“Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.” Filipi 3:20-21

Sebagai orang yang sering ke luar negeri, saya sering mendapat pertanyaan dari penduduk lokal negara yang saya kunjungi: Anda orang dari mana? Yang lucu, ada orang-orang yang agaknya mengalami kesulitan untuk menerka dari mana saya datang, kemudian asal menerka saja. Saya masih ingat ketika saya berjalan-jalan di Beijing, penduduk lokal menyangka saya dari Taiwan!
Ketika saya jawab bahwa saya dari Australia, ada orang yang heran karena saya bukan orang kulit putih dan bahasa Inggris saya agaknya masih berlogat Indonesia. Saya yang sudah menetap di Australia selama lebih dari 40 tahun merasa bahwa saya boleh menyatakan bahwa saya orang Australia, tetapi sebaliknya orang lain mungkin menyangka bahwa saya adalah turis asal Indonesia. Itu tidaklah mengherankan. Karena saya lahir di Surabaya dan tinggal di Indonesia selama 30 tahun, banyak orang masih bisa menerka bahwa saya adalah orang Indonesia. Semua kebingungan itu terjadi karena adanya persepsi tentang identitas Persepsi saya dan persepsi orang lain.
Mungkin Anda pernah mendengar berita bahwa pada minggu lalu Madison Keys, petenis putri asal Amerika telah menjadi juara tenis putri Australian Open 2025. Madion adalah orang dengan ras campuran karena ayahnya Rick berkulit hitam dan ibunya Christine berkulit putih. Walaupun demikian, pemain nomor 14 dunia itu dalam sebuah wawancara menegaskan bahwa dia tidak memikirkan ras dan malah mengidentifikasi dirinya sebagai “Madison”. Ia agaknya menyatakan bahwa orang apa dan ras bukanlah sesuatu yang perlu dipertanyakan, karena siapa dan orang yang bagaimana adalah hal lebih penting untuk diketahui orang lain.
Dalam Alkitab, Paulus merinci riwayat hidupnya sebagai orang Yahudi yang mengesankan. Paulus adalah orang Yahudi asli. Tak seorang pun dari para pengkritik atau penantangnya dapat membanggakan silsilah yang dimiliki Paulus. Tetapi, Paulus menyebutkan hal ini justru untuk menekankan betapa kecilnya arti hal-hal tersebut, dibandingkan dengan iman kepada Kristus. Bahasa Paulus di sini tajam dan langsung ke intinya. Ia kemudian menjelaskan bagaimana fokus seorang Kristen seharusnya murni pada Kristus, sama seperti seorang pelari berkonsentrasi pada tujuannya agar dapat berlari dengan efektif. Daripada melihat ke masa lalu, atau pada diri kita sendiri, kita seharusnya melihat ke depan, ke kekekalan bersama Tuhan. Daripada bangga akan hal yang sementara, lebih baik bersyukur akan hal yang abadi.
Filipi 3:12—4:1 menjelaskan sikap yang tepat yang seharusnya dimiliki orang Kristen terhadap proses ”pengudusan.” Ini adalah jalan bertahap seumur hidup untuk menjadi semakin seperti Yesus. Tempat kita dalam kekekalan aman sejak kita percaya kepada Kristus, tetapi butuh waktu untuk melihat tindakan dan sikap kita berubah menjadi seperti-Nya. Paulus mencatat bahwa dia tidak sempurna selama hidup di dunia, tetapi mendorong orang Kristen untuk meniru fokus tunggalnya dalam mengejar Yesus. Paulus juga menangisi mereka yang menolak Injil, sebuah pilihan yang akan mengakibatkan kehancuran mereka.
Berbeda dengan guru-guru palsu yang berfokus pada “hal-hal duniawi” (Filipi 3:19), orang percaya seharusnya memiliki perspektif yang jauh berbeda tentang kehidupan. Seperti yang Paulus catat, sekali lagi, tanah air kita adalah di surga, bukan di bumi ini. Kewarganegaraan yang bertanggung jawab itu penting di dunia, tetapi tujuan akhir kita bukanlah di dunia ini, melainkan bersama Tuhan di surga. Yesus juga mengajarkan bahwa Kerajaan-Nya bukan dari dunia ini (Yohanes 18:36) dan bahwa Dia bukan dari dunia ini (Yohanes 8:23).
Daripada berfokus pada hal-hal yang bersifat sementara di bumi, pusat perhatian orang percaya adalah pada Kristus dan kedatangan-Nya kembali. Kita seharusnya tidak berfokus pada keserakahan, dosa, kesuksesan, harta, dan hal-hal duniawi. Apalagi mempersoalkan keunggulan marga, suku atau bangsa kita, padahal kita tahu semua manusia adalah ciptaan Tuhan. Sebaliknya, perhatian kita seharusnya pada apa yang menyenangkan Tuhan. Para rasul percaya bahwa Yesus dapat datang kembali kapan saja, mengajarkan bahwa Kristus akan datang seperti yang dijanjikan-Nya.
Orang percaya harus menjalani hidup yang kudus, siap untuk kedatangan-Nya kembali. Kita harus mengasihi dan menghargai sesama tanpa memandang bulu. Lebih jauh, kita harus membantu menjadikan semua bangsa murid-Nya, membagikan kabar baik kepada orang lain sehingga mereka juga dapat menghabiskan kekekalan bersama Tuhan sebagai orang pilihan (Matius 28:18–20).
Bagaimana kita bisa hidup di dunia tetapi berfokus ke surga? Itu tidak mudah, apalagi jika kita mengalami penderitaan atau masalah. Sekalipun ada rumput di lahan yang kita diami, rumput di lahan tetangga selalu terlihat lebih hijau. Dalam hal ini, orang percaya dapat menantikan saat ketika setiap rasa sakit dan masalah yang kita alami dengan tubuh duniawi kita akan ditukar dengan tubuh yang baru dan lebih baik, yang akan bertahan selamanya bersama Tuhan.
Pagi ini, Paulus mengingatkan para pembaca bahwa Allah yang sempurna ini, dengan tubuh kebangkitan yang sempurna, tentu memiliki kuasa untuk kembali dan menyediakan tubuh yang dimuliakan bagi mereka yang percaya kepada-Nya. Orang-orang percaya yang adalah warga surgawi dari berbagai bangsa yang dapat merasa terhibur dengan masa depan mereka, mengetahui bahwa Allah memiliki kuasa untuk mengubah tubuh kita dan menjaga kita tetap aman bersama-Nya dalam kerajaan-Nya yang akan datang.
“Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Kolose 3:1-2