Tanda kehidupan iman adaah adanya kemauan untuk memuliakan Tuhan dengan tubuh kita

“Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu! 1 Korintus 6:20

Beberapa dari kita mungkin membayangkan kehidupan Kristen sebagai kehidupan yang tidak banyak membuhkan tenaga. Cukup dengan ke gereja sekali seminggu, dan memberi persemvahan. Bukankah keselamatan datang bukan karena usaha kita? Memang, adakah perlunya bagi orang yang sudah diselamatkan untuk menambah anugerah keselamatan Tuhan itu dengan berbagai perbuatan? Pendapat semacam ini adalah kekeliruan total, karena Alkitab penuh dengan seruan untuk memuliakan Tuhan dengan hidup kita yang sudah diselamatkan. JIka Anda biasa berbakti ke sebuah gereja di mana Anda tidak pernah atau jarang mendengar khotbah untuk membaktikan hidup Anda untuk Tuhan, ada kemungkinan Anda sudah menghadiri kebaktian sebuah gereja yang mati.

Gereja yang mati dapat merugikan pertumbuhan rohani Anda, jadi hindarilah gereja tersebut dengan cara apa pun. Para pemimpin gereja juga harus mengenali tanda-tanda gereja yang sedang sakit dan mengambil tindakan yang sesuai. Meskipun persekutuan Kristen sangat penting (Ibrani 10:25), kita dipanggil untuk mengenali guru-guru palsu yang siap menipu (Matius 7:5; 1 Yohanes 4:1; 2 Petrus 2:1). Sedihnya, beberapa gereja mengalami kelemahan rohani dan dapat dikatakan mati sekalipun masih banyak pengunjungnya.

Orang mungkin mengira gereja yang mati adalah gereja yang hanya didatangi oleh segelintir orang atau sudah ditutup secara fisik. Namun, sebuah gereja dapat saja berkembang secara jumlah dan sibuk secara sosial namun tetap seperti mayat secara rohani. Dalam kitab Wahyu, gereja Sardis digambarkan mempunyai aktivitas dan terlihat hidup, padahal sebenarnya mati (Wahyu 3:1). Ini adalah kata-kata yang memperingatkan kita. Berhati-hatilah untuk tidak mengukur kesehatan sebuah gereja dari jumlah anggotanya, kemewahan gedungnya, ketangguhan bahasan teologinya. keberhasilan jemaatnya, atau hasil duniawi lainnya. Gereja yang mati mempunyai permasalahan yang lebih dalam.

Gereja yang mati mungkin memberitakan Injil palsu atau tidak memberitakan Injil sama sekali. Injil palsu mencakup Injil kemakmuran (Yesus mati agar Anda bisa kaya dan sehat), Injil harga diri (Yesus datang untuk meningkatkan kepercayaan diri kita), dan Injil keadilan sosial (Yesus datang untuk mengatasi masalah-masalah sosial). Selain itu ada gereja yang pesan injilnya adalah Injil kebencian karena selalu sibuk menyerang teologi atau gereja lain. Ini bisa kita lihat dalam khotbah, renungan dan pembahasan yang tidak berpusat pada firman Tuhan tetapi pada pendapat manusia.

Injil yang sejati adalah tentang bagaimana Allah mendamaikan kita dengan diri-Nya melalui pengorbanan Kristus untuk dosa-dosa kita. Injil mencakup pemahaman tentang dosa, murka Allah, kematian Kristus, dan arti kebangkitan-Nya, bagi manusia yang masih di dunia. Gereja yang mengabaikan atau meremehkan pesan kabar baik ini dan menggantinya dengan pesan-pesan lain adalah gereja yang sedang sakit atau sudah mati.

Gereja yang mati condong ke arah legalisme atau ke arah antinomianisme. Gereja yang mati selalu condong ke salah satu dari dua ekstrem di atas. Kaum legalis percaya bahwa mereka diterima oleh Tuhan karena mengikuti aturan yang ditetapkan. Beberapa peraturan ini tidak alkitabiah, seperti larangan berolahraga atau menonton film. Aturan-aturan alkitabiah diubah menjadi hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan, padahal hal itu tidak seharusnya terjadi. Misalnya, para legalis mungkin berkhotbah bahwa tidak memberikan persepuluhan dapat membawa seseorang ke neraka. Legalisme adalah apa yang Paulus hadapi dengan jemaat Galatia (lihat Galatia 5:2–4).

