Mengapa harus membenci saudara seiman?

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. ” Roma 12:2-3

Perdebatan antar pribadi maupun antar kelompok kerapkali dijumpai di tengah masyarakat, tak terkecuali perdebatan antar kelompok Kristen. Debat yang mengatasnamakan dua atau lebih pihak dari denominasi yang berbeda saat ini juga dengan mudah dijumpai baik yang berlangsung secara luring ataupun daring. Secara khusus saat ini perdebatan tersebut banyak berlangsung di media sosial. Dengan mudah hal tersebut dijumpai dalam berbagai kanal YouTube di tanah air. Sayangnya, perdebatan antar denominasi yang terjadi kerapkali dilandasi dengan keinginan masing-masing pihak untuk mencari kesalahan dan menjatuhkan pihak lain serta menganggap ajaran sendiri sebagai ajaran yang paling benar atau satu-satunya kebenaran. Akibatnya, perdebatan yang berlangsung bukan hanya semakin memperlebar jurang perbedaan tetapi sekaligus, entah disadari atau tidak, justru menyemai dan menumbuhsuburkan benih kebencian di masing-masing pihak. Hal ini sebenarnya bukan barang baru, karena pada zaman gereja pertama Paulus sudah melihatnya.

Dalam Roma 12, Paulus menggambarkan penyembahan kepada Tuhan kita sebagai pengorbanan yang hidup kepada Tuhan kita, berhenti mencari apa yang kita inginkan dalam hidup dan belajar untuk mengetahui dan melayani apa yang Tuhan inginkan. Itu dimulai dengan menggunakan karunia rohani kita untuk saling melayani di gereja. Daftar perintah Paulus menggambarkan gaya hidup yang mengesampingkan diri sendiri. Tujuan kita sebagai orang Kristen adalah untuk saling mengasihi dan saling meninggikan. Kita harus memusatkan pengharapan kita pada kekekalan dan menunggu dengan sabar dan berdoa agar Bapa kita menyediakannya. Kita harus menolak untuk tenggelam dalam level kebencian dan kejahatan; sebaliknya, kita harus memberi kebaikan pada orang yang merugikan kita, bukan membalas dendam.

Roma 12:3–8 menggambarkan tanggung jawab pertama setiap orang Kristen yang berkorban hidup dan menyembah Tuhan. Gereja itu seperti sebuah tubuh: tubuh Kristus. Gereja bukan berarti gedung atau persekutuan yang kita kunjungi pada hari Minggu. Gereja adalah persekutuan semua orang di dunia yang sudah diselamatkan Kristus. Setiap orang Kristen mempunyai peran dalam menggunakan karunia rohani spesifik yang telah Tuhan berikan kepada kita. Karunia kasih karunia ini memberikan segala kekuatan dan kemampuan yang kita butuhkan untuk saling melayani, namun kita harus tetap melakukannya, baik pemberian kita berupa pelayanan, pengajaran, nasihat, belas kasihan, atau yang lainnya.

Roma 12:1-2 menjawab pertanyaan, ”Bagaimana seharusnya kita menanggapi kemurahan Allah yang besar kepada kita?” Jawabannya adalah dengan menjadi hidup, mempersembahkan korban, menggunakan hidup kita dalam pelayanan kepada Allah sebagai tindakan ibadah yang berkelanjutan. Itu yang masuk akal. Ini bukanlah cara untuk mendapatkan keselamatan, namun respon alami yang harus kita miliki untuk diselamatkan. Untuk melakukan hal ini, kita perlu melepaskan diri dari pola dunia yang mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan sendiri, dan mengubah pikiran kita agar dapat memahami apa yang Tuhan inginkan. Kita harus tahu bagaimana cara hidup sebagai orang yang sudah diselamatkan. Mereka yang sudah menerima kasih Allah seharusnya bisa mengasihi Tuhan dan sesama.

