“Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” 1 Tesalonika 5: 16-18

Pernahkah Anda menggunakan AI (Artificial Intellegence) atau Kecerdasan Buatan dalam pekerjaan Anda? Kecerdasan buatan adalah teknologi yang memiliki kemampuan pemecahan masalah layaknya seperti manusia. AI dalam tindakannya tampak seperti meniru kecerdasan manusia—teknologi ini dapat mengenali gambar, menulis puisi, dan membuat prediksi berbasis data yang ada sekalipun dalam batas-batas tertentu.
Saya baru-baru ini mencoba kemampuan AI untuk menjawab pertanyaan penting: Apa yang harus kita lakukan untuk hidup bahagia? Di luar dugaan saya, AI memberi beberapa cara yang nampaknya masuk akal untuk tetap optimis selama masa-masa sulit:
- Berlatihlah bersyukur: Mengekspresikan rasa syukur secara teratur dapat membantu Anda menjadi lebih optimis dan tangguh.
- Tantang pikiran negatif: Daripada terus-menerus memikirkan hal-hal negatif, cobalah untuk mengubahnya menjadi pikiran positif.
- Fokus pada hal-hal positif: Carilah hal-hal baik dalam berbagai hal, rayakan pencapaian Anda, dan ubahlah pikiran negatif.
- Luangkan waktu dengan orang-orang yang positif: Orang-orang yang positif dapat membantu Anda melihat sisi positif kehidupan dan menginspirasi Anda untuk mencapai tujuan Anda.
- Berlatihlah untuk tetap sadar: Kesadaran melibatkan pemusatan perhatian pada saat ini tanpa mencari kesalahan. Ini dapat membantu Anda menghadapi kejadian yang tidak menyenangkan dan berdamai dengannya.
- Tetapkan tujuan-tujuan kecil: Tetapkan tujuan-tujuan kecil yang dapat dicapai untuk membantu Anda tetap termotivasi.
- Lakukan perawatan diri: Pastikan untuk merawat diri sendiri secara teratur.
- Pertahankan omunikasi: Tetap terhubung dengan orang-orang terkasih dan carilah dukungan.
Yang membuat saya heran ialah bahwa AI menempatkan “berlatih bersyukur” pada urutan pertama. Itu berarti tindakan “bersyukur” adalah sangat penting. Tetapi, saya rasa ini tidak akan bisa dilaksanakan oleh semua orang. Bagaimana orang bisa bersyukur dalam keadaan sulit dan kepada siapa mereka harus bersyukur? Ini tidak dijelaskan. Tidak semua orang mengenal Tuhan yang sudah menyertai setiap orang dalam keadaan apa pun.
“Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” Matius 5:45
Hanya orang percaya yang tahu bahwa Tuhan sudah memberkati semua manusia, baik yang mengenal Dia atau yang tidak mengenal-Nya. Dalam hal ini, hanya orang Kristen yang tahu bahwa karunia terbesar yang sudah diterimanya adalah keselamatan kekal. Pada pihak lain, banyak orang Kristen yang lupa untuk bersyukur kepada-Nya pada setiap waktu dan dalam keadaan apa pun.
Ayat-ayat 1 Tesalonika 5:12-22 memberikan serangkaian nasihat kepada jemaat di Tesalonika. Sebagai anak-anak zaman itu, yang menantikan kedatangan Tuhan kembali, mereka perlu hidup benar. Sebagai jemaat, mereka perlu berhubungan baik dengan para pemimpin mereka. Paulus meminta mereka untuk memperlakukan semua rekan seiman mereka dengan baik dan sabar serta berbuat baik satu sama lain. Paulus menasihati jemaat untuk selalu bersukacita dan terus berdoa. Ucapan syukur yang terus-menerus harus menandai kehidupan mereka. Lebih jauh, Paulus memberi tahu para pembacanya untuk tidak memadamkan Roh Kudus atau bersikap negatif terhadap pelayanan gereja yang ada. Sebaliknya, mereka diharapkan untuk tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran yang telah mereka uji dan temukan kebenarannya. Terakhir, Paulus mengarahkan para pembacanya untuk menghindari segala jenis kejahatan.
