Pengudusan adalah bagian Injil yang diabaikan dalam Antinomianisme

“Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa. Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka. Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik. Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh. Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.” 1 Petrus 2:11-16

Jika kita benar-benar orang percaya, maka kita menyadari bahwa kedudukan kita di dalam Kristus dengan sendirinya memisahkan kita dari dunia. Bagaimanapun, kita memiliki hubungan dengan Tuhan yang hidup! Kemudian, tentunya kita setiap hari harus menjalani kehidupan baik, tidak mencoba untuk “berbaur” dengan dunia, melainkan hidup sesuai dengan firman Tuhan dan bertumbuh dalam pengertian. Ini membutuhkan usaha kita, tidak otomatis. Anda kurang yakin?

Kebijaksanaan, kesabaran, kasih dan apa yang baik lainnya adalah karunia Allah dan Roh. Jadi ketika Petrus memberi tahu kita untuk melakukan segala upaya, dia sama sekali tidak menegaskan bahwa ini [kebajikan] adalah dari kekuatan kita, tetapi hanya menunjukkan apa yang seharusnya kita miliki, dan apa yang harus dilakukan. Sekalipun ini jelas, dalam pelaksanaannya kita bisa mengalami banyak masalah yang dimunculkan oleh sebuah ajaran. Ajaran apa? Ajaran Antinomianisme.

Kata “antinomianisme” berasal dari dua kata Yunani, yaitu anti, yang berarti “melawan”; dan nomos, yang berarti “hukum.” Antinomianisme secara harafiah berarti “melawan hukum.” Secara teologi, antinomianisme adalah doktrin yang menyatakan kalau Allah tidak mengharuskan orang Kristen untuk taat kepada hukum moral apa pun. Antinomianisme memang mengambil ajaran dari Alkitab, namun kesimpulan yang ditarik tidaklah alkitabiah. Ayat di atas adalah salah satu ayat Alkitab yang bertentangan dengan pandangan mereka.

Secara sederhana, kita dapat melihat ciri antinomianisme yang merendahkan pentingnya kekudusan dan fungsi moral dalam kehidupan orang Kristen. Mereka tidak pernah atau jarang membahas ayat Alkitab yang berisi pesan untuk hidup baik.

Sebagai orang Kristen, kita adalah orang-orang yang beruntung. Terlepas dari rasa syukur kita atas kasih karunia dan pengampunan Allah, kita pasti ingin menyenangkan-Nya. Allah telah memberikan kasih karunia-Nya yang tak terhingga dalam keselamatan melalui Yesus (Yohanes 3: 16; Roma 5: 8). Respon kita seharusnya adalah menguduskan hidup kita untuk-Nya, sebagai tanda kasih, penyembahan dan syukur kita atas segala yang telah dilakukan-Nya bagi kita (Roma 12: 1-2). Antinomianisme tidak alkitabiah karena menyalahgunakan makna kasih karunia Allah. Antinomianisme adalah alat iblis untuk menghancurkan hidup orang Kristen dan mempermalukan Allah.

Dari semua klaim yang dibuat oleh kaum antinomian, mungkin yang paling mencolok mata pada saat ini, adalah bahwa mereka mengutamakan pembenaran (justification) di atas manfaat penyelamatan lainnya, khususnya pengudusan (sanctification). Masalah yang sudah ada sejak abad ke-17 di kalangan teolog antinomian adalah sejauh mana mereka memprioritaskan pembenaran dalam teologi mereka. Seperti disebutkan di atas, para antinomian pada dasarnya meletakkan pengudusan di bawah pembenaran. Injil, dalam pandangan mereka, sinonim dengan pembenaran. Tidak lebih, tidak kurang.

Ajaran antinomian menghina Roh Kudus dengan bersikeras bahwa Tuhan sepenuhnya bertanggung jawab atas kemajuan atau kurangnya kekudusan umat Kristen. Jika si pengikut ajaran masih terus hidup dalam dosa, anggapan yang tak terucapkan adalah bahwa Tuhan belum menyelesaikan pekerjaan-Nya atau Dia tidak berkeberatan atas dosa umat-Nya.

Ajaran antinomian yang pasif dan tidak memuaskan di zaman ini adalah lebih populer dari apa yang Anda duga. Ini disebabkan karena munculnya gereja-gereja yang memakai doktrin Reformed tinggi (Hyper-Calvinism). Mereka mengatakan tidak ada yang dapat Anda lakukan untuk memajukan pengudusan Anda. Tuhan yang berdaulat melakukan pekerjaan di dalam diri Anda, jadi Anda harus menunggu dengan tenang dan bersikap pasif dalam prosesnya. Itu karena Anda tidak mampu untuk melakukan apa yang baik di hadapan Tuhan. Saya sendiri sudah menyelidiki kasus antinomianisme di Indoseia sejak dua tahum yang lalu dan menemukan bahwa di gereja-gereja Reformed tertentu, pengajaran sesat ini sudah terjadi dan bahkan disebarkan melalui media.

