“Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya.” Yakobus 2:10

Apakah beda antara “bohong kecil” dan “bohong besar”? Sebagian orang berpendapat bahwa bohong kecil adalah kebohongan yang tidak terlalu merugikan orang lain, sedangkan bohong besar adalah apa yang bisa merugikan orang lain secara signifikan. Atau bohong kecil adalah kebohongan yang tidak melanggar hukum negara, sedangkan bohong besar bisa menyeret orang ke pengadilan. Benarkah begitu? Terelepas dari benar tidaknya, banyak orang Kristen yang berpendapat demikian. Lebih dari itu ada orang Kristen yang berpendapat bahwa sekali-sekali berbohong adalah aman, jika tujuan berbohong adalah “kebaikan” atau untuk “memuliakan Tuhan”.
Sebenarnya, berbohong secara dan dalam bentuk apa pun adalah salah satu dari berbagai dosa manusia terhadap Tuhan. Lalu perlukah kita mendefinisikan dosa kecil dan dosa besar di hadapan Tuhan? Pada umumnya, orang Kristen percaya bahwa semua dosa adalah sama bagi Tuhan; itu adalah apa saja yang tidak mencapai standar Kesucian Tuhan. Kata “dosa”, seperti yang muncul dalam Alkitab, berasal dari kata Yunani Hamartia atau kata Ibrani Hata, yang keduanya berarti “meleset” atau “cacat”. Kata itu digunakan dalam memanah dan melempar tombak. Ketika seseorang tidak mencapai pusat target (baik jauh atau dekat dengan pusat target), mereka sudah berdosa atau meleset dari kesempurnaan Tuhan yang suci dan benar. Tetapi, dalam hidup sehari-hari banyak orang Kristen mengukur besar kecilnya dosa dengan mengukur seberapa besar keberanian mereka untuk melanggarnya dan menerima konsekuensinya. Ini sudah tentu adalah tindakan yang bisa digolongkan sebagai “nekad”.
Bunyi ayat di atas berarti bahwa apa pun dosa yang kita lakukan, kita akan benar-benar bersalah atas semua hukum Tuhan. Oleh karena itu setiap dosa, kecil maupun besar, sama-sama memberatkan kita. Hal ini bukannya membuat orang segan untuk berbuat dosa sekecil apa pun, tapi justru membuat sebagian orang Kristen untuk tidak ragu untuk berbuat dosa yang besar karena adanya keyakinan bahwa Tuhan yang menganggap semua dosa sama besarnya, adalah Tuhan yang sanggup mengampuni dosa sebesar apa pun (Yesaya 1:18).
Pengertian bahwa semua dosa adalah sama belumlah lengkap karena mempunyai kelanjutan. Pertama, tidak semua orang akan terluka dengan cara yang sama oleh setiap dosa yang kita lakukan. Jika saya menembak mati si A sekarang, atau jika saya hanya meludahinya, keduanya adalah dosa yang sangat buruk karena Yesus menyebut kebencian sebagai pembunuhan. Tetapi, si A tidak akan mati jika saya hanya meludahi dia. Sebaliknya, jika saya menembak mati dia, keluarganya akan sangat berduka dan saya mungkin akan mendapatkan hukuman berat dari wakil Tuhan di dunia yaitu pemerintah.
Alkitab sebenarnya mengajarkan bahwa ada tingkatan hukuman bagi umat Tuhan di dunia. Jika Anda tahu apa yang benar dan tidak melakukannya, Anda mungkin dihukum dengan lebih banyak pukulan daripada jika Anda tidak tahu yang benar dan melakukan yang salah (Roma 2:12). Hukuman dosa bisa dijatuhkan Tuhan kepada si pembuat dosa dan mungkin juga kepada sanak keluarganya di dunia. Karena itu, adalah penting bagi semua orang tua untuk memberi pengertian yang benar kepada anak-anaknya, yaitu tentang apa yang ditulis dalam Alkitab: bahwa setiap orang, Kristen maupun bukan, harus mempertangung-jawabkan hidupnya kepada Tuhan.
