Apakah kita dapat dipercaya oleh Tuhan?

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” Lukas‬ ‭16‬:‭10‬‬

Ayat dari kitab Lukas ini memperkenalkan konsep kepercayaan dan integritas yang kuat. Ayat ini menunjukkan bahwa kepercayaan tidak ditentukan oleh besarnya tugas, melainkan oleh karakter dan perilaku seseorang. Sederhananya, jika kita dapat dipercaya dengan tanggung jawab kecil, kemungkinan besar kita akan dipercaya dengan tanggung jawab yang lebih besar. Ini merupakan dorongan bagi kita untuk bertanggung jawab dalam hal-hal kecil, karena ini membangun reputasi dan karakter kita.

Ketika kita merenungkan kehidupan kita, konsep ini dapat dipahami. Mungkin kita memiliki tugas-tugas kecil di rumah atau tugas-tugas kecil di sekolah. Hal-hal kecil ini juga penting. Jika kita menganggapnya serius dan melakukannya dengan baik, hal itu menunjukkan kepada orang lain bahwa kita mampu dan dapat diandalkan. Ini mengingatkan kita bahwa pencapaian besar seringkali dimulai dari tindakan integritas yang kecil. Ini adalah fakta hidup di dunia.

Untuk memahami Lukas 16:10 sepenuhnya, kita perlu melihat konteks di mana perumpamaan itu dibingkai. Dalam ayat-ayat sebelumnya, Yesus membagikan perumpamaan tentang bendahara yang cerdik, yang menggambarkan bagaimana seseorang dapat licik namun tetap beretika. Sang bendahara dihadapkan pada kehilangan pekerjaannya dan membuat serangkaian keputusan untuk mengamankan masa depannya. Yesus menggunakan perumpamaan ini bukan untuk mendukung ketidakjujuran, tetapi untuk menyoroti pentingnya bersikap bijaksana dan penuh pertimbangan dengan apa yang kita miliki. Dalam konteks ajaran-Nya, Yesus menekankan bahwa dunia ini membutuhkan keterampilan tertentu dalam mengelola sumber daya dan tanggung jawab. Namun, Ia membandingkan hal ini dengan kesetiaan sejati. Ayat yang kita renungkan merangkum pelajaran ini dengan menuntut integritas dan kejujuran dalam setiap tugas — sekecil apa pun kelihatannya.

Dalam hidup, kita sering menghadapi berbagai situasi yang menguji kepercayaan kita. Lukas 16:10 mendorong kita untuk menyadari pentingnya bersikap jujur ​​dan dapat diandalkan bahkan dalam tugas-tugas terkecil sekalipun. Konsep kepercayaan merupakan bagian integral dari hubungan — baik dengan teman, keluarga, maupun rekan kerja. Ketika kita menepati komitmen, hal itu menciptakan fondasi yang kokoh untuk hubungan yang lebih erat.

Ayat ini juga menjelaskan potensi konsekuensi terkait ketidakjujuran. Jika seseorang tidak dapat dipercaya dalam hal-hal kecil, hal itu menimbulkan keraguan tentang bagaimana ia dapat menangani tanggung jawab yang lebih besar dengan benar. Gagasan ini menggemakan prinsip yang terdapat dalam Amsal 12:22, yang menyatakan bahwa Tuhan membenci orang yang suka berdusta, tetapi berkenan kepada orang yang mengatakan kebenaran. Kejujuran membantu kita menjalani hidup yang selaras dengan kehendak Tuhan dan memperkuat karakter kita.

Selain itu, ayat ini dapat menjadi ujian bagi karakter kita. Ayat ini mendorong kita untuk bertanya pada diri sendiri, apakah kita menangani tanggung jawab kecil kita dengan baik? Bisa sesederhana mengembalikan barang pinjaman tepat waktu atau datang tepat waktu untuk rapat. Tindakan terkecil dapat mencerminkan karakter dan nilai-nilai sejati kita.

Tuhan memanggil kita untuk menjadi pengelola yang andal atas segala sesuatu yang telah Dia berikan kepada kita. Itu bisa berupa waktu, bakat, atau sumber daya kita. Dalam Matius 25:21, kita membaca tentang perumpamaan tentang talenta, di mana mereka yang setia dengan sedikit talenta diganjar dengan lebih banyak. Hal ini menunjukkan kebaikan Allah kepada mereka yang menjalankan tanggung jawab yang dipercayakan dengan penuh perhatian.

Ketika kita menerima pelajaran dari Lukas 16:10, kita belajar bahwa integritas dalam hal-hal kecil dapat menuntun pada peluang yang lebih besar. Kita juga mengembangkan gaya hidup yang mencerminkan kasih dan kebenaran Allah. Dengan demikian, menjadi orang yang dapat dipercaya dalam hal-hal kecil menempatkan kita pada posisi untuk melayani tujuan yang lebih besar.

Pesan Yesus di sini sangat mendalam. Manusia sering dinilai berdasarkan karakternya. Ketidakpercayaan dalam hal kecil menunjukkan betapa besar integritas seseorang ketika taruhannya lebih tinggi. Oleh karena itu, pesan tersebut mendorong kita untuk membangun integritas selangkah demi selangkah, setiap kali meneguhkan karakter kita.

Hal ini selaras dengan ajaran yang terdapat di seluruh Alkitab, termasuk Matius 5:16, yang mendorong kita untuk membiarkan terang kita bersinar di hadapan orang lain. Ketika kita menjalankan tugas sehari-hari dengan integritas, kita mencerminkan kasih dan terang Allah ke dunia di sekitar kita.

Ketika kita menelaah Lukas 16:10, kita dapat membaginya menjadi dua bagian utama — aspek kepercayaan dan integritas karakter. Masing-masing bagian memainkan peran krusial dalam menyampaikan pesan keseluruhan ayat tersebut.

Bagian pertama menekankan, “Barangsiapa dapat dipercaya dalam hal yang sangat kecil, ia juga dapat dipercaya dalam hal yang sangat besar.” Pernyataan ini menekankan pentingnya dapat diandalkan dalam tugas-tugas kecil. Jika kita sering membuktikan diri dapat diandalkan, hal itu akan membuka peluang bagi kita untuk dipercayakan dengan tanggung jawab yang lebih besar.

Bagian kedua memperingatkan, “Barangsiapa tidak jujur ​​dalam hal yang sangat kecil, ia juga akan tidak jujur ​​dalam hal yang sangat besar.” Ini berfungsi sebagai peringatan. Jika seseorang berbohong tentang hal-hal kecil, kemungkinan besar ia akan melanjutkan perilaku tersebut dalam situasi yang lebih besar. Hal ini memperkuat kebutuhan kita untuk membangun dan menjunjung tinggi kejujuran sebagai nilai inti dalam setiap aspek kehidupan kita.

Penulis Lukas ingin kita menyadari bahwa kedua elemen tersebut — kepercayaan dan kejujuran — berjalan beriringan. Kejujuran menumbuhkan kepercayaan, yang pada gilirannya menghasilkan peluang yang lebih signifikan. Bersama-sama, elemen-elemen ini menciptakan siklus akuntabilitas dan pertumbuhan yang bermanfaat bagi kita dalam perjalanan iman kita.

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari Lukas 16:10? Pertama, kita didorong untuk merangkul gagasan tanggung jawab. Setiap hari, kita menghadapi tugas-tugas kecil yang mungkin tampak remeh. Namun, unggul dalam hal-hal kecil tersebut mencerminkan komitmen kita untuk dapat dipercaya.

Kedua, kita belajar bahwa karakter itu penting. Kita perlu menyadari bahwa tindakan kita mencerminkan siapa diri kita. Dalam menjalankan tanggung jawab kita, kita menunjukkan karakter kita. Marilah kita berusaha menjadi orang yang berintegritas dalam segala hal yang kita lakukan.

Selain itu, kita menemukan nilai dari kesetiaan dengan apa yang kita miliki. Tuhan mempercayakan sumber daya, hubungan, dan tugas kita kepada kita. Mengelolanya dengan baik menjadi bukti kesetiaan kita kepada Tuhan dan orang-orang di sekitar kita. Mazmur 37:5 mendorong kita untuk menyerahkan hidup kita kepada Tuhan, percaya bahwa Dia akan menetapkan jalan kita.

Akhirnya, ayat ini membuka mata kita akan pentingnya perilaku yang konsisten. Membangun reputasi membutuhkan kesengajaan. Dimulai dari pilihan-pilihan kecil yang kita buat setiap hari ketika tidak ada orang lain yang melihat. Ketika kita membangun fondasi kepercayaan, kita mempersiapkan diri untuk kesempatan yang lebih besar dalam hidup dan perjalanan iman kita.

Lukas 16:10 terhubung dengan kita dalam berbagai aspek, mengajarkan pelajaran penting tentang integritas dan tanggung jawab. Setiap tugas yang kita tangani, besar atau kecil, berperan penting dalam membentuk karakter dan reputasi kita.

Saat kita menjalankan tanggung jawab kita sehari-hari, marilah kita ingat untuk melakukannya dengan jujur dan tekun, sesuai dengan firman Tuhan. Tuhan memanggil kita untuk menjadi penatalayan yang baik dalam setiap aspek kehidupan kita, mulai dari cara kita mengelola waktu hingga cara kita memperlakukan hubungan kita. Setiap langkah memungkinkan kita untuk bertumbuh lebih dekat kepada-Nya dan mempersiapkan diri untuk tanggung jawab yang lebih besar di masa depan.

Hal berbakti kepada-Nya menuntut perhatian khusus. Karena jika kita ingin ke surga, kita harus sadar bahwa di sana setiap orang percaya merasa bahagia hidup bersama Tuhan dan mau memuji Dia dalam setiap saat. Bagaimana kita bisa melakukan hal itu jika bagi kita yang mengaku Kristen, untuk ke gereja sekali seminggu dan berdoa setiap hari saja kita sudah mengalami kesulitan dan tidak mempunyai gairah? Bukankah itu tidak mencerminkan karakter dan tanggung jawab kekristenan yang baik?

