Aku manusia terpilih: mengenali pandangan kaum Antinomian zaman kini

Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah, supaya, sama seperti dosa berkuasa dalam alam maut, demikian kasih karunia akan berkuasa oleh kebenaran untuk hidup yang kekal, oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” Roma 5:20-21

Sudah cukup lama para teolog Kristen, mengikuti berbagai teks dan nuansa dalam Kitab Suci, mengatakan bahwa ada tiga macam penggunaan hukum Allah sesuai dengan apa yang dikenal sebagai “Tiga Penggunaan Hukum” untuk menunjukkan pentingnya hukum Allah bagi kehidupan Kristen (Institutes 2.1.304-10). Apakah itu?

1.Penggunaan Pedagogis (usus elenchticus atau pedagogicus)

Tujuan pertama dari hukum adalah menjadi cermin. Di satu sisi, hukum Allah mencerminkan dan mencerminkan kebenaran-Nya yang sempurna. Hukum memberi tahu kita banyak tentang siapa Allah itu. Mungkin yang lebih penting, hukum menerangi keberdosaan manusia. Agustinus menulis, “Hukum memerintahkan, agar kita, setelah berusaha melakukan apa yang diperintahkan, dan dengan demikian merasakan kelemahan kita di bawah hukum, dapat belajar untuk memohon bantuan rahmat” (Institutes 2.7.9). Hukum menyoroti kelemahan kita sehingga kita dapat mencari kekuatan yang ditemukan di dalam Kristus. Di sini hukum bertindak sebagai guru sekolah yang berdisplin, yang mendorong kita kepada Kristus.

2.Penggunaan Sipil (usus politicus atau civilis)

Tujuan kedua hukum adalah pengendalian kejahatan. Hukum, dengan sendirinya, tidak dapat mengubah hati manusia. Namun, itu bisa berfungsi untuk melindungi yang benar dari yang tidak adil. Calvin mengatakan tujuan hukum ini adalah “melalui ancaman yang menakutkan dan akibatnya yang berupa ketakutan akan hukuman, untuk mengekang mereka yang, kecuali dipaksa, tidak menghargai kejujuran dan keadilan” (Institutes 2.7.10). Hukum mengizinkan ukuran keadilan yang terbatas di bumi ini, sampai penghakiman terakhir diwujudkan.

3.Penggunaan Normatif (usus didakticus atau normativus)

Inilah yang disebut tertius usus legis, penggunaan hukum yang ketiga. Hukum adalah aturan hidup bagi orang percaya, mengingatkan mereka akan tugas mereka dan memimpin mereka di jalan kehidupan dan keselamatan. Penggunaan hukum yang ketiga inilah yang ditolak oleh kaum Antinomian, yang menolak relevansi moralitas dalam kehidupan orang Kristen.

Penggunaan yang ketiga ini adalah untuk mengungkapkan apa yang berkenan kepada Allah. Sebagai anak-anak Allah yang dilahirkan kembali, hukum menerangi kita tentang apa yang menyenangkan Bapa kita, yang ingin kita layani. Orang Kristen seharusnya menyenangi hukum sebagaimana Allah sendiri menyenanginya. Yesus berkata, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” (Yohanes 14:15). Inilah fungsi tertinggi dari hukum, untuk melayani sebagai alat bagi umat Allah untuk menghormati dan memuliakan Dia.

Dengan mempelajari atau merenungkan hukum Allah setiap hari, kita menghadiri pendidikan Ilahi tentang kebenaran. Kita belajar apa yang menyenangkan Tuhan dan apa yang menyinggung Dia. Hukum moral yang dinyatakan Allah dalam Kitab Suci selalu mengikat kita. Penebusan kita untuk menghilangkan kutukan hukum Allah, bukan untuk menghilangkan kewajiban kita untuk menaatinya. Dalam hal ini, ketidak taatan kita kepada hukum bukan untuk melempar kita ke neraka, dan ketaatan kita bukan agar kita diselamatkan. Itu karena kita sudah diselamatkan oleh darah Kristus. Kita sudah dibenarkan agar kita menjadi umat-Nya dan patuh pada hukum-Nya. Mengasihi Kristus berarti menaati perintah-perintah-Nya. Mengasihi Allah berarti menaati hukum-Nya. Inilah pengertian yang ditolak kamum Antinomian yang menyatakan bahwa iman Kristen tidak ada hubunngannya dengan moralitas.

Kalau kita perhatikan ayat-ayat sebelumnya Paulus menyatakan “Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak, dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” Paulus tahu jika ia berkata demikian pasti akan terjadi pertentangan, karena orang-orang akan berkata, “Kalau demikian halnya nanti orang semakin seenak-enaknya berbuat dosa, nanti orang akan bertekun dalam dosa, supaya kasih karunia bertambah banyak.” Itu sebabnya Paulus langsung menjawab, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa supaya semakin bertambah kasih karunia? Sekali-kali tidak.”