Orang Kristen sejati bisa jatuh ke dalam perangkap legalisme jika mereka menjadikan keyakinan dan teologi mereka sebagai isu utama. Membenci orang yang tidak setuju dengan mereka mengenai doktrin-doktrin yang tidak penting adalah salah satu gejala legalisme. Memiliki beberapa orang Kristen yang legalistik tidak serta merta mengklasifikasikan sebuah gereja sebagai gereja mati. Masalah baru muncul ketika ajaran dan kebiasaan gereja menunjukkan ciri-ciri tersebut, misalnya ajaran-ajaran yang berpusat pada Perjanjian Lama dan hukum Taurat.

Gereja ekstrem lainnya adalah gereja antinomianisme yang tidak mementingkan moral, yang dijelaskan dalam Yudas 1:3-4. Orang-orang sedemikian merasa bahwa sebagai orang pilihan bukanlah masalah jika mereka menuruti setiap keinginan berdosa. Kitab Suci menentang pandangan ini. Anugerah Allah memaksa kita untuk menolak kefasikan (Titus 2:11-14). Kita bebas dari hukuman dosa, bukan dari dosa (Roma 6:14–18; Yohanes 8:34–36; Galatia 5:13). Kita tidak boleh hidup dalam dosa tetapi hidup untuk Tuhan (Roma 6:11). Perbuatan amoral merupakan hal yang sering terjadi di gereja yang sudah mati, yang tidak mengerti pentingnya moralitas Kristen, seperti yang terjadi di Korintus (1 Korintus 5:1).

Dalam ayat pembukaan di atas, Paulus menyatakan bahwa orang Kristen harus memuliakanlah Allah dengan tubuh mereka. Ini bertentangan dengan asumsi bahwa kehidupan umat Kristen yang mula-mula hanya duduk-duduk merenungkan firman Tuhan sepanjang waktu. Meskipun kita menyambut baik tuntutan untuk bermeditasi, belajar, dan tetap berada dalam hadirat Allah, kita juga menjumpai ajaran-ajaran Yesus, Petrus, Yakobus, dan Paulus, satu demi satu, yang mengantarkan kita menuju kehidupan nyata yang berdasarkan informasi Injil dan didorong oleh iman, dengan aktivitas yang bermakna. Berbakti kepada Tuhan adalah untuk secara aktif berbuat baik untuk sesama, demi kemuliaan Tuhan.

Sebagai contoh, mari kita perhatikan apa yang rasul Paulus katakan kepada rekan-rekannya yang masih muda, Timotius dan Titus. Orang kaya di zaman sekarang ini, tulisnya, tidak boleh berpuas diri pada kekayaannya tetapi “berbuat baik, menjadi kaya dalam perbuatan baik, murah hati dan mau berbagi” (1 Timotius 6:18). Dan Titus juga harus aktif: jangan hanya mengajar tetapi “tunjukkanlah dirimu dalam segala hal sebagai teladan dalam perbuatan baik” (Titus 2:7). Bukan sekadar menjadi teladan melalui apa yang tidak Anda lakukan, melainkan melalui perbuatan baik yang Anda lakukan.

Paulus mengharapkan perkataan yang baik dan perbuatan baik dari anak didiknya. Dan dia berharap semua orang Kristen tidak hanya bersedia berbuat baik tetapi juga “bersemangat untuk melakukan pekerjaan baik” (Titus 2:14). Ia ingin memastikan bahwa mereka yang mengaku beriman “berhati-hati dalam melakukan perbuatan baik” (Titus 3:8). Permasalahan yang dihadapi para guru palsu di Kreta adalah: “mereka mengaku mengenal Allah, namun mereka menyangkal Dia melalui perbuatan mereka. Mereka menjijikkan, tidak taat, dan tidak layak melakukan pekerjaan baik apa pun” (Titus 1:16). Sebaliknya, Paulus mengatakan, “Hendaklah umat kita belajar untuk mengabdikan diri mereka pada perbuatan baik, sehingga dapat membantu kasus-kasus yang sangat mendesak, dan jangan sampai tidak menghasilkan buah” (Titus 3:14).

Kesiapan untuk berbuat baik mungkin terdengar cukup mudah secara teori, namun dalam praktiknya hal ini merupakan sebuah panggilan yang sulit dilakukan di zaman kita. Kita lebih suka memakai tubuh kita untuk mencari apa yang kita inginkan, bukan apa yang Tuhan inginkan. Sebagai orang yang dibebaskan dati hukuman dosa kita mungkin merasa merdeka. Padahal, tubuh kita adalah anugerah yang berharga, diciptakan dan dipelihara oleh Tuhan, untuk memampukan kita hidup dan berbuat baik, demi kemuliaan-Nya, di dunia kita. Yesus bersabda, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Matius 5:16).