Marilah kita menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang terdapat dalam Lukas 16:10, karena prinsip-prinsip tersebut mendorong kita untuk menjalani hidup yang mencerminkan kasih dan terang Tuhan. Baik di rumah, sekolah, maupun tempat kerja dan gereja, menjadi orang yang dapat dipercaya dan jujur tetaplah yang terpenting. Ketika kita memperlakukan hal-hal kecil dengan hormat, kita membuka pintu untuk mengalami berkat-berkat yang lebih besar di masa depan.

Jika Anda menikmati menjelajahi ayat yang penuh wawasan ini dan implikasinya yang mendalam, pertimbangkan untuk mempelajari lebih lanjut tentang pelajaran dari perumpamaan-perumpamaan tersebut, atau jelajahi ayat-ayat Alkitab tentang perubahan dalam hidup kita. Ada begitu banyak firman Tuhan dalam Kitab Suci yang menunggu untuk kita laksanakan!

Tuhan menyertai mereka yang percaya

“Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab Tuhan, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi.” Yosua‬ ‭1‬:‭9‬‬

Sering kita mendengar ucapan “Tuhan menyertai Anda” pada saat perpisahan antara dua orang. Ucapan ini agaknya sama populernya dengan ucapan “Tuhan menyertai Anda”. Walaupun demikian, ucapan-ucapan ini lebih sering diucapkan secara kebiasaan saja, daripada sebagai salam berkat yang serius. Agaknya baik orang yang mengucapkannya maupun orang yang menerimanya mungkin kurang memikirkan bahwa ucapan itu berlaku untuk setiap orang yang percaya.

Masalahnya, dalam Yosua 1:9, Tuhan memerintahkan Yosua, “Jadilah kuat dan berani. Jangan takut; jangan berkecil hati, karena TUHAN, Allahmu, akan menyertaimu ke mana pun kamu pergi.” Apakah janji ini berlaku untuk orang Kristen pada saat ini?

Dalam satu pengertian, janji dalam bagian ini khusus untuk peran Yosua sebagai pemimpin orang Israel saat dia membawa mereka ke Tanah Perjanjian. Yosua memiliki tugas yang luar biasa untuk dipenuhi setelah kematian Musa—tanggung jawab memimpin seluruh bangsa ke tanah baru. Kata-kata keberanian dan dorongan Tuhan berfungsi sebagai pesan penting untuk memperkuat Yosua sebagai pemimpin umat Tuhan.

Sementara janji bahwa Tuhan akan bersama Yosua khusus untuk Yosua, prinsipnya meluas ke kita hari ini. Pertama, Tuhan mengharapkan para pengikut-Nya untuk menjalani kehidupan yang kuat dan berani. Dalam Perjanjian Baru, kita menemukan rasul Paulus mengatakan kepada Timotius, “Roh yang diberikan Tuhan kepada kita tidak membuat kita takut, tetapi memberi kita kuasa, kasih, dan disiplin diri” (2 Timotius 1:7). Dalam Kisah Para Rasul 1:8 Yesus berkata kepada para pengikut-Nya, “Kamu akan menerima kuasa ketika Roh Kudus datang kepadamu; dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem, dan di seluruh Yudea dan Samaria, dan sampai ke ujung bumi.”

Kedua, selain menjalani kehidupan yang kuat dan berani sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk sepenuhnya hidup tanpa rasa takut. Yesus mengajarkan, “Jangan takut kepada orang-orang yang membunuh tubuh tetapi tidak dapat membunuh jiwa” (Matius 10:28). Ketika Paulus dipenjara, dia menulis, “Karena rantaiku, sebagian besar saudara dan saudari telah menjadi percaya kepada Tuhan dan semakin berani untuk memberitakan Injil tanpa rasa takut” (Filipi 1:14). Meskipun ada pengertian di mana kita dipanggil untuk takut akan Tuhan, yang berarti hidup dengan hormat dan hormat kepada-Nya, Kitab Suci jelas menyatakan bahwa kita harus hidup dengan keyakinan pada janji dan kuasa Tuhan.

Ketiga, alasan kita dapat hidup dengan berani dan tanpa rasa takut adalah karena Tuhan bersama kita ke mana pun kita pergi. Apa yang Tuhan perintahkan kepada Yosua juga terlihat dalam Amanat Agung: “Tentunya Aku selalu bersamamu, sampai akhir zaman” (Matius 28:20). Juga, kita memiliki janji Ibrani 13:5: “Tuhan telah berkata, ‘Aku tidak akan pernah meninggalkanmu; aku tidak akan pernah meninggalkanmu.'”

Singkatnya, sementara janji Yosua 1:9 khusus untuk Yosua, prinsipnya ditegaskan di tempat lain dalam Alkitab yang berlaku untuk semua orang percaya saat ini. Tuhan memanggil kita untuk hidup dengan berani, tanpa rasa takut, mengetahui bahwa Tuhan bersama kita setiap saat.

Pada saat ini mungkin Anda mengalami rasa sepi dan kuatir karena jauh dari sanak keluarga, karena kesehatan yang kurang baik, atau masa depan yang tidak menentu. Jika demikian, janji Tuhan kepada Yosua adalah janji-Nya kepada Anda juga, karena seperti Yosua, Anda adalah orang yang percaya kepada kuasa dan kasih Tuhan.

Apakah Tuhan peduli atas hidup Anda?

“Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu” Mazmur‬ ‭139‬:‭7‬‬

Berapa banyak orang yang percaya adanya Tuhan yang tidak peduli akan hidup manusia? Ada banyak tentunya, tetapi belum ada riset yang menyatakan secara pasti tentang jumlahnya.

Sebagian orang yang beragama, tidak mengenal siapa Tuhan mereka, sekalipun mereka takut untuk berbuat jahat karena mereka percaya adanya karma. Dalam hal ini, mereka yang beragama Kristen tahu bahwa Tuhan itu ada dan mahatahu, tetapi banyak juga yang hidup seolah-olah Tuhan tidak mampu atau mau untuk campur tangan dalam hidup mereka. Jadi mereka hidup seperti Tuhan itu tidak ada.

Dalam ayat di atas, Daud menyatakan bahwa Tuhan mahatahu dan peduli atas hidupnya. Jika Daud ingin melarikan diri dari pengetahuan Allah yang menyeluruh, ia tidak akan menemukan tempat untuk bersembunyi dari Allah. Ini bukan karena ia ingin melarikan diri dari Allah seperti apa yang diperbuat nabi Yunus.

Nani Yunus mencoba melarikan diri dari hadirat Allah ketika Allah memerintahkannya untuk pergi ke Niniwe dan berseru melawannya. Alih-alih pergi ke timur ke Niniwe, ia naik kapal yang menuju ke barat ke Tarsis (Yunus 1:1-3). Ia segera menyadari bahwa Allah hadir, sejauh apa pun ia berlari. Tuhan menyiapkan badai besar yang menyebabkan Yunus terdampar di laut, dan Allah tetap ada di sana (Yunus 1:11-12). Tuhan juga telah menetapkan seekor ikan besar untuk menelan Yunus (Yunus 1:17). Di dalam perut ikan, Yunus bertobat dan bersumpah untuk menaati Tuhan (Yunus 2:1).

Lain Yunus, lain Elia. Elia melarikan diri ke padang gurun di selatan Yehuda untuk menghindari murka Izebel, tetapi ia tidak dapat menjauhkan diri dari Tuhan. Tuhan menyatakan diri-Nya kepada Elia dalam bisikan pelan dan memberinya kesempatan baru untuk melayani-Nya (1 Raja-raja 19:9-18).

Mengapa orang percaya sering lupa bahwa Tuhan melihat apa yang diperbuat mereka? Sebagian karena mereka tidak benar-benar mengenal Tuhan. Sebagian lagi memang sengaja tidak mau mengingat hal itu karena mereka mau hidup bebas semaunya sendiri. Mereka merasa bahwa adanya Tuhan yang mengawasi mereka adalah terlalu membatasi cara hidup mereka.

Mazmur 139:7–12 mengikuti sebuah bagian yang berfokus pada kemahatahuan Allah. Bagian mazmur ini menggambarkan kemahahadiran-Nya: kemampuan-Nya untuk berada di mana-mana sekaligus. Daud menyebutkan beberapa tempat yang mungkin ia kunjungi, hanya untuk menemukan bahwa Allah ada di sana. Pengetahuan akan kehadiran Allah menghibur Daud. Ia tahu Allah akan menyertainya ke mana pun ia pergi.

Dalam mazmur ini, Daud mengagumi karakteristik Allah yang menakjubkan. Tuhan tahu segalanya tentang dirinya: ke mana ia pergi, semua pikiran Daud, dan segala hal tentang perilakunya. Tuhan tahu apa yang akan Daud katakan bahkan sebelum Daud mengatakannya. Tidak ada tempat yang bisa Daud kunjungi tanpa kehadiran Tuhan. Daud mengagumi karya kreatif Tuhan dalam kandungan. Ia bersyukur atas pikiran Tuhan yang tak terhitung banyaknya untuknya dan atas kehadiran Tuhan siang dan malam. Akhirnya, pikiran Daud tertuju pada orang jahat. Ia menganggap mereka musuh Tuhan dan musuhnya, dan berharap agar Tuhan untuk melenyapkan mereka. Daud muak dengan orang jahat karena mereka mencela Tuhan dan menyebut nama-Nya dengan sembarangan. Ia meminta Tuhan untuk menyelidiki hatinya, melihat apakah ada dosa di sana, dan ia meminta Tuhan untuk menuntunnya di jalan yang kekal.

