Pentingnya etika dan moralitas Kristen selama hidup di dunia

“Aku beroleh pengertian dari titah-titah-Mu, itulah sebabnya aku benci segala jalan dusta. Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku. Aku telah bersumpah dan aku akan menepatinya, untuk berpegang pada hukum-hukum-Mu yang adil.” Mazmur 119: 104-106

Semua orang Kristen tentu percaya bahwa selama hidup di dunia mereka harus melakukan hal-hal yang baik dan menghindari hal-hal yang jahat. Tetapi, untuk menjalankan hidup yang berkenan kepada Tuhan, mereka tidak hanya memerlukan bimbingan dari Alkitab, tetapi juga pedoman moral dan etika Kristen. Etika Kristen, juga dikenal sebagai teologi moral, adalah sistem etika yang bisa berbentuk etika kebajikan, yang berfokus pada pembangunan karakter moral, atau etika normatif (deontologis) yang menekankan kewajiban. Itu dibangun di atas keyakinan bahwa kodrat manusia – yang diciptakan menurut gambar Allah dan kemudian sudah dilahirkan kembali – mampu bermoral, bekerja sama dengan rasionalitas untuk membedakan hal yang baik dan hal yang buruk.

Tugas etis tertinggi seorang Kristen sama dengan hukum Tuhan yang terbesar: mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Kitab Suci adalah otoritas Kristen untuk etika, sama seperti teologi. Ini karena Tuhan adalah otoritas dan standar tertinggi kita, karena Dia sendiri adalah kebaikan. Sementara orang Kristen mengetahui karakter Tuhan melalui membaca Kitab Suci, orang yang tidak percaya dapat memahami sebagian dan secara tidak sempurna, apa yang baik melalui tatanan ciptaan dan hati nurani mereka (Roma 1:19-20). Dan sementara orang Kristen pada akhirnya memperoleh etika mereka dari Alkitab dengan bimbingan Roh Kudus, bagian-bagian berbeda dari Alkitab (seperti hukum Musa) harus dibaca dalam konteks sejarah orang Israel dan tidak hanya diterapkan dari satu budaya jauh ke budaya lain.

“Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.”  Roma 1: 19-20

Sistem filosofis yang mencoba memberikan norma etika dapat membantu pemikiran Kristen tentang etika, tetapi Kitab Suci harus tetap menjadi otoritas untuk upaya etis Kristen apa pun. Akhirnya, meskipun ada banyak isu dewasa ini yang tidak dibicarakan secara langsung oleh Alkitab, ada prinsip-prinsip alkitabiah yang dapat diandalkan untuk membuat penilaian moral yang benar.

Tugas etis tertinggi orang percaya adalah mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi mereka. Tugas etis tertinggi kedua mereka adalah mengasihi sesama seperti diri mereka sendiri. Bagi seorang Kristen, memenuhi kewajiban moral ini terjadi dalam ketaatan pada Hukum Kristus dan tunduk pada ajaran Firman Tuhan. Tujuan utamanya adalah untuk memuliakan Tuhan dalam segala hal yang dikatakan, dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan. Tujuan etis luas lainnya termasuk menjadi berkat bagi orang lain dan tumbuh sebagai orang yang berbudi luhur.

Mengingat visi positif ini, cukup menyedihkan bahwa banyak orang – baik Kristen maupun non-Kristen – cenderung memandang orang Kristen sebagai legalistik dan suka menghakimi orang lain. Hal ini khususnya terjadi sebagai reaksi terhadap etika deontologis yang menekankan kewajiban. Selain itu banyak orang Kristen memandang moralitas adalah sesuatu yang tidak perlu dipikirkan lagi jika mereka sudah dibenarkan oleh darah Kristus. Tetapi, Alkitab menyatakan bahwa di dunia yang memberontak melawan Allah, mereka yang menjunjung tinggi standar moral Allah harus menyinari kegelapan dan harus menentang praktik-praktik dosa yang mungkin diterima secara luas dalam masyarakat. Perlu dicatat, Alkitab PB mempunyai banyak ayat yang dimulai dengan kata “hendaklah” dan “janganlah” yang jelas berlaku untuk orang Kristen zaman kini.

