“Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian.” Efesus 1:7-8

Adalah suatu kenyataan, terutama jika Anda berada dalam posisi kepemimpinan, Anda akan senang mendengarkan komentar orang lain tentang kekuatan dan kemampuan Anda. Tapi mungkin Anda kurang senang mendengar kritik orang lain tentang kelemahan Anda. Dalam hal ini, ada nasihat untuk para pemimpin agar mereka mempunyai “muka yang tebal”, alias tahan kritik dan kecaman; karena semakin mereka dikenal publik, sepertinya lebih banyak perhatian orang lain yang menyoroti kesalahan dan kelemahan mereka.
Sebagai orang Kristen, sebenarnya kita adalah orang yang seharusnya sangat menyadari kekurangan kita di hadapan Tuhan. Tetapi, dalam hidup sehari-hari kita mungkin sering berfokus pada hal-hal yang kurang baik dalam hidup kita. Kita menganggap Tuhan pasti tidak senang karena kita masih belum bisa menjalankan semua perintah-Nya dengan benar. Kita menganggap bahwa Tuhan berfokus pada kesalahan kita sama seperti kita, dan ini bisa membuat hubungan kita dengan Tuhan menjadi renggang.
Pada kenyataannya, sudut pandang ini tidak sesuai dengan dasar kekristenan, maupun dengan pribadi Tuhan yang kita ikuti. Allah membenci dosa. Dia membencinya karena Dia membenci apa yang bertentangan dengan kebenaran, keindahan, kehendak kasih-Nya dan keinginan-Nya untuk melindungi ciptaan-Nya. Namun kebencian Allah terhadap dosa hanyalah sebagian dari karakter-Nya. Bagian lainnya, tentu saja, adalah kasih-Nya yang tak tertandingi bagi kita – yang begitu dalam dan meliputi segalanya, sehingga Dia mau tidak mau membuat jalan bagi kita untuk lepas dari belenggu dosa.
Ayat di atas beralih ke pembayaran yang dilakukan Yesus bagi kita “melalui darahnya”. Paulus mengacu pada kematian Kristus di kayu salib sebagai pembayaran yang cukup untuk dosa semua orang yang percaya. Apa yang dicakup oleh penebusan ini? Membayar untuk membebaskan kita dari hukuman kekal dan kekuatan duniawi dari dosa-dosa kita sendiri. Kebebasan ini bukanlah hal mudah dicapai karena harus dibayar dengan kematian Kristus. Dengan demikian, bagi orang beriman harga tertinggi telah dibayar. Ini adalah kasih karunia: kemampuan kita untuk menjadi anak Allah adalah karena Allah sendiri memberikan secara cuma-cuma sebuah jalan untuk mengenal Dia dengan iman.
Anugerah Tuhan disebutkan dalam kaitannya dengan uang dengan gagasan bahwa anugerah itu sangat berharga. Anugerah adalah apa yang dibutuhkan untuk menjadikan manusia putra dan putri Allah. Semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan-Nya (Roma 3:23). Hanya melalui Yesus kita memiliki jalan (Yohanes 14:6) untuk memperoleh keselamatan (Kisah Para Rasul 4:12).
Sementara kita mengira kita mengetahui makna di balik kematian Yesus, ujian iman yang sebenarnya datang dengan tanggapan kita terhadap dosa. Jika kita hanya sibuk dengan keburukannya, menundukkan kepala dalam kecemasan dan rasa malu, kemungkinan besar kita tidak akan menyerap kebenaran bahwa kita lebih dari sekadar anak yang hilang. Kita lupa bahwa kita adalah anak yang hilang yang sudah kembali kepada ayahnya, seorang anak yang sudah mengakui segala dosanya dan disambut dengan tangan terbuka oleh sang ayah.
Jika Kristus benar-benar telah mengambil dosa-dosa kita, maka penyesalan akan dosa lama yang terus-terusan bukanlah hal yang menyenangkan Tuhan. Ketika kita merasa perlu untuk menghukum diri kita sendiri, kita sebenarnya meremehkan pengorbanan Yesus – bahkan meninggikan kemampuan kita yang dirasakan perlu untuk menebus diri kita sendiri atau untuk menyelesaikan misi penyelamatan-Nya. Kitab Suci berkata, “Tanpa iman, tidak mungkin menyenangkan Allah.” (Ibrani 11:6). Jadi kita harus bisa mengizinkan diri kita sendiri untuk melepaskan tekanan batin kita, dan kita bisa menyerah untuk percaya bahwa pekerjaan Yesus sudah genap.
