(6) Janganlah kamu disesatkan orang dengan kata-kata yang hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka. (7) Sebab itu janganlah kamu berkawan dengan mereka. (8) Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, (9) karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran, (10) dan ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan. Efesus 5:6-10

Seorang influencer adalah orang yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi opini, perilaku, dan keputusan pembelian orang lain melalui konten yang mereka bagikan di platform media sosial. Mereka adalah orang-orang yang memiliki banyak pengikut (follower) dan mampu mempengaruhi orang lain berasal dari keahlian, pengetahuan, atau gaya hidup yang mereka tunjukkan. Sebagai contohnya, berbagai selebriti, blogger, YouTuber, tokoh publik dan bahkan tokoh gereja yang sering menerbitkan berbagai ulasan, pendapat, ajaran dan kupasan di media sosial.
Para influencer media sosial memiliki efek yang luas, baik positif maupun negatif, yang mencakup peningkatan penjualan, pengaruh terhadap gaya hidup, dan bahkan dampak psikologis pada pengikut. Selain itu mereka mungkin juga mempunyai peran dalam membentuk pandangan sosial, agama, politik dan budaya orang lain. Tidaklah mengherankan bahwa dalam suasana globalisasi abad ini, negara-negara tertentu memakai banyak influencer untuk mengabarkan apa yang baik tentang negara itu sambil menjelek-jelekkan negara lain. Bahkan, dalam bidang keagamaan, banyak tokoh-tokoh agama/gereja yang melakukan hal yang serupa dalam hal kerohanian.
Pengikut influencer mungkin salah menganggap konten yang dipromosikan oleh influencer sebagai fakta atau saran yang valid, yang dapat menyebabkan keputusan yang salah atau berbahaya. Dalam kenyataannya, banyak influencer menampilkan berita bohong atau hoax yang dapat menimbulkan keresahan, kerugian finansial, dan merusak reputasi orang/golongan lain. Hoax seringkali juga digunakan untuk menyulut kebencian, kemarahan, dan hasutan yang dapat mengganggu kestabilan politik dan keamanan negara.
Jika istilah influencer media sosial baru dikenal pada abad 21, kata influencer seharusnya bisa dipakai sejak zaman Adam dan Hawa, yang ditipu oleh influencer besar: iblis. Untuk melawan pengaruh iblis, dalam Efesus 5 Paulus memberi nasihat kepada jemaat Efesus untuk meniru Kristus. Paulus berpesan bahwa orang Kristen harus menghindari amoralitas seksual, bahasa vulgar, kebodohan, dan sikap tidak pantas lainnya yang mungkin disampaikan oleh para “influencer” di Efesus. Paulus memperingatkan bahwa mereka yang terus-menerus melakukan dan mengajarkan perilaku ini bukanlah bagian dari kerajaan Allah.
Efesus 5:1–21 melanjutkan petunjuk Paulus yang sangat berharga tentang bagaimana orang Kristen harus menjalankan iman mereka. Daripada meniru dunia, atau dikendalikan oleh hal-hal duniawi, orang Kristen harus dipenuhi dengan Roh. Cacat-cacat tertentu seperti amoralitas seksual, ucapan kasar, dan pemborosan waktu tidak dianjurkan, dan bahkan harus dihindari. Orang percaya harus tunduk satu sama lain karena menghormati Kristus, dan mau memberikan kesaksian yang kuat kepada dunia tentang apa yang baik di mata Allah.
Paulus memperingatkan orang-orang Kristen agar tidak disesatkan oleh pengaruh duniawi. Ada banyak orang (di luar dan di dalam lingkungan gereja) yang dapat menjadi influencer yang menipu orang-orang Kristen untuk merasa “aman” dalam melakukan amoralitas seksual; atau berbicara secara bodoh, biasanya dengan menyarankan bahwa tidak ada salahnya melakukan hal ini dan itu jika mereka adalah orang pilihan. Dalam hal ini, orang-orang Kristen sejati tidak kebal terhadap godaan seksual (Ibrani 4:15), tetapi sebenarnya sudah diberdayakan Tuhan untuk mengenalinya, menolaknya, dan menggantinya dengan tindakan-tindakan saleh (1 Korintus 10:13).