Alkitab tidak hanya menyajikan kode etik yang hanya terdiri dari larangan. Memang ada hal-hal yang harus dihindari, tetapi ada juga banyak kewajiban moral positif yang dituntut oleh Kitab Suci. Jika kita dengan benar membentuk pandangan etis kita dari Alkitab, kita akan menemukan bahwa kita harus menjauhi kejahatan dan melakukan perbuatan baik. Ada perbedaan kategoris antara yang baik dan yang jahat, dan antara yang benar dan yang salah. Karena itu, kehidupan Kristiani dapat menjadi “perlombaan” yang menyenangkan dalam melakukan kebaikan. Etika Kristen seharusnya menyenangkan karena orang yang memegangnya tahu bahwa Tuhan akan senang dengan ketaatan umat-Nya kepada perintah-Nya.

“Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.” Ibraani 12:1

Orang Kristen Injili seharusnya tidak merasa ragu untuk mengatakan bahwa Alkitab – Firman Allah – adalah otoritas dan standar etika kita, sama seperti teologi. Ini karena Tuhan adalah otoritas dan standar tertinggi kita. Tidak mungkin ada standar etika yang lebih tinggi kebenarannya dari Tuhan, bukan karena Dia mahakuasa, tetapi karena Dia adalah sumber kebaikan itu sendiri. Kebaikan moral ditentukan oleh sifat Tuhan, dan semua yang Dia perintahkan adalah sesuai dengan kebaikan-Nya yang sempurna dan benar.

Kita harus menaati setiap firman Tuhan karena setiap firman yang Dia berikan kepada kita mengalir dari karakter-Nya, dan karakter-Nya adalah kesempurnaan moral yang tidak terbatas dan mutlak. Tuhan tidak mengukur diri-Nya dengan standar kebaikan yang abstrak; Dia tidak berkonsultasi apa pun selain sifatnya sendiri ketika Dia mengeluarkan perintah dan aturan moral. Perintah moralnya tidak sewenang-wenang dan tidak bisa lain dari apa adanya, karena itu didasarkan pada kebaikan moral Tuhan yang tidak berubah. Karena perintah Allah ditemukan dalam Kitab Suci, Alkitab adalah otoritas kita untuk etika.

Walaupun demikian, pengetahuan tentang tuntutan moral Allah tidak hanya datang dari membaca Kitab Suci. Meskipun wahyu khusus ini bersifat definitif, setiap orang di bumi memiliki beberapa pengetahuan tentang standar moral Allah melalui wahyu umum. Memang kita perlu berhati-hati dalam menyamakan apa yang “alamiah” dengan apa yang benar-benar baik, tetapi Tuhan telah menciptakan dunia sedemikian rupa sehingga ada kesesuaian umum antara kebenaran moral dan apa yang secara alami adalah baik bagi manusia.

Orang sering dapat melihat apa yang terbaik untuk dilakukan (atau tidak dilakukan) ketika mereka menerapkan alasan mereka pada fakta-fakta dari situasi yang mereka hadapi. Tuhan juga telah menciptakan manusia untuk beroperasi dengan rasa dasar hukum moralnya melalui hati nurani mereka. Nalar dan hati nurani tidak dapat diandalkan atau otoritatif seperti ajaran yang ditemukan dalam Kitab Suci, tetapi keduanya merupakan sumber pengetahuan moral yang berguna. Etika Kristen menafsirkan wahyu umum melalui wahyu khusus tetapi menggunakan kedua sumber tersebut untuk mendapatkan wawasan tentang etika.

Terlepas dari kesepakatan di kalangan injili tentang pentingnya dan otoritas Kitab Suci bagi etika Kristen, ada perdebatan tentang peran Hukum Musa dalam moralitas Kristen. Walaupun demikian, dapat dikatakan bahwa orang Kristen tidak secara langsung dan tidak menyeluruh tetap berada di bawah otoritas Hukum Musa. Penggenapan perjanjian baru oleh Kristus telah membawa perubahan dalam hukum, seperti yang dijelaskan dalam Kitab Ibrani 10.

