Perlunya moralitas di kalangan umat Kristen zaman ini

“Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul. Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang kikir dan penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini. Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama. Sebab dengan wewenang apakah aku menghakimi mereka, yang berada di luar jemaat? Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat? Mereka yang berada di luar jemaat akan dihakimi Allah. Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.” 1 Korintus 5: 9-13

Orang Kristen bukan orang tidak bermoral

Apakah agama Kristen adalah agama yang menekankan pentingnya prinsip moralitas? Sebagian kecil orang Kristen menjawabnya dengan “tidak” karena setiap orang sebaik apa pun adalah orang yang tidak bermoral di hadapan Allah yang mahasuci. Memang Raul Paulus pernah menulis dalam surat Roma 3:9-12: Jadi bagaimana? Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain? Sama sekali tidak. Sebab di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa, seperti ada tertulis: ”Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak. Kerongkongan mereka seperti kubur yang ternganga, lidah mereka merayu-rayu, bibir mereka mengandung bisa. Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah, kaki mereka cepat untuk menumpahkan darah. Keruntuhan dan kebinasaan mereka tinggalkan di jalan mereka,dan jalan damai tidak mereka kenal; rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.”.

Tidak mengherankan, mereka yang memandang bahwa semua orang tidak ada bedanya dalam hal dosa kemudian mungkin menyatakan bahwa beda antara orang Kristen dan bukan Kristen adalah dalam hal pilihan Allah: Orang Kristen adalah orang pilihan Allah bagaimanapun jeleknya moral mereka, sedangkan orang bukan Kristen adalah orang yang ditolak Allah bagiamanapun baiknya moral mereka. Pandangan di atas, sekalipun ada benarnya, adalah pandangan yang bisa menjerumuskan orang Kristen lebih jauh ke dalam dosa. Mengapa? Karena agama Kristen yang berkembang dari agama Yudaisme sebenarnya mengajarkan pentingnya menjunjung nilai moral yang tinggi sesuai dengan Alkitab dan perlunya berjuang untuk hidup kudus.

Orang Kristen memang harus sadar bahwa mereka tidak dapat mengharuskan orang bukan Kristen untuk menaati hukum Tuhan. Tetapi, setiap orang beriman tentu tahu bahwa Tuhan mengharuskan kita taat kepada prinsip-prinsip kesucian hidup yang diharuskan bagi anak Tuhan. Karena itu, sebagai orang yang dipilih Tuhan, kita mempunyai kewajiban untuk menjalankan perintah Tuhan dan karena itu harus mengajarkan hal itu kepada sesama orang beriman. Paulus dalam ayat-ayat dari 1 Korintus di atas memperingatkan jemaat untuk menegur mereka yang mengaki Kristen tetapi gaya hidupnya mendunia. Orang semacam itu disebut orang Kristen duniawi (orang Kristen kedagingan) atau carnal Christians.

Bisakah seorang Kristen sejati menjadi orang Kristen duniawi? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama mari kita definisikan istilah “duniawi”. Kata “duniawi” diterjemahkan dari kata Yunani sarkikos, yang secara harafiah berarti “daging.” Kata deskriptif ini terlihat dalam konteks orang Kristen dalam 1 Korintus 3:1-3. Dalam ayat ini, rasul Paulus menyebut para pembacanya sebagai “saudara,” sebuah istilah yang ia gunakan hampir secara eksklusif untuk menyebut orang-orang Kristen lainnya; dia kemudian menggambarkan mereka sebagai “duniawi.” Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa orang Kristen bisa bersifat duniawi. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa tidak seorang pun tidak berdosa (1 Yohanes 1:8). Setiap kali kita berbuat dosa, kita bertindak secara kedagingan. Orang Kristen yang masih terus bergelimang dalam dosa adalah carnal Christians.

Hal penting yang perlu dipahami adalah bahwa meskipun seorang Kristen bisa bersifat duniawi untuk sementara waktu, seorang Kristen sejati tidak akan tetap bersifat duniawi seumur hidupnya. Beberapa orang telah menyalahgunakan gagasan tentang “Kristen duniawi” dengan mengatakan bahwa ada kemungkinan orang beriman kepada Kristus dan kemudian menjalani sisa hidup mereka dengan cara yang sepenuhnya duniawi, tanpa ada bukti bahwa mereka telah dilahirkan kembali atau mengalami kematian dari hidup lama dan menjadi ciptaan baru (2 Korintus 5:17). Konsep seperti ini sama sekali tidak alkitabiah. Yakobus 2 memperjelas bahwa iman yang sejati akan selalu menghasilkan perbuatan atau hidup baik. Efesus 2:8-10 menyatakan bahwa meskipun kita diselamatkan oleh kasih karunia melalui iman saja, keselamatan itu akan ditunjukkan melalui perbuatan. Dapatkah seorang Kristen, ketika mengalami kegagalan dalam memerangi dosa dan/atau memberontak terhadap pimpinan Tuhan, tampak bersifat duniawi? YA. Apakah orang Kristen sejati akan tetap bersifat duniawi sampai mati? TIDAK.

