Apakah orang tua bertanggungjawab atas kelakuan anaknya?

Bacaan: 1 Samuel 2: 11 – 36

“Inilah yang akan menjadi tanda bagimu, yakni apa yang akan terjadi kepada kedua anakmu itu, Hofni dan Pinehas: pada hari yang sama keduanya akan mati. Dan Aku akan mengangkat bagi-Ku seorang imam m kepercayaan, yang berlaku sesuai dengan hati-Ku dan jiwa-Ku, dan Aku akan membangunkan baginya keturunan yang teguh setia, sehingga ia selalu hidup di hadapan orang yang Kuurapi.” 1 Samuel 2:34-35

Minggu ini ada berita menarik dari Amerika. Dalam keputusan yang diperkirakan memiliki implikasi luas terhadap tanggung jawab pidana orang tua pelaku penembakan massal, pengadilan Michigan pada tanggal 6 Februari 2024, memvonis Jennifer Crumbley ikut bersalah atas perannya dalam kejahatan putranya hampir tiga tahun lalu. Pada bulan Desember 2023, putranya, Ethan Crumbley, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas penembakan pada 30 November 2021, yang menewaskan empat orang dan melukai tujuh lainnya.

Kedua orang tua Ethan sebelumnya mengaku tidak bersalah atas peran mereka. Sekarang, Jennifer Crumbley terancam hukuman penjara maksimal 60 tahun dan denda maksimal US$30.000. Suami Jennifer, James Crumbley, akan diadili atas tuduhan yang sama pada bulan Maret, dan, jika terbukti bersalah, menghadapi hukuman yang serupa. Kejadian ini luar biasa, karena biasanya seorang anak yang sudah dewasa dianggap bertanggungjawab atas kelakuannya. Namun ini bukannya tanpa preseden.

“Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN” 1 Samuel 2: 12

Alkitab menyatakan bahwa anak-anak nabi Eli adalah orang-orang jahat. Salah satu kata dalam Alkitab berbahasa Indonesia yang menarik perhatian saya adalah kata “dursila”. Dalam Alkitab berbahasa Inggris yang banyak versinya, kata dursila ini muncul sebagai kata “wicked“, “scoundrel“, “worthless“, “corrupt” dan sebagainya. Secara umum kata-kata itu menunjukkan karakter dan cara hidup manusia yang sangat buruk. Mungkin, jika ada Alkitab berbahasa Indonesia yang berversi lain, kata durhaka, durkasa dan durjana bisa juga dipakai sebagai kata alternatif.

Pada waktu itu anak-anak Eli adalah orang-orang dewasa yang suka menjarah kurban persembahan untuk Allah. Bukannya mereka menunggu sampai upacara persembahan selesai dan kemudian mengambil bagian daging bakaran yang sesuai dengan hukum yang ada, mereka sebaliknya mengambil apa saja yang mereka mau, kalau perlu dengan jalan kekerasan. Lebih dari itu mereka juga berzinah dengan perempuan-perempuan Israel yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan.

Mengapa anak-anak lelaki nabi Eli, Hofni dan Pinehas, disebut sebagai orang dursila? Berbagai kata yang bisa dipakai untuk menggambarkan sifat dan kelakuan mereka menunjukkan bahwa tidaklah cukup jika kita memakai kata “jahat” atau “amoral”. Mereka adalah orang-orang jahat, kejam, amoral, dan culas, yang tidak peduli akan hukum dan orang lain. Lebih dari pada itu, mereka adalah orang-orang yang tidak takut kepada orang tua dan kepada Tuhan.

Jika kesalahan anak-anak Eli adalah cukup serius menurut standar kepercayaan umat Israel pada waktu itu, semuanya adalah suatu dosa besar yang membuat Allah sangat murka. Mengapa begitu? Segala kesalahan itu dapat disimpulkan sebagai tidak adanya rasa takut kepada Tuhan. Mereka yang seharusnya mengenal Tuhan yang mahasuci, justru mengabaikan adanya Tuhan dengan berbuat semaunya dan dengan tidak menghiraukan teguran Eli, ayah mereka. Mereka dihukum Tuhan karena kedursilaan mereka dan Nabi Eli juga dihukum Tuhan karena kelakuan anak-anaknya. Jika Hofni dan Pinehas tewas dalam perang, Eli yang sudah sangat tua tewas karena jatuh dan patah tulang lehernya setelah mendengar kabar tentang tabut perjanjian yang dirampas musuh Israel.

Bagi kita, adalah mudah untuk berkata bahwa sudah sepantasnya bahwa Tuhan menghukum anak-anak Eli untuk kedursilaan mereka, dan juga menghukum Eli yang tidak bisa berbuat apa-apa selain menegur mereka. Dalam hal ini, sungguh menarik perhatian bahwa Eli seakan pasrah kepada Tuhan dan tidak lagi peduli akan kemarahan Tuhan yang merasa terhina atas segala apa yang terjadi (1 Samuel 3: 18). Jelas, mengabaikan dosa anak-anak kita, adalah termasuk dosa juga bagi kita.

Mungkin kita berpikir bahwa anak-anak kita tidak akan melakukan hal yang sama seperti yang diperbuat anak-anak Eli. Kita barangkali yakin bahwa perbuatan seperti menjarah, merampok, mencuri, membuli dan berselingkuh tidak pernah mereka lakukan dalam hidup ini. Tetapi, apa yang menjadi penyebab utama kemarahan Tuhan adalah sikap hidup manusia yang mengabaikan-Nya. Perbuatan-perbuatan jahat hanyalah manifestasi hati dan pikiran yang menaruh Tuhan di satu sudut hidup untuk bisa dilupakan.

Mengabaikan Tuhan tidak selalu berupa tindakan dursila yang jelas terlihat. Eli yang tidak merasa terbeban untuk menghentikan kejahatan anak-anaknya, juga melakukan dosa besar dalam pandangan Tuhan yang mahasuci. Karena itu, kita harus sadar bahwa jika kita mengabaikan cara hidup anak-anak kita yang “normal” untuk ukuran manusia, itu belum tentu merupakan keadaan yang bisa diterima oleh Tuhan. Setiap orang tua tetap bertanggungjawab untuk membimbing anak-anak mereka seumur hidup. Ini bukan berarti bahwa kita bertanggungjawab atas apa yang mereka perbuat secara langsung, tetapi melalui nasihat, bimbingan, dan tindakan kita. Sebagai orang tua, kita harus bisa menjadi teladan bagi anak-anak kita. Sebab jika kita sendiri tidak menghormati Tuhan, kita tidak bisa mengajak mereka untuk menghormati Dia.

Orang yang dursila adalah manusia yang tidak lagi menempatkan Tuhan yang mahasuci di tempat yang tertinggi dalam hidupnya. Mereka mungkin masih sering ke gereja, tetapi mengabaikan firman-Nya, tidak lagi sadar akan kebesaran Tuhan, dan tidak lagi menghormati-Nya dalam setiap segi kehidupan mereka. Sebagai orang tua kita harus mau menegur anak-anak kita yang tidak mau menghormati Tuhan.

“Sebab siapa yang menghormati Aku, akan Kuhormati, tetapi siapa yang menghina Aku, akan dipandang rendah.” 1 Samuel 2: 30

Tinggalkan komentar