“Dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” Lukas 2:7

Pada saat menjelang Natal ini, di banyak tempat kita bisa melihat hiasan Natal yang berbagai ragam. Salah satu hiasan yang klasik tetapi masih sering dijumpai ialah bayi Yesus di dalam palungan. Saya dapat memahami Tuhan sebagai Tuhan yang mulia, Tuhan yang kudus, Tuhan yang penuh kasih. Tapi Tuhan yang lemah dan lahir di tempat makanan hewan? Kedengarannya ini memalukan. Ini mungkin merupakan paradoks yang pertama dalam sejarah kehidupan Yesus di dunia. Kata Tuhan dan kelemahan tidak bisa disatukan. Begitulah ujar mereka yang kurang mengerti.
Dunia mengharapkan satu hal sementara Tuhan memberikan sesuatu yang lain. Orang-orang Yahudi menginginkan seorang Mesias untuk menyelamatkan mereka dari penindasan Romawi; tetapi Tuhan mengutus Juruselamat yang dibungkus dengan kain lampin untuk menyelamatkan manusia dari hukuman dosa. Tuhan kita adalah Tuhan yang tak terduga bagi banyak manusia. Firman Tuhan sungguh menakjubkan untuk dilihat, dan itu sepadan dengan seluruh waktu berharga yang diperlukan untuk mempelajarinya dan untuk mengenal Tuhan melaluinya. Mereka yang tidak bisa menyelami arti kelahiran Yesus sebagai bayi yang tidak berdaya, tidak akan dapat mengenal Yesus sebagai Allah.
Yesus dinubuatkan akan datang dengan lemah lembut dan rendah hati, dan seperti bayi yang terbaring di palungan. Para ahli Taurat mengetahui nubuat tersebut namun memilih kehendak manusiawi mereka sendiri dibandingkan kehendak Allah. Sampai sekarang, banyak orang Yahudi yang masih menantikan kedatangan Mesias itu. Jika mereka sudah mengabaikan kelahiran Mesias di Betlehem, Mesias yang sudah datang itu tidak akan membiarkan mereka (atau siapa pun) mengabaikan kedatangan-Nya yang kedua kali. Sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci, “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ”Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:9-11).
Sekalipun Yesus datang sebagai bayi yang rendah hati, dan Ia bertumbuh kuat dalam roh dan kasih karunia Allah (Lukas 1:80). Kita datang ke dunia ini dengan cara yang sama seperti Yesus – lemah dan lemah dalam kemanusiaan. Tetapi, oleh kasih karunia-Nya, kita menjadi anak-anak Allah, ahli waris-Nya (Titus 3:7). Seperti Dia yang bertumbuh, maka kita dapat bertumbuh semakin serupa dengan Dia dan suatu hari nanti kita akan melihat Dia dengan wajah yang tidak terselubung (1 Yohanes 3:2).
Lahir di palungan sebagi bayi seolah menunjukan ketidakberdayaan dan kelemahan. Tetapi Paulus pernah mengatakan: tidak ada yang lemah dalam diri Yesus sendiri. “Karena kamu ingin suatu bukti, bahwa Kristus berkata-kata dengan perantaraan aku, dan Ia tidak lemah terhadap kamu, melainkan berkuasa di tengah-tengah kamu.,” tulisnya (2 Korintus 13:3). Dia adalah gambar Allah dan seluruh kepenuhan Allah diam di dalam Dia (Kolose 1:15-20). Siapa yang bisa menganggap Yesus lemah? Namun, Paulus juga berkata bahwa Yesus disalib dalam kelemahan. Di kayu salib, Yesus memilih sikap lemah. Dengan demikian, Tuhan kita Yesus Kristus mencapai tujuan besar-Nya dengan menjadi lemah. Melalui kelemahan-Nya Ia mampu merasakan penderitaan kita dan bahkan sampai mati – untuk menyelamatkan kita dari perbudakan dosa.
Kelahiran Yesus di palungan dan kematian-Nya di kayu salib bukan sekedar catatan sejarah, namun paradigma kehidupan Kristiani. Kita yang mengikuti Yesus tidak dipanggil untuk menguasai orang lain. Sebaliknya, kita dipanggil untuk taat dengan rendah hati, sebuah kepatuhan yang seringkali membawa penderitaan. Menurut Paulus, kelemahan adalah bukti bahwa pelayanannya otentik. Kita cenderung melihat kelemahan sebagai sebuah masalah. Paulus melihatnya sebagai kehidupan Kristen yang normal.
Jika Yesus lahir sebagai bayi yang lemah, apakah agama Kristen berkembang karena kerja keras pengikut-Nya? Apakah karena orang Kristen merayakan hari kelahiran Yesus, orang sedunia ikut-ikutan merayakan hari Natal dan mengenal Yesus sebagai Anak Allah? Tidak! Pendeta terkenal dari abad 19 Charles Surgeon pernah berkata: “Dia tidak menyelamatkan manusia saat ini karena kekuatan para pelayan-Nya, namun karena kelemahan mereka,” lanjut Spurgeon, “dan bukanlah kekuatan Injil, yang dinilai menurut cara daging, yang dapat menaklukkan bangsa-bangsa; namun, seperti halnya Tuhan kita, kemenangan diraih melalui kelemahan kita.” Kita tidak dapat membawa orang lain kepada Kristus tanpa menunjukkan ketergantungan kita kepada Tuhan dan kasih kita kepada mereka.
Saya merasa kurang enak dengan sebutan “Tuhan yng lemah” yang diberikan orang untuk Yesus karena hal itu tidak menggambarkan kemuliaan Tuhan. Namun itu adalah gelar yang cocok, setidaknya ketika kita melihat palungan dan bayi Yesus. Mereka yang bertanya-tanya apakah Tuhan adalah manusia yang tidak berdaya, belumlah mengenal jalan Tuhan. Tuhan orang Kristen bekerja melalui kelemahan. Begitulah cara Dia menunjukkan kekuatan-Nya.
Cendekiawan Richard Dawkins yang atheis pernah mengejek seorang Kristen karena kepercayaan mereka kepada Yesus: “Mereka yang percaya bahwa pencipta alam semesta, Tuhan yang merancang hukum fisika, hukum matematika, konstanta fisika… percaya bahwa Tuhan yang jenius matematika dan ilmu fisika ini tidak dapat memikirkan cara yang lebih baik untuk membersihkan dunia dari dosa selain untuk datang ke titik kecil debu kosmik ini dan menyiksa serta mengeksekusi diri-Nya sendiri agar Dia bisa memaafkan manusia.”
Memang. Siapa yang bisa membayangkan bahwa Tuhan akan memilih untuk bekerja dengan cara seperti ini? Bagi Dawkins, ini merupakan argumen yang menentang iman Kristen. Bagi kita orang percaya, ini adalah inti dari iman Kristen. Palungan dan salib menyatakan bahwa Tuhan bekerja melalui kelemahan untuk mencapai kemenangan. Dia melakukannya dari awal sampai akhir hidup-Nya, dan Dia terus melakukannya hingga hari ini dalam hidup kita.
“Karenaw itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” 2 Korintus 12:10