Ketika seorang ayah memiliki gaya hidup dan cara bekerja yang tidak sesuai dengan firman Tuhan, anak-anaknya cenderung memiliki hal yang serupa. Sekalipun sang ayah tahu akan apa yang benar, ia akan mengalami kesulitan untuk mengajarkannya, sebagai teori tanpa praktik, kepada anak-anaknya. Itulah mengapa adil bagi Allah untuk menghukum dosa hingga ke generasi ketiga atau keempat – karena mereka melakukan dosa yang sama seperti yang dilakukan para leluhur mereka. Sebenarnya mereka sedang dihukum karena dosa-dosa mereka sendiri, bukan dosa para leluhur mereka (Keluaran 20:5; 34:7; Bilangan 14:18; Ulangan 5:9). Walaupun demikian, jika ada perbedaan hukuman dan akibat dari dosa, berarti ada tingkat kesalahan, dan ini berarti bahwa beberapa dosa lebih tercela daripada yang lain.
Kita mungkin pernah mendengar tentang tujuh dosa utama (seven capital sins) atau tujuh dosa mematikan (seven deadly sins) yang pernah disebut dalam tradisi gereja di abad mula-mula. Sekalipun kita tahu bahwa di hadapan Tuhan semua dosa bisa membawa kematian kekal, dan karena pengampunan kita bisa diselamatkan dari murka Allah, angka tujuh menempati posisi yang unik dalam kehidupan umat Kristen di dunia. Ketujuh dosa utama yang bisa “diturunkan” kepada anak-cucu kita adalah:
- Kesombongan (Pride, Superbia)
- Iri hati (Envy, Invidia)
- Kemarahan (Anger, Ira)
- Ketamakan (Greed, Avaritia)
- Nafsu-birahi (Lust, Luxuria)
- Rakus (Gluttony, Gula)
- Kemalasan (Sloth, Acedia)
Sebagian orang Kristen memang berpikir bahwa membuat kategori “tujuh dosa” adalah sia-sia, karena di mata Tuhan semua dosa adalah sama. Selain itu, karena darah Kristus tidak ada dosa yang akan membawa kematian kekal bagi mereka yang beriman. Namun, dalam tradisi Kristen yang sudah lama ketujuh dosa utama ini terus didengungkan karena sikap realistis bahwa ketujuh dosa ini memang “utama,” dalam arti ia bisa melahirkan banyak dosa-dosa lainnya yang bisa membawa kesengsaraan kepada umat manusia selama hidup di dunia. Karena itu mereka disebut dosa utama (capital, caput, kepala).
Ketujuh dosa tersebut bersifat generatif, melahirkan dosa lain yang lebih besar. Membunuh istri tentu saja dosa yang berat, demikian pula di mata hukum, namun bagaimana dengan keserakahan (greed), satu dari tujuh dosa utama, yang melandasi tindakan membunuh tersebut, keserakahan karena mengingini uang asuransi kematian sang istri? Apakah memang pemerkosaan yang dilakukan seorang pria dewasa tidak berkorelasi dengan nafsu berahi orang itu saat ia masih remaja dan asyik-masyuk dengan gambar-gambar di majalah porno? Apakah kita mampu memahami pembasmian orang-orang Yahudi oleh Nazi tanpa mengaitkannya dengan kesombongan (pride) ras Aria?
Pada pihak yang lain, ada orang yang berpendapat bahwa tidak ada dosa yang bisa membawa kebinasaan kepada orang percaya. Orang yang sudah diselamatkan sudah dibasuh dengan darah Kristus dan karena itu tidak ada dosa yang bisa membatalkan penyelamatan itu. Sudah tentu pandangan ini ada benarnya, yaitu jika orang berdosa sudah menerima hidup baru dari Tuhan dan berubah dari hidup lamanya, ia adalah orang yang benar-benar dipilih oleh Tuhan. Pada pihak yang lain, ini bukan berarti bahwa setiap orang yang rajin ke gereja, tetapi tetap bergelimang dalam dosa, adalah orang yang sudah dipilih Tuhan.
