Antara kasih dan moralitas dunia

“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.” 1 Korintus 13:4-7

Kasih secara historis memainkan peran besar dalam cara kita memahami tugas memperlakukan orang lain dengan baik. Banyak sistem etika atau moral berpendapat bahwa kasih adalah dasar untuk melakukan yang benar. Alkitab, misalnya, memerintahkan kita untuk “mengasihi sesamamu” – tidak hanya menghormati atau menghargai orang yang kita kenal, tetapi juga mengasihi mereka yang membenci kita. Ribuan tahun kemudian, filsuf dan novelis Iris Murdoch menulis bahwa “perhatian yang penuh kasih” adalah inti dari moralitas manusia.

Jika kasih adalah initi dari moralitas kita, itu tidaklah mudah dilaksanakan. Mengapa? Dalam pengertian Kristen tentang kata itu, kasih tampaknya melibatkan keberpihakan. Dalam semua jenis cinta, dari cinta romantis (eros) hingga cinta dalam persahabatan (philia) atau cinta keluarga (agape), mencintai seseorang tampaknya berarti tidak mencintai orang lain. Kita mencintai istri kita, bukan istri tetangga kita. Kita mencintai teman dan orang tua kita, bukan teman bos kita atau ayah sopir bus kita. Bagaimana pula dengan mengasihi Tuhan? Itu lebih sulit lagi, untuk tidak dikatakan mustahil jika kita memegang moral dunia sebagai pedoman.

“Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” Matius 10:37

Faktanya, kita mungkin berpikir bahwa seseorang tidak mencintai pasangannya dalam arti kata yang benar, jika mereka juga mengatakan bahwa mereka mencintai semua orang secara setara. Tetapi, Alkitab menyatakan bahwa kita harus mengasihi semua orang. Bagaimana ini bisa dilakukan? Dalam kenyataan hidup, keberpihakan kasih kita mau tidak mau memengaruhi tindakan kita serta emosi kita. Orang tua, teman, dan pasangan kita menerima lebih banyak prioritas, hadiah, dan perhatian emosional dari kita daripada orang lain. Ini adalah fitur kehidupan manusia di dunia yang dihargai dan menyenangkan.

Moralitas, pada hihak yang lain, sering dianggap pada dasarnya netral. Artinya, pandangan moral memandang setiap orang sebagai sederajat; tidak memihak satu orang atas yang lain hanya karena hubungan kita dengan mereka. Filsuf Immanuel Kant, misalnya, berpendapat bahwa semua orang berhak mendapatkan perlakuan moral hanya karena mereka adalah manusia. Siapa pun yang adalah manusia menuntut agar orang lain tidak membohongi mereka, menghormati mereka, tidak memperbudak tubuh mereka atau merampas harta benda dan hak mereka. Jadi, satu-satunya hal yang diperhatikan oleh pandangan moral adalah kesetaraan manusia. Karena semua orang adalah orang, pandangan moral dunia memandang setiap manusia secara sederajat. Itu sebabnya pada zaman ini persamaan derajat antar umat manusia selalu didengung-dengungkan dalam masyarakat, dan karena itu sebagian orang menuduh orang Kristen mengingkari hukum kasih dari Tuhan.

Jika moral menuntut kita memperlakukan semua orang dengan adil, apakah kasih sebenarnya tidak bermoral (amoral)? Mungkinkah bersikap penuh kasih dan berperilaku etis menjadi dua tugas yang terpisah dan yang sering menimbulkan konflik? Jika moralitas mengandung komitmen terhadap netralitas – dan jika kasih mengandung komitmen terhadap keberpihakan – maka pandangan moral dan pandangan kasih adalah bertentangan. Apakah kasih dan moralitas meminta kita melakukan hal yang berbeda? Bagaimana kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini?

Pertama, harus dikatakan dengan tegas bahwa umat Kristiani harus menjadi orang yang penuh kasih, orang yang mengasihi, orang yang menunjukkan kasih, orang yang memancarkan kasih, orang yang membangkitkan kasih, orang yang mengkomunikasikan kasih, dan orang yang mengasihi dengan berkorban. Mengapa? Karena Allah adalah kasih dan kita dapat mengasihi Allah karena Dia terlebih dahulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:18-19) dan menyerahkan diri-Nya untuk kita di kayu salib. Kita memiliki banyak alasan untuk mencintai manusia, memberikan uang, waktu, tenaga kita kepada orang lain agar mereka dapat melihat perbuatan baik kita dan memuliakan Bapa kita di surga. Setidaknya itu yang bisa kita lakukan mengingat kasih-Nya yang luar biasa yang ditunjukkan kepada kita, meskipun kita dulunya adalah orang berdosa yang harus menemui kematian di neraka. Memang, “Tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Roma 5:8). Orang akan mengetahui bahwa kita adalah murid Kristus melalui cara kita saling mengasihi (Yohanes 13:35). Sayangnya, sebagai manusia yang tidak sempurna, kita gagal meniru kasih Juruselamat kita dan melakukannya berulang kali dalam dosa kita. Semoga Tuhan memberi kita rahmat untuk mengatasi prasangka dan pembenaran diri yang merampas kasih alkitabiah kita untuk orang lain.

