Bisakah kita memilih apa yang baik?

“Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” Roma 6:1-2

Dapatkah manusia memilih sesuatu dalam hidupnya? Semua orang tentunya pernah memilih pakaian, makanan, mobil, dan berbagai benda yang disenangi, dan bahkan memilih pasangan hidup mereka. Semua orang pada umumnya bisa memilih apa pun tanpa paksaan. Walaupun demikian, ada orang Kristen yang percaya bahwa segala sesuatu sudah ditentukan Tuhan sebelumnya, dan manusia tidak dapat menolak pilihan Tuhan. Dengan demikian, manusia mungkin serupa dengan robot yang tidak memiliki kemampuan untuk berpikir dan bertindak dengan kemampuan sendiri. Pandangan fatalis di atas sudah tentu berlawanan dengan apa yang tertulis di dalam Alkitab: bahwa sebagai gambar Allah, manusia mampu mengambil keputusan berdasarkan pilihan mereka sendiri. Kemampuan itu datang dari Tuhan. Apa yang dipilh akan terjadi dengan seizin Tuhan, tetapi belum tentu apa yang disenangi Tuhan. Mengapa demikian?

Walaupun manusia bisa memilih dan mengambil keputusan, karena dosa yang ada manusia tidak dapat mengenal Tuhan dan karena itu tidak dapat memilih apa yang benar-benar memuliakan Tuhan. Memang, siapakah yang dapat menyembah Tuhan yang benar jika ia tidak mengenal-Nya? Dan siapakah yang dapat mengenal Tuhan jika Tuhan tidak menyatakan diri-Nya kepadanya? Inilah kebenaran Alkitab, bahwa sekalipun kita bebas dan dapat memilih tanpa paksaan, pilihan kita selalu membuahkan dosa jika kita tidak mengenal Tuhan. Karena itu, sekalipun manusia bebas untuk memilih, pilihan itu sebenarnya diikat oleh dosa.

Untunglah bahwa melalui kedatangan Yesus ke dunia dan karena pekerjaan Roh Kudus, mata rohani kita dicelikkan sehingga kita bisa melihat kebenaran Kristus. Walaupun demikian, itu bukan berarti bahwa setelah lahir baru kita tidak dapat memilih apa yang buruk lagi – itu karena kita belum menjadi manusia yang sempurna. Kita masih dapat memilih dosa dan bahkan cenderung melakukan apa yang jahat jika kita tidak mau taat dan menurut bisikan Roh Kudus. Hanya melalui proses pengudusan Tuhan, kita bisa bertumbuh dalam iman dan dimampukan untuk makin lama makin bijaksana dalam membedakan apa yang baik dan apa yang jahat.

Sebagai orang Kristen, jelas kita masih bisa berbuat dosa. Tetapi, dalam Roma 6 Paulus menjawab pertanyaan apakah orang Kristen harus terus berbuat dosa. Jawabannya tegas: kita sama sekali tidak seharusnya melakukannya. Pertama, ketika kita datang kepada Allah melalui iman kepada Yesus, kita mati terhadap dosa. Kita bukan lagi budaknya. Kedua, apa manfaat hidup demi dosa bagi kita? Hal ini menyebabkan rasa malu dan kematian. Kebenaran yang diberikan Allah kepada kita secara cuma-cuma di dalam Kristus Yesus seharusnya membawa kita menjadi seperti Yesus. Kita harus mengabdi pada kebenaran, bukannya dosa. Untuk itu kita harus sadar bahwa dalam hidup, kita mempunyai pilihan. Untuk itu kita harus mau berusaha memilih apa yang baik. Namun, itu tidak mudah dilakukan.

“Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku.” Roma 7:19-20

Paulus memulai Roma pasal 6 dengan mengajukan pertanyaan tentang implikasi dari pernyataan-pernyataan yang mengakhiri pasal 5. Di sana, ia menulis bahwa ketika dosa bertambah, kasih karunia Allah “bertambah besar”. Artinya, untuk penebusan yang sempurna, ketika dosa bertambah, maka kasih karunia Allah pun melimpah untuk menutupi dosa semua orang yang percaya pada kematian Kristus untuk menutupi dosa mereka. Memang secara logis dan kenyataan, itu harus demikian. Kita benar-benar tidak bisa berbuat dosa melebihi kasih karunia Allah. Tetapi ini bukan berarti kita dapat berbuat dosa apa pun tanpa mempedulikan firman-Nya agar kita hidup dalam terang-Nya. Kita tidak boleh mengabaikan hukum Tuhan karena merasa yakin bahwa Tuhan akan mengampuni semua dosa kita, sebesar apa pun.