Paulus kemudian mengingatkan para pembacanya tentang masa depan orang-orang yang berusaha menipu mereka: penghakiman Allah. “Murka Allah” disebutkan oleh Yesus (Yohanes 3:36), dan sering kali oleh Paulus (Roma 1:18; 5:9; 12:19; Kolose 3:6), serta rasul Yohanes (Wahyu 14:19; 15:1, 7; 16:1; 19:15). Penghakiman ini sekali lagi mencerminkan keyakinan Paulus bahwa mereka yang tidak mau berusaha meniru Allah adalah orang-orang yang tidak percaya dan yang akan mengalami murka Allah. Sebaliknya, orang-orang percaya diselamatkan dari murka Allah oleh darah Kristus (Roma 5:9). Sekali lagi, ini bukan merujuk pada dosa-dosa yang terjadi sesekali, tetapi kepada mereka yang “berjalan dalam kegelapan,” atau menjadikan perilaku seperti itu sebagai kebiasaan.
Kata-kata Paulus dalam ayat 7 memberikan instruksi yang singkat namun kuat. “Rekan sekerja” adalah mereka yang bekerja sama dalam suatu hubungan yang saling terhubung. Orang percaya dan orang yang tidak percaya tidak boleh berhubungan dekat. Segala perbuatan orang yang mengaku Kristen tetapi hidup dalam dosa dapat menodai orang percaya dan dapat merusak reputasi gereja (Efesus 5:3-4).
Tentu saja, ini tidak berarti orang Kristen harus menghindari semua kontak atau pergaulan dengan orang yang bukan Kristen. Dunia ini dihuni oleh anak-anak terang dan anak-anak gelap (Matius 5:45). Yesus adalah sahabat orang berdosa (Matius 11:19). Meniru Dia mengharuskan kita untuk menunjukkan kasih dan teladan yang baik kepada orang yang belum diselamatkan di saat kita menginjili mereka. Namun, ada batasan tertentu dalam Alkitab. Jika kita melanggar batas-batas firman Tuhan, kita dapat memberi kesan pada orang lain bahwa kita menyetujui apa yang Tuhan sebut dosa.
Orang percaya harus dikenal karena kehidupan mereka yang kudus (Efesus 5:3-4) yang berbeda dari dunia (Efesus 5:5-6). Ini bukan cara hidup orang Farisi yang munafik. Gereja, termasuk semua orang percaya di dalam Kristus, adalah mempelai Kristus (Efesus 5:25-33) dan tiang kebenaran (1 Timotius 3:15-16). Orang percaya tidak dapat lagi hidup seperti sebelum mengenal Kristus (Efesus 5:8), tetapi harus melakukan apa yang menyenangkan Allah (Efesus 5:9). Instruksi Paulus dalam Efesus 5:8-21 terus menekankan tema-tema ini, yang membedakan kehidupan orang percaya dan orang yang tidak percaya. Oleh sebab itu, sebagai orang Kristen sejati, kita tidak boleh ragu dalam melaksanakan firman Tuhan untuk hidup kudus. Kehidupan orang percaya harus terlihat sangat berbeda dari orang yang tidak percaya. Ini memerlukan usaha kita. Bukan Que Sera Sera (apa yang akan terjadi biarlah terjadi). Dalam banyak kasus, ini berarti kita sengaja menjaga jarak hidup kerohanian dan moralitas antara kita yang diselamatkan dan mereka yang tidak diselamatkan. Jangan sampai kita dipengaruhi oleh mereka yang mungkin mengaku Kristen atau simpatisan Kristen, dan mungkin juga tokoh gereja, tetapi hidup mereka tidak menunjukkan ciri-ciri kekristenan.