Seperti Daud, bagi orang percaya yang taat, kemahahadiran Allah merupakan suatu penghiburan. Yesus berkata, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:20). Ibrani 13:5 menggemakan janji “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Janji ini berarti kita tidak perlu takut terhadap apa pun yang dapat dilakukan siapa pun terhadap kita (Ibrani 13:6). Tidak ada alasan bagi kita untuk menolak kenyataan bahwa Tuhan selalu melihat apa yang kita lakukan dalam hidup demi kebaikan kita. Ia tahu apakah kita benar-benar beriman dan memuliakan Dia, atau sekadar mengaku Kristen tetapi mengabaikan-Nya.

Bukan hanya sehat jasmani, tetapi juga sehat rohani

“Kita dikelilingi orang-orang besar yang beriman ini sebagai contoh kita. Jadi, kita juga harus berlari dalam perlombaan yang ada di depan kita, tanpa menyerah. Marilah kita membuang dari hidup kita semua yang akan memperlambat kita dan semua dosa yang membuat kita sering terjatuh.” Ibrani 12:1 (AMD)

Semakin bertambah usia, topik pembicaraan saya dengan teman-teman sering berubah mengikuti perjalanan hidup. Kalau dulu, dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, percakapan saya banyak berkisar pada pekerjaan, keluarga muda, atau cita-cita karier, kini topiknya lebih sering tentang anak-anak yang sudah dewasa, cucu yang lucu, atau kesehatan yang mulai menuntut perhatian. Jika dahulu pertanyaan yang lazim adalah, “Kamu kerja di mana?” kini yang terdengar lebih sering adalah, “Sudah berapa cucu sekarang?” Begitulah kehidupan manusia, selalu bergeser dan berkembang seiring waktu.

Bersamaan dengan itu, dengan usia lanjut percakapan tentang kesehatan menjadi semakin umum. Banyak teman saya saling berbagi pengalaman tentang tekanan darah, kolesterol, gula darah, atau sendi yang mulai kaku. Ada yang bertukar informasi tentang obat dan suplemen, ada pula yang membicarakan pola makan atau olahraga. Semua itu wajar, bahkan baik, karena semakin tua seseorang, semakin ia menyadari bahwa kesehatan jasmani bukan sesuatu yang bisa disepelekan. Tubuh ini adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga, sebab tanpa tubuh yang sehat, aktivitas dan pelayanan pun menjadi terbatas.

Namun di tengah kesadaran besar untuk menjaga kesehatan jasmani, sering kali kita lupa bahwa ada jenis kesehatan lain yang jauh lebih penting — yaitu kesehatan rohani. Banyak orang sanggup menempuh diet ketat, bangun pagi untuk berjalan kaki, dan minum vitamin dengan disiplin, tetapi jarang memberi waktu untuk menyehatkan jiwanya. Padahal, tubuh yang kuat tidak menjamin hati yang tenang; otot yang berisi tidak menjamin iman yang teguh. Dan pada akhirnya, ketika usia semakin lanjut dan tenaga semakin berkurang, justru kesehatan rohanilah yang paling menentukan bagaimana seseorang menapaki sisa hidupnya dengan damai dan bersyukur.

Penulis surat Ibrani mengajak kita memandang hidup sebagai perlombaan iman. Kita semua sedang berlari di lintasan kehidupan menuju garis akhir, di mana Tuhan menanti. Dalam perjalanan itu, ada banyak hal yang bisa memperlambat langkah: dosa yang belum ditinggalkan, dendam dan kepahitan yang disimpan, rasa takut, kekhawatiran, dan keinginan yang tak terkendali. Semua itu seperti beban berat yang kita bawa saat berlari. Firman Tuhan berkata, “Marilah kita membuang dari hidup kita semua yang memperlambat kita.” Artinya, kita diajak untuk menanggalkan segala hal yang membuat langkah iman kita terseret, agar bisa berlari dengan ringan dan penuh ketekunan.

Kesehatan rohani, sama seperti kesehatan jasmani, memerlukan perawatan yang terus-menerus. Roh yang sehat tidak muncul begitu saja, tetapi tumbuh dari kebiasaan hidup yang benar: pergi ke gereja secara teratur, membaca firman Tuhan, berdoa dengan tulus, bersyukur dalam segala hal, dan hidup dalam pengampunan. Orang yang sehat rohaninya tidak berarti tidak pernah sedih atau marah, tetapi ia tahu ke mana harus membawa kesedihan dan kemarahannya — kepada Tuhan. Ia mungkin menghadapi banyak masalah, tetapi hatinya tidak dikuasai kecemasan. Ia mungkin menua secara fisik, tetapi rohnya tetap muda karena setiap hari diperbarui oleh kasih karunia Tuhan.

Dalam surat Ibrani pasal 11, penulis menyebut banyak tokoh iman: Nuh, Abraham, Musa, dan yang lain. Mereka bukanlah orang-orang yang sempurna, tetapi adalah contoh orang-orang yang hidupnya dipimpin oleh iman, bukan oleh rasa takut. Mereka menanggung penderitaan, bahkan kematian, namun tetap setia. Itulah sebabnya mereka disebut “awan saksi iman” — seolah-olah mereka kini menjadi penonton yang menyemangati kita dari tribun kehidupan. Kesadaran itu memberi kekuatan: kita tidak sendirian. Ada banyak orang percaya yang telah berlari lebih dulu dan berhasil menyelesaikan perlombaan mereka dengan iman yang tetap utuh. Allah yang memampukan mereka adalah Allah yang sama yang menolong kita hari ini.

Dan di atas semua itu, Yesus sendiri menjadi teladan utama dari hidup yang sehat secara rohani. Ia tidak hanya mengajarkan bagaimana kita harus hidup, tetapi Ia sendiri meneladankannya. Ia menghadapi pencobaan dan penderitaan, tetapi tidak pernah goyah dalam ketaatan kepada Bapa. Ia menanggung salib bukan karena lemah, tetapi karena tahu bahwa penderitaan itu adalah bagian dari rencana Allah yang sempurna. Kesehatan rohani Yesus terletak pada ketaatan-Nya yang penuh kasih — ketaatan yang tidak tergoyahkan oleh rasa sakit, hinaan, atau kesepian.

Ketika kita menatap kepada Yesus, kita belajar bahwa hidup rohani yang sehat berarti hidup yang mau taat, sekalipun jalan yang ditempuh tidak mudah. Sehat rohani bukan berarti bebas dari masalah, tetapi kuat menghadapi masalah dengan iman. Sehat rohani berarti terus berharap walau belum melihat hasilnya, terus berdoa walau belum menerima jawaban, dan terus mengasihi walau mungkin tidak dibalas dengan kasih.

Pada umumnya, kebugaran jasmani mulai menurun di usia 40-an karena metabolisme yang melambat, massa otot yang berkurang sekitar 1% per tahun, dan daya tahan tubuh yang menurun. Perubahan ini dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan penurunan kekuatan, namun perubahan ini normal dan dapat dikelola dengan gaya hidup sehat. Bagi banyak orang berumur, masa hidup sekarang adalah waktu di mana tubuh mulai memberi tanda-tanda keterbatasan. Tetapi justru di sinilah iman diuji. Tubuh boleh melemah, tetapi roh harus tetap kuat. Orang yang sehat rohaninya akan memandang hari tua bukan sebagai beban, tetapi sebagai kesempatan baru untuk bersyukur dan menjadi berkat. Ia tidak pahit terhadap masa lalu, tidak cemas terhadap masa depan, tetapi hidup dengan damai karena tahu bahwa hidupnya ada di tangan Tuhan.

Kesehatan rohani membuat seseorang tetap memancarkan cahaya Kristus meski tubuhnya tidak lagi sekuat dulu. Ia tetap sabar, penuh kasih, dan mudah mengampuni. Ia tidak lagi sibuk mengejar pengakuan manusia, karena hatinya sudah dipenuhi oleh kasih Allah. Ia tahu bahwa sukacita sejati tidak datang dari keadaan, melainkan dari hubungan yang hidup dengan Sang Pencipta. Orang yang rohnya sehat akan menjadi sumber penghiburan bagi sekitarnya. Kehadirannya membawa ketenangan, bukan kegelisahan; membawa semangat, bukan keluhan.

Menjaga kesehatan rohani tidak perlu menunggu masa pensiun atau masa tua. Sama seperti tubuh yang perlu dirawat sejak muda, jiwa pun harus dipelihara sejak awal. Jika tubuh perlu makanan bergizi, roh kita pun perlu makanan rohani: firman Tuhan setiap hari. Jika tubuh perlu bergerak untuk tetap bugar, roh kita pun perlu dipraktikkan melalui pelayanan, kasih, dan pengampunan. Jika tubuh perlu istirahat, roh kita pun perlu hening — waktu tenang untuk bersekutu dengan Tuhan, memeriksa hati, dan menerima pembaruan dari-Nya.

Pada akhirnya, hidup ini bukan tentang siapa yang paling cepat sampai garis akhir, tetapi siapa yang tetap setia sampai garis akhir. Paulus berkata dengan yakin, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” Itulah tujuan yang sejati. Sehat jasmani memang penting agar kita bisa terus melayani dan bekerja, tetapi sehat rohani jauh lebih penting karena menentukan arah hidup dan masa depan kekal kita.

Ketika tubuh tak lagi kuat dan langkah mulai melambat, roh yang sehat akan menjadi kekuatan yang menopang. Dan ketika akhirnya kita mencapai garis akhir, biarlah kita dapat berkata dengan damai, “Aku telah berlari dan tidak menyerah.” Sebab pada saat itu, yang menanti kita bukan sekadar akhir dari perjuangan, melainkan awal dari kemuliaan kekal bersama Tuhan yang telah menuntun kita sepanjang jalan.

