“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” Roma 8:29

Sepanjang ingatan saya, sejak adanya medsos selalu ada berita tentang orang-orang yang hebat, negara-negara yang hebat, penemuan-penemuan yang luar biasa di negara tertentu. Seiring dengan itu, selalu ada penonjolan keunggulan yang dimiliki suatu sistim, orang, ras, negara dan bahkan, agama tertentu. Dengan demikian, timbul potensi atau kecenderungan untuk merendahkan orang, golongan atau bangsa lain.
Sebenarnya, pandangan atau tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas diri itu juga terjadi di kalangan orang Kristen. Dalam masyarakat, banyak orang Kristen yang masih membanggakan keturunan, bangsa dan golongan sendiri dan dengan demikian merasa bahwa dirinya lebih baik dari orang lain. Dalam hal kerohanian, banyak orang Kristen yang merasa dirinya lebih mengenal Tuhan dan lebih dikenal oleh Tuhan, dan mungkin lebih benar atau lebih baik dari orang Kristen yang lain. Sekalipun ada yang percaya bahwa semua orang percaya adalah orang pilihan Tuhan, mereka mungkin merasa seperti orang pilihan Tuhan yang nomer satu.
Istilah “orang-orang pilihan” mengandung arti orang-orang yang ditentukan Allah untuk dianugerahi keselamatan. Mereka disebut “yang dipilih” karena kata itu mengandung makna kalau ada pihak yang memilih. dalam hal ini, Allah sendiri yang memilih siapa-siapa saja yang akan diselamatkan. Mereka inilah yang disebut orang-orang pilihan Allah.
Mengenai konsep Allah memilih siapa yang akan diselamatkan tidaklah menimbulkan perdebatan. Tapi, bagaimana dan mengapa Allah memilih yang menjadi perdebatan selama ini. Selama sejarah Gereja, ada dua pandangan utama terkait doktrin pemilihan (atau predestinasi) ini.
Pandangan pertama, yang lebih sering dikenal dengan istilah pandangan pra-pengetahuan, menyatakan kalau Allah, karena kemahatahuan-Nya, akan mengetahui siapa-siapa saja yang pada akhirnya akan memilih beriman-percaya kepada Yesus Kristus. Karena pra-pengetahuan tentang iman orang-orang ini, Allah memilih mereka untuk diselamatkan “bahkan sebelum dunia dijadikan” (Efesus 1:4). Pandangan ini diyakini sebagian besar kaum Kristen.
Pandangan kedua, yang juga dikenal dengan pandangan para pengikut Agustinus, menyatakan kalau Allah tidak hanya memilih siapa-siapa saja yang akan beriman-percaya kepada Yesus Kristus, tetapi juga memilih untuk menganugerahi orang-orang ini iman supaya bisa beriman-percaya kepada Kristus. Allah memilih tidak berdasarkan pra-pengetahuan mengenai iman seseorang, tapi hanya berdasarkan kedaulatan-Nya, kasih karunia dari Allah Yang Mahakuasa. Allah memilih siapa-siapa saja yang akan diselamatkan. Mereka bisa beriman-percaya, karena Allah telah memilih mereka. Pandangan ini umumnya dipegang kaum Reformed.
Yang menjadi bahan perdebatan yang sengit adalah: siapa yang sebenarnya menjadi pihak yang menentukan anugerah keselamatan ini – Allah atau manusia? Bagi pandangan pertama, manusia yang memiliki kontrol; kehendak bebasnya menjadi faktor penentu terkait apa yang dipilih Allah. Allah memang menyediakan jalan keselamatan melalui Yesus Kristus dan kemampuan untuk memilih, tetapi manusia sendiri yang harus memilih bersedia tidaknya untuk tunduk kepada Kristus supaya bisa diselamatkan.
Pandangan ini membuat Allah seolah-olah tidak berdaulat karena Pencipta yang harus bergantung pada keputusan ciptaan-Nya. Jika Allah menginginkan seseorang ada di surga, Dia harus berharap supaya orang itu, dengan kehendak bebasnya, memilih jalan keselamatan yang telah Ia sediakan. Sebenarnya, pandangan ini agaknya tidak lagi bisa sepenuhnya menyatakan bahwa “Allah memilih,” karena Allah tidak benar-benar memilih – Dia hanya bisa memberi kemampuan memilih kepada manusia dan mendukung usaha mereka serta menolong mereka untuk tetap bertekad untuk mempertahankan apa yang baik. Pada akhirnya, manusialah yang menentukan apa keputusannya.
