Antara menghakimi dan membenci

”Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” ”Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.” Matius 7:1-6

Perintah Alkitab agar kita tidak menghakimi orang lain bukan berarti kita tidak boleh menunjukkan hasil pengamatan kita. Segera setelah Yesus berkata, “Jangan menghakimi,” Dia berkata, “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi”. Beberapa saat kemudian dalam khotbah yang sama (ayat 15), Dia berkata, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas.” Bagaimana kita bisa membedakan siapakah “anjing” dan “babi” dan “nabi palsu” kecuali kita memiliki kemampuan untuk membuat keputusan berdasarkan doktrin dan perbuatan? Yesus memberi kita izin untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dan itu berdasarkan Firman Tuhan, bukan berdasarkan pikiran atau perasaan kita sendiri.

Selain itu, perintah Alkitab agar kita tidak menghakimi orang lain tidak berarti semua tindakan manusia sama-sama bermoral baik atau kebenaran itu bersifat relatif. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa kebenaran itu objektif, kekal, dan tidak dapat dipisahkan dari karakter Allah. Apa pun yang bertentangan dengan kebenaran adalah kebohongan -tetapi, tentu saja, menyebut sesuatu sebagai “kebohongan” berarti menghakimi. Menyebut pernikanan sejenis, perzinahan atau pembunuhan sebagai dosa juga berarti menghakimi – tetapi juga berarti setuju dengan Frman Tuhan. Menyebut bahwa mereka yang tidak mengakui Yesus sebagai Juruselamat akan pergi ke neraka juga sesuai dengan Alkitab. Ketika Yesus berkata untuk tidak menghakimi orang lain, Ia tidak bermaksud bahwa tidak seorang pun dapat mengidentifikasi dosa apa adanya, berdasarkan definisi Allah tentang dosa.

Perintah Alkitab agar kita tidak menghakimi orang lain tidak berarti tidak ada mekanisme untuk menangani dosa. Alkitab memiliki seluruh buku yang berjudul Hakim-hakim. Para hakim dalam Perjanjian Lama diangkat oleh Allah sendiri (Hakim-Hakim 2:18). Sistem peradilan modern, termasuk para hakimnya, merupakan bagian penting dalam masyarakat. Dengan mengatakan, “Jangan menghakimi,” Yesus tidak mengatakan, “Apa pun boleh.” Dalam hal ini, sebagai orang Kristen kita tidak boleh takut atau sengan menyatakan kebenaran Alkitab, sekalipun orang lain (termasuk sesama orang Kristen) menuduh kita “main hakim sendiri”.

Umat ​​Kristen sering dituduh “menghakimi” atau “tidak toleran”, bahkan “membenci orang lain” ketika mereka menentang dosa. Namun menentang atau membenci dosa tidaklah salah. Ini memang ada hubungnannya dengan hal mengasihi sesama: karena kita mengasihi mereka, kita tidak ingin mereka bergelimang dalam dosa dan menemui kematian abadi. Yohanes Pembaptis menimbulkan kemarahan Herodias ketika dia menentang perzinahannya dengan Herodes (Markus 6:18–19). Dia akhirnya membungkam Yohanes, namun dia tidak bisa membungkam kebenaran (Yesaya 40:8). Walaupun demikian, sekalipun kita boleh menghakimi dan membenci dalam usaha menegakkan kebenaran Firman, kita harus sadar akan adanya aspek positif dan negatif dari kebencian.

Boleh saja kita membenci hal-hal yang dibenci Tuhan; memang, ini merupakan bukti kedudukan yang benar di hadapan Tuhan. “Hai orang-orang yang mengasihi TUHAN, bencilah kejahatan!” (Mazmur 97:10a). Memang benar, semakin dekat kita berjalan dengan Tuhan dan semakin kita bersekutu dengan-Nya, kita akan semakin sadar akan dosa, baik di dalam maupun di luar. Bukankah kita berduka dan terbakar amarah ketika nama Tuhan difitnah, ketika kita melihat kemunafikan rohani, ketika kita melihat ketidakpercayaan dan perilaku yang tidak bertuhan? Semakin kita memahami sifat-sifat Tuhan dan mencintai karakter-Nya, kita akan semakin menjadi seperti Dia dan semakin membenci hal-hal yang bertentangan dengan Firman dan sifat-Nya.

Namun kebencian yang bersifat negatif tentunya harus ditujukan kepada orang lain. Tuhan menyebutkan kebencian dalam Khotbah di Bukit: “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum” (Matius 5:22). Tuhan memerintahkan agar kita tidak hanya berdamai dengan saudara kita sebelum kita menghadap Tuhan, tetapi juga agar kita melakukannya dengan cepat (Matius 5:23-26). Tindakan pemikiran atau tindakan kebencian apa pun adalah tindakan pembunuhan di mata Tuhan yang karenanya keadilan akan dituntut, mungkin bukan dalam kehidupan ini melainkan pada saat penghakiman. Begitu kejamnya posisi kebencian di hadapan Allah sehingga orang yang membenci dikatakan berjalan dalam kegelapan, bukan dalam terang (1 Yohanes 2:9, 11).

Yang paling buruk adalah seseorang yang mengaku beriman namun tetap bermusuhan dengan saudaranya. Kitab Suci menyatakan bahwa orang seperti itu adalah pembohong (1 Yohanes 4:20), dan ia mungkin dapat membodohi manusia, tetapi bukan Allah. Berapa banyak orang beriman yang hidup selama bertahun-tahun dengan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, berpenampilan apa-apa, namun pada akhirnya ternyata kekurangan karena mereka memendam rasa permusuhan (kebencian) terhadap rekan seiman mereka?

Kebencian adalah racun yang menghancurkan kita dari dalam, menghasilkan kepahitan yang menggerogoti hati dan pikiran kita. Inilah sebabnya Kitab Suci memerintahkan kita untuk tidak membiarkan “akar kepahitan” tumbuh di dalam hati kita (Ibrani 12:15). Kebencian juga menghancurkan kesaksian pribadi seorang Kristen karena hal itu menjauhkannya dari persekutuan dengan Tuhan dan orang percaya lainnya. Marilah kita berhati-hati dalam melakukan apa yang Tuhan nasehatkan dan selalu memperhitungkan segala hal kepada semua orang, tidak peduli seberapa kecilnya, dan Tuhan akan dengan setia mengampuni, seperti yang Dia janjikan (1 Yohanes 1:9; 2:1).

Tinggalkan komentar