Dalam keadaan kritis, tetaplah berdoa sambil beryukur

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Filipi 4: 6

Dunia saat ini lagi sakit. Perang di Ukraina belum berakhir, sekarang bakal ada perang baru di Timur Tengah. Apa yang akan terjadi dalam bulan-bulan mendatang tidak ada seorang pun yang tahu. Konflik dunia yang berkelanjutan sudah tentu akan memakan banyak korban jiwa akibat perang, tetapi juga penderitaan yang berkelanjutan pada masyarakat setempat. Selain itu, keadaan ekonomi dunia akan memburuk karena biaya perang tentunya besar dan dampaknya pada dunia bisnis akan dapat dirasakan di berbagai negara. Perang adalah sesuatu yang tidak dilakukan jika tidak terpaksa.

Banyak orang Kristen menganut faham pasifisme. Pasifisme adalah penolakan terhadap perang atau kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan perselisihan. Kaum pasifis menolak, atas dasar moral atau agama, untuk memanggul senjata atau terlibat dalam segala jenis perlawanan fisik. Mereka percaya bahwa semua perselisihan dapat dan harus diselesaikan dengan cara damai dan tanpa kekerasan. Para penganut paham pasifisme biasanya menolak perang karena alasan hati nurani. Beberapa kelompok Kristen seperti Adventis menjadikan pasifisme sebagai bagian integral dari doktrin mereka.

Beberapa orang Kristen menyatakan bahwa Alkitab memerintahkan pasifisme. Mereka percaya bahwa keseluruhan ajaran Yesus mengharuskan para pengikut-Nya untuk meletakkan senjata dan mempromosikan perdamaian. Mereka mengutip ayat-ayat seperti khotbah di Bukit sebagai bukti bahwa Perjanjian Baru telah menjadikan contoh-contoh perang yang benar dalam Perjanjian Lama tidak relevan lagi. Kristen pasifis percaya bahwa mengikuti Yesus berarti melakukan apa yang Dia lakukan, dan Dia tidak pernah menganjurkan untuk membunuh musuh (Matius 5:44). Mereka mengklaim bahwa kekuatan kasih harus cukup kuat untuk melucuti musuh yang paling gigih dan bahwa kita dipanggil untuk menjadi pembawa damai (Matius 5:9).

Pasifisme adalah tujuan yang mengagumkan, namun belum tentu realistis. Apakah pemikiran pasifis berhasil melawan kelompok teroris atau diktator fasis? Apa yang terjadi pada kelompok pasifis dan keluarga mereka ketika teroris mengancam? Kelompok yang tidak ikut perang sepertinya lupa bahwa kebebasan mereka untuk menjalankan paham pasifisme telah dibeli dengan darah orang-orang non-pasifis. Para prajurit yang tewas tentunya tidak menyukai perang. Mereka berkurban agar para pasifis di masa depan dapat menjelaskan dengan bebas tentang keyakinan tulus mereka tanpa rasa takut akan kematian, penyiksaan, atau pemenjaraan oleh mereka yang menolak untuk mempertimbangkan perdamaian. Tanpa kelompok non-pasifis, tidak akan ada kelompok pasifis.

Terlepas dari apa yang diinginkan oleh para penganut paham pasifisme Kristen, Tuhan bukanlah seorang penganut paham pasifisme. Alkitab penuh dengan contoh bagaimana Allah melakukan pembalasan berdarah terhadap musuh-musuh-Nya (Yesaya 63:3–6; 65:12; Ulangan 20:16–18). Dan contoh-contoh tersebut tidak terbatas pada Perjanjian Lama. Mustahil membaca kitab Wahyu tanpa melihat Anak Domba Allah berperan sebagai Singa Yehuda (Wahyu 5:5; 19:11–15). Gambarannya jelas bahwa Yesus akan mengalahkan musuh-musuh-Nya dengan peperangan (Wahyu 19:19-21). Ini adalah Yesus yang sama yang dikutip oleh kaum pasifis untuk mendukung faham anti perang mereka.

