Apakah Tuhan membuat Simson jatuh cinta kepada Delila?

Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: ”Pencobaan ini datang dari Allah!” Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun. Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Yakobus 1:13-4

Anda tentu tahu kisah Simson dan Delila yang sudah ditampilkan di layar perak Amerika Serikat pada tahun 1949, yang diproduksi dan disutradarai oleh Cecil B. DeMille dan dirilis oleh Paramount Pictures. Film ini menggambarkan kisah Alkitab dalam kitab Hakim-hakim 16:4-22 tentang Simson, seorang pria kuat yang rahasianya terletak pada rambutnya yang tidak dipotong, dan cintanya kepada Delilah, wanita yang merayunya, menemukan rahasianya, dan kemudian mengkhianatinya kepada orang Filistin.

Kehidupan Simson adalah sebuah kehidupan yang penuh kontradiksi. Ia adalah pria yang memiliki kekuatan jasmani yang hebat namun moralitas yang lemah. Ia adalah seorang hakim selama 20 tahun dan seorang yang “sejak dari kandungan ibunya anak itu akan menjadi seorang nazir Allah” (Hakim-Hakim 13:5), namun berulang kali ia gagal memelihara peraturan nazir. Kelemahan moral Simson adalah penyebab kejatuhannya. Kelemahan Simson ini bukanlah sesuatu yang dibuar oleh Tuhan, tetapi adalah kesalahannya sendiri. Sebaliknya, adalah menarik bahwa Roh Allah datang menguasai Simson dan memberinya kekuatan yang besar untuk melawan kaum Filistin, kaum penindas umat Israel. Hal ini dilakukan meskipun Simson mata keranjang dan pendendam.

Kehidupan Simson mengajar bahwa:

  • Allah bukan penyebab dosa,
  • memelihara moralitas yang baik, kita harus berkata “tidak” pada godaan jasmani,
  • Allah dapat menggunakan manusia yang berdosa untuk menggenapi rancangan-Nya,
  • setiap dosa selalu ada akibatnya, dan
  • Allah bisa berbelas kasihan.

Kitab Hakim-Hakim 16 menceritakan kejadiannya ketika Simson hendak mencari istri. Ia ingin menikahi seorang wanita Filistin meskipun orang tuanya menentang, dan bertolak belakang dengan hukum Allah yang melarang perkawinan dengan kaum berhala. Sekalipun Simson menikahi Delila atas kehendaknya sendiri, peristiwa buruk ini digunakan oleh Allah untuk melaksanakan rencana-Nya: “…hal itu dari pada TUHAN asalnya: sebab memang Simson harus mencari gara-gara terhadap orang Filistin. Karena pada masa itu orang Filistin menguasai orang Israel.” (ayat 4).

Dengan kehendak sendiri, secara sukarela Simson memasuki situasi yang berujung pada dosa, namun, tiap kali, Allah menggunakan Simson bagi kemuliaan-Nya. Dosa kita tidak dapat membendung kehendak berdaulat Allah terjadi. Simson, penuh dengan amarah dan dendam, bersumpah mencelakai kaum Filistin karena telah mencuri istrinya (Hakim-Hakim 15:3). Ia membakar ladang pertanian kaum Filistin (ayat 4-5) dan, kemudian, setelah kaum Filistin membunuh istrinya, “dengan pukulan yang hebat ia meremukkan tulang-tulang mereka” (ayat 8).

Kehendak Allah menaklukkan bangsa Filistin dilakukan melalui Simson, namun Simson juga dituntut pertanggung-jawabannya atas dosanya, dan ia mengalami akibat dari ketidak-taatannya dan kebodohannya. Pelanggaran Simson yang terus-menerus dilakukan telah mencapai titik akhirnya. Ia terlalu yakin pada kekuatannya sehingga ia merasa dirinya dapat mengabaikan hukum apapun juga; tampaknya ia merasa ia sudah tidak lagi membutuhkan Allah. Sebagai akibatnya, ” Orang Filistin itu menangkap dia, mencungkil kedua matanya dan membawanya ke Gaza. Di situ ia dibelenggu dengan dua rantai tembaga dan pekerjaannya di penjara ialah menggiling” (Hakim-Hakim 16:21). Simson akhirnya menghadapi akibat dari tindakannya.

