“Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu. 2 Timotius 2:15

Dapatkah kita menjadi layak di hadapan Allah? Bagi sebagian orang Kristen, menjadi “worthy” di hadapan Tuhan yang mahabesar, mahakuasa dan mahasuci adalah suatu kemustahilan. Bagaimana kita, manusia yang berdosa, bisa dipandang layak oleh Tuhan? Layak dalam hal apa? Itu adalah kesombongan, begitu kata mereka. Tetapi dalam hal ini, mereka lupa apa yang terjadi pada anak yang hilang ketika ia pulang kerumah bapanya:
“Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita.” Lukas 15:21-23
Orang Kristen adalah seperti anak yang hilang yang sadar bahwa sebenarnya mereka tidak layak untuk diterima sebagai anak-anak Allah karena dosa mereka. Tetapi, karena kemurahan Allah Bapa semata-mata, mereka sudah dilayakkan; dan karena itu boleh merasa layak dan bahkan harus berusaha untuk hidup dan bekerja sebagai anak yang sama haknya dengan anak yang sulung. Orang Kristen tidak boleh merasa bahwa makin lama ia adalah orang yang makin tidak layak di hadapan Tuhan, tetapi harus berusaha untuk makin lama makin taat kepada perintah Bapa.
Ayat-ayat dari 2 Timotius 2:14–26 berisi instruksi Paulus kepada Timotius tentang memimpin orang percaya lainnya. Dua tema penting di sini adalah menghindari pertengkaran yang tidak ada gunanya dan berpegang pada ajaran Alkitab yang benar. Perdebatan tentang masalah yang tidak penting dengan cepat berubah menjadi perseteruan, meracuni tubuh Kristus seperti gangren menyerang tubuh fisik. Paulus menyebutkan guru-guru palsu tertentu, tetapi menyampaikan nada belas kasihan. Di sini, ia mengingatkan Timotius bahwa kelembutan dan kesabaran adalah kuncinya. Bagaimanapun, mereka yang tidak percaya bukanlah musuh kita: mereka adalah orang-orang yang sedang kita coba selamatkan dari kendali Iblis!
Paulus memberi Timotius mandat yang jelas untuk membela kebenaran. Ini termasuk menegakkan Injil dengan akurat, dan menyampaikan pembelaan itu dengan cara yang lembut dan penuh kasih. Meskipun kebenaran itu penting, Paulus juga mencatat bahwa ada beberapa masalah yang hanya merupakan gangguan. Ia menganggap “omong kosong” dan perdebatan tentang hal itu sebagai bentuk penyakit rohani. Seperti gangren, pertengkaran ini hanya menyebar dan menyebar hingga menjadi bencana besar. Tujuan akhir dari penginjilan kita bukanlah untuk “memenangkan” sebuah perdebatan, tetapi untuk menyelamatkan orang-orang yang terhilang. Ini seringkali memang terjadi di kalangan umat Reformed di mana, karena perasaan bahwa teologi kita sangat sistematik dan sempurna, kita merasa senang dan bahkan ingin berdebat dengan golongan lain.
Setelah mengomentari tentang guru-guru palsu di ayat sebelumnya, Paulus mendesak Timotius untuk memandang dirinya sebagai seorang pekerja yang berusaha menyenangkan Tuhan, bukan untuk mencari kepuasan diri atau golongan sendiri. Setiap pekerja atau hamba harus berhasrat untuk memenuhi harapan atasannya. Timotius harus memandang pekerjaannya bagi Tuhan dengan cara yang sama. Ia tidak melayani untuk menyenangkan orang lain, tetapi untuk menyenangkan Tuhan. Paulus tahu betul banyak cara dunia dapat mengalihkan fokus orang Kristen. Kekuatan-kekuatan duniawi ini akan berusaha menarik perhatian Timotius untuk membuat orang lain atau diri sendiri bangga dan bahagia, daripada memandang Tuhan sebagai pribadi yang harus disenangkan.
Tantangan Timotius bukan hanya untuk disetujui, tetapi untuk menjadi seorang pekerja “yang tidak perlu malu.” Paulus telah berbicara tentang tidak malu pada tiga kesempatan di pasal sebelumnya (2 Timotius 1:8, 12, 16). Selama masa-masa penderitaan, Paulus merasa perlu untuk menekankan keberanian dalam iman kepada mereka yang tergoda untuk menghindari kesulitan dan penganiayaan. Keberaniannya juga melibatkan “menangani firman kebenaran dengan benar.” Berbeda dengan guru-guru palsu yang berdebat tentang perkataan, Timotius telah mempelajari Kitab Suci sejak masa mudanya dan harus menanganinya dengan tepat.
Perbedaan yang disajikan di sini penting. Dalam ayat sebelumnya, Paulus mengutuk pertengkaran yang tidak ada gunanya. Di sini, ia memuji pembelajaran yang lebih mendalam. Menggabungkan kedua gagasan ini memberi kita gambaran yang akurat tentang seperti apa seharusnya kebijaksanaan Kristen. Ada beberapa masalah yang melibatkan “kebenaran” pesan Injil, dan yang lainnya tidak. Kita perlu belajar dengan tekun, tidak hanya untuk mempertahankan iman, tetapi juga untuk mengetahui perbedaan antara sesuatu yang layak diperdebatkan, dan sesuatu yang hanya merupakan argumen yang mengganggu.
Hari ini kita belajar bahwa seorang pekerja yang layak adalah orang yang tidak ragu-ragu dalam melaksanakan perintah tuannya. Ia akan berusaha keras untuk menghasilkan apa yang baik untuk tuannya. Seorang pekerja yang baik tidak membuang waktu dengan melakukan yang kurang berguna. Seorang pekerja yang baik tidak hidup secara sembarangan sehingga mempermalukan tuannya, tetapi akan berusaha keras untuk nama tuannya dikenal dan disegani oleh orang lain. Segala apa yang dikerjakannya adalah sesuai dengan apa yang diperintahkan tuannya, tidak bisa lebih dan bisa tidak kurang. Seorang pekerja yang baik tetap akan rendah hati sekalipun ia berhasil melaksanakan tugasnya karena semua itu dimungkinkan oleh bimbingan dan kesempatan yang diberikan tuannya.
“Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” Lukas 17:10