Dapatkah kita bertanggung jawab atas hidup kita?

Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” Matius 25:21

Dua kebohongan besar telah dipromosikan dalam berbagai media sosial terutama dalam 20 tahun terakhir ini:

  1. “Jika kamu bekerja cukup keras, kamu bisa menjadi apapun yang kamu inginkan.”
  2. “Kamu bisa menjadi yang terbaik di dunia.”

Kebohongan ini telah diterima dan dipromosikan oleh banyak orang Kristen maupun non-Kristen. Kesuksesan, yang diartikan sebagai hasil penguasa nasib sendiri, telah menjadi idola masyarakat. Itu sebabnya ada banyak orang yang menjadi influencer dan agar bisa sukses dan kaya raya, karena mumpung masih ada orang-orang yang bisa ditipu!

Syukurlah, Alkitab memberi kita penawar yang kuat terhadap gagasan sukses yang salah arah. Melalui Perumpamaan Yesus tentang Talenta (Matius 25:14-30) kita belajar bahwa Kerajaan Surga itu seumpama seorang majikan yang akan melakukan perjalanan yang jauh. Sebelum dia pergi, dia memberi ketiga pelayannya sejumlah uang yang berbeda, berdasarkan kemampuan masing-masing. Kepada hamba yang pertama, orang itu memberikan lima talenta; yang kedua, dua talenta; dan yang terakhir, satu talenta—masing-masing sesuai dengan kesanggupannya.

Sekembalinya, sang majikan bertanya apa yang mereka lakukan dengan uang itu. Hamba pertama dan kedua telah melipatgandakan investasi mereka dan menerima pujian majikan mereka. Namun, hamba yang ketiga telah menjaga uang itu tetapi tidak melakukan apa pun untuk menambahnya. Akibatnya, dia dikutuk oleh tuannya karena tidak mau bekerja.

Perumpamaan tentang talenta mengajarkan kita lima hal penting tentang makna kesuksesan menurut Alkitab.

Pertama, perumpamaan ini mengajarkan kita bahwa kesuksesan adalah hasil kerja kita.

Dalam pasal pembuka kitab Kejadian, kita menemukan mandat budaya yang di dalamnya Allah memerintahkan Adam untuk bekerja dengan mengelola dan mengembangkan sumber daya yang telah diberikan kepadanya. Amanat ini dimaksudkan bukan hanya bagi Adam dan Hawa, namun juga bagi kita. Sebagai umat Kristiani, kita mempunyai misi yang Tuhan ingin agar kita selesaikan saat ini. Kita dipanggil untuk mengelola semua yang telah diberikan kepada kita sambil menunggu kembalinya Juruselamat kita.

John Calvin mendefinisikan talenta sebagai anugerah Tuhan yang berupa panggilan dan kemampuan alamiah seseorang. Gagasan tentang panggilan atau panggilan pertama-tama adalah tentang dipanggil oleh Tuhan, untuk melayani Dia dalam dunia-Nya. Oleh karena itu, bekerja dipandang sebagai suatu kegiatan yang dengannya umat Kristiani dapat memperdalam iman mereka. Melakukan apa pun untuk Tuhan, dan melakukannya dengan baik untuk kemuliaan-Nya, merupakan ciri mendasar dari iman Kristen yang sejati.

Perumpamaan tentang Talenta mengajarkan bahwa kesuksesan yang alkitabiah adalah bekerja dengan tekun di sini dan saat ini. Hamba yang mempunyai lima talenta itu rajin, karena ia “segera pergi dan menjalankan uang itu lalu beroleh laba lima talenta (Matius 25:16). Dia menggunakan semua bakat yang diberikan tuannya—tanpa ragu-ragu—untuk menghasilkan keuntungan yang diharapkan.

Kedua, perumpamaan tentang talenta mengajarkan bahwa Allah sudah memberi kita semua yang kita perlukan untuk melakukan panggilan-Nya.

Talenta dalam Perjanjian Baru kemungkinan besar berupa uang dalam jumlah besar, bahkan mungkin mencapai satu juta dolar dalam mata uang saat ini. Kita mungkin tergoda untuk merasa kasihan pada hamba yang hanya menerima satu talenta, namun kenyataannya, dia menerima sebanyak satu juta dolar dari tuannya dan menguburkannya di halaman belakang rumahnya. Apakah mengherankan jika tuannya begitu marah?

