Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. 2 Korintus 12:9

Hanya sedikit kebohongan yang lebih memikat dan beracun dari klaim bahwa mengikuti Tuhan adalah sarana untuk meraih kesuksesan duniawi (1 Timotius 6:3–5). Alkitab dengan tegas mengajarkan bahwa kehidupan setiap manusia di dunia dapat melibatkan kesulitan, bahkan suatu kepastian bagi umat Kristen yang setia (Yohanes 15:19; 2 Korintus 5:2–6). Karena itu, ajaran eksplisit Yesus adalah bahwa orang Kristen harus siap menghadapi kesulitan, sebuah peringatan yang Ia berikan secara khusus untuk mencegah keputusasaan dalam menghadapi masa-masa sulit (Yohanes 16:33). Mereka yang mengajarkan bahwa kekayaan, penyembuhan, kemakmuran, atau keuntungan lainnya sedang menunggu siapa pun dengan iman yang “cukup”, bukan saja tidak alkitabiah, tetapi berpotensial untuk menghancurkan iman yang ada pada diri seseorang. Pengalaman Paulus dalam merupakan salah satu bukti paling kuat dalam Kitab Suci bahwa “kenyamanan adalah tanda iman” dan bentuk-bentuk lain dari teologi kemakmuran adalah palsu.
Ayat-ayat dalam 2 Krintus 12 mencakup pengalaman surgawi Paulus yang luar biasa (2 Korintus 12:1–3). Momen ini memberinya wawasan yang harus dirahasiakan (2 Korintus 12:4). Karena itu, dengan kerendahan hati semaksimal mungkin, Paulus menggambarkan pengalaman yang mencengangkan. Ia diangkat ke ”surga tingkat ketiga” dan menerima wahyu dari Allah yang tidak dapat ia ungkapkan di bumi. Ia menolak untuk menyombongkannya, tetapi menyebutkannya untuk menjelaskan konsekuensi dari pengalaman itu. Konsekuensi yang serupa bisa dialami oleh setiap orang Kristen, untuk mencegah orang Kristen menjadi sombong.
Untuk mencegah Paulus menjadi sombong tentang wawasan ilahi yang diperolehnya, Allah mengirimkan Paulus sebuah “duri dalam daging” yang tidak disebutkan secara spesifik. Alkitab tidak menjelaskan apakah ini suatu penderitaan yang bersifat fisik atau mental. Yang diceritakan kepada kita hanyalah bahwa seorang yang beriman dan berkomitmen kuat bisa saja terserang penyakit atau menderita, yang menyebabkannya berseru kepada Allah berulang kali memohon keringanan (2 Korintus 12:7–8).
Entah bagaimana, Paulus kemudian memahami bahwa jawaban Allah atas permintaannya adalah “tidak”, dan penolakan ini bersifat permanen alias tidak dapat ditawar. Seperti yang ditunjukkan ayat-ayat sebelumnya, Paulus kemudian menyadari tujuan dari penyakit itu adalah untuk mempertahankan kerendahan hati. “Kelemahan” yang terus-menerus dalam kehidupan Paulus ini membantunya untuk tidak menjadi sombong, dan mengerti bahwa apa yang menjadi kehendak Allah tidak dapat dibantah.
Allah menyatakan bahwa kasih karunia-Nya sepenuhnya mampu menyediakan segala sesuatu yang Paulus butuhkan untuk menanggung penderitaan ini. Allah memberi tahu Paulus bahwa kuasa-Nya menjadi sempurna dalam kelemahan Paulus. Kata Yunani untuk “cukup” di sini adalah arkei, yang menyiratkan ketahanan, kekuatan, atau kepuasan. Paulus telah menulis bahwa ia hanya akan bermegah dalam kelemahannya (2 Korintus 12:5), dan sekarang ia menunjukan antusiasmenya. Ia akan bermegah dengan senang hati tentang kelemahannya, termasuk duri dalam daging ini. Seperti itu, sebagai orang Kristen kita tidak perlu malu atau merasa sedih jika kita mengalami sakit atau penderitaan dalam hidup.