Doa Penutup:

Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau telah memberi kami hidup dan tubuh untuk dijaga, tetapi lebih dari itu, Engkau memberi kami roh yang harus dipelihara. Tolong kami agar tidak hanya sibuk merawat jasmani kami, tetapi juga menjaga kesehatan rohani kami setiap hari. Beri kami kekuatan untuk tetap beriman, tetap berharap, dan tetap mengasihi sampai kami mencapai garis akhir dengan mata tertuju kepada-Mu. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.

Bagaimana seharusnya kita melangkah dalam hidup?

“Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.” ‭‭Amsal‬ ‭16‬:‭9‬‬

Selama berabad-abad, para teolog telah memperdebatkan apa artinya bagi pria dan wanita untuk diciptakan menurut gambar Allah (Kejadian 1:26-27). Belum ada definisi yang diterima secara universal, tetapi terdapat kesepakatan luas mengenai setidaknya beberapa hal yang membentuk gambar ilahi. Salah satu aspeknya adalah bahwa manusia memiliki pikiran dan kehendak. Sebagian orang memikirkan kemampuan ini sebagai kehendak bebas (free will). Seperti Allah, kita memiliki niat, kita membuat rencana, dan kita memilih tindakan tertentu. Lebih lanjut, kita semua merasa setidaknya bisa mengendalikan apa yang kita biasa lakukan setiap hari, seperti makan apa, berbaju warna apa dan sebagainya. Betapa pun kita mencoba menyangkalnya, kita semua merasa bertanggung jawab atas pilihan kita (Rm. 1:18-2:29).

Pada pihak yang lain, Alkitab mengajarkan kita untuk tidak pernah membiarkan kenyataan ini membodohi kita dengan percaya bahwa kita memiliki keputusan akhir atas apa yang kita capai. Free will adalah kemampuan untuk memilih, tetapi bukan untuk memastikan bahwa apa yang kita kehendaki akan terjadi. Ada satu kehendak yang selalu mengalahkan kehendak kita, yaitu kehendak ilahi. Allah, “yang mengerjakan segala sesuatu menurut keputusan kehendak-Nya” (Efesus 1:11), memiliki keputusan akhir karena Dialah yang menetapkan langkah-langkah kita, seperti yang kita baca dalam bacaan hari ini. KIta mungkin tidak sadar bahwa Tuhan bisa mengizinkan atau menolak pilihan kita, bisa menyuruh atau menetapkan kita untuk berbuat atau mengalami sesuatu, dan apa yang terjadi adalah sesuai dengan apa yang ditetapkan-Nya.

Dalam tafsirannya atas kehendak bebas manusia dan kedaulatan Tuhan, Matthew Henry mencatat bahwa setiap manusia adalah “makhluk yang berakal budi, yang memiliki kemampuan untuk merancang bagi dirinya sendiri” dan “makhluk yang bergantung, yang tunduk pada arahan dan kekuasaan Penciptanya.” Ini adalah suatu paradox. Paradoks adalah sebuah pernyataan atau proposisi yang tampaknya tidak masuk akal atau bertentangan, namun jika diselidiki dapat terbukti berdasar atau benar. Kita harus berpegang teguh bahwa manusia memiliki kebebasan untuk membuat keputusan mereka sendiri, sementara pada saat yang sama pilihan mereka berada di bawah kedaulatan Tuhan.

Kebebasan manusia berarti kita selalu melakukan apa yang ingin kita lakukan dalam situasi apa pun. Memang, banyak situasi tampaknya tidak memberi kita pilihan yang baik. Namun demikian, begitu kita berada dalam situasi seperti itu, kita selalu memilih pilihan yang tampaknya terbaik bagi kita. Jika semua hal sama, kita biasanya tidak ingin seseorang melukai kita, tetapi jika pilihannya adalah antara melukai kita untuk mengangkat usus buntu yang meradang atau meninggal karena radang usus buntu, pilihan operasi kita menunjukkan bahwa kita lebih ingin hidup daripada mati. Kita bebas memilih operasi karena saat itu itulah yang paling ingin kita lakukan.

Walaupun demikian, karena adanya kedaulatan Allah, pilihan kita itu terkadang dibuat sesuai dengan hasil yang telah Dia tetapkan, dan kita mencapai apa yang kita inginkan. Di lain waktu, pilihan yang telah kita tetapkan tidak sesuai dengan hasil yang telah Dia tetapkan, dan rencana kita pun gagal. Namun dalam kedua kasus tersebut, tujuan Allah tidak pernah gagal. Langkah kita ditetapkan sesuai dengan apa yang telah Dia rancang (Amsal 16:9), karena Dia memiliki keputusan akhir dalam ciptaan-Nya.

Kebebasan manusia dan kedaulatan ilahi berada dalam hubungan yang kompleks dan misterius. Meskipun Allah menetapkan semua pilihan kita—bahkan pilihan yang akhirnya gagal karena tidak sesuai dengan hasil yang telah Dia tetapkan—kita tidak pernah dapat menyalahkan-Nya atas dosa dan kekeliruan kita. Kita juga tidak dapat lepas dari tanggung jawab atas tindakan kita. Kita telah salah memahami firman Tuhan jika kita menganggap pilihan-pilihan kita merupakan penentu akhir perjalanan hidup kita, tetapi kita juga telah salah memahaminya jika kita mengingkari kebebasan dan tanggung jawab manusia.

Apa yang Anda lakukan ketika menghadapi keputusan penting? Anda berdoa, memohon hikmat dari Tuhan. Anda mencari nasihat dari orang percaya yang dewasa, yang melalui pengalaman dan hikmat mereka membantu Anda memikirkan apa yang baik. Anda mempelajari Firman Tuhan, yang menyingkapkan motif dan niat hati Anda. Anda pergi ke gereja, di mana Anda menemukan dorongan dan persekutuan untuk menopang iman Anda.

Anda ingin rencana Anda (dan keinginan terdalam Anda) mencerminkan rencana Tuhan. Anda bertumbuh dalam pemahaman Anda akan Firman Tuhan, sehingga hidup Anda dapat menjadi cerminan (meskipun terkadang redup) dari apa yang penting bagi-Nya. Karena itu, Anda harus merencanakan dengan bijaksana, penuh kasih, dan cermat.

Anda seharusnya merasa terhibur karena Tuhan yang menetapkan rencana-rencana Anda: “TUHANlah yang menentukan langkahnya” (Amsal 16:9). Tidak ada yang terjadi tanpa Tuhan. Dia berdaulat atas segalanya, termasuk rencana-rencana kita. Seperti yang dikatakan Amsal 16:1, “Manusia dapat merencanakan dalam hati.” Saya mungkin berkata, “Ini rencanaku,” tetapi Tuhan yang menetapkan rencanaku. Dia yang membuatnya berhasil atau membiarkannya gagal. Dia yang mengendalikan apa yang terjadi. Itu seharusnya melenyapkan kesombongan Anda atas keyakinan yang Anda tanamkan pada rencana-rencana Anda. Tidak ada yang Anda rencanakan terjadi di luar kehendak Tuhan.

Jika Tuhan menetapkan segalanya, apakah kita adalah robot-robot-Nya? Bukan! Kita bukan robot yang sudah diprogram sebelumnya. Tuhan memberi kita kebebasan untuk merencanakan dan mengatur jalan ke depan. Sebagai manusia yang digambarkan dalam gambar-Nya, kita diberi kemampuan untuk menyusun strategi, membentuk, dan memilih. Jika kita mendapat tawaran pekerjaan yang bagus di kota lain, kita akan mencari nasihat, berdoa, dan membaca Firman Tuhan, tetapi pada akhirnya, kita memutuskan untuk menerima atau menolak tawaran itu.Tuhan berjalan di depan Anda untuk menetapkan jalan Anda. Dia yang mengatur jalan Anda. Apakah Anda selalu mendapatkan apa yang Anda rencanakan? Tidak. Sama seperti seorang anak yang orang tuanya melihat apa yang terbaik untuknya, Tuhan tahu apa yang terbaik untuk kita.

Perhatikan akhir dari Amsal 16:1: “Manusia dapat menimbang-nimbang dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari pada TUHAN.” Tuhan menciptakan mulut Anda. Dia memberi Anda ucapan dan kata-kata. Anda mungkin membuat dan bisa menguraikan rencana yang rumit, tetapi keputusan akhir datang dari-Nya. Jika Anda menghadapi masa depan yang tidak pasti, sungguh melegakan bahwa rencana Anda tidak terjadi di luar tangan Tuhan. Tuhan yang menentukan masa depan Anda. Dia memegang hidup Anda di tangan-Nya.

Seseorang dapat merencanakan setiap aspek kehidupannya; namun Allah-lah yang pada akhirnya memutuskan apa yang akan terjadi. Para penulis Perjanjian Baru seperti Paulus (Roma 9:20-21) dan Yakobus (Yakobus 4:13-15) memperkuat gagasan ini. Ayub 42:2 menyatakan, “Aku tahu, bahwa Engkau dapat melakukan segala sesuatu, dan bahwa tidak ada rencana-Mu yang gagal”. Itu tidak berarti usaha perencanaan manusia itu salah—tetapi apa yang kita rencanakan perlu dipersiapkan dengan semangat kerendahan hati dan ketaatan kepada Dia yang mahakuasa.

Yesaya 53:6 menggambarkan manusia sebagai domba yang telah menyimpang dari Allah. Kita semua telah tersesat, dan betapapun cerdasnya seseorang, ia tidak dapat melawan kebijaksanaan Tuhan.

“Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya.” Yeremia 10:23

Namun demikian, jika seseorang mencari kehendak Allah dan berjalan oleh Roh dalam terang Firman Allah, Tuhan akan berkenan dan membimbing langkahnya. Semoga kita sadar bahwa frasa “Ora et Labora” (berdoa dan bekerja) adalah satu hal yang harus kita praktikkan dalam hidup ini.

