Menjadi manusia berarti menjadi agen yang bertanggung jawab, bertanggung jawab di hadapan Allah. Paganisme dan sekularisme sama-sama berusaha menyangkal tanggung jawab itu — baik dengan menyangkal Tuhan atau dengan menyangkal kesalahan. Sebagian orang Kristen menyatakan bahwa karena Tuhan memegang kendali penuh, manusia yang lemah dan berdosa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Jawaban sederhana ini gagal untuk memahami cara kerja Allah. Karena itu kita harus mengerti apa yang dinamakan Doktrin Persetujuan Ilahi (Doctrine of Devine Concurrence). Concursus dei atau concursus divinus (Latin, secara literal berarti “persetujuan Ilahi”) adalah ajaran teologis dan filosofis bahwa aktivitas Ilahi sejalan dengan aktivitas orang dan benda. Untuk memahaminya marilah kita melihat pengakuan Westminster Bab 3 Poin 1:

“Allah, dari kekal, telah menetapkan segala sesuatu yang terjadi, melalui rencana kehendak-Nya sendiri yang berhikmat sempurna dan mahakudus, dengan bebas dan tidak dapat diubah-ubah. Namun, dengan demikian Allah tidak menjadi penyebab dosa, kehendak makhluk tidak diperkosa, dan kebebasan atau sifat kebetulan sebab-sebab sekunder tidak dihapuskan, malah diteguhkan.”

Doktrin persetujuan Ilahi berarti bahwa Allah dan manusia keduanya bertindak dan bekerja pada waktu yang sama, atau, secara bersamaan. Kita tahu bahwa Tuhan itu Tritunggal, dan Kristus adalah Tuhan dan manusia, dan kita harus menemukan cara untuk bernalar tentang kebenaran Alkitab ini tanpa menyangkal salah satunya. Demikian juga, kita tahu bahwa Allah berdaulat dan manusia bertanggung jawab. Semua ini akan membantu untuk pertama-tama menjelaskan apa itu tindakan, untuk memahami bagaimana Tuhan dan manusia bertindak secara bersamaan. Tuhan tidak memaksakan kehendak-Nya, atau menghilangkan kebebasan makhluk ciptaan-Nya. Ia juga tidak menghilangkan kemungkinan adanya hal-hal yang bersifat “kebetulan”.

Niat kita menentukan tindakan kita. Dan doktrin persetujuan ilahi mengajarkan bahwa jika ada sesuatu yang terjadi, tindakan yang sama sedang terjadi, tetapi atas dua niat yang berbeda, jadi, dua tindakan yang berbeda. Tuhan bertindak melalui kita dengan niat baik (tindakan dengan satu niat, dan Tuhan sebagai penulis), dan ketika kita berdosa, niat kita jahat (tindakan terpisah, karena niat terpisah, dan orang sebagai penulis). Tapi semua ini adalah satu, tindakan tunggal. Seperti yang dikatakan Kitab Suci, “karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Filpi 2:13), tetapi kita harus memperhatikan fakta yang menarik: Tuhan bekerja 100% dan kita juga bekerja 100%. Meski kelihatannya aneh, begitulah cara kerja matematika teologis!

Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa manusia tidak bertanggung jawab atas tindakannya, atau bahwa Tuhan tidak berdaulat bekerja dalam tindakan seseorang. Mari kita meringkas dengan contoh. Jika saudara-saudara Yusuf melakukan suatu tindakan kejam dengan menculik Yusuf dan menjualnya kepada pedagang budak (Kejadian 37), Tuhan juga sedang bekerja melalui Yusuf. Bukan berarti Tuhan bekerja ketika kehendak saudara-saudara Yusuf memungkinkan Dia untuk bekerja. Baik Tuhan dan saudara-saudara Yusuf sedang bekerja, 100% dalam tindakan yang sama. Tapi, Tuhan memiliki niat yang berbeda. Inilah sebabnyaYusuf dapat berkata, “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (Kejadian 50:20).

Oleh karena itu, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa manusia tidak bertanggung jawab atas tindakannya, atau bahwa Tuhan tidak berdaulat bekerja dalam tindakan seseorang. Ini harus menjadi dorongan besar bagi orang Kristen yang khawatir – untuk semua hal yang buruk yang terjadi dalam hidupnya- kita tahu bahwa “segala sesuatu bekerja untuk kebaikan orang yang mengasihi Allah” (Roma 8:28), karena Allah adalah di tempat kerja 100%. Meskipun orang lain mungkin memiliki niat jahat terhadap Anda, melalui tindakan yang sama, Tuhan bekerja dengan niat baik. 

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Roma 8:28

Tuhan membenci bullying, bagaimana dengan Anda?

Ya, Allah kami, dengarlah bagaimana kami dihina. Balikkanlah cercaan mereka menimpa kepala mereka sendiri dan serahkanlah mereka menjadi jarahan di tanah tempat tawanan. Jangan Kaututupi kesalahan mereka, dan dosa mereka jangan Kauhapus dari hadapan-Mu, karena mereka menyakiti hati-Mu dengan sikap mereka terhadap orang-orang yang sedang membangun. Tetapi kami terus membangun tembok sampai setengah tinggi dan sampai ujung-ujungnya bertemu, karena seluruh bangsa bekerja dengan segenap hati.” Nehemia 4: 4-6

Alkisah, Nehemia yang sudah disertai Tuhan sehingga ia diizinkan raja Artahsasta dari Persia untuk pergi ke Yerusalem, tahu bahwa ia mengemban tugas berat untuk membangun kembali kota Yerusalem untuk kemuliaan-Nya (Nehemia 1,2). Bukan saja ia harus menggerakkan orang Isreael agar mau bekerja bersama-sama, tetapi ia juga harus tahan menghadapi orang-orang yang membenci bangsa Israel dan berusaha menggagalkan usahanya. Apa yang dilakukan Nehemia dalam menghadapi perundungan dan ancaman musuh-musuhnya? Ia berdoa kepada Tuhan dan meminta pertolongan. Ia tahu bahwa perundungan sudah terjadi bukan hanya terhadap dia dan pengikutnya. Sepertinya, doa Nehemia di atas terdengar sangat keras nadanya. Tetapi, itu adalah jeritan hatinya yang merasa bahwa Tuhanlah yang sudah dihina. Oleh sebab itu, ia berdoa agar Tuhan menyertai bangsa Israel dalam perjuangan membangun kota Yerusalaem sampai selesai. Ia tahu bahwa Tuhan membenci perundungan.