Paulus mendesak semua umat Kristiani untuk menanggapi belas kasihan Allah, pengampunan dosa kita, dan penyertaan kita dalam keluarga-Nya. Reaksi yang tepat adalah mempersembahkan kepada-Nya seluruh hidup kita sebagai suatu bentuk pengorbanan yang hidup dan bernafas. Selanjutnya Paulus menulis bahwa kita tidak boleh lagi menjadi serupa dengan dunia. Kata “dunia” sering digunakan dalam Perjanjian Baru untuk merujuk pada “sistem dunia”, atau cara hidup setiap manusia yang biasa kita lihat. Yohanes menggambarkan cara hidup duniawi ini sebagai “keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup” (1 Yohanes 2:16). Secara naluri, kita semua mengejar hal-hal tersebut demi kebanggaan diri sendiri.

Tuhan mungkin terus memberi kita kesenangan, harta benda, dan status dalam berbagai bentuk, namun Dia mendorong kita untuk belajar bagaimana memandang kehidupan dengan pertanyaan baru: Apa yang Tuhan inginkan dariku? Apakah yang benar-benar merupakan penggunaan hidup saya yang baik, dapat diterima, dan sempurna untuk tujuan-tujuan-Nya dan bukan hanya untuk tujuan saya sendiri? Paulus memberitahu kita untuk meninggalkan pengejaran akan kesenangan, harta benda, dan status; untuk berhenti hidup seperti orang lain yang belum diselamatkan. Sebaliknya, ia mendesak kita untuk bertransformasi dari dalam ke luar. Secara khusus, ia menulis bahwa kita harus diubah dalam cara berpikir kita, agar pikiran kita diperbarui sehingga kita dapat mulai memahami kehendak Tuhan bagi hidup kita.

Paulus telah menulis bahwa kita yang telah menerima belas kasihan Allah yang luar biasa di dalam Kristus harus mengubah cara kita menjalani hidup. Faktanya, dia mendesak kita untuk mengorbankan cara kita menggunakan tubuh dan pikiran kita. Kita harus berusaha untuk dipakai oleh Tuhan demi tujuan-tujuan-Nya dan melihat dunia melalui kacamata apa yang Dia inginkan, bukan sekedar apa yang kita inginkan.

Sekarang Paulus menulis bahwa hal ini dimulai dengan melihat diri kita sebagaimana adanya. Secara alami, manusia membesar-besarkan persepsi kita tentang diri kita sendiri. Kita selalu berada di pusat mata batin kita sendiri, selalu mengukur segala sesuatu yang kita lihat dan dengar berdasarkan standar perspektif kita sendiri. Paulus menulis bahwa salah satu cara pikiran kita harus diubah adalah dengan mengembangkan kemampuan melihat diri sendiri secara akurat. Kita harus mengembangkan “penilaian yang bijaksana”, atau pandangan yang obyektif. Kita harus jujur ​​pada diri kita sendiri mengenai apa yang kita kuasai dan apa yang tidak.

Paulus tidak mengatakan bahwa kita semua harus belajar menganggap diri kita buruk dan tidak berharga. Sebaliknya, Dia ingin kita menjauh dari keyakinan bahwa kita adalah satu-satunya orang pilihan Tuhan, yang membuat kita melihat diri kita sendiri sebagai orang yang besar, berkuasa, dan penting. Dibutuhkan iman untuk melihat diri kita secara obyektif dengan cara ini, tulis Paulus. Mengapa iman? Paulus menunjukkan bahwa kita harus memandang diri kita sendiri secara jujur ​​sehingga kita dapat memercayai Allah untuk melakukan melalui kita apa yang telah Ia karuniakan kepada kita. Dengan kata lain, Tuhan mempunyai pekerjaan bagi kita masing-masing untuk menghabiskan hidup kita melakukan pelayanan kepada gereja-Nya. Pandangan yang berlebihan terhadap diri kita sendiri hanya akan menghalangi hal-hal yang benar-benar penuh kuasa yang Allah ingin lakukan melalui kita.

Tinggalkan komentar