Menikmati adanya kemiskinan

“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Matius 5: 3

Tempat berkemah yang dipenuhi tenda di sebuah kota kecil di Australia tidak seperti yang terlihat sebelumnya – penduduknya bukanlah wisatawan, melainkan penduduk setempat yang tidak dapat menemukan rumah untuk disewa. Lebih dari 50 keluarga tahun ini telah pindah ke kota tenda di Moruya, sebuah kota tepi pantai yang indah di pesisir selatan negara bagian New South Wales, sehingga tempat berlibur tersebut tidak lagi dibuka untuk wisatawan.

Tempat berkemah biasanya memiliki batas berapa lama orang yang dapat tinggal di sana – di bawah dua bulan – tetapi pemerintah setempat sekarang mengesampingkan ini karena mereka tidak punya tempat lain untuk pergi. Keadaan yang menyedihkan itu bukan sekadar fakta bahwa tidak ada pekerjaan di daerah tersebut. Sebaliknya, memang ada kelas baru tunawisma yang disebut pekerja miskin yang memiliki pekerjaan tetap, tetapi tidak dapat menemukan sewa jangka panjang yang terjangkau di daerah mereka. Mengapa demikian? Para penghuni kota-kota besar yang meninggalkan kota mereka selama pandemi Covid telah membeli banyak properti di daerah tersebut. Apa yang tersisa di Moruya, dimiliki oleh investor yang menyimpannya sebagai persewaan liburan jangka pendek atau persewaan untuk pekerja sementara. Harga tarif rumah sewaan kemudian melonjak tinggi.

Seorang ibu yang bernama Cassie telah menyewa tempat akomodasi dan hotel selama lebih dari enam bulan – pada akhirnya harus memilih antara membayar ongkos tempat tinggal atau biaya makan. Ia membangun tendanya di Moruya agar dapat membeli bahan makanan sehari-hari. “Aku sebenarnya ingin rumah untuk anakku. Aku hanya ingin anak laki-lakiku tumbuh bahagia dan sehat dan tahu bahwa mereka punya tempat tidur setiap malam,” katanya. Sayang, sekalipun kesejahteraan masyarakat adalah salah satu hal yang penting, mereka yang menderita selalu ada di negara mana pun. Kebahagiaan adalah hal yang sulit dicari.

Ucapan bahagia atau the Beatitudes adalah ucapan berkat yang disampaikan Yesus sewaktu Ia masih di dunia. Tempat dimana Yesus menyampaikan ucapan ini diduga adalah sebuah bukit dekat kota Tabgha dan Kapernaum di Israel. Apa yang disebutkan Yesus dan dikenal umat Kristen sebagai ucapan-ucapan bahagia adalah pernyataan Yesus mengenai apa yang baik bagi manusia untuk dipakai sebagai pedoman hidup (Matius 5: 1 – 12). Meskipun ada yang mengatakan bahwa jumlahnya ada 8, 9 atau 10, secara tradisional ada 8 ucapan bahagia karena ayat 11 dan 12 memakai kata “kamu” dan bukan “orang”.

Ucapan bahagia seringkali dipakai untuk bahan renungan atau khotbah, tetapi pada umumnya umat Kristen kurang bisa memahami artinya. Itu karena apa yang dikatakan Yesus adalah berlawanan dengan apa yang bisa diterima akal manusia. Ayat di atas misalnya, mempunyai 2 hal yang sulit dimengerti: yaitu “miskin di hadapan Allah” dan “empunya kerajaan surga”. Miskin tapi kaya? Bagaimana kita bisa berbahagia jika kita hidup dalam kemiskinan seperti Cassie?

Hal miskin di hadapan Allah adalah sesuatu yang tidak mudah dijelaskan. Sudah tentu ini bukan mengenai kemiskinan jasmani. Yesus tidak mengatakan bahwa mereka yang ingin dekat dengan Allah harus menjadi orang yang tidak berharta. Bagi Tuhan, orang berharta dan orang miskin tidak ada bedanya: mereka adalah orang berdosa yang sama-sama membutuhkan Dia. Walaupun demikian, mereka yang mengejar dan mencintai harta bisa menemui kesulitan untuk menjadi muridNya.

Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Markus 10: 21

Pada pihak yang lain, Yesus menyatakan bahwa mereka yang tidak kaya justru bisa mempunyai hubungan yang erat dengan Tuhan. Ketika Yesus melihat janda miskin yang mempersembahkan seluruh nafkanya, Ia bisa melihat bahwa hati janda ini dipenuhi dengan rasa syukur kepada Tuhan yang sudah membimbingnya. Sebagai manusia, janda ini adalah orang yang miskin di hadapan Allah, yang selalu bergantung kepada Tuhan.

Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” Markus 12: 43 – 44

Kemiskinan jasmani di dunia adalah konsekuensi dosa, tetapi itu tidak harus berarti kemiskinan rohani. Sebaliknya, mereka yang hidupnya terlihat kaya dan nyaman tetapi tidak merasakan kebutuhan spiritualnya adalah orang-orang yang jauh dari Tuhan dan miskin secara rohani. Kaya tapi miskin.

Baik kekayaan maupun kemiskinan jasmani bukanlah hal yang bisa memadamkan kasih dan kemuliaan Tuhan jika orang selalu sadar akan ketergantungannya kepada Tuhan. Kemiskinan di hadapan Allah (poor in spirit) dengan demikian menyatakan adanya penyerahan hidup secara total kepada Tuhan. Mereka yang miskin di hadapan Allah adalah orang kaya rohani karena dekat denganNya (yang empunya kerajaan surga). Mereka akan menjadi orang yang berbahagia.

Tuhan tidak selalu menghendaki atau menjanjikan umatNya kekayaan jasmani, tetapi Ia akan memberikan kekayaan rohani jika orang selalu merasa membutuhkan Tuhan atau merasa miskin di hadapanNya. Tuhan memerintahkan mereka yang diberkati Tuhan dengan kekayaan jasmani, agar mau menolong mereka yang miskin secara jasmani agar setiap umat-Nya dapat merasakan kebahagiaan rohani.

“Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu.” Amsal 19:17

Tinggalkan komentar