Tugas kita adalah menginjil, bukan berdebat

“Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” 2 Timotius 2:2

Ada tulisan dari situs Reformed yang baru-baru ini saya baca tentang seorang Kristen baru, seorang mahasiswi yang sedang berkuliah di universitas. Mempelajari Alkitab merupakan hal baru baginya dan karena itu dia harus bergantung pada bimbingan dan petunjuk dari beberapa wanita yang “lebih tua” untuk membantunya memahami bagaimana dia harus menjalani kehidupan Kristen. Dia sangat ingin memahami firman Tuhan, dan penuh dengan pertanyaan untuk teman-teman dan pemimpin Kristen yang melayani kampusnya.

Tidak lama setelah beriman kepada Kristus, sang mahasiswi menyadari bahwa ada dua kelompok berbeda dalam pelayanan yang dia ikuti: mereka yang percaya pada penetapan mutlak dari Tuhan dan mereka yang tidak percaya akan hal itu. Kemudian dia menyadari bahwa nama yang lebih formal untuk kelompok-kelompok Kristen tersebut adalah Reformed dan Arminian.

Seorang teman mahasiswi itu yang dari kubu Reformed memberi tahu dia bahwa mereka telah menjuluki sudut pandang yang berlawanan sebagai “lelucon” dan bahkan “bidat”. Orang bodoh mana yang benar-benar percaya bahwa Alkitab tidak menjelaskan predestinasi dengan tegas? Sikapnya yang arogan dan mengejek, bersama dengan tanggapan sombong orang lain, benar-benar membuat mahasiswi itu tidak tertarik. Tiba-tiba dia lagi tidak tertarik mendengar bukti alkitabiah mereka. Kata-kata tajam mereka dengan cepat telah meruntuhkan sudut pandang mereka yang dulunya dia hormati. Dan sekarang, dia bahkan tidak tertarik untuk mempertimbangkan bahwa apa yang mereka katakan mungkin benar. Keselamatan bukan bergantung pada doktrin, tapi pada anugerah Tuhan.

Bahaya kesombongan teologis mengintai di balik banyak keyakinan kuat yang kita miliki dan perdebatan sengit yang sering kita lakukan — baik dalam pelajaran Alkitab, di media sosial, atau di gereja. Kita yang bersemangat mempelajari Alkitab dan memahami firman Tuhan, pasti akan membentuk keyakinan dalam bidang-bidang seperti predestinasi, peran pria dan wanita, karunia Roh, akhir zaman, dan berbagai topik lainnya.

Keyakinan adalah hal yang baik, selama kita menyampaikannya kepada orang lain dengan cara yang penuh kasih. Sebagai pengikut Reformed, saya sendiri setuju bahwa doktrin yang benar itu penting. Paulus menasihati kita untuk “mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar” (Filipi 2:12). Kita harus melaksanakan firman Tuhan dengan tekun dan hati-hati karena pegurbanan Yesus adalah sesuatu yang pernyataan kedaulatan Tuhan yang mahabesar. Yakobus memperingatkan kita bahwa tidak banyak dari kita yang boleh menjadi guru, karena kita akan dihakimi dengan lebih keras (Yakobus 3:1). Namun, sikap yang kita bawa saat kita menyatakan keyakinan kita, atau mengajarkannya kepada orang lain, memiliki kuasa untuk menarik orang lain kepada Injil, atau mengusir mereka dari hidup dalam kekudusan.

Di komunitas Reformed pada umumnya, saya melihat adanya kecenderungan untuk menunjukkan apa atau siapa yang harus kita lawan daripada mengajarkan dengan kasih apa yang kita dukung. Tampaknya banyak yang mengenakan sarung tinju mereka di dunia teologi dan ingin beradu pendapat tentang ajaran siapa yang harus kita tegaskan dan ajaran siapa yang harus kita buang. Saat ini, kita cepat-cepat melontarkan tuduhan “bidat.” Meskipun saya menyadari sebagai orang Kristen kita tidak boleh mendukung bidat, kita seharusnya tidak terburu-buru menuduh seseorang dengan sebutan yang berat itu hanya karena mereka tidak memiliki keyakinan yang sama tentang lima pokok Kalvinisme, atau apakah seorang wanita dapat bekerja sebagai pendeta atau tidak.