Menurut 1 Tesalonika 5:16, orang Kristen harus bersukacita setiap saat. Mempraktikkan karunia pengampunan Tuhan tanpa syarat memungkinkan kita untuk menaati perintah untuk “bersukacita senantiasa.” Pikiran yang pahit dan tidak mau mengampuni menghalangi sukacita sebagaimana halnya balok kayu menghalangi aliran sungai. Kitab Suci mengakui bahwa keadaan hidup kita dan perlakuan orang lain kepada kita mungkin tidak selalu menghasilkan “kebahagiaan,” tetapi kebahagiaan tidak sama dengan sukacita. Sukacita, dalam Alkitab, melibatkan harapan yang penuh kepercayaan kepada Kristus, yang menuntun kepada hidup kekal (Yakobus 1:2-3; Ibrani 12:2).
Paulus mempraktikkan apa yang ia khotbahkan. Ketika ia menulis kepada jemaat Filipi dari penjara, ia tidak hidup dalam keadaannya, sebaliknya ia bangkit mengatasinya. Meskipun ia dibelenggu, ia bersukacita di dalam Tuhan (Filipi 1:17-18; 4:10). Sukacita Paulus mengalahkan pencobaannya. Meskipun mengalami perlakuan buruk, sering kali berhadapan dengan kematian, kesedihan, dan kemiskinan, ia selalu bersukacita (2 Korintus 6:8-10). Dengan demikian, sekalipun keadaan jemaat Tesalonika sulit, mereka juga dapat bersukacita “di dalam Tuhan.”
Yesus menghubungkan sukacita dengan ketaatan. Ia berkata,
“Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.” Yohanes 15:10-11
Dalam ayat 17 Paulus mendorong jemaat di Tesalonika untuk berdoa terus-menerus. Tentu saja, ini tidak berarti berdoa setiap saat. KIta tetap harus mengerjakan apa yang perlu dalam hidup kita. Sebaliknya, kita harus rajin berdoa, dan sering berbicara kepada Tuhan dalam doa yang sungguh-sungguh dan penuh dedikasi. Bahkan di tengah-tengah pencobaan, orang percaya harus menyadari nilai yang tak terukur dari memelihara persekutuan dengan Tuhan melalui doa yang sering.
Yesus adalah contoh terbaik tentang apa artinya berdoa terus-menerus. Ia mengajar murid-murid-Nya untuk berdoa (Matius 6:5–13). Ia berdoa sebelum memberi makan lima ribu orang (Matius 14:19–21). Ia berdoa ketika Ia memberkati anak-anak (Matius 19:13). Ia berdoa di pagi hari (Markus 1:35) dan di malam hari (Markus 6:45–47). Ia berdoa untuk murid-murid-Nya dan untuk semua orang percaya berikutnya (Yohanes 17). Ia berdoa di Taman Getsemani (Matius 26:36-42). Ia berdoa dari kayu salib (Lukas 23:34).
Rasul Paulus juga berdoa terus-menerus. Ia berdoa dari penjara pada tengah malam (Kisah Para Rasul 16:25). Ia berdoa setelah memberikan perintah kepada para penatua gereja di Efesus (Kisah Para Rasul 20:36). Ia berdoa di Malta (Kisah Para Rasul 28:8). Ia berdoa untuk Israel (Roma 10:1). Ia berdoa untuk gereja-gereja (Roma 1:9; Efesus 1:16; Filipi 1:4; Kolose 1:3-12).
Pagi ini kita belajar dari Paulus bahwa sukacita tidak datang secara otomatis dari Tuhan. Sukacita dan dukacita bukanlah takdir. Untuk bersukcita kita harus mempunyai kesadaran dan kemauan. Kita harus sadar bahwa Tuhan sudah mengasihi kita dari awalnya dan mau untuk rajin berdoa serta bersyukur kepada Dia yang merupakan sumber kekuatan kita.