Bagaimana bisa untung jika kita tidak tahu apa yang akan terjadi?

“Sesungguhnya, ia tak mengetahui apa yang akan terjadi, karena siapakah yang akan mengatakan kepadanya bagaimana itu akan terjadi?” Pengkhotbah 8:7

Hari ini adalah hari tahun baru Imlek yang dirayakan oleh mereka yang marganya berasal dari Tiongkok. Di Australia, hari tahun baru Imlek bukan hari libur umum, dan hanya dirayakan oleh sebagian orang Tionghoa dan sanak mereka. Salah satu ucapan tahun baru yang sangat populer di kalangan Tionghoa adalah “Gong XI Fa Cai” yang tidak ada hubungannya dengan tahun baru. “Gong Xi Fa Cai” sebenarnya berarti “Semoga Banyak Rezeki” atau “Semoga Jadi Kaya”. Walaupun demikian, sudah merupakan kebiasaan di kalangan masyarakat Tionghoa untuk mendoakan agar teman dan sanak keluarga bisa hidup sejahtera, beruntung dan memperoleh kemakmuran di tahun yang baru. Kemakmuran memang sering dianggap sebagai satu hal yang penting, untuk tidak dikatakan hal yang terpenting dalam hidup seseorang.

Hal menjadi makmur dalam arti kaya secara materi (rich) dan hal beruntung (lucky) adalah dua hal yang bertentangan dengan ajaran Kristen. Sekalipun ajaran Kristen tidak menentang usaha untuk mencari hasil dan mendapat untung (laba) dalam bisnis, mengejar kemakmuran dan berharap akan nasib mujur bukanlah apa yang dianggap benar oleh sebagian besar orang Kristen. Orang Kristen memohon kepada Tuhan agar mereka dapat merasa cukup dalam segala keadaan, dan percaya bahwa semua yang terjadi dalam hidup mereka bukanlah tergantung pada nasib baik (luck), tapi pada kehendak Tuhan.

Dalam hal saha untuk mencapai hidup sejahtera didunia, Salomo pernah berkata bahwa hati orang bijak seharusnya mengerti kapan ia harus melakukan sesuatu dan bagaimana cara yang baik untuk melakukannya.

“Siapa yang mematuhi perintah tidak akan mengalami perkara yang mencelakakan, dan hati orang berhikmat mengetahui waktu pengadilan, karena untuk segala sesuatu ada waktu pengadilan, dan kejahatan manusia menekan dirinya.” Pengkhotbah 8: 5-6

Hikmat seseorang akan sangat berguna dalam hidup, yang melalui berkat Allah bisa dipakai untuk menyadari kapan sesuatu yang tidak baik bisa terjadi dan bagaimana mengatasinya. Adam dan Hawa seharusnya sadar bahwa pada saat ular datang menjumpai mereka, mereka harus berpegang teguh pada perintan Allah untuk tidak melanggarnya. Tetapi Salomo dalam ayat 7 di atas menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang memiliki hikmat itu, dan bahwa bahkan orang yang paling bijak pun dapat dikejutkan oleh malapetaka yang tidak mereka duga sebelumnya. Oleh karena itu, pada tahun baru ini, adalah perlu bagi kita, dengan hikmat, untuk kita menyadari kemungkinan datangnya bahaya/ancaman dalam hidup kita dan mempersiapkan diri terhadap masalah yang datang secara tiba-tiba. Itu bukan soal untung atau luck.

Semua peristiwa yang menyangkut kita, dengan waktu yang tepat untuk itu, telah ditetapkan atau diizinkan Allah untuk terjadi, sesuai dengan kebijaksanaan dan pengetahuan-Nya. Untuk segala tujuan-Nya ada waktu yang telah Ia tetapkan sebelumnya, dan itu adalah waktu yang terbaik bagi Dia.

