“Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri. Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu! 1 Korintus 6: 18-20

Hubungan seksual adalah bagian hidup manusia yang sebenarnya merupakan berkat dari Tuhan yang menciptakan pria dan wanita. Walaupun demikian, selama sejarah manusia hal ini bisa menjadi berkat atau kutukan, tergantung pada mereka yang memakainya. Raja Dayd misalnya, jatuh ke dalam berbagai masalah karena tergiur kepada Betsyeba.
Kisah Daud dan Batsyeba adalah salah satu kisah paling dramatis dalam Perjanjian Lama. Suatu malam di Yerusalem, Raja Daud sedang berjalan di atas atap istananya ketika ia melihat seorang wanita cantik sedang mandi di dekatnya (2 Samuel 11:2). Daud bertanya kepada para pelayannya tentang wanita itu dan diberitahukan bahwa wanita itu adalah Batsyeba, istri Uria, orang Het, salah satu pahlawan Daud (2 Samuel 23:39). Dosa Daud bermula dari matanya dan berlanjut dengan berbagai dosa lain. Terlepas dari status pernikahannya, Daud memanggil Batsyeba ke istana, dan mereka tidur bersama.
Batsyeba kemudian mengetahui bahwa ia hamil (2 Samuel 11:5), dan ia memberitahukannya kepada Daud. Reaksi raja Daud adalah berusaha menyembunyikan dosanya. Daud memerintahkan Uria untuk melaporkan kepadanya dari medan perang. Suami Batsyeba itu dengan patuh memenuhi panggilan Daud, dan Daud menyuruhnya pulang, dengan harapan Uria akan tidur dengan Batsyeba dan dengan demikian menutupi kehamilannya. Alih-alih mematuhi perintah Daud, Uria malah tidur di kamar para pelayan istana, menolak untuk menikmati waktu istirahat dengan Batsyeba sementara anak buahnya di medan perang masih dalam bahaya (2 Samuel 11:9-11). Uria juga melakukan hal yang sama pada malam berikutnya, menunjukkan integritas yang sangat kontras dengan Daud yang tidak memilikinya.
Daud adalah orang yang bersalah atas dosa seksual ini, dan penghakiman akan ditimpakan ke atas keluarganya dalam bentuk kekerasan yang berkelanjutan. Daud dihukum Tuhan. Anak Daud meninggal seminggu sesudah lahir, dan rumah tangga Daud mengalami kesulitan lebih lanjut di tahun-tahun berikutnya. Secara keseluruhan, empat anak Daud mengalami kematian yang terlalu cepat – penghakiman “empat kali lipat” yang diucapkan Daud kepada dirinya sendiri.
Dalam kisah Daud dan Batsyeba, kita menemukan banyak pelajaran. Pertama, dosa yang tersembunyi akan ketahuan. Kedua, Tuhan akan mengampuni siapa saja yang bertobat. Ketiga, konsekuensi dosa tetap ada meskipun dosa itu telah diampuni. Keempat, Tuhan dapat bekerja bahkan dalam situasi yang sulit sekalipun. Anak Daud dan Batsyeba yang berikutnya, Salomo, menjadi pewaris takhta. Bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun, Tuhan memiliki rencana yang sesuai dengan tujuan-Nya yang berdaulat. Tetapi ini bukan berarti bahwa Tuhan merencanakan kejatuhan Daud agar Ia mencapai tujuan-Nya. Setiap umat Tuhan mempunyai pilihan atas apa yang baik dan apa yang buruk. Adalah kewajiban kita untuk taat kepada Tuhan dan menghindari dosa apa pun.
Kitab 1 Korintus 6 melanjutkan konfrontasi Paulus dengan orang-orang Kristen Korintus mengenai berbagai masalah di gereja. Bagian-bagian sebelumnya membahas masalah perpecahan menjadi beberapa golongan, dan toleransi terhadap dosa seksual yang merajarela di sana. Paulus juga marah karena mereka akan membawa satu sama lain ke pengadilan dalam gugatan atas masalah-masalah kecil. Daripada saling menuntut di hadapan orang-orang yang tidak percaya, mereka seharusnya menyelesaikan masalah-masalah sepele di gereja. Kedua, Paulus mendesak mereka untuk hidup sesuai dengan identitas baru mereka di dalam Kristus daripada hidup sesuai dengan standar-standar budaya yang tidak bermoral secara seksual. Hal ini memicu diskusi tentang pernikahan di bab 7.
