Apakah kita bisa mengerti jalan pikiran Tuhan?

“O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan?Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya,sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Roma 11:3-36

Kehidupan kita sebagai orang Kristen sering terasa berat, yang harus dijalani dengan mengetahui bahwa setan itu nyata, aktif, dan jahat. Kita sendiri tidak berdaya melawan setan. Namun, Tuhan kita berkuasa. Apa pun yang ingin dilakukan setan, harus dengan seizin Tuhan, atau setan tidak dapat melakukannya. Sekalipun dalam hidup ini kita tidak mudah untuk menanggung apa yang setan lemparkan kepada kita, kita harus tetap percaya bahwa jika kita bersandar pada Tuhan yang mengizinkannya dalam hidup kita, pada saat yang tepat kita akan menang bersama Dia. Inilah yang disebut pengertian theodicy atau teodisi.

Teodisi adalah pandangan filosofis untuk menjawab alasan dari Tuhan yang Mahabaik mengizinkan adanya kejahatan di dunia, sehingga mampu menyelesaikan isu dari masalah kejahatan. Beberapa ilmu teodisi juga membahas masalah pembuktian kejahatan dengan mencoba untuk “menyelaraskan keberadaan Tuhan yang Mahapengampun, Mahakuasa, dan Mahatahu dengan keberadaan kejahatan atau penderitaan di dunia”. Istilah ini dicetuskan pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman Gottfried Leibniz dalam karyanya yang berjudul Théodicée, walaupun sebelumnya berbagai solusi untuk masalah kejahatan telah diajukan.

Ada pertanyaan alami yang muncul begitu Anda mulai merenungkan hal-hal ini: Mengapa Tuhan tidak menghancurkan setan saja? Mengapa Tuhan mengizinkan setan berkeliaran di bumi sampai sekarang? Mengapa Tuhan menciptakan setan jika Dia tahu ia akan memberontak? Alasan apa yang mungkin dimiliki Tuhan dalam mengizinkan setan mendatangkan rasa sakit, kesengsaraan, kehancuran, dan penderitaan di dunia?

Barangkali, dalam kesusahan kita ada saudara seiman ata pendeta yang debgan maksud baik berusaha menghibur kita. Mereka mungkin mengajak kita berdoa meminta pertolongan dari Tuhan. Mereka mengajak kita membaca ayat-ayat Alkitab yang sering dipakai untuk menguatkan mereka yang tertimpa malapetaka, seperti:

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Roma 8:28

Tetapi, mendengar bunyi Roma 8:28 hati kita mungkin bertambah sedih. Bagaimana Tuhan bisa berkata bahwa dengan pengalaman yang pedih saat ini Tuhan bisa mendatangkan kebaikan bagi kita? Seperti itu juga, orang tua saya merasa Tuhan itu kejam karena membiarkan kakak saya meninggal dunia ketika ia berumur 6 tahun. Tapi pada saat itu orang tua saya belum sadar bahwa justru setelah datangnya malapetaka itu mereka kemudian mendapat panggilan Kristus untuk menjadi orang percaya!

Pertanyaan yang harus kita jawab di hati kita pada hari ini adalah: akankah kita percaya kepada Tuhan dalam keadaan yang tidak baik? Apakah kita percaya bahwa hikmat, kuasa, dan kasih Tuhan membuat rencana-rencana-Nya dapat dipercaya bahkan ketika kita tidak dapat memahaminya?

Roma 11:33–36 adalah pujian Paulus yang puitis dan seperti himne tentang Tuhan dan hikmat-Nya yang luar biasa. Ia mengutip teks-teks Perjanjian Lama seperti Yesaya dan Ayub. Bagian sebelumnya menjelaskan bagaimana maksud Tuhan bagi Israel disertai dengan beberapa tingkat misteri.

Paulus baru saja menyimpulkan pembahasan yang panjang dan rumit tentang hubungan unik Allah dengan Israel sebagai suatu bangsa dan dengan umatnya sebagai individu. Ia telah membandingkan dan mengontraskan tindakan Allah terhadap Israel dengan tindakan-Nya terhadap orang-orang bukan Yahudi. Ia menyimpulkannya dalam ayat sebelumnya dengan menyatakan, pada intinya, bahwa kedua kelompok tersebut telah hidup dalam ketidaktaatan dan bahwa Allah akan menunjukkan belas kasihan kepada orang-orang dari kedua kelompok tersebut sebagai tanggapan atas iman mereka kepada Kristus.

Dalam Roma 11:33–36, Paulus menyampaikan sebuah puisi, yang terstruktur seperti himne, yang mengungkapkan reaksinya yang mendalam baik terhadap jalan-jalan Allah maupun belas kasihan-Nya kepada manusia yang berdosa.

Paulus memulai dengan mengagumi kedalaman tiga karakteristik Allah. Tuhan adalah mahakaya. Sebelumnya dalam Kitab Roma, Paulus telah menulis tentang kekayaan kasih karunia dan kesabaran Allah (Roma 2:4), kekayaan kemuliaan-Nya (Roma 9:23), dan kekayaan-Nya—dari belas kasihan—bagi dunia (Roma 11:12). Dalam setiap kasus, kekayaan Allah digambarkan sebagai sesuatu yang dibagikan-Nya kepada umat-Nya dengan murah hati dan hal ini tidak pernah berakhir.

