“Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang.” 2 Petrus 1:5-7

Banyak orang Kristen yang percaya bahwa untuk menjadi umat Tuhan, percaya saja sudah cukup. Keyakinan ini malah sudah pernah dinyatakan dengan lagu lama “Percaya saja”, yang syairnya berbunyi:
Percaya saja, percaya saja
Percaya yang b’ri kita menang
Percaya saja di dalam darah-Nya
Percaya, tentu kita menang
Percaya saja, pasti kita diselamatkan. Lalu percaya apa? Yakobus 2:19 mengajar, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” Yakobus disini sedang menyorot perbedaan antara pengakuan fakta secara intelektual dengan iman sejati yang menyelamatkan. Rupanya ada yang mengklaim bahwa, karena mereka mempercayai Allahnya Musa dan mereka dapat mengulangi Ulangan 6:4, yang berbunyi, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” maka mereka sudah berada dalam hubungan baik dengan Allah. Yakobus menolak anggapan itu dengan membandingkan kepercayaan itu dengan pengetahuan yang dimiliki para iblis. Para iblis lebih paham akan realita Allah dibanding sebagian besar manusia, namun mereka tidak berhubungan baik dengan Allah. Para iblis “percaya” beberapa hal yang benar tentang Allah – mereka tahu Ia berdaulat, Mahakuasa, dsb. – tetapi teologi mereka tidak dapat digolongkan sebagai iman. Tidak ada keselamatan bagi para iblis, meskipun mereka mengakui kebenaran tentang esanya Allah.
Dalam kitab 2 Petrus 1, Petrus pada awalnya merangkum manfaat luar biasa yang telah kita terima dalam mengenal Allah melalui iman kepada Kristus. Kita telah diperlengkapi untuk mengikuti teladan kemuliaan dan kebaikan Yesus. Kita tidak kehilangan apa pun yang kita butuhkan untuk menjalani hidup yang Dia panggil untuk kita jalani. Lebih dari itu, melalui iman kepada Yesus, kita telah diberi hak untuk berpartisipasi, saat ini juga, dalam kodrat Allah. Kita dapat bermitra dengan Kristus dalam memenuhi tujuan Allah di bumi. Kita telah dibebaskan dari kerusakan akibat dosa.
Semua itu terdengar fantastis, tetapi apa artinya bagi kita saat ini? Mengapa tampaknya banyak orang Kristen begitu jauh dari berpartisipasi dalam kodrat Allah, tidak hidup dengan tujuan, sukacita, dan kasih Kristus? Mengapa sebagian orang terus hidup dalam dosa yang darinya kerusakan seharusnya telah kita bebaskan? Lebih dari itu, banyak pendeta yang di zaman ini tidak mau mengajarkan prinsip hidup saleh, dan sebaliknya sering menekankan bahwa “sekali diselamatkan, tetap selamat”. Mereka selalu bersemangat mengajarkan kedaulatan Tuhan, tetapi mengabaikan pentingnya hidup saleh dan moralitas Kristen. Masih perlukan kesalehan sesudah kita diselamatkan?
Ayat 2 Petrus 1: 5-7 memberi kita petunjuk hidup saleh kepada kita. Jika kita benar-benar orang percaya, Allah telah memberi kita semua yang kita butuhkan untuk hidup seperti Yesus,. Dengan demikian, sekarang kita harus benar-benar menggunakan karunia-karunia itu. Dan itu berarti bekerja untuk kemuliaan Tuhan. Sebelum kita menerima anugerah kasih karunia Allah, kita tidak memiliki kemampuan dan keinginan untuk hidup dalam kemuliaan dan kebaikan Yesus. Sekarang setelah kita diberi kuasa untuk melakukannya, kita harus “berusaha keras” untuk menambahkan kualitas-kualitas kekristenan ke dalam iman kita, atau “bersama-sama dengan iman kita”.
Sebagai orang percaya, kita harus mau hidup baru karena apa yang kita yakini benar adanya. Dengan iman, kita datang kepada Kristus. Sekarang, dengan kuasa Kristus, kita harus berusaha untuk menambahkan kebaikan ke dalam iman kita, dan menambahkan pengetahuan ke dalam kebaikan kita dan seterusnya. Ayat-ayat di atas membahas gagasan-gagasan tambahan tentang rangkaian sifat-sifat yang harus kita, sebagai orang Kristen, upayakan untuk membangunnya dalam kehidupan kita.
Ringkasan konteks 2 Petrus 1:3-15 mendesak orang Kristen untuk memahami bahwa mereka, saat ini, diperlengkapi sepenuhnya untuk menjalani kehidupan yang telah Allah panggil bagi mereka. Karena mereka diperlengkapi, mereka harus menggunakan alat-alat tersebut melalui upaya pribadi. Mereka harus berusaha untuk menambahkan kebaikan Kristus dan kualitas-kualitas rohani lainnya ke dalam iman yang telah mereka jalani.
Petrus memulai surat singkat ini kepada orang Kristen dengan mengingatkan mereka bahwa mereka tidak kehilangan apa pun yang mereka butuhkan untuk menjalani kehidupan yang baik dan saleh yang menjadi panggilan mereka. Oleh karena itu, mereka harus bekerja untuk menambahkan kebaikan dan sifat-sifat Yesus pada iman mereka. Ini membutuhkan usaha, tidak seperti keselamatan kekal yang tidak didasarkan pada pekerjaan kita. Mereka yang tidak memiliki sifat-sifat positif ini akan hidup sebagai hamba Tuhan yang tidak produktif dan tidak efektif, hampir sama butanya dengan orang-orang yang tidak percaya dan lupa bahwa dosa-dosa mereka telah diampuni. Petrus, yang hampir meninggal, bersikeras bahwa kesaksiannya sebagai saksi mata tentang transfigurasi menegaskan bahwa nubuat-nubuat tentang Mesias adalah benar. Yesus akan datang kembali.
