Siapa yang membunuh Yesus?

Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: ”Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Matius 26:39

Hari ini adalah hari Jumat Agung. Pada hari ini banyak orang pasti mendengarkan khotbah tentang kematian Kristus di gereja; dan karena itu, ada dua fakta teologis yang sangat penting yang harus selalu kita ingat ketika kita merenungkan kematian-Nya di kayu salib.

  • Yesus dengan suka rela mati bagi kita.
  • Kematian Yesus disebabkan oleh kehendak Allah dan tindakan manusia.

Yesus dengan suka rela mati bagi kita.

Ayat di atas sudah sering kita baca. Tetapi, jika kita tidak memahami kematian Kristus sebagai sesuatu yang sukarela, maka kita tidak memahami intisari kematian-Nya. Jika kita berpendapat bahwa kematian Yesus hanya karena sudah ditetapkan oleh Allah Bapa saja, maka kita masih belum bisa membayangkan betapa besar kasih-Nya.

Yesus sendiri bersaksi tentang pengorbanan-Nya yang sukarela: “Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku.” (Yohanes 10:17-18).

Yesus, sang gembala yang baik, menyerahkan diri-Nya sendiri, tapa paksaan, untuk keselamatan kita. Seperti itu juga, kita seharusnya ingin untuk melakukan hal yang sama: “dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” (Efesus 5:2).

Kesediaan Kristus tidak hanya mencakup kematian sukarela-Nya di kayu salib. Sebaliknya, seluruh hidup-Nya merupakan persembahan dan ketaatan yang sukarela kepada kehendak Allah. Dari palungan sampai ke kubur, Yesus bertindak atas dasar kasih melalui kehendak suci-Nya, yang membuat ketaatan-Nya dapat diterima oleh Allah. Seperti itu juga, kita harus persembahkan diri kita secara sukarela untuk menjadi persembahan hidup yang kudus.

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu: persembahkanlah dirimu sebagai persembahan hidup yang kudus, yang berkenan kepada Allah; itu adalah ibadahmu yang sejati.” Roma 12:1

Kematian Yesus disebabkan oleh kehendak Allah dan tindakan manusia.

Banyak peristiwa yang membawa ke arah penyaliban Yesus, dan ada orang-orang yang sepenuhnya bertanggung jawab atas kematian-Nya. “..Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati.” (Matius 20:18). Petrus juga menjelaskan hal ini dengan tegas dalam khotbahnya pada hari Pentakosta kepada orang-orang Yahudi, “telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka Yesus ini, …..yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus.” (Kisah Para Rasul 2:23, 36). Namun, pada saat yang sama, Petrus memberi tahu kita bahwa Yesus adalah “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya” (Kisah Para Rasul 2:23). Dalam satu ayat, Petrus menempatkan kedaulatan ilahi dan tanggung jawab manusia secara berdampingan dan tanpa pertentangan, seolah-olah berkata, “Kamu orang Yahudi telah membunuh Yesus yang disalibkan Allah.”

Dalam hal ini, ada 2 pertanyaan yang mungkin sulit dijawab.

  • Bagaimana manusia harus bertanggung jawab, jika semua yang terjadi sudah ditetapkan Allah?
  • Siapakah yang sebenarnya menyebabkan kematian Yesus di kayu salib?

Ini adalah pertanyaan yang sering didiskusikan banyak orang Kristen karena nampaknya kebebasan manusia dan kedaulatan Allah tidak kompatibel. Untuk itu, kita perlu mengenal prinsip kompatibilisme.

Kompatibilisme adalah upaya untuk menyelaraskan proposisi teologis bahwa setiap peristiwa ditentukan, ditahbiskan, dan/atau ditetapkan oleh Tuhan secara kausal, dalam arti segala sesuatu ada alasan atau penyebabnya (ini disebut faham determinisme lunak) – dengan adanya kehendak Tuhan dan kehendak bebas manusia. Determinisme berbeda dengan fatalisme yang menyatakan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan tanpa membutuhkan alasan atau sebab, dan tanpa peranan manusia (ini disebut faham determinisme keras).

Landasan konsep kompatibilisme adalah cara mendefinisikan “kehendak bebas” manusia. Dari sudut pandang teologis, definisi kehendak bebas harus dikaitkan dengan dosa asal dan kerusakan rohani manusia. Kedua kebenaran Alkitab ini memberikan definisi “kehendak bebas” dalam kaitannya dengan manusia yang telah jatuh sebagai “tawanan dosa” (Kisah Para Rasul 8:23), “hamba dosa” (Yohanes 8:34; Roma 6:16-17) dan hanya tunduk kepada “tuannya,” yaitu dosa (Roma 6:14). Apa arti semua ini?