Nehemia menyebutkan bahwa musuh-musuhnya, Sanbalat dan Tobia, menghina dan mencerca orang-orang Israel yang sedang membangun. Mereka menyakiti hati Tuhan yang menyertai Nehemia dan pengikut-pengikutnya. Memang perundungan seperti yang dihadapi Nehemia dan pengikutnya adalah tindakan jahat yang sudah ada sejak awalnya. Kita tahu bahwa perundungan atau bullying adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, ataupun sosial di dunia nyata maupun dunia maya. Perundungan juga membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan baik dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok.

Berikut ini adalah beberapa ciri-ciri seorang perundung:

  • Kurang empati terhadap orang lain.
  • Selalu ingin mengendalikan orang lain.
  • Cepat marah.
  • Terus-menerus mengingatkan orang lain tentang kelemahan mereka.
  • Suka mencemooh mereka yang tidak memenuhi harapannya.
  • Membuat orang lain takut melalui ancaman.
  • Menggunakan agresi fisik atau mental untuk mengintimidasi dan mengontrol.
  • Menentang siapa pun yang mau memperbaiki kekeliruannya.

Perundungan bisa saja tidak disadari oleh si perundung, tetapi tindakan itu dianggap terjadi ketika korbannya merasa teraniaya oleh tindakan orang lain, dan merasa takut apabila perilaku buruk tersebut akan terjadi lagi karena ia merasa tidak berdaya untuk mencegahnya. Ketika ada orang yang kita duga sedang mengalami perundungan, kita bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini:

  • Apakah dia membuat Anda takut?
  • Apakah dia membuat Anda menangis?
  • Apakah dia mempermalukan Anda?
  • Apakah dia membuat Anda merasa lemah?
  • Apakah dia membuat Anda melakukan hal-hal yang tidak Anda inginkan?
  • Apakah dia mengucilkan Anda dari lingkungan sosial?
  • Apakah dia membuat Anda merasa tidak ada orang yang bisa dimintai bantuan?
  • Apakah dia membuat hidup Anda sengsara?

Sayangnya, banyak orang yang percaya bahwa Tuhan juga melakukan perundungan karena pengalaman pahit di masa lalu. Menurut pandangan sebagian orang Kristen, Tuhan menciptakan manusia yang tidak mempunyai kehendak bebas dan kemudian membuat mereka jatuh dalam dosa untuk bisa dihukum. Jika itu menimbulkan perasaan bahwa Tuhan itu kejam, mau tidak mau perasaan itu diselubungi dengan bahasa agama yang membenarkannya. Jadi bukannyaTuhan disebut perundung, orang Kristen mungkin mengatakan penghakiman-Nya tidak dapat disangkal; Dia lebih baik dari kita, Dia berdaulat, mahakuasa dan mahasuci; Dia kecewa atas hidup kita. Jika Tuhan selalu dianggap seperti ini, tidaklah mengherankan kalau beberapa orang Kristen dan pemimpin gereja merasa perilaku perundungan adalah normal. Mungkin juga Anda tidak akan heran jika beberapa orang Kristen merasa tidak apa-apa untuk dirundungkan dalam lingkungan gereja.

Tuhan memang sering menunjukkan amarah-Nya kepada orang-orang yang melawan Dia, tetapi Dia tidak pernah, tidak perlu, dan tidak bisa melakukan teror perundungan kepada siapa pun karena Dia adalah Allah yang mahakuasa dan mahasuci. Manusia melakukan dosa perundungan karena ia tidak mahakuasa tetapi ingin dianggap mahakuasa, karena ia adalah orang yang tidak sempurna tetapi ingin dianggap paling benar. Walaupun demikian, banyak orang Kristen yang melakukan perundungan dengan memakai alasan “demi menegakkan kebenaran Tuhan”.

Alkitab tidak berbicara secara khusus tentang hal mengatasi perundungan atau bullying, tetapi ada banyak prinsip alkitabiah yang berlaku untuk masalah ini. Orang Kristen dipanggil untuk mengasihi orang lain dan memperhatikan mereka yang lebih lemah (Yakobus 1:27), bukan untuk mengintimidasi atau memanipulasi orang. Sudah jelas bahwa orang Kristen tidak boleh menjadi perundung, tetapi bagaimana seharusnya orang Kristen menanggapi perundungan?

Meskipun kita tidak menemukan kata “rundung” dalam Alkitab, kita menemukan kata “cemooh”. Orang yang suka mencemooh akan menghancurkan perdamaian dan karena itu kita harus menghindarinya.

“Usirlah si pencemooh, maka lenyaplah pertengkaran, dan akan berhentilah perbantahan dan cemooh.” Amsal 22:10

Sayangnya, tidak jarang kita melihat jenis perilaku yang menjijikkan ini pada manusia dari segala latar belakang—bahkan di gereja dan dalam keluarga—baik pada pria maupun wanita di sepanjang zaman. Dalam keadaan sedemikian, tidaklah mudah bagi kita untuk menghindari atau mengusir si pelaku. Apalagi jika perundungan dilakukan oleh orang yang seharusnya melindungi kita.

