“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya. Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Matius 7:11-12

Matius 7 adalah bab terakhir dari tiga pasal yang mencatat apa yang sekarang dikenal sebagai Khotbah di Bukit. Secara singkat, pasal ini menyatakan hal Yesus memerintahkan para pendengar-Nya untuk tidak mengucapkan penilaian yang dangkal atau munafik. Ia menggambarkan Allah sebagai Bapa yang murah hati dan ingin memberikan hal-hal baik kepada anak-anak-Nya ketika mereka memintanya. Dia memerintahkan para pengikut-Nya untuk memasuki gerbang sempit dan menempuh jalan yang sulit menuju kehidupan. Otang Kristen yang palsu dapat dikenali dari buahnya, yaitu tindakan dan pilihannya. Pada saat yang sama, amal ibadah bukanlah bukti mutlak bahwa seseorang mempunyai keimanan yang sejati. Hidup berdasarkan ajaran Yesus adalah seperti membangun rumah kehidupan kita di atas fondasi yang kuat dan bukannya di atas tanah yang lunak. Iman sejati yang benar-benar kokoh akan tetap beridiri dalam keadaan apa pun.
Secara khusus, dalam Matius 7:11 Yesus menjelaskan mengapa Allah siap mendengar dan menjawab setiap doa umat-Nya. Yesus bertanya kepada para pendengar-Nya di dua ayat sebelumnya apakah mereka pernah memberikan batu atau ular kepada seorang anak yang meminta makanan? Jawaban yang tersirat adalah bahwa tidak ada orang tua yang akan melakukan hal seperti itu (Matius 7:9-10). Dengan demikian, ayat 11 yang kuat ini mengungkapkan kebenaran esensial tentang sifat manusia dan sifat Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan manusia menurut gambar-Nya manusia memang memiliki apa yang terlihat baik, tetapi itu tidak dapat dibandingkan dengan Tuhan yang mahasempurna.
Yesus mengungkapkan sesuatu tentang sifat manusia. Ayat 11 bisa diartikan bahwa kita, sebagai orang tua yang baik kepada anak-anak kita, sebenarnya adalah orang yang jahat. Ini adalah salah satu bukti dan klarifikasi terkuat terhadap apa yang disebut doktrin kebobrokan (total depravity) manusia. Singkatnya, ini adalah gagasan bahwa semua manusia pada dasarnya berdosa dan tidak mampu melakukan kebenaran atau kebaikan sejati. Menurut definisinya, Yesus berkata, kita jahat di dalam hati kita. Jadi initi hidup manusia itu sudah rusak. Paulus mengatakan hal yang sama dalam Roma 3:10–12, “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak.”
Yesus kemudian menegaskan kontras antara manusia dan Tuhan. Allah adalah seorang ayah yang memang baik, bukan seprti manusia. Bapa yang di surga, akan memberikan hal-hal baik kepada mereka yang meminta karena itulah yang dilakukan Dia dari awalnya, bahkan setelah manusia jatuh dalam dosa. Sudah menjadi sifat Tuhan untuk memberikan pemberian yang baik kepada mereka yang mengajukan permohonan dengan kerendahan hati dan ketulusan. Tentu saja, Yesus juga menjelaskan di tempat lain bahwa tidak seorang pun dapat datang kepada Bapa dengan cara ini kecuali melalui Yesus, Dia sendiri (Yohanes 6:28–29; 14:6).
Fakta bahwa manusia pada dasarnya jahat, dibandingkan dengan Tuhan, tidak berarti kita tidak mampu melakukan kebaikan apa pun, atau bobrok sebobrok-bobroknya dalam bentuk apa pun. Kebanyakan orang tua manusia masih bisa memberikan apa yang terbaik yang mereka bisa peroleh untuk anak-anak mereka. Bahkan ada yang rela berkorban demi memenuhi kebutuhan orang lain. Tetapi, apa yang secara alami tidak mampu kita lakukan adalah kebaikan yang sejati, seperti Kristus, tidak mementingkan diri sendiri, dan tidak mengharapkan balasan. Ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh mereka yang tidak dibimbing Tuhan.
Pada umumnya setiap manusia ingin diperlakukan dengan baik oleh orang lain, tetapi segan untuk berbuat baik kepada orang lain jika tidak ada hasilnya. Manusia lseing upa bahwa Allah Bapa yang sudah mengurbankan Anak-Nya adalah Tuhan yang melihat kebutuhan manusia dan sudi memberikan apa yang baik. Matius 7:12 kini menjadi salah satu pernyataan yang paling terkenal di seluruh Kitab Suci. Hal ini sering disebut sebagai “Aturan Emas” atau “the Golden Rule“. Ungkapan tradisional bahasa Inggris untuk hal ini adalah “lakukan kepada orang lain sebagaimana Anda ingin mereka memperlakukan Anda.” Sangat mudah bagi pembaca masa kini untuk melupakan betapa besarnya ajaran Kristus telah mengubah dunia, dan betapa sebagian gagasan-gagasannya telah tertanam dalam kehidupan manusiat. Pernyataan ini agak mirip dengan pernyataan yang dibuat oleh para pemimpin spiritual lainnya dalam sejarah, namun pernyataan ayat ini mempunyai perspektif yang sangat berbeda. Perspektif ke arah Tuhan yang mahabaik, yang memberi contoh dan kemampuan bagi umat-Nya.
Yesus bukanlah orang pertama yang memuji perilaku yang dinilai berdasarkan bagaimana Anda ingin diperlakukan. Guru-guru Yahudi dan Yunani sebelumnya juga menawarkan hal ini sebagai pernyataan negatif: suatu bentuk “jangan lakukan kepada siapa pun apa yang Anda tidak ingin dilakukan terhadap Anda”. Dalam hampir semua kasus, hal ini sebagian besar menyiratkan bahwa seseorang harus “tidak melakukan kejahatan”, yang berarti tidak melakukan kejahatan secara aktif. Ungkapan Yesus lebih jauh lagi: tindakan positif adalah bagian dari aturan. Tuhan mengharapkan kita untuk melakukan—untuk secara aktif mengerjakan—apa yang ingin kita lihat dari orang lain. Itu karena Tuhan yang sudah berbuat baik untuk kita.
Selanjutnya, dalam kitab Matius, Yesus menjelaskan serangkaian perintah lain sebagai dasar seluruh Hukum dan Kitab Para Nabi: Kasihilah Allah dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:34-40). Apa yang Yesus sebut sebagai perintah terbesar kedua—untuk mengasihi sesama dengan kasih yang dimiliki terhadap dirinya sendiri— sudah menghapus apa yang dikenal sebagai Aturan Emas: dari sekedar memperlakukan orang lain dengan sopan, menjadi tindakan yang termotivasi oleh kasih terhadap semua orang.
“Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” 1 Yohanes 4:19