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” 2 Korintus 6:14
Dalam Efesus 5:8, Paulus membandingkan masa lalu para pembacanya dengan status mereka saat ini. Setiap orang Kristen sejati pasti dapat melihat adanya perbedaan antara cara hidup di masa lalu dan cara hidup sekarang. Perbedaan prinsip moralitas ini adalah hasil pekerjaan Roh Kudus. Sebelum mengenal Kristus, semua manusia berada dalam “kegelapan.” Sebagai orang percaya, mereka adalah “terang di dalam Tuhan.” Kontras antara gelap/terang sudah ada sejak Kejadian 1 dan umumnya dikaitkan dengan kejahatan versus kebaikan, persis seperti yang Paulus gunakan dalam konteks ini.
Berdasarkan status baru mereka, Paulus memerintahkan para pembacanya untuk, “Hiduplah sebagai anak-anak terang.” Paulus menggunakan frasa ini dalam satu bagian lain, 1 Tesalonika 5:5, di mana ia menggambarkan orang Kristen sebagai “anak-anak terang, anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan.” Dalam bagian itu, penekanannya adalah pada hidup “terjaga,” waspada untuk menaati Tuhan. Ini adalah tema yang Paulus catat lagi dalam Efesus 5:14. Penerapan serupa Paulus di sini adalah hidup dalam ketaatan sebagai orang percaya. Orang Kristen harus meniru Allah (Efesus 5:1), hidup dalam kasih (Efesus 5:2), dan menjauhi tindakan berdosa (Efesus 5:3-6). Mereka tidak boleh hidup seperti orang yang tidak percaya atau menjadi “mitra” dengan mereka (Efesus 5:7).
Dalam ayat 9, Paulus menyisipkan penjelasan tambahan tentang apa artinya hidup sebagai anak-anak terang. Paulus menyebutkan “buah terang” sebagai rujukan kepada “hasil” kehidupan. Dengan kata lain, ketaatan Kristen ditemukan dalam “segala yang baik, adil dan benar.” Ketiga kata tersebut mengungkapkan konsep yang sama tentang tindakan yang mulia dan menyenangkan Allah.
Dua tema dicatat dalam ayat 10. Pertama, orang percaya harus memiliki kebijaksanaan. Paulus mencatat di tempat lain hubungan antara kebijaksanaan dan menyenangkan Tuhan, dalam Roma 12:2: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Kedua, orang percaya harus menyenangkan Tuhan. Orang percaya tidak boleh hidup hanya untuk menyenangkan orang lain (Efesus 6:6) sekalipun ketika kita bekerja untuk orang lain, kita harus melayani dia dengan baik. Namun, tujuan utama orang percaya adalah untuk menyenangkan Tuhan, bukan manusia (1 Tesalonika 2:4).
Pagi ini, kita harus sadar bahwa di dunia ini ada banyak influencer yang ingin memengaruhi kita. Iblis adalah bapa semua influencer, baik yang ada di luar gereja maupun di dalam gereja. yang berusaha membuat cara hidup kita jauh dari apa yang dikehendaki Allah. Iblis, dalam konteks Alkitab, dikenal sebagai “bapa segala dusta” (Yohanes 8:44) karena ia adalah sumber kebohongan dan penentang kebenaran. Biarlah kita tetap waspada selama hidup di dunia dan rajin memelajari serta melaksanakan firman Tuhan!
“Akhirnya, saudara-saudara, kami minta dan nasihatkan kamu dalam Tuhan Yesus: Kamu telah mendengar dari kami bagaimana kamu harus hidup supaya berkenan kepada Allah. Hal itu memang telah kamu turuti, tetapi baiklah kamu melakukannya lebih bersungguh-sungguh lagi.” 1 Tesalonika 4:1