“Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis. Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung.” 1 Petrus 2: 18-19

Mungkin Anda pernah membaca bahwa pandemi Covid-19 yang lalu tidak hanya membawa sakit jasmani, tetapi juga sudah membuat banyak orang mengalami berbagai masalah kejiwaan. Memang, dalam kasus long Covid ada sejumlah penderita yang tetap memiliki keluhan fisik atau mental selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah gejala awal muncul.
Mengenai gangguan mental, itu bukan hanya bisa disebabkan oleh Covid-19, tetapi adalah salah satu masalah kesehatan yang terbesar yang bisa dialami masyarakat di negara mana pun, yang bisa bertalian dengan berbagai masalah sosial dan ekonomi.
Banyak orang yang mengalami masalah kehidupan yang berat, merasa tertekan dan bertanya-tanya mengapa itu harus terjadi, dan pertanyaan itu adalah wajar. Mereka yang harus menderita bukan karena perbuatan mereka, tentu saja sulit untuk mengerti mengapa ketidak-adilan harus mereka alami karena tindakan orang lain. Dan mereka yang sudah bekerja keras tetapi tetap mengalami kesulitan ekonomi sering merasa bahwa usaha mereka sia-sia. Mereka yang tidak tahan menghadapi penderitaan hidup seperti ini, kemudian bisa mengalami tekanan batin yang besar.
Dalam ayat 18, rasul Petrus menulis bahwa budak-budak Kristen harus tunduk kepada tuan mereka. Perlu dicatat, perbudakan” di era Alkitab bukanlah konsep perbudakan dengan penindasan seperti yang mungkin sering kita lihat di layar perak. Para budak di Alkitab pada umumnya sudah dianggap sebagai pembantu rumah tangga dan sering mendapat kepercayaan dari majikan mereka. Walaupun demikian, tentu ada budak-budak yang merasa bahwa mereka tidak mendapat perlakuan yang baik dari majikan mereka.
Penting untuk diingat bahwa banyak pembaca Kristen Petrus adalah budak, dan sangat mungkin menghadapi perlakuan buruk dari tuan mereka. Petrus sangat menyadari hal ini. Di sini, ia mengakui bahwa penderitaan yang tidak adil akan mendatangkan rasa sakit dan/atau kesedihan bagi mereka. Ia tidak menyebut itu hal yang baik. Yang ia sebut hal yang baik adalah dengan sengaja menanggung rasa sakit dan kesedihan itu karena kesadaran akan adanya Tuhan yang berdaulat. Atau, bisa dikatakan, karena kepercayaan dan ketundukan kepada Tuhan.
Sampai sekarang banyak orang yang merasa sudah “diperbudak” oleh atasan. Perasaan tertekan, sedih, dan marah mungkin muncul bersama keinginan untuk memberontak dan membalas dendam. Tetapi, menurut ayat di atas, semua orang Kristen harus tunduk kepada setiap orang yang memiliki otoritas dalam hidup mereka. Ini seperti apa yang dilakukan oleh Yesus.
“Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil.” 1 Petrus 2:23
Dalam ayat 23, Petrus mengingatkan kita bahwa Yesus menanggung rasa sakit dan kesedihan saat diperlakukan tidak adil. Yesus membuat pilihan yang disengaja untuk mempercayakan Diri-Nya kepada hakim yang adil, yaitu Allah Bapa. Jadi, kemampuan untuk menanggung rasa sakit dan kesedihan itu adalah suatu kasih karunia dari Tuhan. Dengan kemampuan itu, kita sadar bahwa Allah kita adalah satu-satunya yang akan menghakimi semua tindakan tersebut pada akhirnya. Dia juga satu-satunya yang memenuhi kebutuhan terdalam kita saat ini.
Secara keseluruhan, 1 Petrus 2:13–25 mengungkapkan kehendak Allah bagi mereka yang merdeka di dalam Kristus: untuk dengan rela tunduk kepada setiap otoritas manusia demi Allah. Ini termasuk kaisar, gubernur, raja, dan bahkan atasan dan majikan. Petrus tidak mendukung perbudakan, tetapi ia memerintahkan “budak-budak Kristen” untuk menanggung penderitaan yang tidak adil, seperti yang Yesus lakukan demi kita di kayu salib.
Petrus menjelaskan secara spesifik tentang apa artinya hidup sebagai umat pilihan Allah. Kristus adalah batu fondasi rumah rohani yang sedang dibangun Allah. Kita harus terlibat dalam pertempuran melawan keegoisan dan keinginan untuk berbuat dosa. Ini termasuk tunduk kepada otoritas manusia, tidak peduli seberapa bengis atau kasarnya. Walaupun demikian, Paulus tidak mengharapkan kita untuk ”taat” ketika perintah itu untuk berbuat dosa. Sebaliknya, orang Kristen dipanggil untuk meniru Kristus dengan menderita karena memilih apa yang baik. Itu berarti siap untuk menanggung penderitaan, seperti yang Kristus lakukan demi kita ketika Dia mati di kayu salib. Peran kita bukanlah untuk berperang secara fisik demi keadilan di dunia, tetapi kita harus sadar bahwa penderitaan kita adalah untuk sementara.
Mengapa kuasa Tuhan agaknya tidak melakukan sesuatu ketika kita menderita dan tertindas? Mungkin pelajaran terbesar yang kita pelajari dari pengalaman Ayub adalah bahwa Tuhan tidak harus menjawab siapa pun atas apa yang Dia lakukan atau tidak lakukan. Pengalaman Ayub mengajarkan kita bahwa kita mungkin tidak pernah tahu alasan spesifik dari penderitaan seseorang, tetapi kita harus percaya kepada Allah kita yang berdaulat, kudus, dan adil.
Mereka yang tetap percaya kepada Tuhan dalam segala keadaan, adalah orang-orang yang percaya bahwa Tuhan yang mahakuasa tentu dapat juga mengubah penderitaan untuk menjadi sukacita. Bagi mereka, kasih dan kemuliaan Tuhan akan terlihat dengan nyata pada akhirnya. Ini jugalah yang sudah terjadi dalam hidup Ayub dan dalam hidup setiap orang yang beriman. Tuhan bukanlah Tuhan yang membiarkan umat-Nya menderita tanpa suatu alasan yang baik.
Adapun Allah, jalan-Nya sempurna; janji Tuhan adalah murni; Dia menjadi perisai bagi semua orang yang berlindung pada-Nya. Mazmur 18: 31
Pagi ini, kita harus sadar bahwa adalah tanggung jawab dan pilihan kita untuk menaati-Nya, memercayai-Nya, dan tunduk pada kehendak-Nya, baik kita bisa memahaminya atau tidak. Karena jalan Tuhan sempurna, kita dapat percaya bahwa apa pun yang Dia lakukan—dan apa pun yang Dia izinkan—juga sempurna.
“Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah.” Ibrani 12:3-4