“Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Filipi 2:1-8

Sering ada orang yang berkata bahwa ia tidak punya waktu untuk mengerjakan apa yang bisa dikerjakan orang lain. Ini tentunya bukan jawaban yang tepat. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang mempunyai 24 jam sehari. Apa yang lebih tepat untuk dinyatakan adalah ia tidak dapat melakukan sesuatu hal karena ia lebih suka melakukan hal yang lain. Ini adalah soal prioritas dalam 24 jam.
Mengenai apa yang perlu kita prioritaskan selama hidup di dunia, urutannya menurut Alkitab dimulai dari Tuhan, suami/istri, anak-anak, orang tua, keluarga besar, saudara seiman, dan kemudian seluruh dunia. Meskipun terkadang keputusan harus dibuat untuk berfokus pada satu orang daripada yang lain, tujuannya adalah untuk tidak mengabaikan hubungan dengan yang lain. Keseimbangan menurut Alkitab adalah membiarkan Tuhan memberdayakan kita untuk memenuhi semua prioritas kita, di dalam dan di luar keluarga kita. Dalam bahasan kali ini, tiga proritas yang paling utama akan dijelaskan.
Fokus pertama kita seharusnya selalu pada Tuhan; pada rencana dan petunjuk-Nya, pada hal-hal surgawi. Hanya ketika kita menempatkan Tuhan di pusat dan fokus utama kehidupan kita, kita dapat merawat keluarga dan diri kita sendiri dengan sebaik-baiknya. Melalui ketaatan kepada Firman-Nya dan penyerahan kepada kehendak-Nya, kta akan dapat menjalani hidup kita dengan rasa tenteram. Karena itu, membangun hubungan dengan Kristus dan takut akan Tuhan harus menjadi prioritas utama kita dalam semua yang kita lakukan. Ini menjadi fondasi yang paling kuat bagi kehidupan kita.
“Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Kolose 3:2
Pada urutan kedua, kita berfokus pada pasangan hidup kita. Dalam hubungan yang dalam dan bersifat pribadi ini, mungkin mudah bagi kita untuk pad awalnya menempatkan pasangan kita di tempat yang paling tinggi. Apa yang mereka inginkan, dambakan, atau bahkan apa tidak mereka sukai sering kali menjadi prioritas pertimbangan kita. Namun, ada kalanya kita – cepat atau lambat – menempatkan orang lain (pekerjaan, orang tua, anak dan lain-lain) atau diri kita sendiri di atas kebutuhan pasangan kita.
Dalam Kitab Suci, pernikahan kita dibandingkan dengan Yesus dan gereja-Nya. Ini sulit diterima oleh banyak pasangan di zaman sekarang dan karena itu tidaklah mengherankan bahwa kasus perceraian makin banyak terjadi.
“Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” Efesus 5:24-25.
Jika Anda seorang istri, kata “tunduk” ini tidak berarti Anda adalah seorang hamba yang rendah dan lemah kedudukannya. Ketundukan dalam pernikahan adalah tanda kekuatan, rasa hormat, dan pengakuan bahwa Allah telah menetapkan suami sebagai kepala keluarga. “Ketundukan” ini berarti seorang istri adalah penolong sejati bagi suaminya. Amsal 31 adalah referensi yang luar biasa untuk ditelusuri lebih jauh.
‘Isteri yang cekap susah ditemukan. Dia lebih berharga daripada permata. Suaminya mempunyai keyakinan terhadap dia dan tidak akan kekurangan apa-apa. Seumur hidupnya, dia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat kepadanya.” Amsal 31:10-12
Di sisi lain, para suami dipanggil untuk mengasihi dan melindungi istri mereka. Tuhan bahkan memberi tahu kita dengan tepat bagaimana kita harus saling mengasihi di seluruh Kitab Suci. Dalam 1 Korintus kita belajar bahwa kasih itu sabar dan murah hati, tidak menghina, dan tidak egois atau sombong. Para suami tidak boleh membuat mereka merasa bersalah, merendahkan atau mempermalukan mereka. Kita melihat contoh kasih yang paling murni dalam Yesus yang mengorbankan dirinya untuk Gereja, contoh yang luar biasa dan kuat dari hubungan pernikahan.
“Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.” Efesus 5:25-28
Seorang suami harus menjadi pengasuh istrinya, sahabatnya, dan pelindungnya. Seorang istri seharusnya menjadi penolong dan orang kepercayaan suaminya. Dia dipanggil untuk menghormati dan menghargai kedudukannya sebagai pelindung dan kepala keluarga. Menjadi istri yang tunduk dan suami yang penuh kasih adalah tentang hubungan yang seimbang di mana masing-masing pihak memahami peran yang telah Tuhan berikan kepada mereka. Hubungan pernikahan harus selalu menghormati kedua belah pihak. Itu bukan pembagian 50/50; itu adalah kontribusi 100/100 di kedua belah pihak.
Hubungan pernikahan yang kokoh ditemukan ketika prioritas pertama adalah Tuhan, dan hubungan tersebut dibangun di atas fondasi-Nya. Ketika kita memiliki fondasi Kristus yang kokoh dan berjuang untuk pernikahan yang sehat dan berdasarkan Alkitab, kita akan lebih siap untuk hubungan yang sehat dengan anak-anak kita. Ajari anak-anak untuk mengerti bahwa hubungan antara ibu dan bapa mereka adalah sangat penting untuk dapat menunjang usaha untuk membesarkan mereka, sehingga ketika mereka sudah menjadi orang tua, mereka tidak akan menyimpang dari prinsip ini.
Pasangan Anda adalah orang yang akan menghabiskan sisa hidup Anda bersama Anda. Ini adalah janji sehidup semati yang Anda ucapkan pada saat pernikahan. Pasangan Anda akan tetap ada bahkan setelah anak-anak Anda meninggalkan rumah untuk menjalani hidup mereka sendiri. Walaupun demikian, anak-anak Anda juga penting dan Anda perlu mengasuh mereka, mencintai mereka, bermain, berdoa, tertawa, dan tumbuh bersama mereka. Ingatlah bahwa mereka tidak meminta untuk dilahirkan, tetapi mereka ada karena keputusan yang diambil orang tua mereka. Karena itu, anak-anak ada dalm prioritas ketiga.
Apakah kita mengajar dan melatih anak-anak kita? Kualitas karakter atau perilaku apa yang kita inginkan agar anak-anak kita kembangkan? Ini adalah tanggung jawab bersama yang dimiliki oleh ayah dan ibu, tanggung jawab yang besar dan menyita banyak waktu dan pengurbanan secara jasmani dan rohani.
“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Efesus 6:4
“Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu.” Amsal 29:17
“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Amsal 22:6
Adanya anak seharusnya memperkuat hubungan antara suami dan istri karena adanya tujuan bersama. Tetapi, mungkin saja terjadi bahwa hubungan suami istri menjadi renggang ketika mereka sudah mempunyai anak. Ini mungkin saja terjadi karena tanggung jawab untuk membesarkan anak yang dirasa sangat besar, lebih besar dari tanggung jawab untuk mengasihi dan membahagiakan pasangan mereka. Hal ini merupakan sesuatu yang berbahaya dan akan membuat hubungan suami-stri menjadi kacau, terutama jika di hari tua mereka masih merasa bertanggung jawab untuk membesarkan cucu-cucu mereka.
Pagi ini kita belajar bahwa sebagai orang Kristen kita haris menggunakan waktu dan usaha kita dengan bijaksana. Prioritas yang kacau atau kabur membuat kita tertekan karena timbulnya rasa bersalah yang timbul dalam hati kita, atau karena munculnya perpecahan dalam kesatuan keluarga. Mementukan prioritas hidup adalah sangat penting agar kita dapat hidup dengan damai dan bahagia dalam berkat Tuhan.