Terkadang pandangan umum bisa menggantikan firman Tuhan. Pepatah “agama” yang populer bisa memperoleh pengaruh dan menjadi dogma sekalipun tanpa dukungan Alkitab. Pepatah “Tuhan membantu mereka yang membantu diri mereka sendiri” tidak ditemukan dalam kitab suci. Hal yang sama dapat dikatakan tentang gagasan bahwa orang Kristen harus mengasihi semua orang secara setara tanpa perbedaan.

Dalam arti apa pun orang Kristen harus mengasihi orang secara umum; tetapi, ada perbedaan dalam kasih yang tidak berdosa itu, yang sebenarnya mencerminkan karakter dan perilaku Tuhan. Kita harus mengasihi musuh dan penyiksa kita, seperti yang Yesus katakan (Matius 5:43-48), dan kita harus menunjukkan kebaikan kepada semua orang (ingat kisah orang Samaria yang baik hati), tetapi tidak dengan cara yang sama seperti kita mengasihi dan memerlakukan pasangan kita, anak-anak, keluarga gereja, dan bahkan mungkin orang sebangsa. Lebih dari itu, secara logis kita tidak dapat mengasihi mereka yang membenci Tuhan seperti kita mengasihi mereka yang mengasihi Tuhan.

Ada lingkaran pembatas yang berbeda ukuran, yang secara alami dan benar dan alkitabiah mengatur pernyataan kasih kita. Misalnya, kasih yang saya miliki untuk pasangan saya seharusnya mencerminkan kasih Kristus untuk gereja-Nya (Efesus 5:25). Dia mengasihi gereja-Nya dengan cara Dia tidak mengasihi orang lain. Dia mencintai umat-Nya lebih intim dan intens. Bagaimanapun, mereka adalah domba-domba-Nya dan Dia mengenal mereka secara dekat dan mengasihi mereka dengan cara yang tidak sama dengan pengenalan-Nya atas serigala atau kambing (Yohanes 10:11-16).

Yesus menyerahkan nyawa-Nya untuk gereja (Efesus 5:25; Yohanes 10:15) dan tidak ada kasih yang lebih besar dari apa yang diberikan-Nya kepada manusia (Yohanes 15:13). Demikian juga, kita harus mengasihi Kristus, pasangan kita, dan sesama saudara dan saudari dalam Kristus dengan cara yang khusus pula. Dengan demikian, kita harus membeda-bedakan, mengasihi dengan pembedaan yang tepat, seperti yang dilakukan Kristus. Kita mungkin dituntut untuk mengasihi semua orang, berbuat baik kepada semua orang, tetapi tidak dengan cara yang sama atau tidak dapat dibedakan.

Paulus menyurati gereja di Galatia dan menyuruh mereka berbuat baik kepada semua orang, tetapi khususnya gereja (Galatia 6:10). Jadi kita harus membedakan, bukan berdasarkan ras atau jenis kelamin atau kelas (dihapuskan dalam Galatia 3:8), tetapi berdasarkan kedekatan dalam hubungan keluarga (Tuhan, keluarga, gereja, dll). Itu alami dan alkitabiah.

“Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.” Galatia 6:10

Orang yang baik kepada orang lain tetapi mengabaikan anak-anaknya, adalah lebih buruk daripada orang yang baik kepada anak-anaknya tetapi mengabaikan orang lain. Mengapa? Dia memiliki kewajiban moral yang diberikan Tuhan kepada anak-anaknya yang lebih besar dari itu terhadap orang lain. Dengan kata lain, kasih kita kepada orang lain dilemahkan oleh tingkat kewajiban moral kita terhadap mereka.

Tuhan sendiri mencintai Yakub dan membenci Esau (Roma 9:13), Dia mencintai Israel secara khusus atas semua bangsa lain di bumi, tentu saja bukan Mesir (anak sulung laki-laki yang langsung dibantainya), Tuhan menetapkan cinta abadi perjanjian dengan Ishak dan bukan Ismael (Kejadian 17:18-21), dan Dia mengasihi umat-Nya, anak-anak-Nya (1 Yohanes 3:1), secara eksklusif disebut “anak-anak Allah”, dengan cara khusus di atas semua orang lain di bumi. Memang, di akhir zaman, Tuhan akan memisahkan domba dari kambing dan menunjukkan kasih yang istimewa kepada umat-Nya sendiri (Wahyu 7:13-17).

Pagi ini, kita harus sadar bahwa kasih yang alkitabiah tidaklah sama dengan etika dan moralitas yang dituntut dunia. Moralitas dunia hanya mencerminkan kasih Tuhan secara umum, yang memberikan sinar matahari kepada semua orang (Matius 5:45). Tetapi, kasih yang sejati (agape) adalah satu dengan moralitas yang dituntut oleh Alkitab. Tuhan membedakan mereka yang menjadi domba-Nya dari domba lain atau serigala. Dia memberikan perhatian khusus kepada mereka yang mengasihi Dia. Moralitas dunia adalah baik sepanjang itu dibimbing oleh ajaran kasih berdasarkan Alkitab. Moralitas yang membuta pada akhirnya akan mengabaikan adanya Tuhan dan kasih-Nya yang istimewa kepada orang-orang yang mau mendengar panggilan keselamatan-Nya.

Tinggalkan komentar