Apakah Tuhan senang atas kematian orang jahat?

“Seperti Tuhan bergirang karena kamu untuk berbuat baik kepadamu dan membuat kamu banyak, demikianlah Tuhan akan bergirang karena kamu untuk membinasakan dan memunahkan kamu, dan kamu akan dicabut dari tanah, ke mana engkau pergi untuk mendudukinya.” Ulangan 28:63

Banyak orang yang merasa senang jika orang yang jahat menerima hukuman. Apalagi jika kejahatan mereka sangat besar, sebagian orang senang ketika mereka mengalami nasib malang dan bahkan dihukum mati. Sebagai orang Kristen, tentunya kita ingin tahu bagaimana sikap Tuhan terhadap orang jahat. Ayat di atas menyatakan bahwa Tuhan dengan senang hati mau membinasakan manusia. Bagaimana kita menyelaraskan ayat ini dengan dan Yehezkiel 18: 23 dan 32 dimana Tuhan berkata bahwa Dia tidak berkenan atas kematian siapapun? Bagaimana bisa Tuhan begitu sadis dengan gagasan membinasakan umat-Nya sendiri?

“Apakah Aku berkenan kepada kematian orang fasik? demikianlah firman Tuhan ALLAH. Bukankah kepada pertobatannya supaya ia hidup?” Yehezkiel 18:23

“Sebab Aku tidak berkenan kepada kematian seseorang yang harus ditanggungnya, demikianlah firman Tuhan ALLAH. Oleh sebab itu, bertobatlah, supaya kamu hidup!” Yehezkiel 18:32

Tuhan mengacu pada hukuman jasmani dalam kehidupan duniawi dalam Ulangan 28:63, sedangkan Dia mengacu pada kematian rohani yang kekal dalam Yehezkiel 18:23. Mungkin saja Tuhan mempunyai berbagai perasaan mengenai hukuman terhadap bangsa Israel. Di satu sisi, Dia melakukannya dengan berat hati karena Dia mengasihi bangsa Israel dan tidak ingin menghukum mereka; di sisi lain, Dia senang keadilan ditegakkan dan orang jahat tidak lolos dari dosa yang mereka lakukan. Bukan karena Allah senang membayangkan mereka menderita, tetapi karena Ia mahasuci, Ia ingin bahwa semua bentuk kejahatan tidak luput dari hukuman. Tetapi, Ia yang mahakasih ingin agar mereka yang jahat bertobat dan luput dari neraka.

Sebagai Allah yang mahakasih, Tuhan tidak suka menghukum manusia. Dari apa yang terjadi dengan Adam dan Hawa, dan juga Kain dan Habel, kita tahu bahwa Dia senang memberkati manusia dan menjawab doa mereka, tetapi penghakiman bukanlah hal yang Dia sukai. Dia senang bahwa keadilan ditegakkan, tetapi Dia sedih melihat orang-orang yang berbuat jahat karena keadilan harus ditegakkan. Ini mungkin mirip dengan apa yang bisa terjadi dalam keluarga. Orang tua bisa saja berkata kepada anaknya, “Jika kamu menurutiku, aku akan dengan senang hati memberimu hadiah, tetapi jika kamu dengan sengaja tidak menaatiku, dengan senang hati aku akan menghukummu agar kamu mempunyai masa depan yang baik”.

Hal lain yang dapat membantu kita dalam membandingkan Yehezkiel 18: 23 dan32 dengan Ulangan 28:63 adalah dengan menyatakan bahwa kompleksitas Allah yang tak terbatas adalah sedemikian rupa sehingga Ia dapat memandang dunia melalui dua jenis lensa: Ia dapat melihat melalui lensa sudut sempit atau lensa sudut lebar. Ketika Tuhan melihat peristiwa yang menyakitkan atau jahat melalui lensa sudut sempit, Dia melihat tragedi dosa sebagaimana adanya, dan Dia marah dan berduka atas apa yang dilihat-Nya. Dia kemudian menjatuhkan hukuman-Nya tanpa rasa segan.

