“Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya. Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.” 2 Korintus 5: 9-10

Banyak orang Kristen bertanya-tanya mengapa Tuhan menciptakan makhluk yang bisa berbuat dosa. Mengapa Dia tidak menciptakan malaikat dan manusia tanpa kemampuan berbuat dosa? Alternatifnya adalah menciptakan makhluk yang tidak bisa memilih benar dan salah. Namun jika demikian, malaikat dan manusia ibarat robot, tidak mampu menunjukkan cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya kepada Tuhan. Robot tidak mempunyai perasaan dan pikiran seperti yang dimiliki manusia.
Tuhan bisa membuat dosa menjadi mustahil, atau Dia bisa membuat makhluk bebas memilih, tapi secara logika Dia tidak bisa melakukan keduanya. Tanpa perasaan dan kemampuan untuk memilih, tidak ada manusia yang dapat memiliki hubungan yang bermakna dengan Tuhan. Tidak akan pernah ada pengalaman yang berarti akan kemurahan dan kasih-Nya, keadilan dan kebenaran-Nya. Kepenuhan sifat dan kemuliaan Allah tidak akan terlihat dalam hidup manusia.
Ayat 2 Korintus 5:1–10 melanjutkan ajaran Paulus dari pasal sebelumnya. Dinyatakan bahwa kemuliaan kekekalan bersama Kristus jauh lebih berat dari segala penderitaan yang dialami tubuh kita yang sementara dalam hidup ini. Karena itu, Paulus rindu untuk menempati tubuhnya yang kekal, yang digambarkan sebagai rumah permanen yang dibangun oleh Tuhan sendiri. Mengetahui hal itu akan terjadi, Paulus memiliki keberanian untuk mengambil risiko penderitaan yang lebih besar lagi demi melanjutkan misi memberitakan Injil. Satu-satunya tujuannya dalam hidup ini adalah untuk menyenangkan Kristus. Ia tahu bahwa setiap orang Kristen akan menghadapi penghakiman oleh Kristus, bukan untuk menentukan nasib kekal seseorang, melainkan untuk menerima apa yang menjadi hak kita atas perbuatan kita selama hidup dalam tubuh sementara ini.
Paulus telah menulis dengan jujur dan transparan bahwa ia lebih memilih berada bersama Tuhan dalam kekekalan daripada terus melalui penderitaan dan kesakitan hidup ini (2 Korintus 5:8). Tapi dia tidak ingin bunuh diri. Maksudnya bukanlah bahwa ia secara aktif mencari kematian, atau bahwa ia memiliki keinginan yang sangat kuat untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dia hanya percaya Injil dan memahami betapa jauh lebih baik kehidupan surgawi daripada kehidupan sementara dalam tubuh sementara ini. Namun, sampai dia tiba di sana, dia akan terus menjalankan misi yang Tuhan berikan kepadanya untuk kehidupan ini. Sampai saatnya datang, ia akan memilih untuk melakukan apa yang beekenan kepada Tuhan.
Kini Paulus meringkas tujuannya—”tujuan” atau niatnya—ke dalam satu hal. Dia ingin menyenangkan Kristus. Entah di sini, dalam kehidupan duniawi yang sulit, atau di rumah bersama Kristus dalam kekekalan yang mulia, ia ingin menyenangkan Kristus. Itu mencakup cara dia hidup, apa yang dia katakan, dan segala hal lainnya. Itulah tujuan akhir Paulus, dan yang seharusnya menjadi tujuan hidup setiap orang Kristen.
Mengapa Paulus menanggung begitu banyak penderitaan karena memberitakan tentang Kristus? Di sini dia melanjutkan diskusinya tentang kekekalan, membandingkan tubuh duniawi kita dengan tinggal di tenda Tuhan. Paulus lebih memilih hidup dalam tubuh kekal yang Tuhan persiapkan bagi mereka yang percaya kepada Kristus, bebas dari keluh kesah dan beban yang menimpa semua orang di sini. Dengan harapan tersebut, ia berkhotbah dengan berani bahwa semua yang ada di dalam Kristus adalah ciptaan baru. Sebagai ciptaan baru, ia bisa merasakan kasih dan kuasa Tuhan, memikirkan apa yang baik untuk Tuhan dan sesama, memilih yang benar dan menjauhi yang salah.
Di dalam Kristus, Allah mendamaikan manusia dengan diri-Nya, tidak memperhitungkan dosa mereka. Paulus memohon agar semua orang berdamai dengan Allah dengan cara ini melalui iman di dalam Kristus. Di dalam Kristus, manusia dimampukan untuk memilih bukan saja apa yang baik, tetapi juga apa yang terbaik untuk kemuliaan Tuhan. Di luar Kristus, manusia bebas memilih tetapi hanya apa yang terbaik untuk diri mereka sendiri karena mereka tidak dapat mengenal Tuhan.