Ayat 1 Korintus 6:12–20 menggambarkan keberatan Paulus kepada mereka di gereja Korintus yang memiliki sikap acuh tak acuh terhadap amoralitas seksual. Kota Korintus pada waktu itu adalah kota di mana penduduknya menikmati berbagai dosa seksual. Ini mungkin sering dibayangkan orang secara berlebihan, tetapi kota-kota modern seperti Bangkok dan Jakarta mungkin tidak banyak berbeda.
Dalam budaya penyembah berhala Yunani-Romawi pada zaman Paulus, seks dalam bentuk apa pun telah menjadi hal yang normal bagi hampir semua orang. Itu termasuk pelacuran, perzinahan, pedofilia, homoseksualitas, dan sebagainya. Tumbuh dalam lingkungan ini, tidak mengherankan jika beberapa orang Kristen di Korintus merasa kesulitan untuk melihat seks di luar nikah sebagai masalah besar. Paulus telah menghabiskan bab ini untuk menunjukkan mengapa menghindari amoralitas seksual sangat penting bagi orang percaya. Dengan kata lain, sekalipun keselamatan kita bukan berdasarkan kesucian, kesucian adalah tujuan hidup kita karena itu adalah perintah Tuhan kepada setiap umat-Nya.
Di luar hukum formal dan harfiah, Paulus menegaskan standar untuk perilaku Kristen merupakan jawab atas pertanyaan apakah suatu tindakan akan bermanfaat atau memperbudak. Seks lebih dari sekadar fungsi tubuh; Allah merancangnya untuk menyatukan dua orang menjadi satu tubuh dalam pernikahan. Persatuan dengan orang lain itu menggambarkan Kristus, yang juga mempersatukan kita dengan Dia, ke dalam persatuan abadi. Di masa depan tubuh kita akan dibangkitkan, tetapi pada saat ini hidup kita dimaksudkan untuk membawa kemuliaan bagi Allah. Sayang sekali, pesan Paulus ini jarang diucapkan di mimbar gereja sekalipun bentuk penyelewengan seksual di zaman ini ada berbagai macam, seperti hubungan seksual antar sejenis, hubungan seksual antara manusia dan hewan, dan hubungan seksual dengan anak dibawah umur. Lebih dari itu, ada banyak penyelewengan seksual yang dilakukan oleh pimpinan gereja.
Paulus memberi mereka strategi untuk menghadapinya: lari. Ia memberi tahu mereka untuk menjauh dari amoralitas seksual. Tindakan defensif yang paling baik dalam menghadapi musuh yang kuat adalah lari untuk menjauhkan diri. Larilah seolah-olah Anda sedang melarikan diri dari sesuatu yang mungkin akan menyakiti Anda, karena itu akan terjadi. Bahkan jika budaya zaman sekarang membenci Anda karenanya, lebih baik melarikan diri dari dosa seksual daripada ditaklukkan olehnya (Kejadian 39:7–12).
Banyak orang Kristen yang menganggap semua dosa adalah sama. Itu benar dalam hal kontras dengan kemahasucian Tuhan. Tetapi Paulus menunjukkan bahwa amoralitas seksual berbeda dari jenis dosa lainnya karena itu adalah bentuk menyakiti diri sendiri. Kita mungkin melakukan dosa-dosa lain dengan tubuh kita, tetapi amoralitas seksual menyatukan kita dengan orang lain secara berdosa. Ini terjadi pada tingkat fisik dan spiritual yang mendalam. Kita akan mengalami konsekuensi alami dari dosa itu pada tingkat yang mendalam juga. Dosa seksual (nafsu birahi, lust) adalah salah satu dari tujuh dosa yang membinasakan.
Penting untuk dicatat bahwa Paulus tidak menulis bahwa amoralitas seksual adalah dosa terburuk dari semua dosa, seperti yang kadang-kadang kita simpulkan. Sebaliknya, ia memerangi sikap acuh tak acuh terhadap dosa seksual yang dimiliki oleh beberapa orang Kristen dalam budaya dan pengertian teologis tertentu. Selain menyakiti orang lain, amoralitas seksual berkontribusi pada rasa sakit kita sendiri yang mendalam. Itu tidak lebih atau kurang dibandingkan dengan dosa-dosa yang lain, tetapi budaya manusia zaman sekarang (dan gereja juga) cenderung memperlakukannya lebih acuh tak acuh daripada kesalahan lainnya.