Bertumbuh dalam kualitas-kualitas tersebut menuntun kepada kehidupan yang produktif dan efektif dalam mengenal Tuhan. Tidak memiliki sifat-sifat Kristus akan berakibat sebaliknya. Petrus terus mengingatkan pembaca tentang apa yang sudah mereka ketahui, untuk terus menggugah mereka, untuk memastikan mereka mengingat semua ini setelah Ia meninggal (yang akan segera terjadi).
Dalam ayat 3 dan 4, Petrus memberi tahu kita bahwa orang Kristen, melalui iman, telah menjadi peserta dalam kodrat ilahi. Kita diperlengkapi sepenuhnya untuk menjalani kehidupan yang Tuhan panggil kita untuk jalani. Kemudian dalam ayat 5, ia menyatakan bahwa kita harus “berusaha keras” untuk menambahkan daftar kualitas seperti Kristus ke (atau di samping) iman kita. Jika digabungkan, daftar kualitas ini menggambarkan kehidupan seorang Kristen yang berpartisipasi dalam kodrat Allah. Seperti yang ditunjukkan dalam daftar ini, ada urutan logis untuk karakteristik ini. Masing-masing merupakan persyaratan yang diperlukan untuk kualitas yang mengikutinya.
Pertama, karena kita telah diperlengkapi untuk hidup seperti Yesus, kita harus berusaha untuk menambahkan kebaikan, atau “keunggulan moral,” ke dalam iman kita. Ini berarti bahwa kita akan berusaha untuk berbuat baik, dengan kuasa Allah, di dunia sekarang, seperti yang Yesus lakukan di tempat kita. Kebaikan ini menjadi dasar bagi kualitas-kualitas lainnya.
Kita juga harus menambahkan pengetahuan. Ini adalah pemahaman yang lebih mendalam tentang Tuhan kita, melalui Firman-Nya, doa, dan sebagainya, yang menginformasikan kebaikan kita. Sekadar ingin berbuat baik saja tidak cukup; kita harus tahu apa itu kebaikan dengan mengenal Tuhan.
Selanjutnya, kita harus menambahkan pengendalian diri. Tanpa kemampuan untuk mengendalikan diri, pengetahuan kita tentang kebaikan, dan keinginan untuk melakukannya, keduanya tidak ada nilainya. Pengendalian diri adalah pengekangan dorongan kita dari waktu ke waktu. Ini adalah kemampuan untuk membuat pilihan yang tepat, di saat-saat ketika godaan menyerang kita.
Kemudian kita harus menambahkan ketekunan. Ketekunan adalah kemampuan untuk mempraktikkan pengendalian diri dari waktu ke waktu. Lari cepat kita untuk berbuat baik berubah menjadi maraton. Pilihan kita dari waktu ke waktu, jam ke jam, hari ke hari akhirnya berubah menjadi gaya hidup. Ketekunan adalah kemampuan untuk mempertahankan pengendalian diri, bahkan ketika tekanan godaan terus menyerang kita.
Selanjutnya, Petrus menambahkan kesalehan. Ini menjaga kebaikan kita agar tidak sekadar kebaikan manusiawi. Ini adalah kebaikan ilahi. Ini adalah keunggulan moral yang mencerminkan sifat Tuhan sendiri, bukan “kebaikan” manusia yang bersifat sementara dan terikat pada dunia.
Petrus menulis bahwa kita juga harus menambahkan kasih sayang persaudaraan, atau kasih sayang, di samping kesalehan. Idenya adalah bahwa kita menjadi termotivasi untuk berbuat baik bagi satu sama lain. Ini seharusnya datang dari rasa keterhubungan. Ini adalah jenis hubungan yang dialami dalam keluarga terdekat. Dan, sungguh, saudara-saudari kita di dalam Kristus adalah keluarga kita. Petrus memanggil kita untuk “berusaha keras” untuk mengembangkan kasih sayang kekeluargaan bagi satu sama lain. Meskipun terkadang sulit, kita harus berusaha untuk benar-benar bisa “menyayangi”satu sama lain, sehingga kita ingin berbuat baik bagi satu sama lain. Ini tidak mudah karena dalam kenyataannya, di dalam gereja sering terjadi permusuhan atau pertengkaran antar saudara seiman.
Pagi ini, kita melihat bahwa puncak kualitas-kualitas kesalehan adalah kasih. Tuhan adalah kasih, dan kebaikan Yesus dimotivasi oleh kasih-Nya kepada Bapa dan kasih-Nya kepada kita. Istilah Petrus untuk “kasih” di sini berasal dari akar kata Yunani agape, yang merujuk pada kepedulian tanpa pamrih dan penuh pengorbanan demi kebaikan orang lain. Jadi, masuk akal jika alasan utama kita untuk berbuat baik adalah kasih yang rela berkorban yang sama yang ditunjukkan Kristus bagi kita. Hanya dengan mengasihi orang lain, kita akan bisa merasakan betapa besarnya kasih Yesus kepada kita.
“Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita.” 2 Petrus 1: 8