Mau mendengar, lambat untuk marah

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.” Yakobus 1: 19-20

Sudah tentu setiap orang pernah marah. Tetapi, pernahkah Anda naik pitam? “Naik pitam” adalah idiom dalam bahasa Indonesia yang memiliki dua makna, yaitu: marah atau panas hati, dan pusing atau pening. Biasanya, idiom ini digunakan untuk menggambarkan perasaan marah besar yang mungkin bisa disertai dengan rasa pusing atau sakit kepala. Memang marah-marah bisa menyebabkan sakit kepala. Hal ini terjadi karena kemarahan dapat menyebabkan perubahan fisiologis di dalam tubuh, seperti:

  • Penegangan otot-otot di leher, kepala dan dada
  • Tarikan pada otot-otot wajah
  • Pelepasan hormon stres: adrenalin dan kortisol
  • Perubahan aliran darah ke otot sebagai tanda kesiapan untuk melawan

Selain itu, menahan emosi marah juga dapat menyebabkan ketegangan mental yang dapat memperburuk rasa sakit di bagian belakang kepala.

Dari segi medis, pada saat marah pembuluh darah di sekitar jantung mengkerut sehingga aliran darah tidak lancar. Hal ini dapat menyebabkan jantung kekurangan oksigen dan menimbulkan nyeri dada. Kemarahan juga dapat memperburuk kondisi disfungsi mikrovaskuler koroner, yaitu penyumbatan di pembuluh darah kecil di sekitar jantung. Saat marah, tubuh melepaskan hormon stres seperti adrenalin dan kortisol yang dapat mempercepat detak jantung dan pernapasan. Selain serangan jantung, kemarahan juga dapat meningkatkan risiko stroke dalam beberapa jam setelah marah. Semakin sering seseorang marah, semakin besar risikonya untuk terkena penyakit kardiovaskular.

Umumnya kita marah karena adanya keadaan yang sulit diterima atau orang yang sulit diajak bicara. Dalam hal ini, bagian pembukaan kitab Yakobus memerintahkan orang Kristen untuk tetap percaya kepada Tuhan, bahkan selama masa-masa sulit. Bahkan, orang percaya harus menganggap kesulitan mereka sebagai “sukacita,” karena adanya tes kehidupan adalah cara Tuhan memperkuat iman. Hal ini memberikan penegasan tentang apa artinya tetap setia kepada Tuhan—terus percaya kepada-Nya—bahkan ketika tantangan hidup menghampiri kita. Salah satu alasannya, mereka yang percaya kepada Tuhan akan terus menaati-Nya. Dimulai dari ayat 19, Yakobus mulai menjelaskan seperti apa ketaatan itu.

Mereka yang percaya dan menaati Tuhan belajar untuk menyesuaikan kecepatan mendengar dan berbicara mereka. Jika Tuhan benar-benar memegang kendali, kita mampu meluangkan waktu untuk memahami. Itu memerlukan waktu dan kesabaran. Daripada bertindak gegabah, kita dapat menanggapi dengan cara yang bermanfaat bagi kita dan orang lain. Jika kita gegabah itu adalah karena kesalahan kita sendiri, karena Tuhan bukanlah yang mempercepat mulut atau reaksi kita dan bukan juga memperlambat atau menghambat pikiran sehat kita.

Sebagai orang percaya, kita tidak boleh terobsesi untuk memastikan bahwa kita harus didengar dan dipahami orang lain untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita bertindak sesuai dengan keinginan langsung kita dan reaksi langsung kita, kita akan mudah kehilangan kendali. Dan ketika kita merasa kehilangan kendali, kita akan marah. Dengan kemarahan yang tidak terkendali, kita bisa menjadi “mata gelap” atau melakukan apa yang jahat.

Perhatikan bahwa ini bukanlah perintah untuk tidak pernah merasa marah. Kemarahan adalah emosi manusia yang dialami setiap orang, dan itu dapat dibenarkan. Namun, instruksi Yakobus di sini menjelaskan dengan jelas bahwa kita dapat belajar untuk mengendalikan—atau setidaknya memperlambat—respons kemarahan kita. Bahkan, jika kita menolak untuk membiarkan kemarahan mengendalikan kita , itu merupakan tindakan iman. Merupakan pilihan kita untuk percaya bahwa Bapa memegang kendali, bahwa Dia mengasihi kita, dan bahwa Dia baik.