Secara umum, ada dua situasi di mana seorang Kristen mungkin perlu menanggapi perundungan: ketika dia menjadi korban dan ketika dia menjadi saksi dari perundungan. Saat perundungan terjadi, respons yang tepat mungkin adalah memberikan pipi yang lain, atau mungkin membela diri. Ketika Yesus berbicara tentang “memberikan pipi yang lain” dalam Matius 5:38–42, Dia mengajar kita untuk menahan diri dari membalas penghinaan pribadi. Idenya bukan untuk membalas hinaan dengan hinaan. Ketika seseorang melecehkan kita secara verbal, kita tidak membalas hinaannya dengan hinaan kita sendiri.

Ketika seseorang mencoba untuk menegaskan posisi kekuasaannya untuk melakukan perundungan, kita dapat menolak manipulasinya tanpa menjadi manipulatif sebagai balasannya. Singkatnya, menindas seorang penindas tidak alkitabiah dan, sejujurnya, tidak berguna. Itu hanya akan menimbulkan perang besar. Namun, disarankan untuk melaporkan perundungan ke pihak yang berwenang. Sekalipun kita tidak membalas secara pribadi, kita masih dapat menggunakan jalan hukum.Tidaklah salah jika seorang anak di sekolah melaporkan kepada gurunya tentang pelaku perundungan. Tidak salah jika seseorang melaporkan si perundung ke polisi. Tidaklah salah jika jemaat melaporkan perundungan dan juga pelecehan dalam gereja kepada pimpinan atau majelis gereja. Tindakan semacam itu dapat membantu mencegah timbulnya korban yang lebih banyak.

Dalam kasus lain, terutama jika ada intimidasi yang bersifat fisik, pembelaan diri mungkin lebih tepat. Alkitab tidak menganjurkan pasifisme total. Instruksi Allah kepada Israel dalam Keluaran 22 dan instruksi Yesus kepada murid-murid-Nya untuk mendapatkan pedang dalam Lukas 22 bisa kita tanggapi sebagai bahan pemikiran. Orang Kristen harus bisa mengasihi dan mengampuni, tetapi tidak boleh membiarkan kejahatan.

Ketika seorang Kristen melihat adanya perundungan, mungkin tepat baginya untuk turun tangan dan membantu mencegah serangan terhadap korban. Setiap situasi akan berbeda, dan seringnya campur tangan bisa menambah masalah, tetapi seringkali hanya dibutuhkan satu orang untuk berdiri atas nama pihak yang lebih lemah, untuk menghentikan perundungan dan mencegahnya di masa mendatang. Tentu saja, seorang Kristen dapat berbicara dengan korban perundungan setelah kejadian dan membantu korban dengan segala kebutuhannya, termasuk bantuan dalam melaporkan kejadian tersebut.

Kebijaksanaan Tuhan diperlukan dalam semua tindakan untuk menghadapi perundungan. Mereka yang mengikuti Kristus memiliki Roh Kudus yang hidup di dalam diri mereka. Dia membantu kita untuk memahami Firman Tuhan dan dapat membimbing kita serta memperlengkapi kita untuk menaati Tuhan dalam situasi apa pun yang kita hadapi.

Kita juga perlu mempertimbangkan pikiran dan sikap kita terhadap pelaku perundungan. Sangat mudah untuk menjelekkan para pelaku perundungan dan menganggap mereka sebagai orang yang penuh kebencian. Namun, ini bukanlah sikap yang saleh. Setiap manusia dilahirkan sebagai orang berdosa, dan kita semua membutuhkan keselamatan di dalam Yesus. Paling tidak, kita harus berdoa agar si perundung berubah hatinya dan menyadari kasih Allah. Namun, sering kali, pelaku perundungan bertindak seperti itu karena rasa sakit hati mereka sendiri. Seperti yang disebutkan sebelumnya, mungkin mereka pernah mengalaminya di masa lalu. Mungkin mereka merasa tidak aman atau takut direndahkan, dan satu-satunya cara agar mereka dapat diterima oleh diri mereka sendiri adalah dengan meremehkan orang lain. Kita dapat berempati dengan rasa sakit hati mereka dan menyampaikan kasih sayang, kasih, dan rahmat Tuhan kepada mereka sambil juga mempertahankan batasan yang kuat untuk mengatasi perilaku salah mereka.

Apakah adanya perundungan didorong oleh luka masa lalu atau hanya sifat dosa, Tuhan adalah satu-satunya yang tahu dan dapat membawa kesembuhan, pemulihan, dan perubahan. Karena itu, selalu tepat bagi kita untuk berdoa bagi para pelaku dan korban mereka. Demikian pula, ketika kita menjadi korban perundungan, kita dapat pergi kepada Tuhan dengan luka kita dan mencari kekuatan dan kesembuhan dari-Nya.

Roma 12:17–21 mengatakan,

“Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang! Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”

Tuhan telah menunjukkan kepada kita belas kasihan yang luar biasa. Kita yang sudah menerima keselamatan, harus menunjukkan kasih Tuhan kepada orang lain dengan cara kita berperilaku—dengan tidak mengintimidasi, dengan membela yang lemah, dengan bersedia memaafkan, dengan mencegah perundungan sebaik mungkin melalui cara yang tepat, dan dengan berdoa bagi mereka yang menindas dan mereka yang ditindas. Kasih dan anugerah Tuhan cukup untuk menyembuhkan setiap luka!

Satu Roh, banyak karunia

“Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama. Sebab kepada yang seorang Roh memberikan karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan karunia berkata-kata dengan pengetahuan. Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan” 1 Korintus 12:4-9

Dalam 1 Korintus 12 rasul Paulus berbicara tentang karunia-karunia rohani, menunjukkan sifat, penggunaan, dan keunggulannya; membandingkan gereja dengan tubuh manusia, dan dengan cara menampilkan simetri dan kepatuhan anggotanya satu sama lain, yang ditempatkan di tempat yang berbeda, dan memiliki karunia yang berbeda; dan menyebutkan beberapa jabatan dan karunia di gereja, namun menyarankan ada sesuatu yang lebih baik daripada itu. Ia mengisyaratkan, bahwa karunia rohani adalah hal yang berharga, dan harus diperhatikan; dan karena itu ia mengajak orang-orang percaya untuk tidak mengabaikan semua itu.