Perlu diketahui, Antinomianisme tidak mengajarkan orang Kristen untuk berbuat jahat, tetapi tidak menekankan pentingnya perbuatan baik, dengan alasan bahwa orang Kristen tetap tidak dapat melakukan apa yang baik. Oleh karena itu, bagi orang yang tidak waspada, faham ini seolah-olah Alkitabiah. Paulus menolak pandangan antinomian dengan tegas. Dia dalam Roma 6:1-2 mengatakan: ” Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih hidup di dalamnya?” Memang, jika orang sudah dilahirkan kembali, Roh Kudus memungkinkan dia untuk memilih apa yang baik (Pengakuan Westminster Bab 9 Poin 4). Jika ia tidak tertarik untuk berbuat baik, ada kemungkinan orang itu sudah memadamkan api Roh Kudus (1 Tesalonika 5:19).

Jadi Paulus berkata demikian bukan untuk memberi semangat kepada orang-orang untuk berbuat dosa supaya kasih karunia semakin bertambah, “Ayo buat dosa lebih banyak supaya lebih banyak kasih karunia”, ini bodoh. Paulus tidak pernah berkata demikian, dan di gereja mana pun tidak pernah dikatakan demikian. Walaupun demikian, banyak gereja yang sekarang mengumandangkan bahwa karena karunia yang kita terima sudah sangat besar, dan bahkan mahabesar, kita tidak perlu memikirkan penggunaan ketiga dari hukum Allah. Moralitas seakan tidak perlu dipikirkan oleh orang Kristen sejati.

Ketika kita melihat generasi sekarang, banyak di antara kita yang mengatakan, “Aduh, generasi sekarang sangat mengerikan, dulu generasi saya belum ada internet, belum ada YouTube, Facebook, belum ada TikTok, sekarang mereka dengan mudah mengakses situs-situs yang tidak baik”. Dulu, pada generasi sebelum ini, memang belum ada yang seperti demikian, sekalipun tetap saja orang punya cara lain untuk berbuat dosa. Jika sekarang transaksi gelap bisa dilakukan dengan komputer, dulu itu harus dilakukan muka dengan muka. Jika dulu pelanggaran seksual harus dilakukan muka dengan muka, sekarang itu bisa dilakukan lewat komputer. Jika apa yang kita rasakan, yaitu generasi sekarang lebih mengerikan, itu bukan karena banyaknya ancaman dosa “baru”, tetapi karena kurangnya kesadaran atas adanya standar moralitas lama yang masih berlaku. Banyak orang tua Kristen yang mengalah kepada kemauan anak-anak mereka untuk tidak dikatakan ketinggalan zaman, begitu juga banyak pendeta yang tidak mau menegur jemaat mereka jika mereka melanggar perintah Tuhan, karena semua itu dianggap lumrah bagi manusia yang tidak sempurna. Tidaklah mengherankan, banyak jemaat gereja yang tetap hidup dalam dosa karena tidak mengenal pengajaran yang benar.

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” 2 Timotius 3:16

Di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah. Apa yang Paulus maksudkan di sini, kalau kita mengalami kegagalan, kalau kita berbuat sesuatu yang salah, kalau kita berbuat dosa, kalau sekarang kita berada dalam kegelapan karena apa yang kita lakukan, kalau ada area yang lemah di dalam hidup kita, percaya ini, jangan takut, jangan merasa kecil hati, ingat baik-baik Tuhan tetap mengasihi kita. Dalam keadaan demikian kita harus mau mengaku dosa dan memohon pengampunan-Nya. Masalahnya, bagaimana kita sadar bahwa kita sudah berbuat dosa jika fungsi ketiga hukum Allah selalu kita diabaikan? Dan bagaimana kita bisa yakin bahwa kita dan anak-cucu kita adalah orang terpilih jika kita selalu dengan sengaja mengabaikan hukum Tuhan yang tidak pernah berubah dan menolak kaidah moral yang Tuhan berikan dari awalnya untuk kebaikan umat-Nya? Antinomianisme adalah seperti benalu dalam sebuah gereja, yang bisa mematikan pengajaran yang benar. Antinomianisme adalah tindakan memusuhi Allah yang memberikan hukum-hukum moral untuk dipatuhi oleh umat-Nya. Kita harus sadar bahwa kita hidup di hadapan Allah yang melihat semua tingkah laku dan perbuatan kita (coram Deo).

Pagi ini kita harus sadar bahwa orang-orang yang memiliki iman yang menyelamatkan tentu ingin mematuhi perintah-perintah Allah. Mereka tidak berusaha melakukannya untuk mendapatkan kehidupan kekal; mereka melakukannya untuk berterima kasih kepada Tuhan dan menunjukkan keaslian iman mereka. Kita harus berhati-hati untuk tidak mematuhi hukum sebagai sarana pembenaran, tetapi jika kita tidak ingin menaati perintah-perintah Allah, kita benar-benar berada dalam kesulitan rohani yang besar, untuk tidak dikatakan sudah tersesat.

“Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.”Lukas 11:23

Tinggalkan komentar