Satu dosa lain yang saya rasa perlu ditanbahkan adalah ketidakpedulian (ignorance, agnoia) yang nampaknya sepele tapi dampaknya sangat serius. Ketidakpedulian, seperti apa yang tertulis di bawah ini, bisa menyebabkan banyak akibat yang serius.
Jika kita kembali ke Yakobus, alasan mengapa kita bersalah atas semua dosa jika kita melakukan suatu dosa adalah karena adanya satu Tuhan yang mahasuci, yang menentang semua bentuk dosa. Oleh karena itu, jika saya berkata kepada Tuhan, “Saya akan melakukan ini terhadap-Mu” – dosa kecil ini, katakanlah, meludahi seseorang; atau “Saya akan melakukan dosa besar ini terhadap-Mu”, dalam kedua kasus ini saya telah menentang Tuhan. Dalam kedua kasus ini, saya tidak mempedulikan kemahasucian Tuhan.
Sebagian orang Kristen mengambil cara yang mudah untuk memisahkan dosa besar yang membawa kematian dari dosa kecil yang tidak membawa kematian. Mereka mendefinisikan dosa yang tidak membawa kematian adalah dosa sebesar apa pun yang dilakukan oleh orang pilihan, sedangkan dosa sekecil apa pun jika dilakukan oleh orang bukan pilihan akan membawa kematian. Ini adalah pandangan yang secara teologis benar, tetapi dalam kenyataan hidup menjadi sebuah tanda tanya. Mengapa orang bisa merasa yakin bahwa Tuhan yang mahasuci sudah memilih mereka dan memberikan Roh-Nya, membiarkan mereka tetap hidup bergelimang dalam dosa? Jawaban yang lebih realistik adalah bahwa orang-orang yang nyata-nyata tidak mempedulikan firman Tuhan adalah bukan orang pilihan.
Pendapat bahwa orang pilihan tidak perlu memikirkan cara hidupnya biasanya disebabkan oleh kekeliruan teologi, terutama kedangkalan Kristologi, seperti apa yang dialami oleh sebagian orang Kristen di Roma yang pernah ditegur oleh rasul Paulus. Mereka yang menganut pandangan ini mengabaikan kenyataan bahwa Kristus menghendaki umat-Nya untuk hidup kudus (1 Petrus 1:14-16). Selain itu, pandangan keliru ini seolah menyatakan bahwa Tuhan bukanlah Oknum Ilahi yang mahakuasa dan mahabijaksana jika Ia membiarkan orang pilihan untuk terus berbuat dosa dan mempermalukan Dia. Keadaan yang sedemikian sudah tentu akan membuat banyak orang tidak mempedulikan panggilan Injill Kristus karena tidak dapat melihat apa yang baik dalam hidup umat Kristen.
“Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” Roma 6:1-2
Pagi ini, Tuhan ingin kita merasakan bahwa setiap dosa, dari yang terkecil sampai yang terbesar, adalah melawan Tuhan dan bukan hanya melawan hukum manusia. Tidak mempedulikan panggilan dan firman Tuhan adalah dosa. Apa yang tidak terdeteksi oleh hukum manusia, tidak akan bisa luput dari pandangan mata Tuhan. Dan dalam pandangan Tuhan, setiap dosa adalah sangat keji. Jadi kita hanya perlu ingat bahwa ketika Tuhan dinodai di dalam hati kita yang berisi dosa, kita melakukan kejahatan yang tak terbatas terhadap-Nya. Kita harus menyadari bahwa ketika umat manusia menghadapi pengadilan Tuhan, tidak ada seorang pun yang bisa menuduh Tuhan tidak adil karena menerima hukuman Tuhan yang tidak sesuai dengan kejahatannya. Bagaimana dengan cara Anda untuk berdalih tentang dosa kecil dan dosa besar Anda di hadapan pengadilan-Nya?
“Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.” Roma 1:19-22