Ketika kemuliaan manusia memudar

“Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim. Karena engkau telah menolak firman TUHAN, maka Ia telah menolak engkau sebagai raja.” 1 Samuel 15:23

Pada saat itu Samuel memberi raja Saul sebuah misi dari Tuhan untuk menggenapi penghakiman Tuhan atas orang Amalek dengan membunuh semua orang dan hewan. Kemudian Saul dan pasukannya mengalahkan Amalek, tetapi mereka menyelamatkan raja dan hewan-hewan terbaik. Tuhan memberi tahu Samuel bahwa tindakan Saul—yang merupakan penolakan terhadap perintah Tuhan—akan mengakibatkan berakhirnya pemerintahan Saul.

Tentang mengapa Saul tidak membunuh semua hewan milik orang Amalek, sang raja membuat alasan dan mengklaim bahwa ia sebenarnya bermaksud mengorbankan hewan-hewan yang dikutuk itu kepada Tuhan. Samuel menanggapi dengan pernyataan puitis tentang bagaimana Tuhan menginginkan ketaatan, bukan upaya arogan untuk “memperbaiki” perintah-perintah-Nya.

Tidak jelas apakah Saul dan orang-orang pada awalnya memang bermaksud untuk mempersembahkan barang rampasan di Gilgal, atau apakah mereka sengaja berencana menyimpan hewan-hewan itu untuk diri mereka sendiri. Tapi, mengingat bahwa Saul mendirikan sebuah monumen untuk dirinya sendiri (1 Samuel 15:12) dan bahwa perintah dari Allah tentang kehancuran total sudah begitu jelas (1 Samuel 15:3), niat untuk menggunakan hewan-hewan untuk penyembahan perlu dipertanyakan. Bahkan sekalipun jika Saul jujur, ketidaktaatannya masih merupakan pemberontakan terhadap perintah langsung Tuhan. Tuhan menghendaki ketaatan, bukan persembahan (1 Samuel 15:22).

Samuel menyatakan keputusan Tuhan untuk menolak Saul sebagai raja. Sebagai tanggapan atas ketidaktaatan Saul, Tuhan telah menyatakan bahwa garis keturunan Saul tidak akan menduduki takhta Israel (1 Samuel 13:14). Tuhan menolak Saul sekalipun Ia memilih Saul pada awalnya.

Ketika Samuel melihat Saul, maka berfirmanlah Tuhan kepadanya: ”Inilah orang yang Kusebutkan kepadamu itu; orang ini akan memegang tampuk pemerintahan atas umat-Ku.” 1 Samuel 9:17

Sekalipun Tuhanlah yang menghendaki Saul menjadi raja, itu bukan berarti bahwa Saul tidak perlu bertanggungjawab atas tindakannya. Tuhan yang mengangkat Saul, tetapi bukanlah Tuhan yang bermaksud menjatuhkan Saul ke dalam dosa. Saul telah menolak firman Tuhan, dan dengan demikian Tuhan kemudian menolaknya sebagai raja. Ketidaktaatan Saul sangat parah, dan konsekuensinya sangat berat.

Dalam kisah di atas, kita membaca tentang ambisi manusia yang salah tempat dan kebenaran bahwa Tuhan terkadang mengizinkan kita berjalan melewati pintu-pintu yang sebenarnya bukan apa yang Ia buka untuk memberkati kita. Saul tidak merebut kekuasaan untuk dirinya sendiri; ia dipilih oleh Tuhan sebagai tanggapan atas permintaan Israel yang terus-menerus akan seorang raja. Namun, jabatan raja yang dimulai dengan pengurapan ilahi berakhir dengan aib — bukan karena Tuhan berubah, tetapi karena Saul yang berubah. Saul bukanlah robot Allah dan karena itu ia bisa jatuh dalam dosa.

Hal ini membawa kita pada pertanyaan yang menghantui: Bagaimana jika Tuhan mengizinkan kita untuk berhasil — hanya untuk menunjukkan kepada kita bahwa keberhasilan tanpa Dia adalah hampa? Apa yang akan terjadi pada hidup kita jika Tuhan menyatakan bahwa kita sudah sengaja melanggar perintah-Nya?