Karena jaminan keselamatan Tuhan adalah kekal, bahkan orang Kristen yang duniawi pun tetap diselamatkan. Keselamatan tidak bisa hilang, karena keselamatan adalah anugerah Allah yang tidak akan diambil-Nya (lihat Yohanes 10:28; Roma 8:37-39; 1 Yohanes 5:13). Bahkan dalam 1 Korintus 3:15, orang Kristen yang duniawi mendapat jaminan keselamatan: “Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.” Pertanyaannya bukanlah apakah seseorang yang mengaku Kristen tetapi hidup secara duniawi telah kehilangan keselamatannya, namun apakah orang yang mengaku Kristen tersebut benar-benar sudah diselamatkan (1 Yohanes 2:19).

Kitab 1 Korintus 5:9–13 memperkenalkan ajaran Kristen tentang disiplin gereja, penyelesaian konflik, dan kuasa Allah untuk menyucikan kita dari dosa. Setelah menuntut gereja di Korintus mengucilkan seseorang karena dosa yang mencolok, Paulus mengingatkan mereka bahwa mereka yang mengaku Kristen harus diberi standar moral yang lebih tinggi. Secara khusus, gereja tidak boleh menerima persekutuan dari mereka yang terus-menerus melakukan dosa yang terang-terangan dan keras kepala. Paulus menekankan bahwa umat Kristiani bahkan tidak boleh berbagi makanan dengan seseorang yang mengaku sebagai umat Kristiani namun menolak untuk berhenti hidup dalam dosa. Dengan demikian, orang-orang Kristen kedagingan itu terkadang harus dikucilkan dari gereja sampai mereka mau bertobat untuk tidak memberi pengaruh yang buruk pada orang lain.

Paulus menyatakannya hal serupa dalam 2 Tesalonika 3:14-15: “Jika ada orang yang tidak mau mendengarkan apa yang kami katakan dalam surat ini, tandailah dia dan jangan bergaul dengan dia, supaya ia menjadi malu, tetapi janganlah anggap dia sebagai musuh, tetapi tegorlah dia sebagai seorang saudara.”

Umat Kristiani harus menerima tanggung jawab untuk membimbing dan menegur satu sama lain ketika ada orang yang mengaku berada di dalam Kristus tetapi ikut serta dalam dosa yang terus-menerus dan tidak kunjung bertobat. Kata “pertobatan” tampaknya menjadi kunci dalam percakapan ini. Dalam contoh spesifik dalam ayat-ayat ini, laki-laki yang berselingkuh dengan istri ayahnya terus berbuat dosa (1 Korintus 5:1-5). Dia tidak mengakuinya sebagai dosa atau berpaling darinya. Dia bahkan tidak berusaha untuk melepaskan kelakuan yang dia tahu salah. Dia terus melakukan dosa yang nyata dan terus-menerus, secara terang-terangan dan disengaja.

Paulus bersikeras bahwa mereka harus mengeluarkan pria tersebut dari komunitas mereka—untuk menolak partisipasinya dalam gereja—yang di sini disebut sebagai menyerahkan dia kepada setan. Seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi pada saat Paskah, mereka harus membuang ragi orang tersebut dan dosanya dari antara mereka, untuk mencegah penyebarannya ke seluruh gereja. Jemaat Kristen tidak boleh bergaul dengan mereka yang mengaku beriman, namun tetap memamerkan dosa-dosa mereka. Sekalipun semua dosa adalah sama di hadapan Tuhan, ada dosa-dosa yang dianggap signifikan oleh Paulus seperti dosa percabulan, kekikiran, penyembahan berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu, yang bisa menyebabkan kegoncangan di antara pengunjung gereja dan masyarakat di sekitarnya.

Orang Kristen yang perilakunya masih bersifat duniawi seharusnya mengerti bahwa Tuhan akan mendisiplin atau menghajar mereka dengan penuh kasih (Ibrani 12:5-11) sehingga mereka dapat kembali menjalin persekutuan yang erat dengan-Nya dan dilatih untuk menaati-Nya. Ini bisa terasa sangat menyakitkan, tetapi perlu untuk menyadarkan mereka yang tersesat. Keinginan Tuhan dalam menyelamatkan kita adalah agar kita semakin dekat dengan gambar Kristus (Roma 12:1-2), menjadi semakin rohani dan semakin berkurang keduniawian, sebuah proses yang dikenal sebagai pengudusan.

Sampai kita dibebaskan dari tubuh kedagingan kita yang berdosa, akan selalu ada wabah kedagingan. Namun, bagi orang yang benar-benar percaya kepada Kristus, ledakan sifat kedagingan ini merupakan pengecualian, bukan suatu normalitas. Artinya adalah bukan setiap orang Kristen akan dijangkiti wabah dosa – ini bukan hidup “memikul salib Kristus” yang diharuskan, tetapi hidup “memikul iblis” yang harus dibasmi.

Paulus menerapkan ungkapan umum dari hukum Musa dalam Ulangan: “Usirlah orang jahat dari tengah-tengah kamu.” Gereja-gereja Kristen tidak boleh membiarkan dosa yang terus berlanjut ini tidak terselesaikan di masyarakat. Para pemimpn gereja tidak boleh meremehkan gejala “penyakit rohani” ini dengan menganggap bahwa semua ada dalam penetapan Tuhan. Melakukan hal tersebut akan meracuni kesehatan rohani jemaat (Yudas 1:12; 2 Petrus 2:1) dan mengundang kecurigaan dari dunia yang tidak percaya (1 Petrus 2:12; 2 Petrus 2:2). Jelaslah bahwa prinsip moralitas dari Tuhan adalah penting selama hidup di dunia, dan semua orang percaya harus mau belajar untuk menaatinya.

Tinggalkan komentar