Orang Kristen yang suam-suam kuku

“Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.” Wahyu 3:15-16

Wahyu 3:14–22 adalah pesan terakhir dan paling keras dari Yesus, yang ditujukan kepada gereja di Laodikia. Kita belajar dari penilaian ini bahwa gereja Laodikia suam-suam kuku, sombong, dan puas diri. Mereka membanggakan kekayaannya dan tidak membutuhkan apa pun. Namun gereja Laodikia menipu dirinya sendiri. Dalam hal kondisi rohaninya, gereja itu malang, menyedihkan, miskin, buta, dan telanjang. Yesus mendesak gereja untuk berpaling kepada-Nya, karena Ia berada di luar gereja, mengundang siapa pun yang mendengar suara-Nya untuk membuka pintu dan menyambut-Nya. Laodikia adalah satu-satunya gereja dari tujuh gereja yang hanya menerima teguran, dan tidak mendapat komentar positif.

Surat-surat terakhir di Alkitab ini melambangkan sejarah Gereja dari tahun 1500 M hingga saat kepindahan orang percaya dari bumi untuk pergi bersama Yesus. Orang Kristen di Laodikia bangga dengan kekayaannya, tetapi secara rohani suam-suam kuku, suatu karakteristik yang dibenci Yesus. Ia berjanji untuk bersekutu dengan siapa pun di gereja yang akan mengindahkan suara-Nya dan menyambut-Nya. Laodikia adalah satu-satunya gereja yang tidak dipuji oleh Kristus karena acuh tak acuh kepada Yesus.

Tidak ada yang luput dari perhatian Yesus. Dalam ayat ini, Ia memberi tahu jemaat Laodikia bahwa Ia mengetahui kondisi jemaat itu. Ia berkata jemaat itu tidak dingin atau panas, meskipun Ia lebih suka jika jemaat itu salah satu atau yang lain. Kutukan terhadap iman yang “suam-suam kuku” ini membawa konsekuensi yang mengerikan. Pada masa itu, air bersuhu ruangan adalah air yang berbahaya. Air dingin menunjukkan air segar dari mata air atau sungai yang mengalir, dan air panas adalah air yang telah dimasak atau dibersihkan. Apa pun di antara keduanya, tentu saja mencurigakan dan mungkin tidak berharga.

Jemaat di Laodikia tidak bersemangat atau dingin. Jemaat itu hanya puas mempertahankan posisi status quo. Jemaat itu tidak bersemangat tentang masalah-masalah aktuil kehidupan Kristen atau tidak berperasaan tentang hal-hal itu. Mereka tidak peduli akan keadaan di sekitarnya karena merasa aman dalam keadaan mereka sendiri. Mereka merasa sudah terpilih dan tidak mungkin kehilangan keselamatan mereka. Sementara Yesus tidak memberikan teguran kepada jemaat di Filadelfia, Ia tidak memberikan pujian kepada jemaat Laodikia. Tidak seperti jemaat di Sardis yang menyadari adanya hal-hal yang kurang dan perlu dikuatkan, jemaat di Laodikia yakin tidak memiliki apa pun yang perlu diperbaiki. Dalam beberapa hal, jemaat-jemaat yang ada saat ini tidak panas atau dingin.

Seperti itu juga keadaan beberapa gereja di zaman ini. Mereka hanya terus melakukan kegiatan tradisional yang sama, menawarkan ajaran “teologi unggulan” yang seakan menjamin keselamatan para pengunjung, mengikuti gerakan-gerakan liturgi yang “steril”, dan dengan demikian membuat para anggotanya bersikap pasif dalam usaha untuk hidup dalam kekudusan. Mereka juga tidak tertarik untuk giat menginjil karena semua itu dianggap kurang berguna sebab Tuhan yang mahakuasa sudah menetapkan segalanya.

Aspek lain dari keinginan Yesus agar gereja saat ini menjadi “panas atau dingin” berkaitan dengan bagaimana kita menanggapi Injil. Mereka yang “panas” dalam hal-hal rohani terlibat secara mendalam dan berkomitmen pada iman. Namun, mereka yang dingin, setidaknya berada dalam posisi di mana mereka mengakui kelemahan mereka dan dengan demikian dapat diubah oleh pekerjaan Roh Kudus. Mereka yang “suam-suam kuku” memiliki cukup pengetahuan teologi tentang Kristus sehingga mereka tidak menolak Yesus, tetapi tidak memiliki cukup iman sejati untuk terlibat sepenuhnya dalam hidup sehari-hari. Hidup mereka tidak pernah berubah dari cara hidup lamanya. Kondisi itu, sebenarnya, lebih sulit diubah daripada mengubah orang yang tidak percaya yang sepenuhnya dingin!

Perlu diketahui, Laodikia tidak memiliki sumber air sendiri. Mereka bergantung pada kota Hierapolis di dekatnya untuk mendapatkan airnya. Hierapolis dibangun di sekitar banyak sumber air panas, sehingga mereka menikmati pasokan air panas yang melimpah yang dikirim ke Laodikia melalui saluran air. Akan tetapi, pada saat air mencapai Laodikia, air tersebut telah mendingin hingga suhu suam-suam kuku. Air tersebut perlu didinginkan atau dipanaskan kembali sebelum layak untuk dikonsumsi. Rasa suam-suam kuku dari kehidupan keagamaan jemaat Laodikia membuat Yesus merasa sangat sakit sehingga Ia ingin memuntahkan jemaat itu dari mulut-Nya.

Dalam ayat ini Yesus menggambarkan jemaat di Laodikia sebagai jemaat yang suam-suam kuku. Pada zaman dahulu, orang-orang biasa minum minuman panas atau dingin pada pesta-pesta mereka dan dalam persembahan keagamaan mereka, tetapi mereka tidak pernah minum minuman yang suam-suam kuku. Air seperti itu tidak enak diminum, dan ada alasannya: cairan tersebut lebih mungkin mengandung kuman. Sekarang, pada hari yang panas, orang-orang merasa minuman dingin menyegarkan, dan pada hari yang dingin mereka merasa minuman panas menyegarkan, tetapi tidak seorang pun yang menyukai minuman yang suam-suam kuku.

Ini juga merupakan analogi yang berguna untuk penginjilan. Mereka yang “panas” secara rohani terlibat dalam iman mereka. Mereka yang “dingin” memiliki kesempatan untuk dipengaruhi dengan cara yang kuat oleh Injil. Namun, mereka yang “suam-suam kuku” sebenarnya berada dalam kondisi yang lebih buruk daripada mereka yang “dingin.” Mereka tahu “cukup” tentang Yesus, jadi mereka tidak menolak, tetapi mereka juga agak tidak peduli dengan suara-Nya. Dari sudut pandang Yesus, sebenarnya lebih baik untuk menjadi “dingin” secara rohani, karena itu berarti mereka lebih mungkin memperhatikan panggilan Tuhan.

Sungguh indah untuk diingat pagi ini bahwa Juruselamat kita tidak mencurahkan diri-Nya bagi kita dengan cara yang suam-suam kuku. Dia tidak merendahkan diri-Nya kepada kita dengan cara yang ragu-ragu. Dia tidak canggung dengan pergaulan-Nya dengan para murid-Nya. Sebaliknya, Dia menjadi Gembala Utama kita, dan sudah menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya. Allah tidak akan menoleransi kekristenan yang suam-suam kuku atau hati yang hanya sebagian menjadi milik-Nya. Mereka yang acuh tak acuh mungkin saja belum pernah menerima uluran tangan-Nya!

Tetap tenteram setiap hari

“Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” Ratapan 3:22–23

Nabi Yeremia menulis kitab Ratapan dalam suasana duka yang mendalam. Yerusalem telah hancur, bait Allah dibakar, dan bangsa Yehuda dibuang ke negeri asing. Segala sesuatu yang menjadi kebanggaan mereka hilang. Namun, justru di tengah reruntuhan itulah Yeremia menulis kata-kata yang penuh pengharapan: “Kasih setia Tuhan tidak berkesudahan, rahmat-Nya selalu baru tiap pagi.”

Kata-kata ini seperti setetes embun di tanah gersang. Bukan diucapkan dalam kenyamanan, tetapi di tengah penderitaan. Di saat semua tampak gelap, Yeremia menemukan bahwa kasih Tuhan justru tidak padam. Ia menyadari bahwa kesetiaan Tuhan tidak bergantung pada keadaan, tetapi pada karakter-Nya yang kekal.

Renungan ini mengajak kita menelusuri makna kasih setia Tuhan yang tak berkesudahan dan rahmat-Nya yang selalu baru tiap pagi, agar kita dapat hidup dengan hati yang tenteram setiap hari, meski dunia di sekitar kita berubah.

Apa arti “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan.”? Frasa ini menegaskan bahwa kasih Tuhan tidak mengenal batas waktu maupun keadaan. Ia tidak berubah ketika kita jatuh, tidak berkurang ketika kita gagal, dan tidak berhenti ketika kita ragu.

Banyak orang mengukur kasih Tuhan dari keberhasilan atau kenyamanan yang mereka rasakan. Ketika doa dijawab, mereka bersukacita; tetapi ketika pergumulan datang, mereka merasa ditinggalkan. Yeremia menunjukkan bahwa kasih Tuhan tetap hadir bahkan di tengah kehancuran.

Kasih setia Tuhan adalah seperti matahari yang tetap terbit walau langit tertutup awan. Saat ini, kita mungkin tidak melihatnya, tetapi cahayanya tetap ada. Ia setia bukan karena kita layak, tetapi karena Ia adalah kasih itu sendiri.

Apa arti “Selalu baru tiap pagi.”? Setiap pagi adalah bukti konkret bahwa Allah memberi kita kesempatan baru. Napas yang masih kita hirup adalah tanda bahwa Ia belum selesai dengan hidup kita.

