“Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan.” Ibrani 12:14

Membaca ayat di atas, mungkin ada pertanyaan mengenai bagaimana kita bisa mengejar kekudusan untuk bisa melihat Tuhan. Bagaimana kita bisa hidup damai dengan semua orang jika ada banyak orang-orang yang membenci kita atau hal-hal yang sering membuat kita marah? Apakah kita dengan demikian tetap harus berusaha keras menjadi orang yang kudus selama hidup di dunia atau haruskan kita berserah sepenuhnya kepada pertolongan Tuhan? Keduanya perlu.
Dalam kitab Kejadian tertulis bahwa setelah Allah menjadikan semua makhluk lainnya, Dia menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, dengan jiwa yang berbudi dan tak dapat mati. Mereka diperlengkapi manusia dengan pengetahuan, kebenaran dan kekudusan sejati, menurut gambar-Nya sendiri, dengan isi hukum Allah tertulis dalam hati mereka dan dengan kemampuan memenuhinya. Namun, manusia dalam kebebasannya harus melaksanakan hukum itu dengan keputusan mereka yang dapat berubah-ubah. Di samping hukum ini, yang tertulis dalam hati mereka, manusia diperintahkan untuk tidak makan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Selama dengan mematuhi perintah itu, mereka berbahagia oleh persekutuan dengan Allah, dan mereka bisa sepenuhnya berkuasa atas segala makhluk.
Sayang sekali, Adam dan Hawa terbujuk oleh kelicikan dan godaan iblis, dan berdosa dengan memakan buah yang terlarang. Allah berkenan, menurut rencana- Nya yang hikmat dan kudus, membiarkan dosa mereka itu terjadi. Oleh karena Adam dan Hawa adalah cikal bakal seluruh umat manusia maka kesalahan mereka yang disebabkan oleh dosa ini dianggap sebagai kesalahan seluruh keturunannya, dan kematian dalam dosa dan kodrat yang rusak itu diteruskan kepada setiap orang. Kerusakan semula ini membuat kita sama sekali kehilangan kemampuan dan kekuatan kita untuk melawan kejahatan, dan justru dengan senang hati melakukan apa saja yang jahat. Kita mudah membenci orang lain dan mudah marah kepada mereka yang memperlakukan kita dengan sewenang-wenang.
Sesudah Yesus datang ke dunia, dalam diri mereka yang dipanggil dan dilahirkan kembali, diciptakan hati baru dan roh baru, secara perseorangan,oleh kekuatan kematian dan kebangkitan Kristus, melalui Firman dan Roh-Nya yang diam dalam diri mereka. Kuasa dosa dihancurkan dan berbagai hawa nafsunya makin hari makin dilenyapkan. Mereka makin hari makin dihidupkan dan diperkuat dalam semua anugerah-yang-menyelamatkan, menuju ke praktik kekudusan yang sejati, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan. Ini bukan berarti bahwa mereka bisa menjadi orang kudus sepenuhnya selama hidup di dunia. Ini bukan berarti bahwa kita dengan mudah bisa hidup berdamai dengan semua orang.
Selama hidup, kerusakan kodrat itu tetap ada dalam diri mereka yang telah dilahirkan kembali. Meskipun kerusakan itu telah diampuni dan dimatikan melalui Kristus, kerusakan itu sendiri dan semua gerak geriknya sungguh-sungguh merupakan dosa dalam arti yang sebenarnya. Pengudusan itu bersifat menyeluruh dan menyangkut manusia seutuhnya, namun tidak sempurna dalam hidup ini, sebab di semua bagiannya masih tinggal beberapa sisa kerusakan. Dari situlah lahirlah peperangan rohani yang terus menerus dan yang tidak dapat diakhiri dengan penyerahan, sebab keinginan daging berlawanan dengan Roh, dan keinginan Roh berlawanan dengan daging.
