“Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul.ebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul.” 1 Korintus 9:24-26

Di zaman ini, kita seing mendengar persoalan tentang hak azasi. Hak fundamental yang dipunyai oleh semua orang. Hak asasi manusia mencakup hak untuk hidup dan kebebasan, kebebasan dari perbudakan dan penyiksaan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak atas pekerjaan dan pendidikan, dan masih banyak lagi. Setiap orang berhak atas hal-hal tersebut, tanpa diskriminasi. Ada banyak lagi hak yang dimiliki manusia, dan setiap orang sering merasa bahwa ia mempunyai hak-hak tertentu yang harus dihormati orang lain. Misanya, menurut kebudayaan Timur orang tua berhak mendapat dukungan anak-anaknya di hari tua, atau hak suami untuk diladeni istri, hak anak untuk menerima warisan, dan sebagainya. Inilah yang sering menimbulkan masalah karena membuat fokus kehidupan kita berubah. Ini juga bisa menimbulkan konflik dengan orang lain.
Orang Kristen memang tidak berbeda dengan orang lain dalam soal hak. Tetapi, Paulus mendorong umat Kristiani untuk rela menyerahkan “hak” mereka demi kebaikan orang lain. Paulus menunjukkan bahwa ia pun telah melepaskan hak-haknya, termasuk hak sebagai rasul untuk menerima dukungan keuangan dari orang-orang yang ia layani. Sebaliknya, ia bersyukur bahwa ia bisa melayani jemaat Korintus tanpa imbalan apa pun, bahkan dengan mengorbankan dirinya sendiri. Paul menggambarkan dirinya sebagai seorang atlet yang bersaing memperebutkan hadiah mahkota dalam kekekalan. Maksudnya adalah agar orang percaya mengejar kesalehan dan berjuang untuk kebaikan orang lain, bukan mengejar keuntungan diri sendiri. Semua itu tentunya untuk kemuliaan Tuhan.
Paul kemudiam dalam ayat-ayat di atas mengubah metaforanya untuk menjadikan dirinya sebagai contoh. Ia telah menjelaskan apa yang harus dilakukan seorang atlet untuk memenangkan perlombaan, termasuk melatih pengendalian diri yang baik. Program pelatihan bagi para atlet di zaman Paulus mencakup komitmen untuk tidak mengonsumsi makanan, minuman, dan pengalaman sensual tertentu agar siap berkompetisi di level tertinggi. Dalam ayat sebelumnya, Paulus menunjukkan bahwa mereka melakukan semua ini untuk menerima karangan bunga setelah hidup di dunia berakhir. Paulus melihat dirinya bersaing untuk memenangkan jiwa bagi Kristus dan menerima penghargaan kekal atas usahanya. “Mahkota” seperti itu akan jauh lebih berharga untuk dipikirkan daripada apa yang hanya berguna untuk sementara di dunia.
Komitmen Paul untuk mengesampingkan kebebasan dan hak-haknya bukan sekadar pelaksanaan asal-asalan. Dia berusaha mendapatkan penghargaan dari Kristus atas seberapa baik dia berjuang untuk memenangkan orang agar percaya kepada Yesus melalui cara hidupnya. Dia sengaja hidup saleh seperti ini. Hal ini sesuai dengan tema utama metaforanya: bahwa orang Kristen harus berkomitmen pada iman seperti halnya seorang atlet yang berdedikasi pada olahraganya. Hal inilah yang jarang dibahas di gereja karena banyak orang Kristen yang percaya bahwa sesudah diselamatkan, kita tidak lagi perlu untuk berusaha hidup baik. Apalagi, ada orang Kristen yang berpendapat bahwa adalah tidak pantas bagi orang Kristen untuk memikirkan pahala dari Tuhan. Sebagai akibatnya, banyak orang yang mengaku Kristen masih hidup dalam kedagingan, mencari kenyamanan hidup di dunia.
Ayat 1 Korintus 9:24–27 membangun metafora yang membandingkan hidup di dunia dan hidup di surga. Paulus berusaha untuk membawa orang kepada Kristus, seperti seorang atlet yang berlatih untuk memenangkan hadiah. Keduanya secara sukarela menyerahkan hal-hal yang menjadi hak atau kenikmatan hidup mereka. Hal ini membutuhkan pengorbanan diri dan pendekatan yang keras terhadap perasaan sendiri. Para atlet melakukan ini demi kemenangan. Namun seorang atlet hanya bisa memenangkan karangan bunga yang akan cepat layu, atau sebuah medali yang akan terlupakan. Sebaliknya, Paulus bertujuan untuk memenangkan hadiah yang akan bertahan selamanya. Ia pun melatih dirinya dengan cara ini agar tidak gagal sebelum melewati garis finis.
Sekarang Paulus mengalihkan perhatiannya pada latihannya sendiri untuk mendapatkan hadiah ini. Dia menegaskan bahwa dia tidak berlari tanpa tujuan. Kemudian dia memasukkan kompetisi umum lainnya pada hari itu, tinju. Paul menulis bahwa dia tidak berlatih secara sembarangan. Petinju sering menggunakan “tinju bayangan” satau “shadow boxing” ebagai cara berlatih, di mana mereka menunduk dan menyerang lawan yang hanya dalam bayangan. Namun itu adalah alat pelatihan, bukan tujuan akhir dari pelatihan seseorang. Paul berencana untuk memenangkan pertarungan dalam hidup, untuk memberikan pukulan serius pada lawan yang sebenarnya. Dia mendisiplinkan dirinya untuk kompetisi yang sebenarnya, untuk hidup di dunia dan mengalahkan keinginan duniawinya.
Paulus mencatat bahwa umat Kristiani berlari untuk mendapatkan mahkota yang tidak dapat binasa – pahala yang diberikan oleh Tuhan Yesus di tahta penghakiman Kristus di garis finis dalam perlombaan yang disebut kehidupan Kristiani. Oleh karena itu, Paulus berlari sedemikian rupa untuk mendapatkan mahkota bagi dirinya. Dan dia berlari dengan setia sepanjang hidupnya. Pada akhir hayatnya, ia mengetahui bahwa Tuhan mempunyai mahkota untuknya.
Sebagai umat Kristen, selama hidup di dunia kita harus menyelesaikan tugas yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita akan berlari dengan baik. Paulus sudah berupaya mengajari kita cara menjalankan dengan baik sehingga kita juga dapat memperoleh mahkota yang tidak fana. Kita tidak harus pintar, atau berbakat, atau kuat. Faktanya dalam perlombaan ini bukanlah ide yang baik untuk bersandar pada pemahaman kita sendiri atau mengandalkan kekuatan kita sendiri. Kita adalah manusia yang lemah, yang ingin agar keinginan dan hak kita dipenuhi oleh orang lain. Tetapi kita bisa menjadi atlet Tuhan yang baik, jika kita tetap berjuang di dunia dengan berfokus kepada Tuhan.
Kita tahu persis ke mana tujuan kita. Tidak ada ketidakpastian sama sekali dalam pikiran kita. Kita tidak akan membiarkan apa pun menyebabkan kita menyimpang dari tujuan kita. Kehidupan di dunia memang memberikan banyak tantangan pada kita. Banyak hal, persoalan, atau orang yang membuat kita berpindah fokus. Tetapi, jika mata rohani kita tertuju pada hadiah surgawi itu, tidak ada yang akan mengganggu fokus kita.