Selanjutnya, Paulus terpesona oleh kedalaman hikmat Allah, kemungkinan dalam ungkapan kasih dan kuasa-Nya dalam menyediakan belas kasihan bagi semua orang melalui iman kepada Kristus. Ini diikuti oleh pengetahuan Allah yang mendalam, mungkin sebuah referensi kepada “pengetahuan-Nya sebelumnya” tentang semua orang yang akan datang kepada-Nya melalui iman kepada Kristus (Roma 8:29; 11:2).

Dua baris berikutnya Paulus dimulai dengan “siapakah yang (bisa) …” Betapa tidak terselami atau tidak terduganya penghakiman Allah, Paulus bertanya-tanya. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki kapasitas untuk memahami mengapa Allah memutuskan apa yang Dia lakukan. Jalan-jalan Allah dikatakan tidak dapat dipahami, seperti kode rahasia yang tidak dapat kita pecahkan. Inilah yang disebut “uncsrutability of God“.

Inscrutability” dalam bahasa Indonesia berarti kualitas atau keadaan yang sulit atau bahkan tidak dapat dipahami atau dipahami secara mendalam. Ini merujuk pada sifat seseorang atau sesuatu yang tidak menunjukkan emosi atau pikiran secara jelas, sehingga membuatnya sulit untuk mengetahui apa yang mereka pikirkan atau rasakan. Dengan kata lain, “inscrutability” adalah kesulitan untuk menembus atau memahami rahasia seseorang.

Salah satu alasan Allah tetap memiliki hak untuk melakukan apa yang Dia inginkan tanpa harus menunjukkan belas kasihan atau alasan kepada manusia adalah karena kita tidak memiliki kapasitas untuk memahami pilihan-pilihan-Nya. Pikiran-pikiran-Nya, jalan-jalan-Nya, keputusan-keputusan-Nya berada di luar jangkauan kita. Kita hanya perlu berserah kepada-Nya dan menyembah-Nya.

Paulus mengajukan beberapa pertanyaan, yang dikutip dari Yesaya 40:13, untuk menggambarkan betapa sedikit yang Tuhan butuhkan dari kita.

Pertama, siapa yang mengetahui pikiran Tuhan? Jawabannya begitu jelas sehingga Paulus tidak mau repot-repot menjawabnya. Tidak seorang pun pernah mengetahui pikiran Tuhan. Sebagai makhluk yang diciptakan oleh-Nya, kita tidak memiliki kapasitas untuk sepenuhnya memahami pikiran-Nya (Yesaya 55:8–9). Menganggap bahwa kita mungkin mengetahui sesuatu tentang proses berpikir Tuhan di luar apa yang telah Dia ungkapkan dalam Firman-Nya adalah kesombongan yang bodoh. Mengakui pikiran-Nya sebagai sesuatu yang tidak dapat kita ketahui adalah alasan untuk menyembah-Nya.

Pertanyaan kedua serupa dengan pertanyaan pertama. Siapa yang pernah menjadi penasihat Tuhan? Kepada siapa Tuhan meminta konseling, atau dukungan moral, atau nasihat tentang hubungan? Kepada siapa Dia meminta ide tentang ciptaan atau pemeliharaan makhluk-makhluk-Nya? Tuhan tidak membutuhkan kita untuk membantu-Nya memikirkan segala sesuatunya, tidak peduli seberapa bersemangatnya kita terkadang untuk melakukan hal itu. Saat kita mulai memahami perbedaan antara pikiran-Nya yang luas dan pikiran kita sendiri, satu-satunya respons yang masuk akal adalah menyembah-Nya dan menerima keputusan-Nya sebagai benar dan tepat.

Kemudian Paulus bertanya, siapakah yang telah memberikan sesuatu kepada Tuhan yang begitu berharga sehingga Tuhan berutang sesuatu kepadanya? Jawabannya adalah tidak seorang pun. Tuhan tidak berutang apa pun kepada kita. Dalam ayat ini, Paulus menjelaskan alasannya. Segala sesuatu yang ada di alam semesta berasal dari Tuhan. Dia adalah Sang Pencipta dan sumber segala sesuatu yang baik. Bagaimana mungkin kita dapat memberikan sesuatu yang belum Dia miliki?

Hari ini kita membaca bahwa Paulus menyatakan dengan tegas bahwa alam semesta adalah milik Tuhan, dan kita hanya hidup di dalamnya, dan menjadi bagian darinya. Apa pun yang terjadi dalam hidup kita, bagi Allah kemuliaan ada sampai selama-lamanya. Ini adalah pernyataan fakta sekaligus doa untuk pemenuhannya, dan itulah yang juga bisa kita sampaikan dalam nyanyian pujian kita (NKI 118 Kehendakmu Jadilah, My Jesus, As Thou Wilt):

Kehendak-Mu jadi di atas dunia
Kuserahkan diri dalam karunia
Dalam suka duka kujadi milik-Mu
Tolong ku berkata, “jadi kehendak-Mu”.


Kehendak-Mu jadi walau dengan duka
B’ri kuat dengan imanku terang bercahaya
Tuhan t’lah mend’rita dengan tangis
Seduh ku juga mau serta “jadi kehendak-Mu”.

Kehendak-Mu jadi lenyapkan musuhku
Masa pancaroba terserah pada-Mu
Ku mau t’rus mendaki menuju rumah-Mu
Nyanyi sen’tiasa, “jadi kehendak-Mu”.

Tinggalkan komentar