Jika ada umat Kristen yang menganggap karunia rohani pada zaman Paulus sudah tidak ada lagi di zaman ini, yaitu kaum Cessationist, tulisan Paulus diatas tidak menunjukkan adanya gagasan bahwa kita harus memandang karunia rohani secara berbeda dari yang kita lakukan dalam praktik dan pelayanan di gereja zaman kini, yang tetap digambarkan sebagai hal yang penting untuk kehidupan dan kesejahteraan gereja yang tidak berubah dari awalnya. Ketika kita membaca Perjanjian Baru, tampak jelas bahwa disiplin gereja harus dipraktikkan dalam pertemuan kita hari ini dan bahwa kita harus merayakan Perjamuan Tuhan dan baptisan air, dan bahwa persyaratan untuk jabatan penatua sebagaimana ditetapkan dalam surat-surat penggembalaan masih menentukan bagaimana kehidupan yang baik dan teratur di gereja harus dipertahankan. Dengan demikian, apakah alasan yang dapat kita berikan agar kita boleh memperlakukan kehadiran dan penggunaan karunia rohani secara berbeda?

Berlawanan dengan kepercayaan populer, ada kesaksian yang konsisten di sebagian besar sejarah gereja tentang pekerjaan karunia Roh yang ajaib. Karunia-karunia itu tidak berhenti atau menghilang dari kehidupan gereja mula-mula setelah kematian rasul terakhir. Kaum Cessationists sering berargumen bahwa tanda-tanda dan keajaiban serta karunia-karunia rohani tertentu hanya berfungsi untuk mengkonfirmasi atau mengotentikasi persekutuan asli para rasul, dan bahwa ketika para rasul meninggal, karunia-karunia itu ikut lenyap. Faktanya adalah tidak ada ayat Alkitab yang mengatakan tanda dan keajaiban atau karunia rohani dari jenis tertentu khusus dilakukan oleh para rasul. Jika tanda dan mujizat memang dirancang secara eksklusif untuk mengotentikasi para rasul, kita tidak memiliki penjelasan mengapa orang percaya yang bukan rasul (seperti Filipus dan Stefanus) juga diberi kuasa untuk melakukannya. Karena itu, karunia Roh bukanlah monopoli orang-orang tertentu saja. Ada berbagai karunia Roh yang berbeda yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya.

Perlu disadari bahwa karunia Roh tidak boleh disamakan dengan bakat alami. Itu juga berbeda dari buah Roh (Galatia 5: 22-23). Tetapi kita juga harus mengerti bahwa karunia rohani tidak dapat dipisahkan dari bakat dan kemampuan alami. Dalam Mazmur 139:13 , kita diingatkan bahwa Tuhanlah yang membentuk kita sejak dalam kandungan. Apa pun kemampuan atau kelemahan kita, itu diberikan kepada kita oleh Tuhan Yang Mahatahu, yang merancang kita tidak hanya dalam hal karunia rohani, tetapi juga dalam hal bakat dan kemampuan jasmani untuk melaksanakan tugas tertentu. Kemampuan manusia saja tidak akan pernah menghasilkan apa yang kekal, tetapi kemampuan kita ketika diberdayakan oleh Roh Kudus dapat menghasilkan buah rohani yang kekal sifatnya. Bukan kebetulan bahwa Billy Graham adalah pembicara yang berbakat dalam pengertian manusia. Tapi Billy Graham tanpa kuasa Roh Kudus adalah tidak akan dapat mengajak banyak orang ke jalan yang benar. Ada begitu banyak pembicara berbakat seperti Billy Graham yang belum pernah melihat satu jiwa pun dimenangkan bagi Kristus, tetapi mereka digunakan Tuhan untuk tujuan yang berbeda.

Semua karunia Roh, baik bahasa lidah atau pengajaran, nubuat atau belas kasihan, penyembuhan atau pertolongan, diberikan untuk berbagai tujuan, diantaranya untuk membangun, membangun, mendorong, mengajar, menghibur, dan menguduskan gereja, yaitu tubuh Kristus. Tidak dapat diragukan, banyaknya karunia Roh pada waktu itu sudah membuat gereja yang mula-mula ada bisa berkembang pesat. Dengan demikian, kalaupun peran karunia-karunia ajaib untuk membuktikan dan mengotentikasi para rasul telah berhenti, karunia-karunia tersebut pasti akan terus ada dan berfungsi di dalam gereja zaman kini karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan yang lain. Karena itu, kita tidak boleh heran jika melihat adanya perbedaan frekuensi dan intensiti dalam munculnya karunia tertentu. Apa yang terlihat nyata ialah bahwa sekalipun karunia Roh di zaman ini tidak lagi menjadi dasar berdirinya gereja, itu bisa memberi kesegaran dan kekuatan baru dalam sebuah persekutuan orang percaya.

Pagi ini, kita diingatkan melalui 1 Korintus 12 bahwa Paulus tidak ingin orang-orang merasa sombong atau bangga atas karunia yang mereka punyai. Dia mengingatkan keadaan mereka sebelum menjadi umat Tuhan, agar mereka tetap rendah hati. Paulus lebih lanjut menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki Roh Allah bukanlah mereka yang dalam hidupnya mengabaikan Yesus, tetapi adalah orang-orang yang taat kepada perintah Yesus dan mengakui-Nya sebagai Tuhan yang berkuasa atas hidup mereka. Orang yang sedemikian bisa terlihat dari buah-buah Roh yang mereka miliki: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.

Paulus juga mengingatkan bahwa Roh Kudus, yang disebut Roh, Tuhan, dan Allah, adalah pencipta berbagai karunia yang dianugerahkan kepada manusia. Adanya karunia Roh seharusnya menjadi keuntungan bagi semua umat Tuhan, bukan untuk pengagungan diri sendiri, seseorang, atau sebuah denominasi. Dengan demikian, jika kita melihat sebuah kelompok Kristen yang memusatkan perhatian kepada adanya “karunia” istimewa yang dimiliki oleh orang-orang tertentu, dapat kita pastikan bahwa itu adalah sebuah ilusi saja.