Ayat 2 Timotius 2:1–13 menyajikan serangkaian contoh manusia yang Paulus ingin Timotius pertimbangkan. Paulus memberi Timotius mandat yang jelas untuk membela kebenaran. Ini termasuk menegakkan Injil dengan akurat, dan menyampaikan pembelaan itu dengan cara yang lembut dan penuh kasih. Meskipun kebenaran penting, Paulus juga mencatat bahwa ada beberapa masalah yang hanya merupakan gangguan dan bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Ia menganggap semua yang kurang penting untuk dipersoalkan sebagai “omong kosong” , dan argumen tentangnya sebagai bentuk penyakit rohani. Seperti gangren, pertengkaran antar golongan Kirsten ini bisa terus menyebar hingga menjadi bencana bagi umat Kristen secara umum. Tujuan akhir penginjilan kita bukanlah untuk “memenangkan” argumen, tetapi untuk menyelamatkan orang-orang yang terhilang.

Ayat 2 Timotius 2:2 tentang pemuridan yang terkenal ini menawarkan strategi Paulus untuk meneruskan iman. Ia mulai dengan mengingatkan Timotius tentang pelajaran khusus yang Paulus berikan kepadanya. Paulus membagikan Kristus kepada Timotius dan melakukannya “di hadapan banyak saksi.” Pentingnya saksi-saksi lain bagi iman Timotius juga terbukti dalam 1 Timotius 6:12 ketika Paulus menulis: “Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikrar yang benar di depan banyak saksi.“.

Timotius harus mengajarkan pesan yang sama kepada orang lain yang mampu menyampaikan pengetahuan yang sama. Ini bukan referensi untuk penginjilan, karena lebih penting dari itu mereka harus menjadi “orang-orang yang setia,” atau orang-orang yang telah percaya kepada Kristus. Jika dilakukan dengan benar, orang-orang percaya yang terlatih ini akan “dapat mengajar orang lain juga.” Ini adalah cara utama penyebaran Injil: melalui hubungan dan pemuridan.

Saya khawatir, dalam hasrat kita untuk memurnikan gereja dengan doktrin yang benar, kita melupakan kasih yang Kristus memanggil kita untuk taat kepada firman-Nya dalam hidup kita. Cara kita menjalani hidup dan perkataan yang mengalir dari mulut kita memperlihatkan Injil kepada dunia yang sedang mengamati. Semua itu harus menunjukkan kasih kita kepada Tuhan dan sesama kita.

Saya bukan pendukung untuk menerima atau menoleransi ajaran yang jelas-jelas sesat. Kita harus bijak dan cerdas, mengambil keyakinan kita dari firman Tuhan itu sendiri. Kita harus mengevaluasi pelajaran Alkitab yang kita lakukan, buku-buku Kristen yang kita baca, dan guru serta pengkhotbah yang kita dengarkan. Segala sesuatu harus diukur berdasarkan kebenaran Firman Tuhan. Namun, hanya karena seseorang tidak memiliki keyakinan yang sama dengan saya, tidak berarti semua yang mereka katakan tidak berharga. Saya juga tidak dapat menghakimi mereka sebagai orang-orang yang tidak terpilih.

Saya harap kita akan menyelidiki hati kita sebelum berdebat dengan sesama orang Kristen atau memposting tanggapan yang menyakitkan di media sosial dengan seseorang yang tidak memiliki keyakinan yang sama tentang masalah teologis tertentu. Berbagi keyakinan kita dengan penuh semangat dengan semangat kasih, dan bukan nya mudah mengutuk, dapat menghasilkan pengaruh yang lebih besar daripada yang dapat kita bayangkan. Janganlah kita bersalah karena meninggalkan kasih yang pertama kali kita miliki, saat kita berusaha menyebarkan nama Tuhan ke seluruh bangsa.

Tinggalkan komentar