Bagaimana kebajikan kita harus melebihi orang Farisi

“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Matius 5:20

Ungkapan “seperi orang Farisi” sering dipakai oleh orang Kristen dan orang yang bukan Kristen untuk menuduh orang lain yang sok alim, sok benar, tetapi yang hidupnya jauh dari kebenaran. Orang Farisi memang – pada waktu Yesus masih di bumi – di kenal sebagai guru agama yang mengharuskan orang Israel untuk menaati hukum Taurat dengan menambahkan berbagai peraturan yang sangat membebani, tetapi membuka kesempatan untuk sebagian orang agar bisa melanggarnya dengan cara-cara tertentu.

Dalam Roma 7, sebagai orang Farisi yang sudah menerima hidup baru, Paulus menggambarkan dirinya sebagai seorang Kristen yang jujur tentang pergumulannya yang terus-menerus dengan dosa. Seperti Paulus, meskipun sebagai orang Kristen kita telah dibebaskan dari kuasa dosa, kita terus hidup di bawah pengaruhnya yang kuat. Terkadang kita mungkin merasa persis seperti yang dijelaskan Paulus. Kita terus melakukan apa yang kita benci—kita berdosa—bahkan ketika kita bermaksud melakukan apa yang benar. Bukan berarti kita masih menjadi budak dosa, tetapi kita terbagi oleh keinginan kita sendiri yang saling bersaing. Karena itu, kita cenderung memakai berbagai alasan untuk menghindari ketaatan kepada firman Tuhan. Jadi bagaimana kita bisa menjadi umat Kristen yang baik tanpa menjadi seperti orang Farisi?

“Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” Roma 7:21-25

Mungkin Anda bertanya apa guna ketaatan kita kepada hukum dan firman Tuhan. Yesus telah tegas dan jelas tentang suatu hal yang mungkin sulit dipahami: Ia datang bukan untuk menghapuskan hukum Musa, tetapi untuk menggenapinya. Hukum itu tidak akan berlalu sampai semuanya telah digenapi. Mereka yang mendengar pesan Yesus tidak boleh bersikap lunak terhadap diri mereka sendiri atau murid-murid mereka dalam hal menaati perintah-perintah hukum. Mereka yang menaati hukum akan disebut besar di kerajaan surga; mereka yang tidak menaatinya dengan saksama akan disebut yang paling rendah. Ini tidak berarti bahwa perbuatan baik akan mendatangkan keselamatan, tetapi ini menunjukkan poin penting tentang maksud Allah dalam pesan-pesan sebelumnya (Matius 5:17–19).

Kemudian Yesus menuntut suatu standar yang kedengarannya mustahil bagi para pendengar-Nya—persis seperti yang seharusnya. Ahli Taurat adalah ahli Kitab Suci yang “profesional”. Orang Farisi adalah sekte yang terkenal karena sangat taat menaati hukum Musa. Orang Farisi sangat ketat terhadap murid-murid mereka dan terhadap orang-orang yang pergi ke sinagoge tentang apa yang diperlukan untuk menaati hukum agar menjadi orang benar. Mereka begitu taat, bahkan mereka menambahkan lapisan-lapisan detail, aturan, dan peraturan di atas hukum sehingga mereka tidak akan pernah melanggarnya. Pelaksanaan Hukum Taurat dengan demikian menjadi syarat untuk mendapat keselamatan.

Apakah hukum Taurat dengan demikian adalah sesuatu yang buruk, yang tidak berlaku untuk kita setelah Yesus datang ke dunia? Tidal! Paulus jelas menegaskan bahwa ia suka hukum Turat yang membawa kesadaran bahwa ia adalah orang berdosa yang tidak dapat memenuhi syarat kebajikan yang dituntut Allah. Walaupun demikian, ia sadar bahwa karena tidak dapat memenuhi syarat kebajikan Tuhan, umat manusia membutuhkan penebusan darah Kristus.

Yesus mengemukakan dua poin yang berbeda di sini. Matius telah menunjukkan bahwa kebenaran para ahli Taurat dan orang Farisi adalah palsu. Yohanes Pembaptis menyebut mereka sebagai “keturunan ular beludak” yang membutuhkan pertobatan yang benar-benar akan “menghasilkan buah” alih-alih hanya terlihat baik di mata orang lain (Matius 3:7–8). Yesus juga akan berselisih dengan orang Farisi mengenai cara mereka bekerja keras untuk penampilan luar sementara dosa merusak hati mereka. Seperti yang akan Yesus tekankan dalam sisa khotbah ini, Tuhan jauh lebih peduli tentang apa yang ada di dalam hati seseorang daripada bagaimana orang lain memandangnya. Tuhan lebih menghargai kemurnian sejati yang dimotivasi oleh kasih sejati daripada kepatuhan terhadap aturan teknis yang dimotivasi oleh kesombongan rohani. Jadi, “kebenaran” sejati adalah sesuatu yang lebih baik daripada versi busuk yang diarak-arakan oleh orang-orang munafik religius.

Matius 5:17–20 mengemukakan poin penting tentang hakikat dosa. Untuk melakukannya, Yesus pertama-tama menyatakan bahwa standar kebenaran surga berada di luar kemampuan manusia. Tujuan-Nya bukanlah untuk membuang hukum Musa, tetapi untuk mencapai tujuan pemberian hukum tersebut. Landasan ajaran Yesus adalah bahwa manusia tidak dapat memperoleh keselamatan, karena kita tidak dapat berharap untuk menjadi cukup baik. Untuk memperoleh kerajaan surga, seseorang harus lebih saleh daripada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi—standar utama budaya itu untuk ”perilaku baik.” Dalam bagian-bagian selanjutnya, Kristus akan menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana dosa tidak hanya melibatkan apa yang kita lakukan, secara fisik, tetapi juga pikiran dan motivasi kita.

Poin lain yang dikemukakan, yang didukung oleh ajaran gereja saat ini, adalah bahwa tidak seorang pun dapat benar-benar, benar-benar benar. Tidak seorang pun dapat menjalani kehidupan yang murni secara moral yang layak untuk surga. Seperti yang akan ditulis Paulus dalam Roma 3:23, “karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Namun, ia akan menambahkan, dalam ayat berikut apa yang akan dipahami oleh para pendengar Yesus nanti, bahwa mereka yang beriman kepada Kristus “dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.s” (Roma 3:24). Yesus pada waktu itu sedang mempersiapkan para pendengar-Nya untuk memahami bahwa mereka membutuhkan kebenaran yang hanya Dia yang dapat memberikan kepada kita. Sekarang, kita yang sudah disadarkan, harus benar-benar beriman kepada Kristus dan senantiasa berusaha untuk mengasihi Dia dan sesama kita. Bagaimana dengan respon Anda?

Tinggalkan komentar