Tanggung jawab dan fatalisme orang Kristen

Penjelasan singkat ini adalah tentangi sejauh mana kita bertanggung jawab kepada Tuhan, berdasarkan tulisan Arthur W. Pink

“Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.” Roma 14:12

Sekalipun kebanyakan orang Kristen percaya bahwa mereka harus bertanggung jawab atas cara hidupnya, ada sebagian kecil yang yakin bahwa mereka tidak sanggup untuk bertanggung jawab kepada Tuhan. Kelompok ini menolak iman sebagai kewajiban manusia untuk percaya (duty faith). Sebaliknya, mereka percaya bahwa iman tidak membutuhkan respons manusia karena Tuhan secara sepihak mengampuni semua dosa mereka. Ini bertentangan dengan ayat di atas yang jelas menyatakan bahwa Tuhan menuntut setiap orang Kristen untuk memberi pertanggungan jawab tentang dirinya.

Mungkin, dalam hal ini ada kebingungan antara keharusan bertanggung jawab dan kesanggupan untuk bertanggungjawab. Kedua hal ini jelas berbeda, karena jika seandainya Anda mengemudi mobil, Anda harus bertanggung jawab untuk keselamatan penumpang Anda sekalipun Anda tidak dapat bertanggung jawab jika Anda belum pernah mengemudi mobil. Dalam hal ini, polisi tetap menuntut tanggung jawab Anda jika kecelakaan terjadi. Dalam kitab Kejadian, Allah tetap menuntut tanggung jawab Adam dan Hawa sekalipun Ia tahu bahwa mereka tidak sanggup mempertanggungjawabkan pelanggaran mereka. Itu sebabnya Ia mengirimkan Yesus Kristus untuk ganti kita.

Sekalipun semua dosa di hadapan Tuhan adalah dosa yang membawa hukuman, tidak dapat disangkal bahwa ukuran tanggung jawab yang dituntut Tuhan dari manusia bervariasi dalam berbagai kasus, dan lebih besar atau lebih kecil pada individu tertentu. Standar pengukuran diberikan dalam perkataan Yesus:

“Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan. Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.” Lukas 12:48

Tentu saja Allah tidak menuntut banyak tanggung jawab dari mereka yang hidup pada zaman Perjanjian Lama – jika dibandingkan dengan apa yang Dia minta dari mereka yang dilahirkan sesudah Yesus datang ke dunia. Tentu saja Allah tidak akan meminta banyak hal dari mereka yang hidup di ‘zaman kegelapan’, ketika Alkitab hanya dapat diakses oleh segelintir orang saja – berbeda dengan apa yang Dia inginkan dari generasi ini, ketika hampir setiap keluarga Kristen di negeri ini memiliki Alkitab untuk mereka sendiri.

Allah tidak akan menuntut tanggung jawab yang sama dari orang-orang yang tidak pernah mendengar Injil – seperti apa yang Dia kehendaki dari umat Kristen. Orang-orang yang benar-benar belum pernah menerima Injil tidak akan binasa karena mereka tidak percaya kepada Kristus – tetapi karena mereka gagal menghidupkan terang yang mereka miliki – kesaksian tentang Allah dalam alam dan hati nurani. Sebaliknya, bagi kita yang sudah lama mengenal Kristus dituntut tanggung jawab yang besar. Mereka yang menjadi pemimpin keluarga dan umat juga harus mau memikul tanggung jawab yang besar.

Fakta bahwa tanggung jawab manusia terletak pada kemampuan alaminya, disaksikan oleh hati nuraninya, dan ditegaskan di seluruh Alkitab. Landasan tanggung jawab manusia adalah bahwa ia adalah makhluk rasional yang mampu mempertimbangkan persoalan-persoalan kekal, dan bahwa ia mempunyai Wahyu tertulis dari Tuhan, yang di dalamnya hubungan dan kewajibannya terhadap Penciptanya didefinisikan dengan jelas. Besarnya tanggung jawab berbeda-beda pada setiap individu, ditentukan oleh tingkat karunia yang diterima masing-masing dari Tuhan.

Masalah tanggung jawab manusia dijelaskan dalam Alkitab, dan karena itu merupakan kewajiban serius kita serta hak istimewa untuk menyelidikinya dengan penuh doa dan kehati-hatian untuk mendapatkan pencerahan lebih lanjut, dengan mengandalkan Roh Kudus untuk membimbing kita “ke dalam seluruh kebenaran”. Ada tertulis, “Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati.” (Mazmur 25:9).

Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa merupakan tanggung jawab setiap manusia untuk menggunakan karunia yang telah Tuhan berikan kepada mereka. Suatu sikap yang bersifat fatalistis sebagian orang Kristen ialah menolak untuk bertanggung jawab karena alasan bahwa Allah telah menetapkan apa pun yang akan terjadi, termasuk dosa kita, dan itu tidak dapat ditarik kembali. Sikap ini adalah memanfaatkan apa yang telah ditetapkan Allah demi kenyamanan hati mereka yang sengaja mau melanggar perintah Tuhan. Tuhan yang telah menetapkan bahwa suatu tujuan tertentu akan tercapai, juga telah menetapkan bahwa tujuan tersebut akan dicapai melalui dan sebagai akibat dari sarana yang telah ditetapkan-Nya sendiri. Tuhan tidak meremehkan penggunaan sarana – kita juga tidak boleh meremehkannya.

Misalnya: Allah telah menetapkan bahwa “Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam.” (Kejadian 8:22); namun itu tidak berarti bahwa manusia tidak perlu membajak tanah dan menabur benih! Tuhan menggerakkan manusia untuk melakukan hal-hal tersebut, memberkati pekerjaan mereka, dan dengan demikian memenuhi penetapan-Nya sendiri. Dengan cara yang sama, Allah sejak awal telah memilih suatu umat untuk diselamatkan; namun hal ini tidak berarti bahwa para penginjil tidak perlu memberitakan Injil, atau orang-orang berdosa tidak perlu bertobat dan mempercayainya. Melalui sarana inilah nasihat-nasihat kekal-Nya dilaksanakan.

Untuk berargumentasi bahwa karena Allah telah menentukan nasib kekal setiap manusia dan ini tidak dapat ditarik kembali – adalah usaha membebaskan kita dari semua tanggung jawab atas segala kekhawatiran mengenai jiwa kita, atau usaha menolak untuk menggunakan sarana keselamatan dengan tekun; ini sama saja dengan menolak melakukan tugas duniawi kita karena Tuhan telah menentukan nasib kita di dunia. Dan hal ini sudah jelas dari Kisah Para Rasul 17:26, Ayub 7:1; 14:5, dst.

Apa yang telah dipersatukan Allah sebagai penetapan-Nya, tidak boleh kita pisah-pisahkan. Entah kita bisa atau tidak bisa melihat kaitan yang menyatukan yang satu dengan yang lain, tugas kita jelas, “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan , Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini.” (Ulangan 29:29).

Dalam Kisah Para Rasul 27:22 Allah memberitahukan bahwa Dia telah menetapkan pemeliharaan semua orang yang menemani Paulus di kapal; namun sang rasul tidak ragu-ragu mengatakan, “Jika kamu tidak tinggal di kapal, kamu tidak mungkin selamat.”” (ayat 31); Allah menetapkan sarana itu agar mereka melaksanakan apa yang telah Dia tetapkan. Dari 2 Raja-raja 20 kita belajar bahwa Allah benar-benar bertekad untuk menambahkan lima belas tahun pada kehidupan Hizkia – namun ia harus mengambil segumpal buah ara dan menaruhnya di atas bisul yang mematikan!

Perlu kita sadari, rasul Paulus mengetahui bahwa ia selamanya aman dalam tangan Kristus (Yohanes 10:28) – namun ia “menjaga tubuhnya tetap terkendali” (1 Korintus 9:26). Rasul Yohanes meyakinkan orang-orang yang menerima suratnya, “Kamu harus tinggal di dalam Dia” – namun di ayat berikutnya dia menasihati mereka, “Dan sekarang, anak-anakku, tinggallah di dalam Dia” (1 Yohanes 2:27, 28).

Hanya dengan memperhatikan prinsip penting ini – kita bertanggung jawab untuk menggunakan cara-cara yang ditentukan Tuhan, maka kita akan mampu menjaga keseimbangan dalam kebenaran Tuhan, dan diselamatkan dari fatalisme yang melumpuhkan. Setiap orang Kristen bertanggung jawab kepada Tuhan atas apa saja yang dilakukan mereka selama hidup di dunia!

Tinggalkan komentar