Ayat di atas menegaskan bahwa kita sangat tidak tahu tentang peristiwa-peristiwa mendatang dan waktu serta musimnya. Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya, karena siapakah yang dapat memberi tahu dia kapan atau bagaimana itu akan terjadi? Hal itu tidak dapat diramalkan olehnya atau diberitahukan kepadanya; bintang-bintang tidak dapat meramalkan apa yang akan terjadi, demikian pula ilmu ramalan. Allah, dalam hikmat-Nya, telah menyembunyikan dari kita pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di masa depan, agar kita selalu siap menerima kehendak Tuhan dan selalu mau bergantung kepada Dia dalam setiap rencana kita. Ini tidak mudah kita terima oleh manusia yang berharap pada kesuksesan dan keberuntungan.

Dalam Perjanjian Baru, Yakobus 4:13–17 berfokus pada kesombongan dalam merencanakan kesuksesan kita sendiri tanpa mengakui bahwa kita bergantung pada Tuhan. Seperti Pengkhotbah, Yakobus menyatakan bahwa adalah kebodohan untuk mengabaikan fakta bahwa kita tidak dapat melihat masa depan. Hidup kita pendek dan rapuh. Yakobus tidak menyatakan bahwa kita tidak perlu membuat rencana. Sebaliknya, kita harus selalu membuat rencana dengan kesadaran bahwa rencana itu hanya dapat berhasil jika Tuhan mengizinkannya. Sikap lain apa pun adalah berdosa, sombong, dan picik.

Sementara Yakobus 4:13 dan Pengkhotbah 8:7 menyinggung tema tentang manusia yang tidak mampu mengendalikan masa depan, Yakobus menekankan tentang dosa kesombongan dan mengandalkan diri sendiri dalam perencanaan, sementara Pengkhotbah menyoroti kesia-siaan dalam mencoba memahami atau memanipulasi sifat kehidupan yang tidak dapat diprediksi, yang sering kali menyarankan penerimaan kedaulatan Tuhan bahkan ketika segala sesuatunya tampak tidak adil.

Yakobus 4:13-14 terutama mengkritik sikap arogan seseorang yang membanggakan rencana masa depan seolah-olah mereka memiliki kendali penuh atas hidup mereka, dengan mengatakan, “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.”. Untung tidak dapat dicari, malang tidak dapat ditolak.

Pagi ini kita harus menyadari kesombongan kita sendiri jika kita mempercayai bahwa kita adalah penguasa nasib kita sendiri. Kita ingin menganggap diri kita mampu melakukan apa pun yang kita pikirkan, terutama jika itu melibatkan pengumpulan uang, status atau kenyamanan bagi diri kita sendiri. Masalah pertama dengan itu, tulis Yakobus, adalah bahwa kita tidak dapat memprediksi atau mengendalikan masa depan. Kita benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Selain itu, hidup kita bersifat sementara dan rapuh. Kita adalah kabut yang ada di sini sebentar lalu menghilang.

Jika kita mendapat sesuatu yang tidak kita harapkan, hidup kita terasa sangat pahit. Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa kita harus membuat rencana jika segala sesuatu tidak dapat kita terka. Mungkinkah itu karena nasib malang atau kurang beruntung? Yakobus tidak bersikap pesimistis. Ia tidak menyangkal nilai perencanaan atau penilaian yang baik. Seperti yang ditunjukkan ayat 14, Yakobus mengutuk pernyataan semacam ini dalam pola pikir yang tidak dipengaruhi oleh Tuhan. Ia meminta kita untuk memahami dan menerima keterbatasan manusiawi kita alih-alih mencoba mengabaikannya.

Menyadari betapa bergantung dan rapuhnya kita sebenarnya adalah langkah besar untuk melepaskan diri dari pengejaran uang, kekuasaan, dan kesenangan yang sia-sia. Pengkhotbah dan Yakobus ingin kita menyadari bahwa setiap momen, setiap gerakan kita, bergantung pada kasih karunia, belas kasihan, dan kehendak Tuhan. Kita harus percaya bahwa Dia akan menyediakan, menjadi Hakim, dan mengangkat kita pada waktu-Nya. Dengan rendah hati, kita harus mengakui bahwa semua rencana kita bergantung pada-Nya, dan Dia dapat mengubahnya kapan saja.

Selamat Tahun Baru Imlek bagi mereka yang merayakannya.

Tinggalkan komentar