Paulus menegur orang-orang Kristen di gereja Korintus tentang amoralitas seksual. Tegurannya berlaku untuk kita juga. Rupanya, beberapa orang berpendapat bahwa karena tubuh kita akan mati dan membusuk, tidak masalah apa yang kita lakukan dengan tubuh kita. Yang penting hanyalah roh di dalam diri kita, kata mereka. Yang penting adalah sudah dipilih Tuhan untuk diselamatkan, kata beberapa orang Kristen zaman sekarang. Dengan demikian, mereka mungkin berpendapat bahwa mereka bebas untuk melakukan ekspresi seksual apa pun yang mereka suka (1 Korintus 6:12–13). Paulus telah menolak ajaran-ajaran sesat ini.
Anggapan bahwa tubuh kita tidak penting pada dasarnya salah. Tubuh orang Kristen adalah tempat tinggal Roh Kudus. Dalam arti tertentu, Paulus mengangkat tubuh kita ke tingkat sebagai bait suci, tempat kudus, yang menampung Roh Allah. Allah memberikan Roh-Nya kepada setiap orang yang percaya kepada Kristus untuk keselamatan (Efesus 1:13–14). Secara misterius, kita membawa Roh-Nya di dalam tubuh kita.
Dengan mengingat hal itu, Paulus menambahkan bahwa tubuh kita sebenarnya bukan lagi tubuh kita karena Allah telah membeli kita. Dia telah membayar penebusan dosa kita dengan darah Yesus (Efesus 1:7). Kristus telah menebus kita dari kutukan hidup di bawah hukum Musa dengan menjadi kutukan bagi diri-Nya sendiri (Galatia 3:13). Dalam pengertian itu, kita menjadi milik Allah ketika kita datang kepada-Nya melalui iman kepada Yesus. Semua orang pilihan adalah orang yang tunduk kepada Yesus. Itulah sebabnya kita tidak boleh menggunakan tubuh dan pikiran sesuka hati kita.
Jika kita benar-benar di dalam Kristus, kita akan sadar benar-benar bukan milik kita sendiri. Hidup kita, termasuk tubuh kita, adalah milik Allah. Ini berarti memberi Roh Kudus otoritas tertinggi untuk memberi tahu kita apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dengan tubuh kita. Orang kristen yang sejati seharusnya sadar untuk tidak mendukakan Roh Kudus.
“Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan.” Efesus 4:30
Penting untuk memperhatikan sesuatu tentang argumen terakhir terhadap amoralitas seksual ini. Ini hanya berlaku bagi orang percaya. Hanya mereka yang ada di dalam Kristus yang telah ditebus oleh darah-Nya dan dibawa dari kegelapan kepada terang (1 Korintus 1:12–13). Kata-kata ini bukan untuk mereka yang tetap berada dalam kegelapan. Paulus tidak memerintahkan mereka yang berada di luar gereja, orang-orang yang tidak percaya, untuk hidup sesuai dengan standar-standar Allah mengenai moralitas seksual (1 Korintus 5:12). Dosa mereka tetaplah dosa, tetapi kita tidak dapat mengharapkan mereka untuk mengenalinya sebagai dosa (1 Korintus 2:14). Karena itu, kita tidak dapat memakai dalih bahwa kita melakukan suatu dosa karena semua orang juga melakukan hal yang serupa, yang mungkin tidak melawan hukum dunia.
Sebaliknya, mereka yang menjadi milik Allah diperintahkan untuk memuliakan Allah dengan tubuh mereka. Kita wajib taat kepada perintah-Nya. Hanya mereka yang berada di dalam Kristus yang wajib dan dimampukan untuk menggunakan tubuh mereka untuk mendatangkan kemuliaan bagi Allah. Karena dosa seksual juga bisa melibatkan mata, pikiran, dan perkataan kita, kita harus menjaga kebersihan semua anggota tubuh kita. Jangan sampai kita terlena, karena itu adalah tujuan hidup kita saat ini. Keterlibatan diri dalam dosa seksual secara egois menghalangi kita sebagai orang Kristen untuk memenuhi tujuan penciptaan dan penyelamatan kita.
“Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.” Matius 6:22-23