Meskipun manusia “bebas” untuk melakukan apa yang diinginkannya, ia ingin bertindak sesuai dengan sifatnya. Karena sifat manusia yang telah jatuh adalah berdosa, setiap maksud dari pikiran hati manusia yang telah jatuh adalah “selalu jahat” (Kejadian 6:5, Kejadian 8:21). Manusia secara alami memberontak terhadap apa yang baik secara rohani (Roma 8:7-8; 1 Korintus 2:14), dan “hanya cenderung memberontak” (Amsal 17:11). Jika manusia berbuat jahat, itu adalah hasil pilihannya sendiri, bukan karena Tuhan yang membuatnya.

“Janganlah seorang berkata, waktu ia tergoda, ia tergoda dari Allah, karena Allah tidak dapat tergoda oleh yang jahat dan Ia juga tidak menyesatkan orang lain. Tetapi setiap orang tergoda oleh keinginannya sendiri, yang ditarik dan yang diikat oleh dosa itu.” Yakobus 1:13-14

Jadi, pada hakikatnya, manusia “bebas” untuk melakukan apa yang diinginkannya, dan ia dapat melakukan hal itu, tetapi manusia tidak dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan sifatnya. Apa yang “diinginkan” manusia untuk dilakukan tunduk pada, dan ditentukan semata-mata oleh kodratnya, yaitu dosa.

Secara teologis, meskipun manusia alami tidak dapat menundukkan dirinya kepada hukum Allah (Roma 8:7-8) dan tidak dapat datang kepada Kristus kecuali Bapa menariknya kepada-Nya (Yohanes 6:44), manusia alami tetap bisa bertindak bebas sehubungan dengan kodratnya. Dia dengan bebas dan aktif menolak kebenaran dan memilih ketidakbenaran (Roma 1:18) karena sifatnya yang membuatn dia tidak mampu melakukan yang sebaliknya (Roma 3:10-11).

Seperti yang tertulis di atas dan diungkapkan dalam Kisah Para Rasul 2:23-25, kematian Kristus di kayu salib dilaksanakan oleh “rencana yang telah ditentukan sebelumnya dan pengetahuan Allah sebelumnya.” Kisah Para Rasul 4:27-28 selanjutnya mengungkapkan bahwa tindakan Herodes, Pontius Pilatus, orang-orang bukan Yahudi, dan orang-orang Israel telah ditentukan dan ditetapkan oleh Allah sendiri untuk terjadi saat mereka “berkumpul bersama melawan” Yesus dan melakukan “apa yang telah diputuskan sebelumnya oleh kuasa dan kehendak Allah untuk terjadi.”

Jadi, meskipun Allah telah menetapkan bahwa Kristus harus mati, mereka yang bertanggung jawab atas kematian-Nya tetap dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Kristus dibunuh oleh orang-orang jahat, “tetapi TUHAN berkehendak meremukkan Dia dan membuat-Nya menderita” (Yesaya 53:10).

Pada hari Jumat Agung ini, kita menemukan jawaban atas pertanyaan “siapa yang membunuh Yesus?” adalah Allah dan orang-orang jahat—dua tujuan berbeda yang dilaksanakan oleh dua entitas dalam satu tindakan. Manusia yang membunuh Yesus karena dosa mereka, dan Allah yang mengurbankan Anak-Nya di kayu saib untuk menebus umat manusia.

Kita yang sudah menjadi manusia baru dalam Yesus Kristus, seharusnya sudah mempunyai sifat yang baru yang dipimpin oleh Roh Kudus. Kita sudah diberi kemampuan untuk membedakan apa yang jahat dan apa yang berkenan kepada Tuhan. Seperti Yesus, kita harus mau dengan sukarela untuk selalu menaati Firman Tuhan. Sebagai ciptaan baru, kehendak bebas yang kita miliki sekarang bisa membuahkan tindakan yang memuliakan Tuhan, yang sesuai dengan kehendak-Nya.

Pujilah Allah Bapa yang mahakasih dan mahasetia kepada umat-Nya! Pujilah Yesus yang mahakasih dan rela berkurban bagi domba-Nya!

Tinggalkan komentar