Menurut para pengikut Agustinus, Allah yang memiliki kontrol. Dia yang berkuasa. Dengan kedaulatan-Nya, Ia dengan bebas memilih siapa-siapa saja yang ingin diselamatkan-Nya. Dia tidak hanya memilih, tetapi juga memastikan keselamatan mereka. Bukan hanya menyediakan jalan keselamatan, Allah juga memilih siapa-siapa saja yang ingin diselamatkan-Nya, dan kemudian menyelamatkannya. Pandangan ini menempatkan Allah sebagai Pencipta yang sepenuhnya berdaulat, dan manusia tidak bisa nenolak.
Pandangan ini memiliki kelemahannya sendiri. Para kritikus memandang pandangan ini meniadakan kehendak bebas manusia. Jika sejak awal Allah sudah memilih siapa yang ingin diselamatkan-Nya, mengapa manusia masih perlu beriman-percaya? Mengapa perlu memberitakan Injil? Apalagi, jika Allah memilih berdasarkan kedaulatan-Nya, bagaimana mungkin kita bisa dianggap bertanggungjawab atas pilihan kita? Bukankah ini seperti “nasib”?
Di Roma pasal 9, Paulus secara sistematis menjelaskan kedaulatan Allah dalam memilih siapa-siapa saja yang ingin diselamatkan, bahkan sejak dari kekekalan. Dia memulai dengan pernyataan yang penting: “Tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel” (Roma 9:6). Ini berarti bahwa tidak semua keturunan dari Abraham, Ishak, dan Yakub adalah Israel sejati (orang pilihan Allah).
Mengulas kembali sejarah bangsa Israel, Paulus mengingatkan kalau Allah memilih Ishak ketimbang Ismael; memilih Yakub ketimbang Esau. Sebelum orang-orang mengira kalau pemilihan ini berdasarkan iman atau perbuatan baik di masa depan, Paulus langsung menyatakan, “Sebab waktu anak-anak (Yakub dan Esau) itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat- supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya” (Rom 9:11). Oleh sebab itu, Paulus menyatakan bahwa siapa pun bisa menjadi anak-anak Allah melalui iman dalam Kristus Yesus.
“Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Galatia 3:28
Di titik ini, kita mungkin tergoda berpikir kalau Allah tidak adil. Paulus mengantisipasinya dengan menjawab di Roma 9:14, dengan menyatakan kalau Allah tidak mungkin tidak adil. “Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan, dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati” (Roma 9:15). Jika kita betul-betul menghendaki Allah yang adil menurut pengertian kita, kita harus mau menerima hukuman mati karena dosa kita!
Allah berdaulat penuh atas ciptaan-Nya. Dia berdaulat penuh memilih siapa-siapa saja yang ingin dipilih-Nya, dan membiarkan siapa-siapa saja yang ingin dibiarkan-Nya. Ciptaan tidak punya hak untuk menuduh Penciptanya bertindak tidak adil. Pikiran bahwa ciptaan bisa berbantahan dengan Penciptanya tidak bisa diterima oleh Paulus. Begitu pula bagi setiap orang Kristen. Keselamatan mereka bersifat pasti hanya di dalam Kristus.
Terlepas dari cara bagaimana Allah memilih umat-Nya, apa yang Paulus nyatakan adalah kebenaran: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya” (Rom 8:29-30).
Dengan demikian, pada akhirnya, adakah yang bisa kita banggakan sebagai orang pilihan? Apakah kita bangga karena merasa Tuhan memilih kita karena kita lebih benar dari orang lain? Apakah golongan, ras, bangsa kita lebih baik dari yang lain? Semua kebanggaan seperti ini adalah hampa karena Tuhan tidak memilih kita karena kita lebih baik atau lebih benar dari yang lain. Apa yang bisa kita banggakan adalah kasih dan kemurahan Tuhan kepada setiap manusia dari awalnya, yang sudah memilih orang-orang tertentu untuk diselamatkan-Nya dan memisahkan mereka dari orang-orang lain, bukan karena mereka lebih baik atau lebih unggul, tapi karena keputusan-Nya.
“Karena itu seperti ada tertulis: ”Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.” 1 Korintus 1:31