“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” 2 Korintus 5:17

Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada apa tujuan atau sasarannya dan cara apa yang digunakan untuk mencapainya. Jika tujuannya baik dan mulia, dan cara yang kita gunakan untuk mencapainya juga baik dan mulia, maka tujuan memang menghalalkan cara tersebut. Namun bukan itu yang dimaksudkan kebanyakan orang ketika mereka menggunakan ungkapan tersebut. Kebanyakan orang menggunakannya sebagai alasan untuk mencapai tujuan mereka melalui cara apa pun yang diperlukan, tidak peduli betapa tidak bermoral, ilegal, atau tidak menyenangkannya cara tersebut. Arti dari ungkapan tersebut biasanya seperti: “Tidak masalah bagaimana Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan, selama Anda mendapatkannya.”
Yang dimaksud dengan “tujuan menghalalkan cara” biasanya melibatkan tindakan yang salah untuk mencapai tujuan yang positif dan membenarkan tindakan yang salah dengan menunjukkan hasil yang baik. Contohnya adalah berbohong dalam resume untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus dan membenarkan kebohongannya dengan mengatakan bahwa penghasilan yang lebih besar akan memungkinkan si pembohong untuk menafkahi keluarganya dengan lebih baik. Alasan lain mungkin membenarkan aborsi bayi demi kebebasan ibunya. Berbohong dan menghilangkan nyawa orang yang tidak bersalah keduanya salah secara moral, namun menafkahi keluarga dan menyelamatkan nyawa seorang wanita adalah benar secara moral. Lalu, di mana kita menarik garis batasnya?
Dilema tujuan dan sarana adalah skenario yang populer dalam diskusi etika. Biasanya, pertanyaannya seperti ini: “Jika Anda bisa menyelamatkan dunia dengan membunuh seseorang, apakah Anda akan melakukannya?” Jika jawabannya adalah “ya”, maka hasil yang benar secara moral membenarkan penggunaan cara-cara yang tidak bermoral untuk mencapainya. Namun ada tiga hal berbeda yang perlu dipertimbangkan dalam situasi seperti ini: moralitas tindakan, moralitas hasil, dan moralitas orang yang melakukan tindakan. Orang Kristen bukannya orang yang tidak mementingkan hal moral, tetapi justru sangat berhati-hati dalam melangkah dalam hidup.
Dalam situasi ini, tindakan (pembunuhan) jelas tidak bermoral, begitu pula si pembunuh. Namun menyelamatkan dunia adalah hasil yang baik dan bermoral. Benarkah itu? Dunia seperti apa yang bisa diselamatkan jika para pembunuh diizinkan untuk memutuskan kapan dan apakah pembunuhan dapat dibenarkan dan kemudian bebas dari hukuman? Atau apakah si pembunuh akan menghadapi hukuman atas kejahatannya di dunia yang telah dia selamatkan? Jika kita mengingat kematian Kristus, apakah dunia yang diselamatkan dibenarkan mengambil nyawa orang yang menyelamatkan mereka?
Tentu saja dari sudut pandang alkitabiah, yang diabaikan dari pembahasan ini adalah karakter Tuhan, hukum Tuhan, dan pemeliharaan Tuhan. Karena kita tahu bahwa Tuhan itu baik, kudus, adil, penyayang dan benar, maka siapa pun yang menyandang nama-Nya harus mencerminkan tabiat-Nya (1 Petrus 1:15-16). Pembunuhan, kebohongan, pencurian, dan segala bentuk perilaku berdosa adalah ekspresi dari sifat dosa manusia, bukan sifat Tuhan. Bagi orang Kristen yang sifatnya telah diubah oleh Kristus (2 Korintus 5:17), tidak ada pembenaran atas perilaku tidak bermoral, tidak peduli motivasi atau akibat yang ditimbulkannya. Memang kita tidak diselamatkan karena bermoral baik, tetapi jika kita sudah diselamatkan, tentunya kita mengerti mengapa kita harus taat kepada hulum-Nya.
Dari Tuhan yang kudus dan sempurna ini, kita mendapatkan hukum yang mencerminkan sifat-sifat-Nya (Mazmur 19:7; Roma 7:12). Sepuluh Perintah Allah memperjelas bahwa pembunuhan, perzinahan, pencurian, kebohongan dan keserakahan tidak dapat diterima di mata Tuhan dan Dia tidak membuat “klausa pelarian” untuk motivasi atau rasionalisasi. Perhatikan bahwa Dia tidak berkata, “Jangan membunuh, kecuali dengan melakukan hal itu kamu akan menghasilkan sesuatu yang baik”. Ini disebut “etika situasional”, dan hal ini tidak terdapat dalam hukum Tuhan. Jadi, jelas sekali, dari sudut pandang Allah tidak ada tujuan yang menghalalkan cara untuk melanggar hukum-Nya.
Sayang sekali, banyak orang Kristen yang siap melakukan hal-hal yang kurang baik dengan alasan “demi kemuliaan Tuhan”. Untuk mencapai tujuan gereja, mungkin orang bersedia untuk berbohong. Mungkin, orang berkata: “Jika kita jujur, tidak ada gereja baru yang bisa didirikan”. Atau, “jika kita tidak berani mengambil jalan pintas, kita tidak akan memcapai tujuan”. Dalam diskusi mengenai hal-hal semacam ini, kita harus sadar akan pemeliharaan Tuhan. Tuhan tidak sekadar menciptakan dunia, mengisinya dengan manusia, dan kemudian membiarkan mereka bekerja sendiri tanpa pengawasan dari-Nya. Sebaliknya, Tuhan mempunyai rencana dan tujuan bagi umat manusia yang telah Dia wujudkan selama berabad-abad.
Segala apa yang terjadi dalam sejarah telah diterapkan secara supernatural pada rencana tersebut. Ia menyatakan kebenaran ini dengan tegas: “…..Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan, yang memanggil burung buas dari timur, dan orang yang melaksanakan putusan-Ku dari negeri yang jauh. Aku telah mengatakannya, maka Aku hendak melangsungkannya, Aku telah merencanakannya, maka Aku hendak melaksanakannya (Yesaya 46:10-11). Tuhan sangat terlibat dan mengendalikan ciptaan-Nya. Lebih lanjut, Tuhan menyatakan bahwa Ia turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Roma 8:28). Seorang Kristen yang berbohong dalam resume atau mengaborsi bayi berarti melanggar hukum Tuhan dan menyangkal kemampuan-Nya untuk mencapai tujuan-Nya.
Hari ini kita belajar bahwa mereka yang tidak mengenal Tuhan mungkin terpaksa menghalalkan segala cara mereka untuk mencapai tujuan, namun mereka yang mengaku sebagai anak-anak Tuhan adalah ciptaan baru, dan mereka tidak punya alasan apa pun untuk melanggar salah satu perintah Tuhan, mengingkari tujuan kedaulatan-Nya, atau mencela Nama-Nya.