Mengapa seseorang seperti Paulus “merayakan” keadaan yang membebani dia selamanya dengan beberapa pergumulan yang menyakitkan? Karena kuasa Kristus menjadi paling jelas dalam situasi di mana orang percaya merasa paling lemah. Kata yang diterjemahkan sebagai “sempurna” di sini adalah teleitai, yang sebagian besar mengacu pada penyelesaian atau pencapaian. Fokusnya adalah pada sesuatu yang dicapai, bukan pada kekurangan yang disingkirkan. Ini adalah akar kata yang sama yang digunakan oleh Kristus ketika menyatakan “sudah selesai” pada waktu Ia di salib.
Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: ”Sudah selesai.” Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. Yohanes 19:30
Ayat pembukaan di atas mengungkapkan beberapa kebenaran tentang bagaimana Allah bekerja dalam kehidupan duniawi orang Kristen:
- Pertama, Allah bisa menggunakan iblis dan orang-orang jahat di dunia untuk mencapai tujuan-Nya. Sekalipun Allah bukan pembuat kejahatan dan malapetaka, hal-hal yang jahat yang dapat mengganggu umat Tuhan dapat menjadi bagian dari strategi Allah untuk mencapai tujuan-Nya yang tepat di dunia.
- Kedua, jawaban Tuhan atas doa selalu bergantung pada kehendak-Nya secara keseluruhan. Ia mungkin menjawab “tidak” atas permintaan untuk meringankan beban orang percaya, terlepas dari apakah beban itu berasal dari iblis atau tidak. Jika penderitaan itu membantu orang Kristen untuk lebih taat dan bergantung pada Tuhan, penderitaan itu mungkin sedang menggenapi apa yang Ia inginkan di dalam diri kita.
- Ketiga, penderitaan itu menunjukkan kepada kita bahwa perhatian utama Tuhan bagi anak-anak-Nya bukanlah untuk membuat kehidupan mereka terasa mudah dan nyaman. Seperti apa yang dialami murid-murid Yesus, tujuan pertama-Nya adalah agar mereka percaya dengan sepenuhnya kepada-Nya. Itu berarti membiarkan Kristus menjadi kuat di tempat-tempat yang membuat kita lemah, dan seperti Ayub, kita tidak membenci-Nya jika Ia membiarkan kita mengalami kelemahan itu.
Maka berkatalah isterinya kepadanya: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah! Tetapi jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. Ayub 2:9-10
Mungkin Anda pernah membaca the Serenity Prayer atau Doa Ketenangan ditulis oleh Reinhold Niebuhr, seorang teolog Amerika, pada tahun 1930-an. Ia menulisnya sebagai bagian dari sebuah khotbah dan kemudian menyusunnya kembali menjadi versi yang kita kenal sekarang. Tujuan doa tersebut adalah untuk menawarkan suatu kerangka kerja dalam menghadapi kenyataan hidup, mendorong penerimaan terhadap apa yang tidak dapat diubah, keberanian untuk menghadapi apa yang dapat diubah, dan kebijaksanaan untuk membedakan antara keduanya.
O God and Heavenly Father, Grant to us the serenity of mind to accept that which cannot be changed; courage to change that which can be changed, and wisdom to know the one from the other, through Jesus Christ our Lord, Amen.
Ya Tuhan dan Bapa Surgawi, berikanlah kepada kami ketenangan pikiran untuk menerima apa yang tidak dapat diubah; keberanian untuk mengubah apa yang dapat diubah, dan kebijaksanaan untuk membedakan yang satu dari yang lain, melalui Yesus Kristus Tuhan kami, Amin.
Semoga Tuhan memberi kita ketenangan pikiran dan kedamaian!