Roma 6:1–14 mengeksplorasi bagaimana orang Kristen seharusnya memikirkan dan menanggapi dosa sekarang setelah kita berada di dalam Kristus dan dosa-dosa kita telah diampuni. Dalam menjelaskan hal ini, Paulus mengungkapkan informasi baru tentang apa yang terjadi ketika kita beriman kepada Kristus. Secara rohani, kita mati bersama Dia, dan terhadap dosa kita. Kita kemudian dibangkitkan ke kehidupan rohani yang baru. Kini Paulus memerintahkan kita untuk terus mengingat bahwa kita bukan lagi budak dosa. Kita tidak boleh menyerahkan tubuh kita untuk digunakan dalam dosa, namun kita harus menyerahkan diri kita sendiri sebagai alat kebenaran. Kita harus mau memilih apa yang baik, yang sesuai dengan firman Tuhan, agar nama-Nya dipermuliakan.

Seperti yang Paulus tanyakan di sini, haruskah kita terus berbuat dosa agar kasih karunia Allah terus bertambah? Tampaknya ini adalah hal yang sering dibantahnya dalam tulisan-tulisannya (Roma 3:8; 2 Korintus 5:17; Galatia 5:19-24). Walaupun demikian, apa yang diungkapkan Paulus menyebabkan adanya tuduhan yang sering diajukan terhadap kekristenan, bahkan hingga saat ini, yang menyatakan bahwa Injil sebenarnya hanyalah izin untuk berbuat dosa.

Memang, Paulus mengatakan dalam pasal 5 bahwa ketika dosa meningkat, maka kasih karunia Allah bagi mereka yang percaya pada kematian Kristus atas dosa mereka semakin meningkat. Dengan demikian, kasih karunia Allah selalu berkuasa atas dosa. Kita tidak bisa mengabaikan kasih karunia dan pengampunan Tuhan. Kita yakin atas kuasa Tuhan yang memilih kita bukan berdasarkan cara hidup kita. Jadi, Paulus bertanya, haruskah kita tetap berbuat dosa sekarang karena kita percaya kepada Yesus agar Tuhan tetap meningkatkan kasih karunia-Nya?

Paulus menjawab di sini dengan, “sekali-kali tidak!” Ini adalah penggunaan yang sama dari frasa Yunani mē genoito yang sering digunakan Paulus ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol sebagai alat pengajaran. Ada 15 contoh pemakaian frasa ini di Alkitab: Lukas 20:16; Roma 3:4; 3:6; 3:31; 6:2; 6:15; 7:7; 7:13; 9:14; 11:1; 11:11; I Korintus 6:15; Galatia 2:17; 3:21; 6:14.

Singkatnya, umat Kristiani tidak boleh terus menerus berbuat dosa untuk menambah rahmat Tuhan. Ini berarti, orang Kristen tidak boleh terus-terusan berbuat dosa dengan sengaja. Di bagian lain dalam Alkitab, kita diberikan rincian lebih lanjut tentang mengapa kehidupan yang terus menerus melakukan dosa dan disengaja sebenarnya tidak sejalan dengan mereka yang benar-benar telah diselamatkan (Galatia 5:19-24; 1 Yohanes 3:6-9).

Paulus melanjutkan pertanyaan ini dengan pertanyaan lain: Bagaimana orang yang mati terhadap dosa masih bisa hidup di dalamnya? Hal ini memunculkan aspek baru dalam pesan Injil Paulus. Seperti yang akan ia tunjukkan dalam ayat-ayat sesudahnya, semua orang yang datang kepada Allah dalam iman, yang percaya kepada kematian Kristus menggantikan mereka di kayu salib untuk membayar dosa mereka, dikatakan telah “mati bersama Kristus” dalam arti tertentu: kita mati terhadap dosa pada saat itu.

Paulus akan memperluas pemikiran ini, namun gagasannya adalah ini: Mereka yang tidak berada di dalam Kristus hidup di bawah kekuasaan dosa. Mereka tidak bisa menghindari dosa. Ini adalah satu-satunya pilihan yang ada. Namun kematian Kristus di kayu salib untuk membayar dosa kita mematahkan kekuasaan dosa atas hidup kita. Kita sekarang memiliki kuasa, di dalam Kristus, untuk berhenti berbuat dosa. Kita tidak kehilangan keinginan untuk berbuat dosa, tetapi kita tahu apa yang baik dan sudah dimampukan oleh Tuhan untuk bisa memilih apa yang baik!

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Filipi 4:8

Tinggalkan komentar