Akhirnya, kita harus ingat bahwa ada berbagai macam karunia Roh dan semuanya adalah berharga, karena dalam setiap karunia adalah Roh Allah yang bekerja dan memberi, menurut kedaulatan, kehendak dan kesenangan-Nya. Semua karunia Roh diberikan Tuhan untuk kebaikan seluruh umat percaya; yang diilustrasikan dengan perumpamaan tubuh manusia, yang terdiri dari banyak anggota, namun semuanya adalah satu di dalam Kristus, dan dalam seluruh anggotanya. Adanya karunia-karunia adalah untuk saling melayani, bukan untuk menguasai atau menempatkan diri sebagai orang yang istimewa. Karunia Roh yang benar membawa kemuliaan kepada Tuhan, bukan kepada manusia!

Mengapa semua orang perlu mendapat tawaran Injil?

“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Matius 28:19-20

Ayat di atas adalah ayat yang sangat terkenal yang disebut sebagai “The Great Commission” atau “Amanat Agung” dari Tuhan Yesus kepada para murid-Nya agar mereka memberitakan Injil ke seluruh muka bumi. Injil menurut definisi adalah “kabar baik”—sebuah maklumat tentang Yesus Kristus yang menggenapi keselamatan bagi orang berdosa melalui kematian dan kebangkitan-Nya sebagai pengganti mereka. Karena karya penyelamatan-Nya, pertobatan dan pengampunan dosa sekarang harus dimaklumkan dalam nama-Nya. Maklumat Injil ini memerlukan panggilan untuk pertobatan dan iman sebagai sarana untuk masuk ke dalam pengalaman keselamatan individu. Dalam Injil, Allah mengumumkan karya penyelamatan tunggal Anak-Nya, dan ketika kita menanggapi pengumuman itu dalam iman dan pertobatan, Allah menyambut kita dan menerima kita dengan melaui rahmat-Nya secara cuma-cuma. Jadi, dalam kabar baik ini dan “tawaran” implisitnya, kita, dengan iman dan pertobatan, menemukan kedamaian di hadapan Allah (1 Korintus15:1).

Menurut ayat di atas, Injil seharusnya ditawarkan secara bebas kepada semua orang, terlepas dari hal mereka dipilih atau tidak oleh Tuhan, tidak bergantung pada hal mampu atau tidak untuk menanggapi ajaran penebusan dari Kristus. Tawaran untuk memilih tidak bertentangan dengan pemilihan yang berdaulat dan kemahatahuan Allah. Jelas bahwa kabar baik Injil harus ditawarkan secara cuma-cuma kepada semua orang di dunia tanpa perbedaan. Tetapi, tidak semua orang Kristen menerima doktrin ini karena mereka secara berlebihan menekankan kedaulatan Allah, penebusan Kristus yang khusus untuk orang tertentu, keutamaan inisiatif ilahi, dan ketidakmampuan orang berdosa untuk menanggapi dalam iman terlepas dari anugerah kelahiran kembali dari Allah. Namun, sebenarnya semua orang berdosa dipanggil untuk percaya dan mereka akan dihakimi karena ketidakpercayaan mereka, bukan karena apakah mereka dipilih atau tidak, sehingga mereka tidak dapat mempersalahkan Allah.

Orang-orang Kristen dari hampir semua kalangan mengakui pentingnya pemberitaan Injil secara bebas, tetapi dengan alasan yang berbeda. Sebagian orang mengabarkan Injil karena tahu bahwa Alkitab menyatakan bahwa semua orang yang mendengar Injil dan percaya akan diselamatkan, tetapi sebagian lagi mengabarkan Injil karena mereka tidak tahu siapa yang akan diselamatkan. Alasan kedua, yang mungkin lebih sering didengar di Indonesia, adalah sebuah hal yang aneh dalam menginjil, karena itu mempunyai implikasi bahwa mereka yang mengabarkan Injil itu sendiri tidak yakin apakah mereka akan diselamatkan. Semua tergantung pada pilihan Tuhan yang belum dinyatakan. Pada pihak lain, jika mereka yang mengabarkan Injil itu merasa yakin akan keselamatan mereka, itu hanya berkesan kesombongan karena mereka sebenarnya tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Tuhan yang berdaulat sudah menyatakan hal itu secara pribadi kepada mereka. Mereka tidak bisa meyakinkan diri akan keselamatan mereka jika mereka benar-benar mengikuti teologi yang mereka ajarkan.

Keberatan lain terhadap tawaran bebas Injil berasal dari doktrin pemilihan terbatas. Kalau saja umat pilihan akan diselamatkan, bukankah seharusnya Injil, kemudian, ditawarkan kepada umat pilihan saja? Bukankah tidak tulus untuk menawarkan keselamatan kepada orang-orang yang tidak terpilih? Dan apakah benar jika tawaran kita lebih luas dari tujuan penyelamatan Allah? Tidaklah mengherankan bahwa ada orang Kristen yang mempertanyakan legitimasi penawaran keselamatan kepada orang-orang yang kelihatannya tidak terpilih atau belum dilahirkan kembali. Jika Kristus mati hanya untuk umat pilihan, adakah dasar yang sah untuk membagikan kasih-Nya kepada semua orang? Bukankah kita berbohong kepada mereka yang tidak akan diselamatkan? Ataukah kita tidak perlu memikirkan bahwa kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita sampaikan dalam mengabarkan Injil?

