“Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.”Filipi 2:12-13

Ada beberapa hal dalam teologi kita yang kita ketahui. Kita mengetahui satu kebenaran dan kita mengetahui kebenaran lain dan kita memahami bahwa kebenaran-kebenaran ini hidup berdampingan, meskipun kebenaran-kebenaran itu agak misterius bagi kita. Kita tidak sepenuhnya memahami bagaimana kedua kebenaran ini bekerja sama dalam setiap hal, tetapi mengenali aspek yang misterius tidak serta-merta berarti bahwa hal itu merupakan kontradiksi. Apakah kontrdiksi yang diperdebatkan di kalangan umat Kristen?
Tuhan memberi tahu kita dengan jelas bahwa Dia berdaulat, dan Dia juga memberi tahu kita bahwa kita memiliki tanggung jawab. Kita harus memastikan bahwa kita memenuhi syarat hal-hal tersebut sebagaimana Tuhan memenuhi syarat bagi kita. Kita harus memahami bahwa Tuhan berdaulat atas segalanya. Dia mengatur segala sesuatu. Dia telah menetapkan sebelumnya semua hal yang akan terjadi. Namun, Dia juga memberi tahu kita bahwa Dia bukanlah pencipta atau penyetuju dosa. Tuhan mahakuasa atas segalanya dan berdaulat atas segalanya, tetapi Tuhan tidak mencobai kita (membuat kita jatuh).
Kita harus memahami sejak awal bahwa kedaulatan Tuhan dan tanggung jawab manusia bukanlah kontradiksi yang nyata. Keduanya tidak saling bertentangan. Saya bahkan tidak akan mengatakan bahwa keduanya saling bertentangan, karena Tuhan menetapkan tujuan dari segala sesuatu dan juga cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dia menetapkan doa. Dia menetapkan penginjilan. Dia menetapkan pekerjaan kita, perbuatan kita, apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan, apa yang kita percayai, dan tujuan dari semua hal tersebut. Dia menetapkan keduanya. Itu bukanlah kontradiksi. Semua hal ini bekerja bersama sesuai dengan rencana Tuhan yang sempurna untuk kemuliaan-Nya dan sesuai dengan kehendak baik-Nya.
Beberapa orang mungkin berkata, “Kedengarannya terlalu sederhana.” Sejujurnya, Tuhan membuatnya sesederhana itu. Itu tidak rumit, tetapi selama bertahun-tahun saya harus memahami gagasan bahwa kedaulatan Tuhan dan tanggung jawab manusia menciptakan kontradiksi atau pertentangan yang nyata dalam Kitab Suci. Namun, saya tidak percaya bahwa begitulah cara Tuhan memberikannya kepada kita. Dia berdaulat. Kita bertanggung jawab. Dia pada akhirnya berdaulat atas segala sesuatu. Kita pada akhirnya bertanggung jawab atas apa yang Dia panggil untuk kita pertanggungjawabkan. Lalu, dapatkah manusia bertanggung jawab kepada Tuhan? Jika ya, sampai taraf apa?
Paulus berkata dalam Filipi, “kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Filipi 2:12–13). Jelas, ada sesuatu yang disebut “kedaulatan ilahi” dan ada sesuatu yang disebut “kebebasan bertindak manusia.” Kita bukanlah robot. Kita bukanlah boneka. Kita adalah makhluk yang bertanggung jawab yang membuat pilihan moral. Kita tidak memiliki kehendak bebas dalam artian bahwa kita dapat memilih semua kebaikan yang ada di luar sana. Secara alami, kita benar-benar bejat, tetapi kita memiliki kebebasan bertindak yang menjadi tanggung jawab moral kita.
Ketika kita berbicara tentang kedaulatan Allah dan kebebasan bertindak manusia, kita tidak berbicara tentang hal yang sama. Kedaulatan Allah yang mahakuasa berbeda dengan pilihan kebebasan bertindak yang dibuat manusia. Kedaulatan itu tidak menyatukan dua hal yang setara. Akan tetapi, penting bagi teologi Reformed untuk menekankan kebebasan bertindak dan tanggung jawab moral sehingga kita bertanggung jawab atas pengudusan, atas pertumbuhan dan kemajuan dalam kehidupan Kristen, dan menerima tawaran Injil secara cuma-cuma, tetapi kita tidak dapat melakukannya tanpa anugerah Allah yang berdaulat dan mendahului di dalam diri kita.