Tubuh kita bukan hanya “tidak dimaksudkan untuk melakukan percabulan,” seperti yang Paulus tulis dalam 1 Korintus 6:13, namun secara aktif-positif, tubuh kita “untuk Tuhan” – dan ditambah lagi, “Tuhan untuk tubuh.” Tuhan itu pro-tubuh, bagi tubuh, bukan anti-tubuh, tidak curiga terhadap tubuh. Dia memberikan tubuh manusia kepada Putranya sendiri — mengapa? Sebagai wadah untuk melakukan kehendak-Nya di dunia. Kitab Ibrani menempatkan kata-kata Mazmur 40 di bibir Yesus, yang berkata kepada Bapa-Nya, “Engkau telah menyediakan tubuh bagiku,” dan kemudian, “Sungguh, Aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang Aku untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku” (Ibrani 10: 5–7).

Jadi selama hidup di dunia kita mempunyai tubuh, yang dipersiapkan bagi kita oleh Bapa kita, untuk melaksanakan kehendak-Nya, untuk berbuat baik dengan tubuh kita, untuk menggunakannya untuk memajukan kerajaan dan kemuliaan Kristus dalam tindakan tubuh yang didorong oleh iman, dan perkataan yang memberi makna untuk tindakan kita. Kita tidak hanya mempunyai hal-hal negatif yang harus dihindari, namun ada hal positif yang harus kita kejar: “muliakanlah Allah dengan tubuhmu” (1 Korintus 6:20). Dengan demikian, gereja yang hidup tidak hanya wajib mengajarkan jemaat untuk menghindari hal-hal yang buruk, tetapi harus juga mengajarkan apa yang baik untuk dilakukan oleh jemaatnya. Gereja yang mati tidak mengajarkan jemaat untuk memerangi apa yang jahat dengan melakukan apa yang baik. Ini seperti orang yang mati.

Kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai korban yang hidup (Roma 12:1) — dan menjadikan anggota tubuh kita bukan sebagai alat dosa tetapi sebagai alat kebenaran (Roma 6:13). Apakah itu aktif atau pasif? Kita mengerahkan anggota tubuh dan otot kita untuk bergerak di dunia, kaki melangkah menuju kebutuhan, dalam panggilan kasih, tangan terulur untuk menolong orang lain.

Pertanyaannya bukanlah apakah kita umat Kristiani membutuhkan tubuh kita untuk melaksanakan panggilan yang diberikan Tuhan di dunia fisik ini, namun apakah kita siap menggunakannya karena setiap hari memberi kita peluang baru? Atau akankah kita membiarkan usia mengrogoti tubuh kita untuk memperlambat kita, membuat kita tetap diam, merasa hidup seperti beban dan bukannya aset dalam panggilan Kristus?

Apakah kita akan “menjadi serupa dengan dunia ini” dan membiarkan dunia ini memadamkan iman dan panggilan kita, atau akankah kita “diubah oleh pembaharuan pikiranmu” sehingga kita tidak hanya mampu “mencermati apa yang sebenarnya kehendak Allah” (Roma 12:2) namun juga siap dan mampu mempersembahkan tubuh kita dan melakukannya?

Di dalam Kristus, kita memiliki jawaban atas panggialn Tuhan. Salah satunya, seperti yang ditulis Paulus kepada anak-anak didiknya, kita ingin “siap sedia untuk setiap pekerjaan baik” (2 Timotius 2:21; Titus 3:1). Kita ingin siap bergerak dan menampilkan Tuhan di dunia-Nya. Siap dengan tangan dan lengan, dengan kaki dan tungkai, yang berdenyut dengan energi dan semangat, dan merasakan kehidupan, bukan kelelahan, dengan setiap gerakan. Siap dengan pikiran, hati, dan kemauan yang lebih memilih bergerak daripada bermalas-malasan, lebih memilih bangun dan pergi dan melakukan sesuatu daripada hanya mengutik-utik teologi, lebih memilih terjun bekerja untuk membantu orang lain, baik yang Kristen maupun yang non- Kristen.

Di dalam Kristus, dalam pelayanan kasih, kita ingin mendapatkan (dan menjaga) tubuh kita, dalam berbagai musim kehidupannya, dalam kondisi sederhana yang diperlukan untuk melayani panggilan Tuhan dalam hidup kita untuk mengasihi sesama. Kita ingin menjadi tipe orang yang ingin berbuat baik bagi orang lain, dan mempunyai kemampuan untuk melakukannya dengan senang hati, mengetahui bahwa kebaikan seperti itu sering kali memerlukan pengerahan tubuh kita dengan cara yang tidak nyaman, dan penuh pengurbanan, seperti seorang atlit yang berlomba. Tetapi itu adalah tanda adanya kehidupan, karena orang mati tidak dapat merasa pegal atau bisa menggerakkan tubuhnya. Apakah Anda benar-benar memiliki kehidupan dalam Kristus saat ini?

Tinggalkan komentar