Namun melalui lensa sudut lebar, Tuhan melihat tragedi dosa dalam kaitannya dengan segala sesuatu yang harus berjalan sesuai dengan rencana-Nya. Ia melihatnya dalam kaitannya dengan semua hubungan dan semua efek yang membentuk suatu pola atau mosaik, yang membentang hingga keabadian. Dan mosaik itu serta seluruh bagiannya, baik dan jahat, membuat-Nya senang. Mazmur 135:6 berkata “TUHAN melakukan apa yang dikehendaki-Nya, di langit dan di bumi, di laut dan di segenap samudera raya.” Dia senang dengan semua yang dilakukan-Nya dan semua yang Dia izinkan di dunia. Dia punya alasan tersendiri untuk membiarkan hal-hal yang jahat dalam lensa sudut lebar.

Jika Tuhan memakai segala sesuatu yang ada untuk menggenapi rencana-Nya, bagaimana pula manusia di haruskan untuk bertanggung jawab atas perbuatan mereka? Topik tanggung jawab individu atas dosa sebenarnya dieksplorasi dalam Yehezkiel 18:20–32 dan muncul kembali dalam Yehezkiel 33:10–20. Dalam ayat-ayat ini, Kitab Suci menjelaskan bahwa manusia mempunyai pilihan untuk hidup benar atau jahat. Tuhan dengan tegas menyatakan,

“Katakanlah kepada mereka: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel?” Yehezkiel 33:11

Tuhan menjadikan Yehezkiel sebagai penjaga bangsa Israel. Yehezkiel ditugaskan untuk berjaga-jaga, memperingatkan umat Allah bahwa penghakiman atas dosa akan datang. Jika mereka terus melakukan kejahatan, mereka akan mati kekal. Namun karena kemurahan, anugerah, dan kasih Tuhan, karena Dia tidak berkenan dengan kematian orang jahat, Allah dengan hati-hati memperingatkan akan adanya penghakiman dan memanggil umat-Nya untuk bertobat. Tidak peduli betapa benarnya mereka hidup di masa lalu, jika mereka hidup dalam dosa, mereka harus segera berpaling kepada Allah agar bisa menerima hidup kekal (Yehezkiel 18:23-24).

Meskipun Allah tidak senang dengan kematian orang fasik, Amsal 11:10 menyatakan bahwa “Bila orang benar mujur, beria-rialah kota, dan bila orang fasik binasa, gemuruhlah sorak-sorai.”. Sama seperti setiap individu bertanggung jawab atas pilihannya untuk hidup benar atau jahat, seluruh masyarakat juga memperoleh manfaat dan kerugian dari pilihan moral mereka. Ketika kesalehan dan moralitas menang di dunia ini dan kejahatan dikalahkan, ada alasan untuk bersukacita karena kehendak Allah terlaksana di bumi (Roma 13:1-7). Kita bisa bergembira karena keadilan ditegakkan dan kejahatan ditaklukkan, namun hukuman kekal terhadap jiwa tidak boleh dirayakan. Ini harus diingat karena terkadang kita mungkin merasa bahwa orang-orang tertentu pantas untuk dilenyapkan dari muka bumi.

Nasib kekal setiap orang bukanlah perkara yang bisa dianggap enteng. Kematian orang-orang yang ditebus, di satu sisi, merupakan alasan yang sangat baik untuk dirayakan karena orang tersebut, bagaimana pun besarnya dosanya, telah memasuki kehidupan kekal bersama Kristus (Filipi 1:21). Namun kematian orang jahat adalah sebuah tragedi karena kesempatan orang tersebut untuk diselamatkan dan hidup selamanya bersama Tuhan telah berlalu. Perpisahan abadi dari Tuhan adalah nasib yang menanti setiap orang yang pada akhirnya menolak Dia dalam hidup ini (Matius 25:46). Daripada bersukacita atas kematian orang jahat, kita harus berdoa agar mereka menerima keselamatan sebelum terlambat. Itu jugalah yang dikehendaki Tuhan.

Tinggalkan komentar