Gereja bukanlah suatu teokrasi, dan Kristus telah mengakhiri – melalui penggenapan – sistem pengorbanan Perjanjian Lama. Namun demikian, karena seluruh Kitab Suci diilhami Allah dan berguna, banyak hukum khusus dalam Hukum Musa masih dapat diterapkan dewasa ini baik di gereja maupun di masyarakat. Larangan pembunuhan dan pencurian, misalnya, adalah hukum yang mencerminkan karakter moral Allah yang abadi. Dua perintah terbesar yang diidentifikasi oleh Yesus diabadikan dalam Taurat dan berlaku untuk semua murid Kristus. Akan tetapi, kadang-kadang, ada faktor-faktor budaya yang mengharuskan umat Kristiani untuk memahami prinsip hukum daripada menerapkannya secara literal. Prinsip di balik hukum, bagaimanapun, adalah bahwa kita mengambil tindakan pencegahan yang wajar untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, dan itu adalah ide etis yang berlaku di setiap budaya. Prinsipnya sama, meski beberapa bentuk penerapannya dalam budaya tertentu bisa berbeda.

Ada ruang dalam etika Kristen untuk semua pertimbangan yang disebutkan dalam paragraf di atas. Tak satu pun dari sistem itu yang dapat berdiri sendiri; mereka perlu dibangun di atas dasar kebenaran Tuhan. Alkitab memperjelas bahwa segala sesuatu itu benar atau salah dalam hubungannya dengan karakter Allah. Jadi, moralitas itu objektif, dan kita harus menaati perintah Tuhan. Namun, ini tidak berarti bahwa konsekuensi sama sekali tidak relevan. Meskipun moralitas suatu tindakan tidak didasarkan pada konsekuensi saja, ada banyak peringatan dan dorongan dalam Kitab Suci yang menunjukkan konsekuensi positif atau negatif dari menaati atau tidak menaati Allah.

Kita harus melihat konsekuensi dari ketidaktaatan, dan kita harus juga melihat upah untuk mengikuti jalan Tuhan. Ini bukan saja menyangkut hubungan vertikal kita dengan Tuhan, tetapi juga berkenaan dengan hubungan horisontal, antar manusia. Kita juga harus bertindak untuk menghargai dan mendorong orang lain, dan ini membutuhkan penilaian atas konsekuensi dari kata-kata dan tindakan kita. Tuhan tidak menghendaki kekacauan.

“Sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera.” 1 Korintus 14:33

Allah menghasilkan buah rohani dalam kehidupan anak-anak-Nya—ia membentuk karakter bajik dalam diri mereka yang mencerminkan karakter Putra-Nya. Jadi, bertindak dan bertumbuh dalam kebajikan merupakan komponen penting dari etika Kristiani. Orang Farisi mungkin mengesankan orang lain dengan perbuatan keagamaan mereka, tetapi Tuhan melihat hati. Bahkan berdoa dan memberi hadiah kepada orang miskin tidak menyenangkan Tuhan jika motif hati kita salah.

Tentu saja ada sejumlah besar masalah etika praktis yang dihadapi orang Kristen saat ini. Beberapa masalah di masyarakat tertentu relatif baru, seperti kasus aborsi dan pernikahan sesama jenis. Masalah lain lebih universal dan abadi, seperti masalah kebebasan seksual atau perang untuk membela bangsa. Kadang-kadang Tuhan telah berbicara dengan jelas dan langsung tentang masalah etika (misalnya jangan mencuri atau korupsi), tetapi ada topik lain yang tidak dapat secara langsung dibahas dalam Alkitab (misalnya masalah yang memerlukan teknologi kontemporer, seperti rekayasa genetika, kecerdasan buatan, atau fertilisasi in vitro). Bahkan ketika Alkitab tidak secara khusus berbicara tentang suatu masalah, ada prinsip-prinsip alkitabiah yang dapat diandalkan untuk membuat penilaian moral yang terinformasi. Dengan demikian adalah keliru untuk memandang agama Kristen sebagai agama yang tidak mementingkan moralisme.

Pagi ini, kita belajar memahami pentingnya etika dan moral dalam kehidupan orang Kristen di dunia. Etika dan moral yang baik adalah perlu agar kita bisa memuliakan Tuhan dan memancarkan terang-Nya bagi seisi dunia. Etika dan moral bukanlah Injil, dan bukan sarana untuk memperoleh keselamatan di surga, tetapi adalah pedoman untuk hidup dalam ketertiban dan ketenteraman di dunia. Etika dan moral bukanlah cara untuk menjadi orang berbudaya yang terpandang, tetapi adalah keharusan bagi umat Kristen untuk menjadi hamba Tuhan yang setia.

Tinggalkan komentar