Pertanyaan ini bukan untuk mengada-ada. Sekalipun kita pada saat ini berada dalam keadaan aman dan mungkin juga nyaman, belum tentu Tuhan senang dengan cara hidup kita! Mengapa demikian?

1. Karunia Tuhan yang bisa menjadi jerat

Sebelum Saul menjafi raja, Israel telah lelah dengan pemerintahan Tuhan. Mereka ingin menjadi “seperti bangsa-bangsa lain” (1 Samuel 8:5). Para tua-tua datang kepada Samuel, bukan untuk meminta kebangkitan rohani atau petunjuk ilahi, tetapi untuk sebuah sistem pemerintahan yang dapat mereka kendalikan. Allah melihat apa yang ada dalam hati bani Israel: “… tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka” (1 Samuel 8:7).

Alih-alih mengirimkan penghakiman, Allah mengirim Saul — tinggi, tampan, karismatik. Ia tampak seperti pemimpin yang ideal, tipe yang menginspirasi rasa percaya diri. Dengan melakukan ini, Allah memberi orang-orang itu apa yang mereka inginkan, bukan sebagai hadiah, tetapi sebagai pelajaran. Ia memberikan kepada mereka apa yang mereka inginkan, tetapi yang mendatangkan kekeringan ke dalam jiwa mereka. Secara lahiriah, mereka menerima kemuliaan — seorang raja, prestise, kekuasaan. Namun secara batiniah, ada sesuatu yang layu.

Kita sering berasumsi bahwa jika kita menemukan kesuksesan, rencana kita pasti benar dan Tuhan memberi kita berkat-Nya. Namun Kitab Suci menunjukkan bahwa tidak setiap pintu yang terbuka adalah apa yang terbaik dari Allah. Terkadang, Allah membiarkan kita berjalan untuk mencapai mimpi kita sendiri — untuk mengajar kita bahwa mimpi kita tanpa Dia akan menjadi mimpi buruk.

2. Pergeseran menuju rasa puas hati

Awalnya, Saul tampak rendah hati dan sabar. Namun, adanya kekuasaan dengan cepat menyingkapkan apa yang ada di balik permukaan: rasa takut kepada manusia, rasa tidak aman, dan hati yang gelisah yang tidak mau menanti Tuhan. Dalam 1 Samuel 13, Saul panik dan mempersembahkan korban yang tidak sah. Dalam pasal 15, ia tidak menaati perintah langsung Tuhan, lalu mencari-cari alasan. Dalam kedua momen itu, ia lebih peduli pada penampilannya daripada ketaatan. Ia lebih tunduk kepada kehendak dunia daripada kepada Tuhan.

Inilah tragedi kepuasan rohani. Saul lupa siapa yang memberinya mahkota. Saul lebih mengandalkan posisinya daripada suara Tuhan. Hasilnya? Tuhan menyesal telah mengangkatnya menjadi raja (1 Samuel 15:11), dan kerajaan itu pun terkoyak darinya. Kebesaran yang sangat diinginkan Israel dan Saul berubah menjadi kesedihan mereka.

3. Bahaya harapan manusiia

Kita hidup di dunia yang menghargai kesuksesan — dalam studi, karier, bahkan dalam kehidupan dalam keluarga dan gereja. Ada tekanan terus-menerus untuk berproduksi, memberi kesan, dan berprestasi. Entah itu berupa kenyamanan, kemewahan, penampilan atau hal lain yang bisa dikagumi orang lain. Dan sering kali, kita menerjemahkan harapan-harapan ini ke dalam hubungan kita dengan Tuhan. Kita berasumsi bahwa pertumbuhan, pengaruh, dan pintu-pintu yang terbuka selalu merupakan tanda-tanda kebaikan ilahi. Kesuksesan dunia yang kita miliki, sering kita pandang sebagai bukti iman dan ketaatan kita kepada Tuhan.