Mengapa kita, sebagai anak-anak Tuhan melalui iman kepada Kristus, harus belajar mengendalikan amarah kita, memperlambatnya, dan mengendalikannya? Bagi Yakobus, intinya adalah ini: Amarah tidak akan menghasilkan apa yang baik. Mengapa begitu? Secara praktis, kemarahan manusia yang berdosa adalah alat yang tidak efektif untuk berkontribusi pada kebenaran Allah. Membiarkan kemarahan meluap mungkin dianggap sebagai alat yang tangguh untuk mencapai keinginan kita sendiri, tetapi bukan untuk melakukan kebajikan yang diminta Allah.

Dunia memberi tahu kita bahwa kemarahan dapat memanipulasi atau mengintimidasi orang-orang di sekitar kita. Kemarahan memberi kita perasaan bahwa kita mengendalikan orang-orang dalam hidup kita, bahkan membuat diri kita merasa lebih baik untuk beberapa saat. Karena itu, secara sengaja kita sering memilih untuk marah. Namun, bahkan dari sudut pandang non-spiritual, hal ini biasanya harus dibayar dengan harga yang mahal. Kita akan kehilangan integritas, kepercayaan orang lain, rasa hormat dan kasih orang lain dan pengendalian diri kita ketika kita hidup dalam kemarahan.

Ajaran Yakobus di sini mengungkapkan sebuah gagasan yang sangat besar: Kita diciptakan untuk lebih dari sekadar menyingkirkan hal-hal yang dangkal dari kehidupan. Bagian dari tujuan kita sebagai orang percaya adalah untuk digunakan oleh Allah untuk membantu berkontribusi pada kebenaran-Nya, untuk membantu mencapai tujuan-Nya di dunia. Kita memiliki tujuan yang mulia dan kekal, jauh lebih besar daripada apa yang dapat kita capai melalui kemarahan atau dosa.

Seberapa penting bagi orang Kristen untuk memercayai Tuhan? Yakobus menulis, sangatlah penting bagi kita untuk menyebut saat-saat terburuk kita sebagai saat-saat yang menyenangkan, karena pencobaan membantu kita untuk lebih memercayai Tuhan. Orang yang memercayai Tuhan meminta hikmat kepada-Nya—dan kemudian menerima apa yang Dia berikan. Orang yang memercayai Tuhan menganggap pahala mereka di kehidupan berikutnya lebih penting daripada kekayaan mereka di kehidupan ini. Orang yang memercayai Tuhan tidak menyalahkan-Nya atas keinginan mereka untuk berbuat dosa; sebaliknya, mereka memuji-Nya atas semua hal baik dalam hidup mereka. Mereka menyelidiki Firman-Nya, dan mereka bertindak berdasarkan apa yang mereka lihat di sana.

Yakobus membedakan antara kemarahan manusia dan kemarahan Allah. Segala sesuatu yang Allah rasakan dan ungkapkan adalah benar, termasuk kemarahan-Nya. Sebaliknya, kemarahan manusia hampir selalu merupakan ekspresi keegoisan manusia, ketakutan, atau keinginan untuk mengendalikan dunia dan manusia di sekitar kita. Mereka yang percaya kepada Bapa untuk memegang kendali, menyediakan apa yang dibutuhkan, dan menegakkan keadilan pada saat yang tepat, mampu melepaskan kemarahan manusia.

Yakobus 1:19–27 menekankan bahwa mereka yang benar-benar percaya kepada Tuhan tidak puas hanya dengan tampil religius. Mereka berhenti mencoba mengendalikan dunia dengan kata-kata dan kemarahan mereka. Mereka dengan rendah hati menerima Firman yang telah ditanamkan Tuhan di dalam diri mereka, mendengarkannya, dan melanjutkan untuk melakukan apa yang dikatakannya. Bagian dari apa yang Firman katakan kepada kita adalah bahwa kita harus mengendalikan perkataan kita, memperhatikan mereka yang lemah dan menderita, dan menjaga diri kita agar tidak tercemar oleh dunia di sekitar kita.

“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.” Efesus 4:26-27

Tinggalkan komentar