Rahmat Tuhan tidak menumpuk seperti sisa makanan kemarin; Ia selalu segar, selalu baru, selalu cukup untuk hari ini. Seperti manna di padang gurun, Tuhan menyediakan kasih karunia yang cukup untuk setiap hari—tidak lebih, tidak kurang.

Terlalu sering kita hidup dengan bayangan masa lalu: kesalahan, penyesalan, atau rasa malu. Namun Firman Tuhan mengingatkan, rahmat Tuhan membebaskan kita dari belenggu itu. Apa pun yang terjadi kemarin, hari ini selalu ada kesempatan untuk memperbaiki, untuk mengasihi, untuk melangkah lagi.

Ketika dunia terasa berat, renungkanlah bahwa setiap pagi Tuhan berbisik: “Aku masih di sini. Mulailah lagi bersama-Ku.”

Ungkapan “Besar kesetiaan-Mu” menunjukkan bahwa kesetiaan Tuhan adalah jangkar bagi jiwa kita di tengah badai kehidupan. Dunia berubah, manusia berubah, bahkan hati kita pun kadang berubah—tetapi Allah tidak pernah berubah.

Janji-Nya tidak pernah gagal. Ketika Ia berfirman bahwa Ia akan menyertai kita, itu bukan janji kosong. Mungkin kita tidak selalu melihat kehadiran-Nya secara nyata, tetapi Ia bekerja dalam diam, menuntun langkah-langkah kita satu demi satu.

Kesetiaan Tuhan juga berarti bahwa apa pun yang telah dimulai-Nya dalam hidup kita akan Ia selesaikan. Seperti seorang pelukis yang tidak berhenti sebelum karyanya sempurna, Tuhan sedang membentuk hidup kita menjadi indah sesuai rencana-Nya.

Jika kasih setia Tuhan tak berkesudahan dan rahmat-Nya selalu baru, maka tidak ada alasan untuk hidup dalam kegelisahan yang terus-menerus.

Tenteram bukan berarti hidup tanpa masalah, tetapi hati yang damai karena tahu bahwa Allah memegang kendali.

Ketenteraman lahir ketika kita berhenti berjuang sendiri dan mulai menyerahkan kendali hidup kepada Tuhan. Ia tidak pernah menjanjikan jalan yang selalu mudah, tetapi Ia menjanjikan kehadiran-Nya di sepanjang jalan.

Hidup tenteram juga berarti belajar menikmati kasih Tuhan dalam hal-hal kecil: secangkir kopi hangat, senyum keluarga, udara pagi yang sejuk, dan firman yang meneguhkan hati. Semua itu adalah bentuk kecil dari rahmat yang besar.

Kasih dan rahmat Tuhan yang baru setiap hari juga mengundang kita untuk memperbarui kasih kita kepada sesama. Mungkin kemarin kita gagal bersabar, gagal memahami orang lain, atau gagal mengampuni. Tetapi hari ini, Tuhan memberi kesempatan baru untuk mencintai lebih tulus, mengampuni lebih cepat, dan melayani lebih setia.

Ketika kita hidup dari rahmat, kita pun terdorong untuk menyalurkan rahmat. Dunia membutuhkan lebih banyak orang yang berani memulai kembali dengan hati yang lembut. Itulah tanda bahwa kasih Tuhan benar-benar hidup dalam diri kita.

Kasih Tuhan tidak habis, rahmat-Nya selalu baru, dan kesetiaan-Nya tidak pernah gagal. Itulah dasar dari ketenteraman sejati. Dunia boleh berubah, hidup boleh berguncang, tetapi hati yang berlabuh pada kasih Tuhan akan tetap damai.

Hidup hari ini bukan karena kekuatan kita, melainkan karena kasih dan rahmat-Nya yang baru setiap pagi. Maka berjalanlah dengan tenang, bersyukurlah dengan tulus, dan percayalah bahwa kasih Tuhan akan terus memelihara langkah kita.

Pertanyaan Reflektif:

  • Apakah saya menyadari bahwa setiap hari adalah anugerah baru dari Tuhan?
  • Apakah saya masih membawa beban masa lalu yang seharusnya sudah saya serahkan kepada Tuhan
  • Apakah saya sudah menggunakan kesempatan hari ini untuk menjadi berkat bagi orang lain?

Doa Penutup:

Tuhan yang setia, Terima kasih untuk rahmat-Mu yang selalu baru. Di saat aku terjatuh, Engkau mengulurkan tangan. Di saat aku lemah, Engkau menguatkan.

Ajarlah aku melihat setiap pagi sebagai kesempatan baru untuk hidup dalam kasih-Mu dan membagikan rahmat-Mu kepada sesama.

Biarlah hatiku tenteram, karena Engkau tetap setia, kemarin, hari ini, dan selamanya. Dalam nama Yesus aku berdoa. Amin.

Uang bukan akar segala kejahatan

“Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” 1 Timotius 6:10

Kitab 1 Timotius 6 melengkapi instruksi Paulus yang sangat praktis kepada sahabat dan muridnya, Timotius. Fokus utama dari bagian ini adalah hal perilaku Kristen yang benar, dan hal menghindari kejahatan. Paulus menyebutkan beberapa kelemahan karakter yang umum pada mereka yang mengajarkan doktrin palsu. Ia juga memberikan peringatan keras tentang bahaya keserakahan dan materialisme. Mereka yang terobsesi dengan kekayaan membuka diri terhadap hampir semua dosa lain yang dapat dibayangkan. Dalam hal ini, Timotius diberi mandat yang jelas untuk menjunjung tinggi iman dan kesaksiannya, disertai berkat dan dorongan dari Paulus.

Frasa pembuka ayat 1 Timotius 6:10 adalah sangat terkenal sekaligus samar. Frasa ini terkenal karena menjadi inspirasi bagi pepatah umum yang dikenal orang di seluruh dunia: “uang adalah akar segala kejahatan.” Pada kenyataannya, ayat tersebut tidak mengatakan hal seperti itu. Kekayaan dan kesuksesan sama baik atau buruknya dengan apa yang seseorang bisa lakukan dengannya. Sebaliknya, yang dicela adalah cinta akan uang. Jadi, uang bukanlah akar segala dosa. Keserakahan, dan obsesi terhadap uang adalah yang membentuk dasar dari berbagai-bagai jenis dosa atau kejahatan.

Kata Yunani untuk “berbagai-bagai” yang digunakan di sini adalah pantōn. Ini secara harfiah dapat berarti “semua” dalam arti “setiap orang,” tetapi juga digunakan dalam arti yang lebih non-harfiah. Misalnya, kata dasar yang sama digunakan dalam Matius 3:5 untuk mengatakan bahwa “seluruh Yudea” datang untuk dibaptis. Kata ini juga digunakan dalam Kolose 1:6 ketika mengatakan bahwa “seluruh dunia” melihat Injil menghasilkan buah. Di sini, seperti dalam Matius dan Kolose, makna “berbagai-bagai” tampaknya lebih cocok sebagai “setiap jenis,” bukan secara harfiah “mutlak setiap dosa.”

Dengan kata lain, intinya bukanlah bahwa semua dosa selalu merupakan akibat dari keserakahan materi. Melainkan, intinya adalah bahwa cinta akan uang dapat menuntun seseorang kepada hampir semua dosa lainnya. Keserakahan dapat meningkatkan, mengilhami, dan memperbesar godaan untuk melakukan dosa lainnya, dan menuntun kita kepada bencana. Inilah sebabnya Paulus melanjutkan dengan mengatakan bahwa orang percaya yang tergoda oleh cinta akan uang dapat meninggalkan hubungan yang dekat dengan Allah. Mereka cenderung menukar hidp dalam kekudusan dengan fokus membangun kekayaan demi keuntungan dan kepuasan pribadi. Paulus mencatat bahwa mereka yang telah melakukannya telah “menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” atau “menusuk diri mereka sendiri dengan banyak kepedihan.” Gambaran kata yang digunakan di sini adalah luka yang ditimbulkan sendiri.

Seiring dengan ketamakan yang merupakan pilihan manusia, ada ungkapan “apa yang Anda pilih adalah apa yang Anda dapatkan”, yang berarti bahwa kualitas hidup Anda adalah hasil langsung dari pilihan yang Anda buat. Hidup Anda bukan hanya sesuatu yang terjadi pada Anda, tetapi jalan yang secara aktif diciptakan oleh keputusan Anda, dari yang mengubah hidup yang besar hingga tindakan dan reaksi kecil sehari-hari. Dengan pimpinan Roh Kudus, Anda bia memilih dengan bijak; ini berarti menyelaraskan pilihan Anda dengan apa yang disukai Tuhan.

Dalam banyak hal, Anda bertanggung jawab atas hasil hidup Anda karena setiap manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan hidupnya. Ini memberi Anda kendali atas bagaimana Anda menanggapi keadaan Anda. Ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak berdaulat, tetapi dosa adalah pilihan manusia yang terjadi dengan sepengetahuan Tuhan. Manusia tidak dapat menyalahkan Tuhan atas dosanya, Tuhan tidak membuat jebakan agar manusia mencintai uang di atas segalanya.

“Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: ”Pencobaan ini datang dari Allah!” Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun. Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.” Yakobus 1: 13-15

Pagi ini kita harus menyadari bahwa hidup kita bukan sebuah takdir. Setiap orang harus mengambil keputusan secara sadar. Faktor kesengajaan dengan pilihan Anda—bahkan yang paling kecil pun—bisa menjadi hal yang penting. Kebiasaan sehari-hari Anda, tanggapan terhadap tantangan, dan prioritas semuanya membentuk masa depan Anda. Memang benar bahwa tidak ada yang bisa terjadi tanpa seizin Tuhan, tetapi ini bukannya meniadakan tanggung jawab manusia.