Namun, Kitab Suci memperingatkan kita: Tuhan terkadang mengizinkan kita untuk meraih apa yang kita dambakan — bukan karena itu yang terbaik bagi-Nya, tetapi karena itu akan mengajarkan kita untuk mendambakan-Nya sebagai gantinya. Suatu pelajaran pahit bagi umat-Nya agar mereka bertobat.

karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Ibrani 12:6-7 TB

Ini tidak berarti Tuhan senang dengan kejatuhan manusia. Jauh dari itu. Tuhan memberi Saul setiap kesempatan. Dia mengurapinya. Dia memberinya kuasa dengan Roh Kudus. Dia mengutus Samuel sebagai mentor. Namun, hati Saul bimbang. Peringatannya jelas: semakin besar karunia kita yang kita terima, semakin besar pula kebutuhan kita untuk taat kepada firman-Nya. Kita harus menghindari pemikiran bahwa kita adalah orang-orang yang “istimewa” di hadapan Allah.

4. Rasa takut yang kudus, bukan ketakutan yang melumpuhkan

Jadi, haruskah kita takut bahwa Tuhan akan mengambil “kemuliaan” kita jika kita menjadi puas diri?

Ya — tetapi bukan dengan rasa takut yang menyiksa. Melainkan, rasa takut yang kudus dan penuh hormat yang merendahkan hati. Jenis rasa takut yang Paulus bicarakan dalam suratnya kepada jemaat di Filipi:

“Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” Filipi 2:12–13:

Ini bukanlah rasa takut akan hukuman, tetapi rasa kagum yang membuat kita tetap bergantung pada-Nya.

Ketakutan, dalam pengertian Alkitab, bukanlah keraguan dan ketidakmampuan untuk bertindak. Seperti apa yang dialami Petrus yang berjalan di atas air, kita harus percaya bahwa jika Ia beserta kita dan kita taat kepada-nya, tidak ada bahaya yang bisa menghancurkan kita. Ketakutan adalah kesadaran bahwa tanpa Dia, bahkan keberhasilan terbesar kita malahan bisa menjadi beban. Takut pada Tuhan akan membuat kita lebih bijaksana, tidak tenggelam dalam kesombongan, tidak membangun menara tanpa fondasi, tidak melupakan bahwa segala kemuliaan adalah milik-Nya, bukan milik kita.

Kata Yesus: ”Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus. Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: ”Tuhan, tolonglah aku!” Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: ”Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”Matius 14:29-31

5. Kemuliaan yang lebih baik

Tuhan akhirnya membangkitkan Daud — seorang yang berkenan di hati-Nya. Daud juga orang berdosa, tetapi tidak seperti Saul, ia cepat bertobat. Ia mengetahui sumber kemuliaan yang sejati:

“Bukan kepada kami, ya TUHAN, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mulah beri kemuliaan, oleh karena kasih-Mu, oleh karena setia-Mu!” (Mazmur 115:1).

Itulah sikap yang mempertahankan kebesaran Tuhan. Itulah jenis hati yang dapat dilihat Tuhan untuk memberikan berkat-Nya yang terbaik.

Hari ini, di mana pun Anda berada — baik dalam kelimpahan atau kekurangan, keberhasilan atau perjuangan — tanyakan pada diri Anda:

  • Apakah saya mengejar kehendak Tuhan, atau hanya kebenaran versi saya sendiri?
  • Apakah saya lebih takut kehilangan reputasi saya daripada kehilangan hadirat-Nya?
  • Apakah saya menggunakan Tuhan untuk memenuhi impian saya, atau membiarkan Dia membentuk rencana-Nya dalam diri saya?
  • Apakah saya menikmati berkat Tuhan untuk kepentingan saya sendiri, tanpa mau mencari maksud Tuhan?

Biarlah kisah Saul menjadi lebih dari sekadar sejarah. Biarlah itu menjadi panggilan kita untuk keintiman yang lebih dalam, penyerahan diri yang terus-menerus, dan rasa takut yang kudus kepada Tuhan. Karena ketika kita berjalan dekat dengan Tuhan, bahkan jika dunia melupakan nama kita — kita berjalan dalam kemuliaan yang tidak pernah pudar.

Kita tidak dapat membuat pilihan yang lebih baik daripada Allah, dan kita tidak dapat mempengaruhi-Nya untuk mengampuni pengabaian dan penolakan kita terhadap-Nya. Kebenaran ini memanggil kita untuk berwaspada, rendah hati, dan bergantung kepada Tuhan— bukan dengan rasa takut dalam pengertian duniawi, tetapi rasa kagum dan bersyukur kepada Dia yang bisa membuat kita tetap teguh sampai sekarang.

Tinggalkan komentar