Salah satu motivasi untuk menyenangkan Tuhan adalah pengetahuan Paulus bahwa dia akan dihakimi oleh Kristus atas perbuatannya dalam kehidupan ini. Paulus menegaskan bahwa semua orang yang percaya kepada Yesus akan menghadap takhta penghakiman Kristus ketika Dia kembali ke bumi. Paulus dengan jelas menyatakan dalam suratnya bahwa penghakiman ini bukanlah tentang keselamatan. Kristus tidak akan menyatakan pada saat itu apakah seseorang akan masuk surga atau neraka. Ayat ini sama sekali tidak menyiratkan bahwa penghakiman, atau perbuatan yang diperiksa, itulah yang menentukan nasib kekal seseorang. Keselamatan adalah anugerah yang diberikan kepada setiap orang yang percaya kepada Kristus. Injil Paulus adalah bahwa anugerah keselamatan “bukan diperoleh melalui usaha” (Efesus 2:8-9), atau tidak seorang pun dapat memperolehnya (Roma 3:23; 6:23).
Takhta penghakiman Kristus adalah sesuatu yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang percaya, sebagai penilaian Kristus terhadap pekerjaan kita di bumi. Ini mengacu pada penilaian terhadap apa yang telah dilakukan oleh setiap orang Kristen yang diselamatkan dan menuju surga “di dalam tubuh” sejak mereka beriman kepada Kristus. Bagaimana dia telah menggunakan kehidupan ini di dalam Kristus? Apa yang telah mereka lakukan, untuk kebaikan atau kejahatan? Apakah perbuatan dan cara hidup mereka sudah merupakan penginjilan yang akan membawa orang lain kepada Kristus?
Rasul Petrus menulis:
“Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh. Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.” 1 Petrus 2: 15-16
Dan rasul Paulus menulis:
“Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.” Roma 14:12
Setiap perbuatan baik akan mendapat balasannya. Umat Kristen akan menerima upaya tersebut “balasannya dari Tuhan” (Efesus 6:8). Namun, pekerjaan orang-orang yang hidup hanya untuk diri mereka sendiri akan “dibakar” atau dianggap tidak berharga. “Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.” (1 Korintus 3:15).
Paulus termotivasi oleh kesadaran akan penghakiman yang akan datang ini, dan dia ingin para pembacanya juga termotivasi oleh hal itu. Anugerah Allah kepada kita dalam mengampuni dosa tidak berarti Dia akan menutup mata atas apa yang kita jalani dalam hidup di dunia. Kita akan berdiri di hadapan-Nya dan dimintai pertanggungjawaban atas pilihan-pilihan kita. Pertanggungjawaban itu tidak mempengaruhi nasib kekal kita. Walaupun demikian, itu mempertanyakan apakah waktu kita dihabiskan secara baik atau bodoh, secara berani atau pengecut, dalam iman atau dalam kebutaan rohani dan keegoisan. Akibat dari ganjaran atau teguran pada saat itu akan benar-benar menyenangkan dan/atau menyakitkan, berdasarkan pilihan-pilihan yang telah kita ambil selama hidup.
Hari ini kita belajar bahwa sebagai orang yang dipilih oleh Tuhan untuk diselamatkan, kita tidak boleh menolak kenyataan bahwa kita bisa memilih apa yang baik dan apa yang benar. Kita bisa membedakan apa yang baik untuk Tuhan dan sesama, atau apa yang jahat. Sebagai umat Kristen kita sudah dianugerahi wahyu kebenaran Kristus dan dimampukan untuk mempunyai iman yang hidup. Yakobus berkata, “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yakobus 2:26). Iman tanpa perbuatan baik disebut mati karena kurangnya perbuatan baik itu mengungkapkan kehidupan yang tidak diubahkan, serta hati yang mati secara rohani. Ada berbagai ayat yang menjelaskan bahwa iman sejati yang menyelamatkan akan menghasilkan kehidupan yang berubah, bahwa iman terbukti oleh perbuatan kita. Cara hidup kita mengungkapkan kepercayaan kita dan apakah iman yang kita akui benar-benar iman yang hidup. Karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk berkata bahwa cara hidup kita sudah ditentukan Tuhan dan kita tidak dapat atau perlu untuk memilih apa yang baik, yang sesuai dengan Firman Tuhan.
”Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”“ Matius 5:16