Ada beberapa alasan teologis yang ditawarkan untuk menolak usaha membagikan tawaran gratis Injil. Yang pertama berasal dari doktrin tentang kebejatan total manusia — ketidakmampuan total untuk mencari apa yang baik. Jika orang berdosa tidak dapat percaya, bagaimana iman dapat menjadi kewajibannya? Apakah orang berdosa berkewajiban untuk bertobat jika dia, pada kenyataannya, tidak dapat bertobat? Dapatkah orang berdosa dianggap bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukannya? Selain itu, apakah tidak konsisten untuk mendesak orang berdosa untuk bertobat mengetahui bahwa dia tidak bisa? Ini adalah argumen mereka yang berusaha keras meninggikan kedaulatan Tuhan di atas kasih-Nya. Mereka juga menolak adanya kemungkinan bagi manusia untuk bisa bertanggung jawab untuk cara hidup mereka. Itu karena keadaaan manusia yang sudah rusak sebobrok-bobroknya.

Akhirnya, beberapa orang berpendapat bahwa tawaran keselamatan gratis bagi mereka yang tidak akan pernah diselamatkan akan mengurangi keagungan Tuhan—bahwa adalah merendahkan Tuhan jika kita membuat tawaran seperti itu kepada orang-orang yang sebenarnya hanya akan terus memberontak.

Pertanyaan kepada kita sekarang adalah apakah tawaran keselamatan yang tulus dapat secara sah diberikan kepada yang terhilang tanpa pandang bulu. Dapatkah kita berkata kepada sembarang orang, “Jika Anda mau datang kepada Yesus Kristus dalam iman dan dalam pertobatan dosa Anda, Allah akan menyelamatkan Anda seperti Dia sudah menyelamatkan saya?” Dalam hal ini, Alkitab jelas menunjukkan bahwa ada tiga hal yang bersangkutan dengan keselamatan: pertobatan, iman dan karunia Allah. Ketiganya ada atas inisiatif Allah. Manusia diselamatkan hanya karena karunia, tetapi karunia datang bersama pertobatan dan iman.

Memang benar bahawa kasih Tuhan untuk milik-Nya adalah unik (Efesus 2:4; 1 Yohanes 3:1), tetapi ini bukan untuk mengatakan bahawa Tuhan tidak mempunyai kasih sama sekali untuk yang terhilang. Alkitab penuh dengan penegasan akan kasih, kebaikan, dan kebaikan Allah kepada yang terhilang (misalnya, Mazmur 145:9). Dan sebenarnya “karunia umum” Allah memerlukan tawaran keselamatan-Nya (Mazmur 14:1-3). Dengan kata lain, Allah menawarkan kasih-Nya yang menyelamatkan kepada semua orang. Mereka yang melakukan penginjilan hanya untuk memenuhi perintah Yesus adalah oran-orang yang tidak percaya akan adanya karunia umum atau common grace.

Lukas 24:47 secara eksplisit menghubungkan tawaran universal Injil pengampunan dengan karya penyelamatan Kristus yang telah selesai. Dalam konteksnya, Matius 28:18-20 membuat kaitan yang sama: otoritas universal Kristus untuk menyelamatkan yang didasarkan pada karya-Nya yang telah selesai. Dengan kata lain, karya penebusan Kristus adalah dasar dari misi yang universal. Apa yang ditawarkan dalam Injil, tepatnya, adalah Yesus Kristus yang di dalam-Nya semua manfaat keselamatan dari Injil telah diperoleh. Membatasi jangkauan penebusan Kristus adalah merendahkan arti pengurbanan-Nya.

Apa yang seharusnya dituntut oleh para “duta besar Injil” Kristus sewaktu menginjil adalah bahwa agar orang berdosa yang terhilang dan tak berdaya menyerahkan dirinya kepada Juruselamat yang sempurna itu, dengan pernyataan yang tegas bahwa dengan menerima dan bersandar pada Kristus saja untuk keselamatan ia pasti akan diselamatkan. Dan apa yang dilakukan oleh orang berdosa yang terhilang atas dasar surat perintah untuk beriman adalah menyerahkan dirinya kepada Juruselamat itu dengan jaminan bahwa ketika ia percaya ia akan diselamatkan. Apa yang ia percayai, bukanlah bahwa ia telah diselamatkan, tetapi bahwa karena percaya kepada Kristus keselamatan menjadi miliknya, sesuai dengan janji Allah.

Orang-orang yang terhilang bebas untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan, tetapi di situlah letak masalahnya: “keinginan” orang-orang berdosa adalah dosa dan karena itu menyimpang dari Allah. “Ketidakmampuan” orang-orang yang terhilang untuk menanggapi Injil terletak pada kehendak mereka sendiri – mereka tidak datang kepada Kristus hanya karena mereka tidak mau. Dan karena mereka “menolak untuk datang kepada-Ku” mereka bertanggung jawab (Yohanes 5:40). Sederhananya, kebejatan dan ketidakmampuan manusia tidak menghalangi tanggung jawab. Tanggung jawab universal untuk percaya dan diselamatkan tetap ada. Selain itu, tidak ada orang berdosa yang dapat mengetahui bahwa dia tidak mampu kecuali dengan mencoba untuk datang. Dan doktrin ketidakmampuan total (total depravity) bukanlah, “Kamu tidak bisa datang”; melainkan, “Anda tidak dapat terlepas dari bantuan ilahi.” Beginilah cara Yesus sendiri menerangkan hal ini.

Dan mereka sangat heran, dan berkata kepadanya, “Kalau begitu, siapa yang bisa diselamatkan?” Yesus memandang mereka dan berkata, “Bagi manusia itu tidak mungkin, tetapi tidak dengan Allah. Karena segala sesuatu mungkin bagi Allah” (Markus 10:26–27).

Tanggung jawab tetap ada: seseorang yang peduli dengan jiwanya tidak diperintahkan untuk “menunggu” tetapi untuk segera “datang.” Dan semua yang datang, Ia menerima (Yohanes 6:37). Pengakuan akan ketidakberdayaan bukanlah alasan untuk ketidakpercayaan yang berkelanjutan, juga bukan penghalang bagi tawaran keselamatan universal. Perbedaan antara perintah Allah untuk percaya dan tawaran keselamatan-Nya tidak boleh dibesar-besarkan. Yang pasti, Allah “memerintahkan semua orang di mana-mana untuk bertobat” (Kisah Para Rasul 17:30), tetapi pertobatan yang diperintahkan ini adalah “pertobatan untuk pengampunan dosa” (Lukas 24:47). Perintah untuk bertobat dan percaya itu sendiri merupakan tawaran kasih karunia.