Dalam peperangan rohani ini, kerusakan batin yang masih tinggal dapat saja untuk sementara waktu berada di atas angin. Namun, karena Roh Kristus yang menguduskan terus- menerus menyediakan kekuatan baru maka bagian yang telah dilahirkan kembali akhirnya menang. Dengan demikian “orang-orang kudus” (orang-orang yang dikuduskan-Nya) bertumbuh dalam kasih karunia dan menyempurnakan kekudusannya dalam takut akan Allah. Mereka kemudian dapat hidup dalam damai dengan orang lain jika mereka mau taat kepada firman-Nya karena sadar bahwa Allah sudah berdamai dengan mereka melalui pengurbanan Yesus. Mereka yang dengan memakai dalih kebebasan Kristen mengumbar kemarahan dan hawa nafsunya, dengan demikian merusak tujuan kebebasan Kristen, yaitu bahwa kita, setelah dilepaskan dari tangan iblis. Pada pihak lain, dalam Alkitab kita bisa menemukan banyak orang-orang yang mengabdi kepada Tuhan dalam kekudusan dan kebenaran di hadapan-Nya di sepanjang hidup mereka dan dengan demikian bisa hidup berdamai dengan orang lain.
Ibrani 12:3-17 dibangun dari deskripsi para pahlawan iman, yang berpuncak pada Yesus Kristus. Mereka yang datang sebelumnya dikasihi oleh Allah dan dihormati oleh Allah, namun mereka menderita kesulitan di dunia ini. Dalam bagian ini, penulis menjelaskan bahwa berbagai penderitaan sering kali merupakan cara Tuhan untuk membangun dan melatih kita, bukan berarti tanda ketidaksenangan-Nya. Orang Kristen yang menanggapi pencobaan dengan mencari Tuhan, dalam iman, dapat terhindar dari nasib orang-orang yang kurang setia, seperti Kain yang dalam kebenciannya membunuh saudaranya, Habel.
Perintah umum yang diberikan dalam Perjanjian Baru adalah agar orang Kristen mencari perdamaian antara diri mereka sendiri dan orang lain (Roma 12:18; 2 Korintus 13:11; 1 Tesalonika 5:13). Bahkan, kemampuan untuk “bergaul” ini terkait erat dengan kedewasaan rohani kita (Yakobus 3:17; 1 Timotius 3:3; Galatia 5:22). Hal ini khususnya penting dalam hal hubungan antara orang Kristen lainnya. Kasih sayang yang saling melengkapi tidak hanya membangun gereja, tetapi juga merupakan tanda utama bagi dunia bahwa kita adalah murid Kristus (Yohanes 13:35; 1 Yohanes 3:14; 4:21).
Bersamaan dengan kedamaian bersama, Paulus mendorong kehidupan yang kudus. Sekali lagi, ini adalah tema umum ajaran Perjanjian Baru. Orang Kristen diberdayakan oleh Roh Kudus untuk menjalani kehidupan yang saleh, benar, dan bermoral (2 Timotius 1:7). Dosa selalu merupakan hasil dari penolakan terhadap kuasa itu, dalam beberapa hal (1 Korintus 10:13). Mereka yang terus-menerus berbuat dosa membuktikan bahwa mereka tidak memiliki pengaruh Roh Kudus dalam hidup mereka (1 Yohanes 1:6).
Pada saat yang sama, ayat ini tidak berarti bahwa kita dimaksudkan untuk diselamatkan berdasarkan “perilaku baik” kita. Mustahil bagi orang berdosa yang tidak sempurna dan tidak kudus untuk berdiri di hadapan Allah (Yesaya 6:5) karena kita harus benar-benar benar untuk berada di hadirat-Nya (Keluaran 33:19–20). Namun, kemampuan untuk berdiri di hadirat Allah itulah yang kita peroleh dari pekerjaan Kristus yang telah selesai bagi kita (Ibrani 9:11-12; 1 Yohanes 3:2). Kekudusan yang kita butuhkan untuk “melihat Tuhan” datang dari Kristus, melalui kasih karunia-Nya, dan melalui iman kita kepada-Nya (2 Korintus 5:21; 1 Petrus 3:18). Berusaha keras untuk hidup sesuai dengan standar itu seharusnya menjadi keinginan alami setiap orang percaya yang telah diselamatkan (Yohanes 14:15). Bersamaan dengan itu, kita harus mempunyai iman bahwa hanyalah Tuhan yang memungkinkan kita untuk bisa menjadi umat-Nya yang taat.