Kredo orang Kristen semacam ini adalah, “Lepaskan dan biarkan Tuhan” (Let go, let God). Tidak diperlukan perjuangan; tidak diperlukan perlawanan terhadap godaan. Pengudusan adalah pekerjaan Tuhan, dari awal sampai akhir. Bukankah Dia berdaulat sepenuhnya? Bukankah Tuhan memilih aku sebagaimana adanya? Bagaimana aku bisa melawan kehendak-Nya?

Berbeda dengan doktrin Hyper-calvinism, doktrin Hyper-grace menyatakan bahwa Tuhan yang mahakasih mempunyai anugerah keselamatan yang sangat besar, dan yang membuat dosa manusia sangat kecil dan tidak berarti. Dengan demikian, penganut doktrin ini merasa tidak perlu hidup dalam kekudusan karena Tuhan yang mahakasih akan mengampuni mereka atas dosa sebesar apa pun. Golongan ini kemudian menjadi antinomian karena bagi mereka menaati hukum Tuhan tidaklah ada gunanya sebab Tuhan adalah mahakasih. Mereka tidak ragu untuk melakukan perzinahan, korupsi, penipuan dan sebagainya, asal tidak menimbulkan masalah pribadi.

Jika orang Kristen mempraktikkan antinomianisme, maka mereka bisa dengan bebas melakukan dosa apa pun tanpa memandang Tuhan, karena mereka percaya tidak ada hukum moral yang harus diikuti. Ini secara tidak langsung menyatakan bahwa seorang Kristen dapat melakukan banyak dosa tanpa pertobatan apa pun. Adalah penting bagi kita untuk mendidik diri kita sendiri tentang antinomianisme dan maknanya, karena itu adalah ajaran berbahaya yang dapat menyesatkan banyak orang Kristen dan bahkan menghancurkan gereja seperti pada abad-abad yang lalu.

Antinomianisme adalah racun gereja, tetapi dalam bentuk terselubung tidak banyak dikenal orang di zaman modern ini. Sebagaimana dinyatakan, kata antinomianisme memiliki arti “melawan hukum”. Dalam teologi, antinomianisme digunakan dalam arti melawan hukum Tuhan. Dengan kata lain, antinomianisme mengajarkan bahwa orang Kristen tidak berada di bawah hukum moral Tuhan. Keyakinan ini menyebabkan mereka percaya bahwa sebagai orang pilihan, mereka dapat melakukan dosa apapun yang mereka inginkan tanpa adanya hukuman, masalah, atau efek samping. Mereka tidak mengerti bahwa ada dosa-dosa yang bisa membinasakan atau menghancurkan hidup mereka di dunia dan menjadikan diri mereka batu sontohan bagi orang lain, sekalipun anugerah Tuhan adalah cukup untuk keselamatan mereka di surga.

Seperti yang bisa kita bayangkan, antinomianisme tidak alkitabiah dan sesat karena melawan iman Kristen. Seperti Petrus, Paulus juga berbicara menentang antinomianisme dalam tulisannya. Meskipun Paulus tidak menggunakan istilah langsung “antinomianisme”, konsepnya tetap ada. Paulus memberi tahu kita dalam Roma 6:1-2,

Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?

Melalui ayat ini, kita diberi tahu bahwa kita tidak boleh terus-menerus berbuat dosa karena kita telah diselamatkan oleh Kristus. Denga demikian, jika seseorang percaya bahwa keselamatan adalah surat izin untuk berbuat dosa, maka adalah pantas bagi kita untuk mempertanyakan apakah orang tersebut benar-benar telah mengenal Tuhan.

Jika seseorang telah benar-benar menerima Kristus, mereka tidak ingin terus menyakiti Tuhan dengan berbuat dosa. Mereka juga tidak ingin menolak perintah Tuhan untuk berbuat baik agar nama-Nya dipermuliakan. Sementara kita semua akan terus melakukan dosa dalam hidup kita, kita seharusnya tidak pernah ingin dengan sengaja berbuat dosa terhadap Tuhan, atau berbuat dosa hanya untuk berbuat dosa karena itu adalah tren kesuksean menurut dunia. Roh Kudus di dalam diri kita selalu berusaha menginsafkan kita akan dosa, dan Dia secara aktif memberi kita dorongan dan kekuatan, jika kita tidak mendukakan-Nya.

Jika kita benar-benar telah mengenal Kristus, dan berterima kasih karena pengorbanan-Nya, kita pasti mau mendengarkan suara Roh Kudus. Kita seharusnya tidak mencoba untuk tidak menaati-Nya dengan melakukan tindakan dosa apa pun, atau dengan mengabaikan perintah-Nya. Ya, Tuhan mengampuni kita atas dosa-dosa kita, seperti yang dinyatakan dalam 1 Yohanes 1:9, namun tidaklah alkitabiah untuk berpikir bahwa kita dapat menggunakan kebaikan dan pengampunan Tuhan untuk terus melakukan dosa apa pun karena “Tuhan akan mengampuni saya.” Keyakinan ini tidak alkitabiah, dan bertentangan dengan inti kekristenan.