Kita mungkin setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa tidak ada keharusan bagi Allah yang memiliki keagungan yang tak terbatas untuk membuat tawaran kasih karunia kepada mereka yang hanya akan terus memberontak. Memang, kita mungkin juga mengatakan bahwa adalah kedaulatan Allah untuk menawarkan keselamatan kepada siapa pun, terlepas dari tanggapan mereka pada akhirnya. Tetapi kenyataannya adalah, Dia melakukannya, dan Dia memberi tahu kita berulang kali. Dia memerintahkan, Dia meminta, Dia memohon, Dia berdiri dengan penuh kerinduan dengan tangan terentang — semua ini adalah bahasa alkitabiah. Lebih penting lagi, kita harus mengakui bahwa sikap welas asih ini adalah bagian dari penyataan diri Allah untuk dipahami sebagai salah satu aspek kemuliaan-Nya. Ini bukan pengertian filsafat manusia. Kita tidak menyembah Allah dengan benar sampai kita mengenali hati kasih-Nya yang besar. Dan kita tidak memberitakan Injil dengan benar sampai kita sendiri mencerminkan pendirian ini.

Pagi ini, janganlah Anda ragu bahwa tugas mengabarkan Injil kepada siapa pun memiliki jaminan Alkitab yang kuat dan eksplisit. Allah memposisikan diri-Nya kepada orang jahat sebagai orang yang bersedia menyelamatkan, dan Ia memohon kepada mereka sesuai dengan itu melalui juru bicara-Nya. Daya tarik universal Injil ini adalah sarana eksternal yang dengannya Allah, pada waktu-Nya sendiri, secara berdaulat memanggil umat pilihan-Nya secara individu ke dalam persekutuan Kristus. Jika dalam Injil Allah dengan bebas menawarkan Kristus kepada dunia, orang-orang Kristen harus membuat tawaran yang sama. Jika itu adalah tugas semua orang untuk percaya, maka itu adalah tugas orang Kristen untuk membagikan kasih Kristus. Jika kita yakin bahwa kita sudah diselamatkan karena kita sudah menjawab panggilan Kristus, kita dapat mengatakan kepada siapa pun, di mana pun—dan kita tidak boleh ragu—”Jika kamu mau datang kepada Yesus Kristus, Dia akan menyelamatkanmu, seperti Dia sudah menyelamatkan saya”.

Sumber: The Free Offer of the Gospel by Fred Zaspel, The Gospel Coalition

Tugas untuk menghindari dosa seksual

“Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan, supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi isterimu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan, bukan di dalam keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah.” 1 Tesalonika 4:3-5

Daud dan Batsyeba

Dalam banyak negara, percabulan yang dilakukan oleh kaum wanita bisa mendatangkan hukuman yang cukup berat, dan mungkin juga hukuman mati. Walaupun demikian, ada negara-negara yang menganggap biasa percabulan yang dilakukan kaum pria. Malahan, ada kota-kota besar di dunia yang menjadi tujuan para pria untuk berwisata guna pelampiasan hawa nafsu mereka. Karena itu di sebagian negara, adanya berbagai layanan seksual dianggap sebagai sarana untuk memperlancar hubungan bisnis para pengusaha. Lebih dari itu, pemerintah setempat mungkin menganggap adanya penjual jasa seksual adalah hal yang normal, yang bisa mendatangkan devisa negara.

Selain interaksi seksual antar manusia, dalam beberapa tahun terakhir muncul interaksi antara manusia dan robot. Kemajuan teknologi dalam bidang Artificial Intellegence (AI), atau Kecerdasan Buatan, sudah memungkinkan manusia mempunyai pasangan maya dengan kemampuan untuk melayani keinginan seksualnya, setidaknya melalui komunikasi bahasa. Perzinahan bisa dilakukan dalam mata dan pikiran pemakainya di segala waktu dan tempat, termasuk di tempat umum dan di siang hari bolong, hanya dengan memakai sebuah HP. Ini adalah sesuati yang menakutkan, karena sulit dikontrol dan bisa dilakukan oleh pria maupun wanita dari segala umur.

Semua orang yang beragama apapun tentunya tahu bahwa dosa, termasuk dosa seksual, adalah sesuatu yang harus dihindari. Secara umum mereka mengerti bahwa berbuat dosa adalah melakukan apa yang tidak baik dalam pandangan atau ajaran agama masing-masing. Jika mereka melakukan hal yang jahat, itu adalah dosa; sebaliknya jika mereka melakukan hal yang baik, itu membawa pahala. Masalahnya adalah, ukuran apa yang baik dan buruk dalam praktik hidup sehari-hari biasanya tidak dibatasi oleh agama, tetapi diatur oleh etika praktis yang berbeda-beda menurut pengertian dan kebiasaan setempat.

Etika mengajarkan apa yang baik dan yang buruk dalam hidup bermasyarakat. Adanya etika adalah baik, tetapi tiap bangsa atau masyarakat mempunyai etika tersendiri sehingga apa yang dianggap baik di satu tempat, mungkin adalah sesuatu yang tidak baik di tempat lain. Etika biasanya tidak diatur hukum, sehingga perbuatan yang dianggap buruk oleh etika tidaklah mengundang hukuman negara, sekalipun mungkin ada sanksi sosialnya. Sebaliknya, apa yang melanggar hukum tentu ada hukumannya, sekalipun etika setempat mungkin bisa menerimannya.

Ayat diatas adalah apa yang seharusnya membuat kita sadar bahwa sebagai orang Kristen, kita harus memegang etika yang sejalan dengan Alkitab. Alkitab bukan hanya menyatakan bahwa perbuatan buruk adalah dosa, tetapi juga jelas menerangkan bahwa jika tidak melakukan apa yang baik untuk Tuhan dan sesama, kita juga berbuat dosa. Itu dalah hukum Tuhan yang berlaku atas setiap umat percaya.

