Natal seharusnya membuat kita rendah hati

“Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Markus 10:45

Penulis Kristen terkenal, C. S. Lewis, dalam bukunya “Mere Christianity” mencatat bahwa kesombongan adalah keadaan “anti-Tuhan”, posisi di mana ego dan pendirian manusia secara langsung menentang kebesaran Tuhan. Jika ketidaksucian, kemarahan, keserakahan, kemabukan, adalah jahat di mata Tuhan, semua itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kesombongan. Melalui kesombonganlah iblis menjadi jahat, dan hal itu menuntun dia kepada setiap kejahatan lainnya. Keseombongan adalah keadaan pikiran yang sepenuhnya anti-Tuhan. Kesombongan dipahami sebagai sesuatu yang memisahkan roh kita dari Tuhan yang sudah memberi kita hidup dan kasih karunia.

Kesombongan umat Kristen, mungkin paling mencolok pada saat kita merayakan hari Natal. Sebagian orang Kristen menyambut hari Natal sebagai satu kesempatan untuk bersuka-cita dan berpesta pora, baik di gereja, di rumah, maupun di tempat lain. Mereka bisa merasa bangga karena banyak orang yang bukan Kristen juga merayakan Natal. Suasana Natal dengan lagu-lagu Natal, hiasan Natal yang berkerlap-kerlip, dan banyaknya pengunjung gereja yang datang untuk merayakan Natal adalah satu tanda bahwa agama Kristen adalah agama yang hebat. Natal adalah kesempatan untuk berlomba untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa gereja kita adalah yang terbesar, terbaik, dan terkaya. Begitu mungkin perasaan mereka. Mereka lupa bahwa panggilan Natal adalah agar umat Tuhan untuk menjadi orang yang rendah hati.

Markus 10:35-45 menggambarkan permintaan arogan Yakobus dan Yohanes untuk memiliki posisi berkuasa dan berwenang dalam kerajaan Yesus yang akan datang. Ini terjadi setelah mengetahui bahwa Yesus menghargai orang-orang yang tidak berdaya seperti wanita dan anak-anak (Markus 10:1-16). Yesus juga menyatakan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan duniawi sering mengalami kesulitan mengikuti Tuhan karena mereka cenderung lebih menghargai harta benda mereka (Markus 10:17-22).

Dalam ayat di atas, Yesus yang kelahiran-Nya akan kita rayakan esok hari. datang ke dunia bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. Seperti Dia yang sudah merendahkan diri-Nya untuk menjadi manusia. Yesus memanggil kita untuk menjadi hamba (Markus 10:43) dan budak (Markus 10:44). Sikap kita harus seperti Dia, di mana kita secara harfiah harus menempatkan diri kita dalam posisi hamba atau budak bagi orang lain.

Yesus mengambil “rupa seorang hamba” bagi Allah, bukan bagi kita (Filipi 2:7–8). Agar kita dapat menyambut dan menjadi bagian dari kerajaan Allah, kita harus menjalani pemahaman kita bahwa pada dasarnya kita adalah makhluk yang tidak berdaya (Markus 10:14–15). Allah yang berdaulat adalah Tuhan yang memiliki kuasa yang nyata, dan harus kita muliakan terlepas dari posisi kita dalam hidup di dunia. Bahkan jika kita diakui sebagai pemimpin di gereja, peran kita pada hakikatnya tetaplah seorang hamba. Kita wajib melayani dan bukan menuntut untuk dilayani orang lain.

Kata “tebusan” dalam ayat di atas berasal dari akar kata Yunani lutron dan merujuk pada harga yang dibayarkan untuk menebus seorang budak atau tawanan (Imamat 25:51–52) atau anak sulung (Bilangan 18:15), atau ganti rugi atas kejahatan (Bilangan 35:31–32) atau cedera (Keluaran 21:30). Yesus mampu “memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kelepasan dari penjara bagi mereka yang terkurung” (Yesaya 61:1; lih. Lukas 4:18–19) karena Dia adalah Hamba yang Menderita dari Yesaya 53 yang datang untuk menanggung kejahatan banyak orang, sehingga mereka dapat dianggap benar (Yesaya 53:11).

Mendengar kata-kata ini untuk pertama kalinya, para murid berpikir bahwa yang akan ditebus adalah “tawanan”, yaitu orang-orang Yahudi yang hidup di bawah kekuasaan Romawi. Yesus mengatakan bahwa tawanan sejati adalah mereka yang menjadi budak dosa (Yohanes 8:34). Melalui kematian dan kebangkitan Yesus, kita dapat dibebaskan dari sifat dan akibat dosa yang memisahkan kita dari Allah (Roma 6:18). Kebebasan dari dosa ini bersifat penuh (Yohanes 8:36), tetapi kemerdekaan ini mengalihkan perbudakan kita dari dosa kepada kebenaran Allah (Roma 6:16–18). Kebebasan kita yang datang dari Tuhan, seharusnya memerdekakan kita dari keegoisan, kesombongan, dan keinginan untuk mengendalikan segala seuatu menurut kemauan kita. Perbudakan kita kepada Allah memberikan kita kemerdekaan untuk bisa mengasihi orang lain dan menerima hidup kekal (Roma 6:23).

Kebebasan ini adalah manifestasi kerajaan Allah di dalam diri kita. Namun, ini juga merupakan konsep yang sangat asing bagi orang Yahudi yang misinya adalah kemerdekaan duniawi dari jajahan Romawi, bukan kemerdekaan surgawi dari dosa. Dalam sejarah Yahudi, para pemimpin besar adalah mereka yang membawa kutuk kepada rakyatnya karena penyembahan berhala dan memimpin pasukan mereka untuk mempertahankan perbatasan daerah mereka. Kepemimpinan Yesus mengurapi zaman baru. Itu dibangun di atas ketundukan kepada Allah dan pengorbanan bagi orang lain. Sering kali, “orang lain” itu adalah gereja-gereja yang miskin, orang-orang buangan dunia, wanita-wanita yang tidak berdaya (Markus 10:1-12), anak-anak yang berkekurangan (Markus 10:13-16), dan orang-orang yang tidak berdaya serta patah semangat (Markus 10:46-52), bukan para pemimpin kaya atau berkuasa yang dianggap perlu dihormati (Markus 10:17-31).

Hari ini, marilah kita mengingat bahwa Yesus datang membawa karunia keselamatan bagi mereka yang percaya. Karunia yang tidak perlu kita beli, karunia yang tidak dapat kita bayar, karena karunia itu adalah karunia pengampunan dosa kita dari Allah yang mahasuci. Kita harus merasakan betapa besarnya kasih Tuhan kepada kita yang tidak layak di hadapan-Nya. Hanya karena kasih-Nya kita diselamatkan dan itu bukat karena hasil jerih payah kita.

Sebagai orang-orang percaya, seharusnya kita menempatkan diri kita sebagai hamba yang dimeredekakan dan bukannya orang-orang pilihan Allah yang lebih baik dari orang lain. Kita bukan juga orang Kristen yang merasa lebih baik dari orang Kristen lain karena teologi, kekayaan gereja atau kemasyhuran pendeta kita. Adalah panggilan bagi kita untuk menjadi seperti Yesus yang lahir di palungan, yang tidak membanggakan kemegahan diri-Nya sebagai Anak Allah. Hari Natal adalah panggilan bagi kita untuk selalu siap untuk merendahkan diri di hadapan orang lain dan siap melayani mereka yang membutuhkan pertolongan sambil mengaku bahwa kita semua adalah orang-orang berdosa yang sudah menerima belas kasihan Allah!

Selamat Hari Natal 2024

Tinggalkan komentar