Memang benar bahwa pasifisme pribadi harus menjadi tujuan utama setiap pengikut Kristus. Kita dipanggil untuk hidup dalam damai, semampu kita (Roma 12:18; Ibrani 12:14). Hendaknya kita rela memberikan pipi yang lain (Matius 5:39), meminjamkan secara cuma-cuma (Lukas 6:30), bahkan diperlakukan secara tidak adil jika itu berarti tidak mencemarkan nama Kristus (1 Korintus 6:7). Ketika perdamaian adalah sebuah pilihan, kita harus mengupayakannya semaksimal mungkin. Namun ketika kehidupan dan kebebasan orang lain terancam, hukum yang lebih tinggi akan mengarahkan kita untuk membela mereka (Amsal 24:11-12; Yohanes 15:13). Ketika suatu negara perlu mempertahankan diri dari pihak-pihak yang akan menghancurkan perdamaiannya, para pembawa perdamaian sejati akan bersatu untuk melindunginya.

Sebagai senjata yang ampuh dalam mengatasi ancaman perang adalah doa. Tetapi, banyak orang di zaman ini yang kurang percaya bahwa doa itu ada manfaatnya. Mereka yang tidak percaya adanya Tuhan, sudah tentu tidak pernah berdoa. Tetapi, mereka yang masih yakin bahwa Tuhan itu ada, belum tentu mau berdoa atau bisa berdoa secara teratur. Doa itu membutuhkan waktu dan tenaga, dan ditengah kesibukan yang ada, orang mungkin lebih senang memakai waktunya untuk hal-hal lain yang dirasa lebih perlu.

Sebagian orang berpikir bahwa doa itu tidak berguna karena tidak akan membuat Tuhan mengubah rencana-Nya. Ada juga yang beranggapan bahwa terlalu banyaknya doa menandakan kekurangan manusia dalam usaha dan tanggung jawab atas hidupnya. Orang yang lain berpendapat bahwa doa adalah ibarat candu yang hanya mendatangkan perasaan nyaman karena kebiasaan saja.

Ayat diatas jelas menunjukkan bahwa bagi orang percaya, pendekatan yang benar adalah perlu agar hidup kita tenteram. Itu dimulai dengan anjuran agar kita tidak kuatir tentang apapun juga. Ini tidak mudah dilakukan, karena setiap orang cenderung kuatir atas apa yang tidak dapat dikontrolnya. Mereka yang menderita dan membutuhkan sesuatu, sering merasa Tuhan itu jauh dan tidak terjangkau sekalipun dengan doa yang sering diucapkan. Sebaliknya, mereka yang kelihatannya nyaman hidupnya belum tentu tidak pernah kuatir. Malahan, jika sesuatu yang tidak terduga datang, mereka sering merasakan berbagai ketakutan; apalagi jika mereka sebelumnya jarang berdoa dan tidak tahu bagaimana harus berdoa.

Ayat diatas yang ditulis oleh Rasul Paulus bunyinya seakan mirip dengan “positive thinking” yang diajarkan oleh banyak guru dan motivator di zaman ini. Lupakan kekuatiranmu! Tetaplah positif! Tetapi ayat ini juga mengajarkan agar kita menyatakan segala keinginan kita kepada Tuhan dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Doa yang sedemikian seharusnya menggantikan segala kekuatiran kita. Ini seakan lebih mudah dikatakan daripada dijalankan, apalagi bagi mereka yang hidupnya dalam penderitaan. Tetapi, penulis ayat ini adalah orang yang mengalami berbagai penderitaan dan kekurangan; jadi, apa yang ditulisnya sudah tentu bukan hanya kata-kata kosong tak berarti.

Hari ini, jika kita mempunyai kekuatiran tentang apapun juga, biarlah kita pertama-tama berusaha menguranginya. Sebaliknya, kita harus bisa menyadari bahwa dalam keadaan apapun, Tuhan selalu lebih besar dari masalah kita. KasihNya kepada kita juga sangat besar, dan Ia mempunyai rencana yang baik untuk kita semua. Dengan mengingat bahwa Tuhan itu mahakuasa dan mahakasih, kita akan mendapatkan rasa damai sejahtera sekalipun kita harus menghadapi keadaan di sekeliling kita yang saat ini terlihat suram dan menakutkan. Damai sejahtera dari Tuhan juga akam memberi kita keinginan, keberanian dan kekuatan untuk bertindak melawan ancaman kekerasaan atas umat manusia dan usaha penolakan atas apa yang kita percaya dalam Yesus Kristus.

Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. Filipi 4: 7

Tinggalkan komentar