Karena itu, mulai sekarang, berfokuslah pada apa yang dapat Anda kendalikan. Meskipun Anda tidak dapat mengendalikan semuanya, Anda dapat mengontrol bagaimana Anda berpikir, bereaksi, dan apa yang Anda pilih untuk difokuskan. Setiap keputusan, besar atau kecil, meninggalkan jejak dan berkontribusi pada diri Anda, orang lain dan kehidupan yang Anda bangun. Mengenali hal ini dapat memotivasi Anda untuk membuat pilihan yang mengarah pada masa depan yang Anda inginkan.

”Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Matius 6:19-21

Adanya kasih menunjukkan adanya karunia Tuhan

“Jadi, saudara-saudariku, ketika kalian berkumpul bersama untuk makan, tunggulah dan berilah kesempatan kepada orang lain dulu.” 1 Korintus 11:33 (AMD)

Ayat ini ditulis Paulus kepada jemaat di Korintus untuk menegur kebiasaan mereka ketika merayakan perjamuan kasih. Alih-alih mencerminkan kasih Kristus, pertemuan mereka justru diwarnai egoisme, ketidaksabaran, dan perbedaan perlakuan antara yang kaya dan miskin. Dalam konteks itu, Paulus mengingatkan jemaat untuk menunggu satu sama lain — memberi kesempatan bagi semua orang untuk ikut serta dalam persekutuan dengan sikap saling menghormati dan mengasihi.

Namun, makna ayat ini jauh melampaui sekadar etika makan bersama. Ini adalah seruan untuk belajar menahan diri, mendahulukan orang lain, dan membuka hati pada tuntunan Roh Kudus dalam setiap hubungan antar manusia. Kasih yang sejati bukan sekadar perasaan hangat; kasih sejati ditunjukkan dalam kesabaran, penghargaan, dan kerendahan hati untuk tidak menjadikan diri sendiri pusat segalanya.

Di dalam kehidupan modern saat ini, kebiasaan menunggu bukanlah hal yang populer. Dunia mendorong kita untuk bergerak cepat, mengambil yang kita mau, dan memastikan kita tidak “ketinggalan.” Ini bukan saja ketika kita sedang di jalan yang ramai dengan pengemudi kendaraan yang ingin saling mendahului, tetapi juga dalam semua segi kehidupan. Namun, kasih sering kali menuntut kita untuk melambat. Menunggu adalah tindakan kasih — bukan karena kita tidak sanggup bergerak lebih cepat, tetapi karena kita mau memberi ruang bagi orang lain. Menunggu berarti kita mengakui bahwa orang lain pun berharga di mata Tuhan.

Perhatikan bahwa Paulus tidak berkata, “Ambillah lebih dulu karena kamu lebih terpandang.” Sebaliknya, ia mengajarkan untuk menunggu dan memberi kesempatan. Inilah sikap hati seorang murid Kristus yang telah disentuh oleh kasih karunia-Nya. Ketika hati dipenuhi kasih, kita tidak merasa dirugikan saat memberi jalan bagi orang lain. Sebaliknya, ada sukacita batin karena kita ikut memperluas ruang kasih di tengah komunitas.

Jika kita jujur, salah satu ujian kasih terbesar adalah saat kita merasa harus menunggu orang lain atau mengalah kepada mereka yang “tingkatnya lebih rendah”. Di jalan raya, kita mungkin merasa mampu untuk mendahului yang lain dengan mobil sport kita yang lincah, atau karena kita mengendarai sebuah mobil utility besar yang bisa menakut-nakuti pengemudi mobil lain. Dalam keluarga, sering kali kita tidak sabar terhadap anak-anak atau pasangan. Dalam gereja, kita mudah jengkel terhadap anggota gereja yang lamban. Dalam masyarakat, kita kesal pada mereka yang dianggap “menghambat.” Namun, justru dalam momen-momen seperti inilah kasih diuji dan dimurnikan.

Masalahnya, sebagai orang Kristen kita masig sering terjebak dalam perasaan “saya mau duluan” (me first!). Kita mungkin sudah lam berusaha untuk menghindari hal ini, tetapi itu tetap saja kita lakukan. Ini persis seperi apa yang dialami rasul Paulus.

“Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” Roma 7:19

Ini merujuk pada pergumulan batin di mana ia berkehendak melakukan hal baik, namun justru melakukan hal jahat yang ia benci. Paulus menggambarkan bagaimana ia merasa tidak berdaya melawan dosa dan hukum dosa yang ada dalam dirinya, sampai ia menemukan jalan keluar melalui Yesus Kristus dan kuasa Roh Kudus. Paulus menemukan jawaban dari pergumulannya ini bukan dengan usaha sendiri untuk menaati hukum, tetapi dengan bergantung pada kasih karunia, kemurahan, dan kekuatan Yesus Kristus, serta kuasa Roh Kudus yang memerdekakan dari perbudakan dosa.

Kasih sejati memang tidak bersumber dari kemampuan kita, tetapi dari Roh Kudus yang bekerja di dalam kita. Kasih sering kali bukan hal yang rumit, tetapi selalu membutuhkan pencerahan Roh Kudus. Tanpa pertolongan-Nya, kita cenderung mementingkan diri sendiri. Roh Kuduslah yang mengubah kesabaran dari sekadar kewajiban menjadi sukacita rohani. Ia menolong kita melihat bahwa menunggu orang lain bukanlah kehilangan waktu, melainkan kesempatan untuk memperlihatkan kasih Allah dalam tindakan nyata.

Dalam budaya jemaat yang mula-mula, perjamuan kasih (agape meal) bukan sekadar makan bersama, melainkan lambang kesatuan tubuh Kristus. Ketika satu anggota tidak dihargai, maka seluruh tubuh menderita. Hal ini mengingatkan kita bahwa kasih bukan tindakan individualistik, melainkan komunal. Jika kasih hanya memikirkan diri sendiri, maka kasih itu kehilangan Rohnya. Kasih sejati memperhatikan dan merangkul sesama.

Dalam kehidupan bergereja hari ini, ketika kita berkumpul, baik dalam ibadah, persekutuan, atau kegiatan pelayanan, semangat yang harus mewarnai semuanya adalah memberi kesempatan kepada yang lebih membutuhkan — bukan berebut posisi, hak, atau kehormatan. Setiap orang memiliki tempat dalam keluarga Tuhan. Tugas kita bukan memastikan kita duduk di kursi terbaik, sekalipun kita berhak, melainkan memastikan semua orang merasa diterima.

Pernyataan “Orang Kristen tidak mementingkan hak tapi kewajibannya” adalh benar. Itu mencerminkan penekanan ajaran Kristen pada kewajiban mengasihi sesama, tanggung jawab pribadi kepada Allah, dan mengikuti teladan Yesus Kristus yang tidak mementingkan diri. Meskipun tidak meniadakan hak, prinsip dasarnya adalah hidup untuk melayani dan menempatkan kebutuhan orang lain di atas keinginan pribadi, sebagaimana dicontohkan oleh Yesus yang “memberikan diri-Nya sendiri”.

Kita tentu ingat bahwa Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya sebelum Paskah untuk mengajarkan kerendahan hati dan teladan pelayanan, menunjukkan bahwa pemimpin sejati harus melayani dan merendahkan diri seperti hamba. Yesus, meskipun Tuhan dan guru, melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh budak dengan kasta terendah pada masa itu, yaitu membasuh kaki yang kotor karena berjalan di jalanan berlumpur. Melalui tindakan ini, Yesus memberikan teladan bagi kita untuk saling melayani dan mengasihi satu sama lain.

Memberi kesempatan bagi orang lain juga dapat dimaknai sebagai tindakan percaya kepada Tuhan. Dalam masyarakat moderen yang bergerak cepat, orang yang mau menunggu sering kali dianggap lemah atau lamban. Namun, dalam Kerajaan Allah, orang yang menunggu dengan kasih adalah orang yang mengerti Siapa yang sebenarnya berdaulat. Kita tidak perlu terburu-buru untuk memastikan agar kepentingan kita terjamin, sebab kita tahu Tuhan sendiri yang memelihara. Itulah sebabnya, kasih sejati tidak hanya memberi kesempatan kepada sesama, tetapi juga membuka ruang bagi karya Allah. Ketika kita berhenti mendorong kepentingan diri, kita memberi ruang bagi kasih karunia Tuhan untuk bekerja di tengah komunitas.

Ada satu hal menarik dari perintah Paulus ini: kasih tidak pernah dipaksakan. Paulus tidak berkata, “Tunggulah, kalau tidak, kamu tidak layak ikut.” Ia berbicara sebagai seorang rasul yang memahami bahwa kasih tidak dapat tumbuh dari perintah yang kaku, tetapi dari hati yang telah disentuh Kristus. Hanya mereka yang telah menerima kasih karunia Kristus yang sanggup membagikannya kepada orang lain.

Maka dari itu, kasih membutuhkan pencerahan Roh Kudus. Tidak cukup hanya tahu ayatnya; kita perlu mengalami kasih itu secara pribadi. Roh Kudus mengajarkan kita melihat sesama bukan sekadar sebagai “orang lain” melainkan sebagai sesama anggota tubuh Kristus. Ketika pandangan kita diubahkan, tindakan kita pun akan berubah — kita akan lebih sabar, lebih mengerti, lebih bersedia memberi tempat.

Dalam kehidupan sehari-hari, perintah ini dapat diterapkan dalam banyak bentuk:

  • Menunggu giliran dengan sikap menghormati.
  • Memberi kesempatan bagi yang lebih lemah atau yang datang belakangan.
  • Mendengarkan orang lain lebih dahulu sebelum berbicara.
  • Menahan keinginan untuk selalu menjadi pusat perhatian.
  • Menunjukkan kasih dengan kerelaan hati.

Hal-hal ini mungkin terlihat sederhana, tetapi dampaknya sangat besar. Dalam keluarga, ini bisa membangun suasana penuh kasih. Dalam jemaat, ini mempererat persaudaraan. Dalam masyarakat, ini menjadi kesaksian nyata tentang kasih Kristus.