Sebagaimana dinyatakan, antinomianisme tidak percaya bahwa umat Kristiani diharuskan menaati hukum moral karena umat Kristiani tidak berada di bawah hukum tetapi di bawah kasih karunia. Mereka yang mengikuti antinomianisme menyalahgunakan ayat Alkitab dari Roma 6:14 dan memanipulasi bagian ini serta bagian lain dari Kitab Suci untuk tujuan mereka sendiri. Allah mengharapkan kita untuk mengikuti hukum moral. Meskipun kita tidak berada langsung di bawah Hukum Musa, kita tetap berada di bawah hukum moralnya. Itulah fungsi ketiga dari hukum Musa, yang membimbing kita ke arah kekudusan.

Sayang, walaupun tokoh gereja seperti Martin Luther menentangnya, antinomianisme masih ada sampai sekarang di dunia. Dalam hal ini, mungkin masih bisa diperdebatkan apakah beberapa pendeta di Indonesia memang mengajarkan antinomianisme atau tidak. Sementara beberapa orang menuduh pendeta-pendeata itu antinomianisme, yang lain menuduhnya sebagai orang yang hanya memiliki pemahaman yang buruk tentang hubungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Mungkin juga, mereka tidak mempunyai pengalaman pribadi yang cukup untuk mengenal karakter Yesus (Christology).

Mereka yang mengajarkan antinomianisme dapat dengan mudah terlihat, karena mereka akan berkhotbah melawan hukum moral, tidak menekankan perlunya perbuatan baik, atau menghindari ayat-ayat tertentu dalam upaya untuk memutarbalikkan pesan Alkitab.

Perlu ditekankan bahwa pendeta yang antinomian tidak mengajar jemaat agar berbuat dosa, tetapi berusaha meyakinkan mereka bahwa tidak ada manusia yang sempurna, dan karena itu berbuat dosa adalah lumrah.

Jika Anda berada di gereja yang mengajarkan antinomianisme, tindakan yang terbaik adalah pindah ke gereja lain sebelum terpengaruh. Siapa pun yang menyuarakan antinomianisme sedang mengajarkan kepercayaan yang tidak alkitabiah. Sangat berbahaya bagi seorang Kristen yang tidak sadar, untuk percaya pada antinomianisme dan kemudian hidup menurutnya. Tidak ada pendeta Kristen sejati yang mempraktikkan kepercayaan ini, apalagi mengajarkannya kepada orang lain. Segala sesuatu yang diajarkan dalam antinomianisme bertentangan langsung dengan kebenaran Firman Tuhan. Alkitab tidak pernah memberi tahu kita bahwa “tidak apa-apa” untuk terus berbuat dosa karena kita adalah orang terpilih.

Faktanya, Alkitab memberi tahu kita secara langsung, “Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.” (1 Petrus 2:16). Ayat Kitab Suci ini memberi tahu kita secara khusus untuk tidak menggunakan kebebasan kita di dalam Kristus sebagai penutup kejahatan. Lebih lanjut, ayat ini memberitahu kita untuk hidup sebagai hamba Tuhan. Sebagai hamba Kristus, kita harus berusaha untuk memuliakan Dia, menaati Dia, dan melayani Dia dengan kemampuan terbaik kita. Jika kita bukan hamba Allah, maka kita adalah hamba daging yang berdosa. Itulah perbedaan antara hitam dan putih, di mata Tuhan tidak ada warna abu-abu yang boleh dipilih umat-Nya.

Yesus mati di kayu salib agar kita tidak menjadi budak sifat dosa kita lagi. Karena Tuhan mati untuk dosa-dosa kita, agar kita menerima pengampunan dosa dan kehidupan kekal, kita berutang segalanya kepada-Nya. Kita berutang hidup kita, hati kita, dan kepatuhan kita kepada-Nya. Yesus Kristus tidak ingin kita menggunakan kebebasan kita sebagai orang percaya untuk terlibat dalam antinomianisme. Antinomianisme bertentangan dengan semua yang diajarkan Alkitab.

Untuk percaya pada antinomianisme, Anda harus mengeluarkan Alkitab dari konteksnya dan mengubahnya untuk membuatnya mengatakan apa yang Anda inginkan karena antinomianisme tidak alkitabiah. Kita dapat menunjukkan kasih dan rasa syukur kita atas pengorbanan Yesus dengan menaati perintah-perintah-Nya. Dengan menaati Allah dengan mengikuti perintah-perintah-Nya, kita benar-benar menunjukkan bahwa kita mengenal Allah dan bahwa kita mengasihi Dia (1 Yohanes 2:3-6). Bagaimana kita hidup, apa yang kita lakukan, dan bagaimana kita bertindak membuktikan siapa yang benar-benar kita patuhi: Yesus atau pendeta kita.

Pagi ini, apakah kita mengikuti antinomianisme dan menaati natur dosa kita sendiri, atau apakah kita benar-benar mengikuti Allah dan menaati-Nya? Ingatlah, antinomianisme tidak boleh dipraktikkan, diajarkan, atau didukung oleh orang Kristen sejati. Jika Anda mempunyai rasa simpati kepada antinomianisme dalam berbagai bentuknya, berdoalah kepada Tuhan untuk memohoh pertolongan dan kekuatan dari Roh Kudus selagi belum terlambat.

Tinggalkan komentar