Sang majikan dalam perumpamaan tentang talenta mengharapkan hamba-hambanya melakukan lebih dari sekadar menjaga secara pasif apa yang telah dipercayakan kepada mereka, karena ia mengatakan kepada hamba yang malas itu, “Seharusnya engkau menginvestasikan uangku pada para bankir, dan ketika aku pulang, aku harus menerima apa yang menjadi milikku dengan bunganya” (Matius 25:27). Demikian pula, Tuhan mengharapkan kita untuk menghasilkan keuntungan dengan menggunakan bakat kita untuk tujuan yang produktif. Seperti para hamba dalam perumpamaan ini, Allah telah memberi kita lebih dari cukup untuk melaksanakan tugas ini. Terserah kita untuk menggunakan talenta kita dengan bijak atau mengabaikannya.

Ketiga, Perumpamaan Talenta mengajarkan bahwa kita semua tidak diciptakan sama.

Bagian cerita yang paling seing diabaikan adalah bagian kedua ayat 15: “masing-masing menurut kesanggupannya.” Sang majikan memahami bahwa hamba yang mempunyai satu talenta tidak mampu menghasilkan sebanyak hamba yang mempunyai lima talenta. Kita mungkin ingin memprotes ketidakadilan ini. Namun kita diberitahu bahwa perbedaan kemampuan ini berdasarkan keanekaragaman yang ada dalam jalinan penciptaan. Walaupun demikian, meskipun kita tidak diciptakan sama dalam hal talenta, kita masih melihat kesetaraan dalam perumpamaan tentang talenta.

Dibutuhkan usaha yang sama besarnya bagi hamba yang memiliki lima talenta untuk menghasilkan lima talenta, seperti yang dibutuhkan oleh hamba yang memiliki dua talenta untuk menghasilkan dua talenta lagi. Inilah sebabnya mengapa pahala yang diberikan kepada masing-masing guru adalah sama. Sang majikan mengatakan hal yang sama kepada setiap hambanya yang setia: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” (Matius 25:23). Sang majikan mengukur kesuksesan berdasarkan tingkat usaha hambanya, begitu pula cara Tuhan mengukur tanggung jawab kita.

Keempat, Perumpamaan tentang Talenta mengajarkan bahwa kita bekerja untuk Majikan kita, bukan untuk tujuan egois kita sendiri.

Uang yang diberikan kepada para pelayan itu bukan milik mereka. Mereka tidak menyimpan uang yang mereka hasilkan dengan modal dari majikan mereka. Para pelayan hanya mengelola investasi sang majikan, dan sang majikan mengukur kualitas pengelolaannya. Kita harus memaksimalkan penggunaan talenta kita bukan untuk tujuan egois kita sendiri, tapi untuk menghormati Tuhan. Dia peduli dengan sikap kita, motivasi di dalam hati kita.

Kelima, Perumpamaan Talenta menunjukkan bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban.

Perumpamaan tentang talenta bukanlah tentang keselamatan ataupembenaran Tuhan karena perbuatan manusia, tetapi tentang bagaimana kita menggunakan pekerjaan dan hidup kita untuk memenuhi panggilan duniawi kita. Hamba yang tidak setia dalam perumpamaan ini tidak menghambur-hamburkan uang tuannya, tetapi dia menyia-nyiakan kesempatan. Akibatnya, ia dinilai jahat dan malas. Suatu saat kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita lakukan untuk Tuhan dengan apa yang telah diberikan-Nya kepada kita.

Jadi bagaimana kita mendefinisikan arti kesuksesan menurut Alkitab?

Jawabannya hampir berlawanan dengan intuisi. Memang, ketika kita bekerja untuk Tuhan dalam segala hal yang kita lakukan, termasuk panggilan pekerjaan kita, kita akan benar-benar menemukan tujuan, kepuasan, dan kepuasan yang sangat kita cari. Tetapi ini bukan dengan ukuran harta kita atau kemasyhuran kita. Kita bekerja atas kehendak Tuhan, dan harus didorong oleh kasih kita kepada Tuhan. Satu-satunya keinginan kita adalah untuk mendengarkan Dia berkata, “Bagus sekali hamba-Ku yang baik dan setia, masuklah ke dalam sukacita-Ku.”

Tinggalkan komentar