Penyerahan diri inilah yang membukakan kemungkinan bagi kita untuk mengalami apa yang menjadi tujuan kita: kedamaian dalam Tuhan. “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.”” (Galatia 5:1). Kita harus mengingat kenyataan ini dan belajar mempercayainya makin hari makin dalam. Daripada menggunakan kesalahan kita sebagai kesempatan untuk menghukum diri kita sendiri, mungkin kita dapat mengingatnya sebagai undangan untuk tidak hanya menjalankan iman kita, tetapi juga untuk memahami kasih Allah yang kuat. Memang, dengan habisnya gelap terbitlah terang.
Tuhan tidak mengidentifikasi kita dengan dosa-dosa kita. Dia melihat hal-hal sebaliknya – sementara kita mungkin memperbesar kesalahan kita, Tuhan mengagungkan keindahan yang diberikan kepada kita. Dia tidak terintimidasi oleh kelemahan kita, seperti yang sering kita alami. Ketika kita merasa bersalah dan menganggap Tuhan dengan tegas menunjukkan kesalahan kita, mungkin kita dapat mengenali bahwa itu sebenarnya hanya suara kita sendiri atau suara musuh. Sebaliknya, kita dapat memilih untuk mendengarkan suara-Nya yang lebih tenang yang dengan lembut mengulangi, “Tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus” (Roma 8:1). Kita harus dapat mengenali bahwa Tuhan adalah Tuhan yang penuh kasih sayang.
Apakah ini berarti kita harus mengabaikan dosa-dosa kita? Sama sekali tidak. Sebagian orang Kristen memang sering mendengungkan ajaran bahwa kita tidak perlu berusaha untuk memperbaiki cara hidup kita yang salah. Sebaliknya, ketika kita melihat masalah dalam hidup kita, kita diminta untuk menanggapinya dengan serius, untuk menghadirkannya kepada Roh Kudus yang mampu membantu kita, mengajar kita dan menumbuhkan kita menjadi serupa dengan-Nya. Lagi pula, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yohanes 1:9).
Kita harus mengerti bahwa Tuhan memeluk kita terlepas dari beratnya dosa kita, sehingga kita tidak mundur karena malu, tetapi datang kepada-Nya dengan perasaan damai. Kita harus memahami bahwa Tuhan tidak mencari-cari dosa kita, dan karena itu kita juga tidak seharusnya melakukan hal yang sama. Jiwa kita bisa merasa sangat lelah dengan beban yang kita bebankan pada diri kita sendiri. Kita mungkin bosan dengan kritik dan penilaian atas diri sendiri. Untuk bisa hidup baik, kita mungkin mencoba memotivasi diri sendiri dengan rasa takut dan malu – gagasan bahwa kita adalah orang jahat sampai kita berubah. Tapi taktik itu tidak akan bisa efektif.
Tetap berada dalam rasa malu membuat kita terjebak. Itu seperti Adam dan Hawa yang menyembunyikan diri setelah melanggar perintah Tuhan untuk tidak memakan buah terlarang. Dan Tuhan tahu hal ini. Jadi Dia memilih untuk mencari dan memotivasi kita dengan memberi kita pengetahuan tentang siapa kita sebenarnya, dan kesadaran akan kebaikan-Nya yang tak bersyarat. Dia tahu bahwa hanya kasih-Nya yang yang bisa memberi kita kesembuhan dan kemampuan untuk menyadari bahaya dosa; sehingga kita mau mengasihi diri kita sendiri dengan menghindari dosa. Roh Kudus memberi kita kekuatan untuk melepaskan diri dari ikatan dosa yang masih ada, dan kita bisa bergerak maju dengan harapan.
Pagi ini, ada kebenaran yang berharga dan membebaskan yang Tuhan ingin kita terima di lubuk hati kita. Dia sudah menerima kita, anak yang hilang, kembali ke dalam pelukan-Nya. Artinya, Dia menganggap kita sebagai seorang anak yang tidak bercacat dan Dia senang dengan kita. Semoga kita bersedia menerima pesan ini. Semoga itu membawa kita lebih dekat kepada-Nya, dan berfungsi sebagai air yang sejuk bagi kita yang dulu hilang dan sekarang kembali menjadi anak-Nya.
“Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” Lukas 13:24