Kehendak Tuhan bagi umat Kristiani mengenai perilaku seksual yang benar cukup jelas, yakni menjauhi percabulan dan menjaga kesucian hubungan suami istri. Hubungan ayat di atas dengan nasihat Paulus sebelumnya adalah jelas, yaitu ajaran agar jemaat Tesalonika berusaha untuk lebih bersungguh-sungguh untuk melakukan apa yang dikehendaki Allah (1 Tesalonika 4:1-2). Paulus sudah mengetahui bahwa para pembacanya ingin melakukan kehendak Allah (lihat 1 Tesalonika 1:3-10), tetapi dia juga menyadari bahwa mereka perlu mengetahui lebih spesifik apa yang tercakup dalam kehendak-Nya yang sudah dinyatakan.

Mengingat budaya permisif di Tesalonika, yang mirip dengan keadaan di zaman ini, Paulus menganggap menghindari percabulan adalah prioritas utama dalam pengabdian orang Tesalonika pada pengudusan. Kejahatan seksual dapat dibayangkan merajalela di dalam dan sekitar Tesalonika; oleh karena itu, Paulus sangat khawatir bahwa orang Tesalonika dapat dengan mudah kembali ke kebiasaan lama mereka. Jadi dia memberi mereka perintah langsung dan tidak rumit untuk menjauhkan diri dari percabulan. Mereka tidak boleh merasa bahwa proses pengudusan adalah tanggung jawab Tuhan saja. Umat Kristen harus berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi sepenuhnya dari segala pikiran atau perilaku yang melanggar prinsip-prinsip Firman Tuhan dan yang bisa mengakibatkan berbagai tindakan asusila.

Percabulan (porneias) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan segala bentuk perilaku seksual terlarang. Aktivitas seksual apa pun yang menyimpang dari hubungan monogami antara suami dan istri adalah tidak bermoral menurut standar Allah. Tuhan benar-benar memberkati hubungan seksual dalam pernikahan: “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah.” (Ibrani 13:4). Jelas bahwa Tuhan membenci aktivitas seksual apa pun di luar pernikahan antara pria dan wanita.

Ajaran Paulus yang diilhami Roh tentang masalah moralitas seksual begitu ketat dan menuntut bahwa itu melampaui hanya tindakan fisik amoralitas, seperti yang diilustrasikan oleh ajaran selanjutnya kepada orang Efesus dan Kolose:

“Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut saja pun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus.” Efesus 5:3

“Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala” Kolose 3:5

Dalam kedua ayat di atas, kenajisan atau kecemaran berasal dari kata Yunani yang sama, yang artinya melampaui tindakan dosa seksual hingga mencakup pikiran dan niat yang tidak bersih. Penggunaan kenajisan itu, bersama dengan peringatan umum Paulus terhadap amoralitas seksual, menempatkan dia sepenuhnya setuju dengan ajaran Yesus tentang dosa seksual: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Matius 5:27–28). Berpantang total dari dosa seksual adalah salah satu kewajiban yang paling penting bagi semua orang percaya, terutama karena mereka sudah ditebus oleh darah Kristus.

Jika ada banyak orang Kristen di zaman ini yang kuatir akan dampak kebebasan seksual di zaman ini, Paulus pada waktu itu khawatir bahwa orang-orang percaya baru di Korintus belum sepenuhnya meninggalkan kegiatan-kegiatan tersebut. Situasi di Korintus, di mana Paulus berada ketika dia menulis surat-surat Tesalonika, jelas menyoroti bahaya dosa seksual dan memotivasi peringatan Paulus kepada orang Tesalonika. Maka, perintahnya adalah pantang total dari aktivitas seksual apa pun di luar pernikahan.

“Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak! Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: ”Keduanya akan menjadi satu daging.” Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia. Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri. Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, – dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” 1 Korintus 6:15–20

Kitab Suci menjelaskan bahwa orang-orang yang biasa melakukan percabulan dengan demikian menunjukkan bahwa mereka bukan orang Kristen atau bukan orang pilihan:

“Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” 1 Korintus 6:9–10

Pagi ini kita juga diingatkan bahwa pasal yang sama dari 1 Korintus juga menunjukkan bahwa orang percaya terkadang masih dapat melakukan dosa seksual. Memang, bila Allah membuat orang berdosa bertobat dan memindahkan dia ke kedudukan seorang yang telah beroleh rahmat, Dia membebaskannya dari perhambaan kodratnya di bawah dosa dan oleh rahmat-Nya semata-mata menjadikan dia mampu menghendaki dan melakukan apa yang baik secara rohani. Akan tetapi, caranya begitu rupa sehingga, disebabkan kerusakan yang masih tinggal padanya, ia tidak menghendaki apa yang baik itu secara sempurna, dan hanya itu saja, tetapi menghendaki juga apa yang jahat.

Risiko jatuh ke dalam dosa perzinahan dan dosa seksual lainnya adalah cukup besar bagi orang Kristen. Ada banyak tokoh-tokoh gereja zaman ini yang sudah jatuh ke dalam kegelapan dosa seksual dan itu membuat nama Tuhan dicemarkan. Karena itu, baiklah kita tidak meremehkan adanya ancaman dosa seksual di sekitar kita, tetapi mau saling mengingatkan agar kita mau mendengarkan bimbingan Roh Kudus dalam hidup kita, agar kita bisa lebih bersungguh-sungguh dalam melawan godaan seksual yang datang kepada kita. Bagaimana kita bisa melawan godaan ini? Cara yang paling tepat adalah dengan menghindari atau melarikan diri!

“Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak! Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: ”Keduanya akan menjadi satu daging.” Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia. Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri. Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, – dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” 1 Korintus 6: 15-20

Bahan dari The MacArthur New Testament Commentary on 1 Tesalonika 4.