Di gereja, ada orang-orang dari berbagai latar belakang. Ada sejumlah orang Kristen baru dan banyak orang yang baru pertama kali mengenal teologi Reformed. Salah satu hal yang saya perhatikan selama bertahun-tahun adalah bahwa ketika pria dan wanita, muda dan tua, mulai memahami kedaulatan Allah, terkadang mereka terjebak. Ini sering terjadi setelah mereka banyak mengalami jatuh-bangun dalam hidup. Mereka merasa tak berdaya.
Hal itu terjadi seperti ini: mereka memahami bahwa pada akhirnya Allah adalah Yang Maha Mengatur segala sesuatu. Ia mengizinkan, tetapi Ia mengizinkan “bukan dengan izin semata” sebagaimana dinyatakan dalam Pengakuan Iman Westminster. Allah bekerja di dalam dan mengatur melalui berbagai sebab, tetapi terkadang orang mengembangkan teologi yang buruk di mana mereka seolah-olah menyalahkan Allah atas dosa mereka sendiri. Kita dapat jatuh ke dalam perangkap itu, dan itulah perangkap iblis bagi kita. Kadang-kadang kita dapat berpikir bahwa Tuhan bertanggung jawab atas dosa kita dan bahwa Dialah yang harus disalahkan untuk itu.
Kita harus memahami dengan sangat jelas bahwa Tuhan tidak menyetujui dosa kita. Apakah Tuhan secara berdaulat, dengan cara yang misterius, mengizinkan kita untuk berbuat dosa (meskipun tidak dengan izin semata)? Tentu saja. Itu tidak berarti Dia adalah pembuat atau pembenaran dosa. Kita tidak dapat menyalahkan-Nya atas dosa-dosa kita karena kelalaian atau kesalahan, apa yang kita lakukan atau apa yang tidak kita lakukan. Saya tahu itu terdengar jelas, tetapi itu adalah perangkap yang banyak orang jatuh ke dalamnya, terutama ketika mereka baru mengenal teologi Reformed. Walaupun demikian, sebagian orang yang sudah lama mengikuti ajaran Reformed masih saja berpandangan seperti itu.
Saya pikir sejumlah orang Reformed bersalah karena mengambil satu prinsip teologis dan secara logis memaksakan segala sesuatu yang lain untuk menyesuaikan diri dengan satu prinsip teologis itu. Misalnya, menurut mereka, jika kita secara manusiawi bertanggung jawab atas keselamatan kita, maka itu pasti membatasi kedaulatan Tuhan. Itu hanya argumen yang logis; bukan argumen alkitabiah. Dalam hal ini, teologi Reformed telah mencoba mengambil semua unsur wahyu ilahi untuk melihat bagaimana mereka saling terkait dan membentuk sebuah sistem, tetapi justru dengan cara yang memungkinkan setiap unsur sistem memiliki integritas dan kebenarannya sendiri daripada didorong oleh semacam logika.
Paulus dalam Efesus 2 berbicara tentang bagaimana kita akan dihakimi berdasarkan perbuatan seperti yang dibicarakan di akhir Mazmur 62. Kita diciptakan oleh Tuhan untuk melakukan perbuatan baik, dan perbuatan baik adalah bukti bahwa Tuhan telah berdaulat bekerja di dalam kita. Lebih jauh, Tuhan dapat menggunakan perbuatan-perbuatan itu sebagai bukti untuk menunjukkan bahwa Dia telah bekerja di dalam kita. Hal-hal itu dapat dipertentangkan satu sama lain, dan beberapa teologi Reformed ekstrem akan mempertentangkannya satu sama lain. Namun, kaum Reformed sejati mencoba memberikan setiap unsur wahyu alkitabiah bobot dan haknya yang tepat. Bagaimana pula dengan pandangan Anda?
Ini adalah transkrip jawaban Derek Thomas, Burk Parsons, dan W. Robert Godfrey yang diberikan selama Konferensi If the Foundations Are Destroyed: Escondido 2022 dan telah disunting secara singkat agar mudah dibaca.