Para Filistin ingin merayakan kemenangan mereka atas Simson, dan para penguasa berkumpul di kuil Dagon, dewa mereka, untuk memujinya karena telah menyerahkan Simson pada mereka (Hakim-Hakim 16:23). Pada pesta itu, mereka mengeluarkan Simson dari penjara untuk mengoloknya. Dengan bersandar pada tiang-tiang penyangga kuil itu, “berserulah Simson kepada TUHAN, katanya: ‘Ya Tuhan ALLAH, ingatlah kiranya kepadaku dan buatlah aku kuat, sekali ini saja, ya Allah, supaya dengan satu pembalasan juga kubalaskan kedua mataku itu kepada orang Filistin'” (ayat 28). Allah mengabulkan permintaan Simson. “Membungkuklah ia sekuat-kuatnya, maka rubuhlah rumah itu menimpa raja-raja kota itu dan seluruh orang banyak yang ada di dalamnya. Yang mati dibunuhnya pada waktu matinya itu lebih banyak dari pada yang dibunuhnya pada waktu hidupnya” (ayat 30). Simson membunuh lebih banyak kaum Filistin pada waktu itu — sekitar 3,000 orang Filistin — dibanding ketika ia masih hidup.

Jangan sampai Anda berpikir bahwa Simson adalah orang tidak mengenal Tuhan. Simson adalah pria beriman — namanya dikutip dalam pasal peringatan tokoh-tokoh beriman (Ibrani 11:32). Pada waktu yang sama, ia mungkin bisa digolongkan orang Kristen duniawi atau kedagingan jika ia hidup di zaman sekarang, dan berbagai kesalahannya seharusnya menjadi himbauan bagi kita yang bermain dengan api dan beranggapan tidak akan terbakar. Juga sebuah pringatan bagi mereka yang percaya bahwa semua tidakan manusia, baik atau buruk, sudah ditentukan Tuhan. Kehidupan Simson mengajar kita akan pentingnya mengandalkan kekuatan Allah, bukan kekuatan pribadi kita; mengikuti kehendak Allah, bukan sengaja melanggar hukum Allah dengan kemauan kita yang keras kepala; dan mencari hikmat Tuhan, bukan pengertian pribadi kita.

Karena kita adalah orang berdosa, kita mungkin tidak menghadapi ujian dengan baik. Terkadang kita terjebak dalam pikiran bahwa Allah mungkin menggoda kita untuk berbuat dosa di tengah kesulitan. Kita harus mengerti bahwa Tuhan tidaklah memunculkan Delila untuk menggoda dan menjatuhkan Simpson. Ketika Tuhan mengizinkan masa kesulitan keuangan dalam hidup kita, kita mungkin berpikir Dia menggoda kita untuk mencari keuntungan yang tidak sah. Kesulitan dalam pernikahan kita mungkin membuat kita merasa bahwa Tuhan menggoda kita untuk mencari teman kencan atau memilih perceraian. I

Namun, ayat bacaan hari ini menyatakan bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Tuhan memang mengizinkan iman kita diuji, tetapi jika kita tergoda untuk melakukan kejahatan sebagai akibatnya, maka Dia tidak pernah menjadi sumbernya. Seseorang yang menunjukkan iman yang sejati melihat keadaannya, dan, di tengah godaan, menyadari bahwa meskipun Tuhan mungkin telah mengizinkan pencobaan datang, keinginan untuk melanggar hukum-Nya bukanlah dari-Nya. Rendahnya moral Simpson dan ketundukannya kepada hawa nafsu bukanlah dibuat Tuhan. Itu karena Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia tidak mencobai seorang pun untuk berbuat dosa (Yakobus 1:13).

Kesalahpahaman tentang posisi Reformed tentang kedaulatan Allah dapat membuat hal ini sulit diterima. Beberapa penganut hiper-Calvinis, misalnya, mengatakan bahwa Allah bertanggung jawab atas kejahatan dan menggoda orang untuk berbuat dosa.

Hubungan Allah yang tepat dengan dosa adalah misterius. Allah telah menetapkan segala sesuatu yang pernah terjadi, termasuk kejahatan. Namun, bacaan hari ini mengingatkan kita bahwa Allah bukanlah pencetus kejahatan atau bahkan godaan yang mengarah kepada kejahatan. Kita tidak boleh menyalahkan Allah atas dosa atau godaan yang kita alami. Sebaliknya, seperti yang dicatat dengan tepat dalam ayat 13-14, godaan untuk berbuat dosa berasal dari sifat jahat kita sendiri, pilihan kita dan tidak pernah berasal dari Tuhan.

Allah tidak pernah bertanggung jawab atas kejahatan di dunia ini atau godaan yang mungkin ditimbulkan oleh iblis. Dia mungkin mengizinkan adanya kejahatan untuk tujuan rencana-Nya yang baik, tetapi semua kejahatan yang terjadi berasal dari kecenderungan jahat dari pelaku sekunder (manusia) dan tidak disebabkan oleh Allah. Hari ini, lihatlah pergumulan yang Anda hadapi, dan tanyakan pada diri Anda sendiri apakah Anda menyalahkan Allah atas kejahatan, pilihan atau pengalaman yang terjadi dalam hidup Anda atau apakah Anda pikir Dia menggoda Anda untuk berbuat dosa. Jika demikian, bertobatlah dari sikap seperti itu saat Anda merenungkan ayat-ayat hari ini.

Tinggalkan komentar