Yesus sendiri memberi teladan tentang kasih yang memberi ruang bagi orang lain. Ia tidak memaksa, tapi mengundang. Ia tidak menyingkirkan orang lemah, Ia justru memberi tempat terhormat kepada mereka. Ia menunggu murid-murid memahami kebenaran-Nya, dengan kesabaran yang sempurna. Ketika kita mengikuti jejak-Nya, kita belajar bahwa kasih bukan tentang siapa yang lebih dulu atau lebih penting, melainkan siapa yang lebih rela mengasihi.

Akhirnya, kasih yang sejati selalu akan memuliakan Allah. Ketika kita memberi kesempatan kepada orang lain, kita sedang mengatakan kepada dunia bahwa hidup kita bukan tentang “aku,” tetapi tentang “kita di dalam Kristus.” Kita menyatakan bahwa kasih lebih kuat daripada ego sehingga “hidupku bukanlah aku lagi, tapi Kristus dalamku”.

Doa saya, kiranya kita sebagai umat percaya — baik di keluarga, jemaat, maupun komunitas — menjadi orang-orang yang siap menunggu, memberi ruang, dan mendahulukan sesama dengan kasih Kristus. Sebab kasih seperti inilah yang akan membuat dunia melihat Kristus melalui hidup kita.

Doa Penutup:

Tuhan, terima kasih atas kasih-Mu yang sabar, panjang sabar, dan selalu memberi kesempatan kepada kami. Ajari kami untuk menunggu, mengasihi, dan memberi tempat bagi orang lain seperti Engkau telah memberi tempat bagi kami. Penuhi hati kami dengan Roh Kudus-Mu, supaya kami dapat mengasihi bukan dengan kekuatan kami sendiri, tetapi dengan kasih yang berasal dari-Mu. Di dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.

Apakah Anda bisa melihat apa yang tidak kelihatan?

“Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.” 2 Korintus 4:18

Setiap manusia, tanpa terkecuali, mendambakan kesuksesan. Sejak kecil kita ditanamkan pengertian untuk bekerja keras, belajar giat, dan mencapai sesuatu yang membanggakan. Di sekolah, kesuksesan diukur lewat nilai dan prestasi. Di dunia kerja, kesuksesan sering diukur lewat jabatan, gaji, atau ketenaran. Bahkan dalam kehidupan keluarga, ukuran keberhasilan pun sering kali dikaitkan dengan status sosial, rumah yang bagus, anak-anak yang berprestasi, atau masa pensiun yang mapan. Tidak ada yang salah dengan semua itu — tetapi semuanya berada dalam ranah yang kelihatan.

Masalahnya, barangkali jarang orang tua Kristen yang mengajarkan anak-anaknya untuk “mengejar kesuksesan” dalam apa yang tidak kelihatan, seolah itu adalah hal yang sepele. Lebih jarang lagi orang tua yang mengajarkan anak-anaknya bahwa kesuksesan dalam hal yang tidak kelihatan itu adalah yang terpenting dalam hidup di dunia karena itu sudah ditawarkan Tuhan sekarang ini, untuk masa depan yang kekal. Apapun yang terjadi pada apa yang kelihatan tidaklah akan menjadi masalah jika apa yang tidak kelihatan, yaitu karunia keselamatan Tuhan, tidak disia-siakan.

Paulus, seperti semua orang, tidak ingin mengalami hidup yang terancam bahaya secara terus menerus. Tetapi ia menolak untuk patah semangat dalam menghadapi penderitaan demi imannya kepada Kristus. Ia menulis di ayat sebelumnya bahwa penderitaannya saat ini, meskipun terkadang hampir tak tertahankan (2 Korintus 1:8), tidaklah dapat dibandingkan dengan kemuliaan kekekalan yang jauh lebih besar. Ia menyatakan bahwa perspektif ini membutuhkan fokus pada apa yang tidak dapat dilihat dalam hidup ini, yaitu dunia rohani.

Sekalipun kebanyakan manusia sangat bergantung pada hal-hal jasmani, dan merasa gagal jika mereka tidak dapat mencapai apa yang dianggap berharga; hal-hal yang terlihat oleh manusia dalam hidup ini hanya ada sesaat lalu lenyap. Tidak ada manusia yang bisa mencapai apa yang abadi. Jelas, apa pun yang ada di dunia ini hanya bertahan dalam waktu yang sangat singkat dibandingkan dengan hal-hal yang bertahan selamanya. Selain itu, kehidupan manusia jauh lebih singkat daripada sejarah manusia. Apa yang terlihat oleh mata jasmani kita akan datang dan pergi dengan sangat cepat.

Allah yang tidak kelihatan, bagaimanapun, adalah “kekal,” yang berarti “di luar waktu.” Apa pun yang ada bersama-Nya di dunia rohani tidak akan pernah berakhir. Paulus mampu mempertahankan fokusnya pada kemuliaan kekekalan dengan menjaga fokus batinnya pada apa yang kekal. Hal ini memungkinkannya menanggung penderitaan dalam hidup ini yang “ringan” dan “singkat” dibandingkan dengan kemuliaan dan kenikmatan kekekalan yang akan datang (Ibrani 11:14-16).

Memang, bila kita berhenti sejenak dan merenung, apa yang dikejar manusia di bumi ini memiliki satu kesamaan: sementara. Harta bisa hilang dalam sekejap. Kesehatan bisa merosot mendadak. Kedudukan bisa digantikan. Nama besar bisa dilupakan. Bahkan hidup kita sendiri pun dapat berakhir sewaktu-waktu. Sejarah dan pengalaman hidup banyak orang membuktikan bahwa apa yang dibangun selama puluhan tahun dapat runtuh dalam hitungan hari. Yesus sendiri berkata, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya.” (Matius 6:19). Segala hal duniawi rentan, rapuh, dan tidak kekal.

Orang yang berhasil secara rohani bukanlah mereka yang paling kaya, paling sehat, atau paling terkenal, melainkan mereka yang hidup dalam damai sejahtera Tuhan, mengasihi sesama, dan tetap setia dalam iman — sekalipun dunia tidak melihat dan memuji mereka. Mereka menanam sesuatu yang kekal: kasih, kesetiaan, pengharapan, pengampunan, dan iman kepada Kristus.

Damai surgawi adalah salah satu bentuk kesuksesan rohani. Ini bukan sekadar perasaan tenang ketika semua keadaan baik. Damai surgawi adalah ketenangan yang datang dari Tuhan sendiri, yang melampaui segala akal (Filipi 4:7). Ini adalah damai yang tidak bisa dicuri oleh keadaan, penyakit, tekanan hidup, atau bahkan maut.

Sebagai orang percaya, kita memang hidup di dunia ini, tetapi kita tidak boleh terpaku pada dunia ini. Dunia ini hanyalah tempat singgah sementara, bukan tujuan akhir. Oleh sebab itu, ukuran kesuksesan kita tidak boleh hanya ditentukan oleh apa yang dunia anggap berhasil.

Mereka yang hidup dengan perspektif kekekalan akan berbeda dalam cara memandang hidup. Mereka tidak akan putus asa ketika kehilangan hal-hal duniawi, sebab mereka tahu bahwa ada harta di surga yang tidak dapat dicuri. Mereka tidak sombong ketika berhasil, sebab mereka tahu semua itu fana. Mereka juga tidak takut menghadapi masa tua atau kematian, sebab mereka tahu kehidupan yang sejati dimulai setelah dunia ini berakhir.

Perspektif kekekalan membuat kita lebih tenang dalam menghadapi tekanan. Lebih rela memberi dan melayani. Lebih fokus pada hal-hal rohani. Lebih siap untuk berkata, “Hidupku adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21).

Menghidupi kesuksesan sejati bukan berarti berhenti bekerja keras atau tidak memiliki cita-cita duniawi. Tuhan tidak menentang kemajuan dan keberhasilan. Tetapi kita perlu menempatkan semuanya pada tempatnya: sebagai sarana, bukan tujuan akhir. Kita boleh memiliki harta, tetapi jangan biarkan harta memiliki kita. Kita boleh mencapai prestasi, tetapi jangan biarkan prestasi menjadi identitas kita. Identitas sejati kita adalah sebagai anak-anak Allah yang telah ditebus oleh Kristus. Itulah kesuksesan terbesar dalam hidup ini: dikenal dan dikasihi oleh Tuhan.

Pagi ini, berapapun usia kita, kiita harus mengalihkan pandangan. Tidak lagi mendasarkan nilai hidup pada pujian atau pengakuan manusia. Belajar untuk mengukur keberhasilan berdasarkan ketaatan kepada Tuhan. Melatih hati untuk bersyukur bukan karena apa yang dimiliki, tetapi karena siapa Tuhan dalam hidup kita. Menaruh pengharapan bukan pada harta atau manusia, tetapi pada janji kekal yang diberikan oleh Kristus.

Mungkin saat ini Anda sedang berada dalam masa sulit, atau justru sedang berada di puncak keberhasilan. Apa pun keadaan Anda, mari arahkan pandangan kepada Tuhan. Sebab yang kelihatan adalah sementara, tetapi yang tak kelihatan — kasih Tuhan, damai sejahtera-Nya, janji keselamatan — itulah yang kekal.

Doa Penutup:

Tuhan, ajarilah aku untuk tidak terpaku pada apa yang kelihatan, tetapi untuk menaruh pandangan pada yang kekal. Ketika aku tergoda untuk mengukur kesuksesan seperti dunia, ingatkan aku bahwa hanya kasih-Mu yang abadi. Ketika aku mengalami kesulitan, kuatkan imanku untuk tetap melihat kepada-Mu. Bentuklah aku menjadi pribadi yang hidup dalam damai surgawi, bukan dalam kejaran akan hal-hal fana. Dalam nama Yesus aku berdoa. Amin.