Adanya neraka: membuat orang jadi percaya atau tidak?

“Dan Ia akan berkata juga kepada mereka yang di sebelah kiri-Nya: Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya.” Matius 25:41

Doktrin Kristen tentang neraka memang telah lama menjadi titik ketegangan – baik di dalam gereja maupun dalam imajinasi publik. Perdebatan antara orang yang percaya bahwa neraka adalah siksaan kekal dalam kesadaran yang penuh dan mereka yang percaya anihilasionisme (pelenyapan orang jahat) tidak hanya bersifat akademis. Perdebatan ini menyentuh pertanyaan inti tentang karakter, keadilan, dan inti penginjilan Tuhan.

Anihilasionisme (juga dikenal sebagai ekstinksionisme atau destruksionisme) adalah sebuah keyakinan bahwa setelah penghakiman terakhir, manusia durhaka dan seluruh malaikat jatuh (semuanya yang terkena hukuman kekal) akan secara bulat dihancurkan sampai kesadaran mereka akan padam. Ini berbeda dengan pandangan yang menyatakan bahwa orang durhaka akan hukuman dibakar api tak berkesudahan di neraka. Anihilasionisme juga berkaitan dengan keabadian kondisional, gagasan bahwa roh manusia tidaklah abadi dan karena itu bisa dimusnahkan.

Meskipun Alkitab harus selalu menjadi otoritas terakhir, ada hikmat dalam bertanya: Apa dampak doktrin neraka kita terhadap cara orang mendengar Injil? Dalam terang itu, mungkin diskusi tentang neraka tidak hanya ada di ruang debat teologis tetapi juga dalam konteks penginjilan praktis.

Pad waktu itu, Yesus menggunakan dua perumpamaan untuk menggambarkan keadaan kesiapan yang terus menerus untuk menyambut kedatangan-Nya kembali setelah Ia berangkat ke surga. Para pengikut-Nya harus bekerja untuk-Nya sementara mereka menunggu. Mereka tidak boleh seperti para wanita muda bodoh yang melewatkan pesta pernikahan karena mereka lupa membawa minyak untuk pelita mereka. Mereka harus seperti para hamba yang melipatgandakan investasi tuan mereka yang kejam saat Ia pergi. Yesus mengakhiri dengan bagian deskriptif ketiga, yang menunjukkan bagaimana Ia akan menghakimi antara orang benar dan orang jahat ketika Ia kembali sebagai Raja.

Matius 25:31–46 menggambarkan penghakiman besar Yesus, yang akan terjadi ketika Ia kembali sebagai Raja bersama para malaikat-Nya dan mengambil tempat-Nya di atas takhta. Ia akan membagi mereka yang dihakimi menjadi dua kelompok: “domba” dan “kambing.” Domba akan disambut dan dipuji karena melayani mereka yang membutuhkan. Kambing akan disingkirkan dari Yesus ke api kekal dan dikutuk karena tidak melayani mereka yang membutuhkan. Ini terjadi di akhir Khotbah di Bukit Zaitun, yang dimulai ketika para murid bertanya kepada Yesus tentang akhir zaman (Matius 24:3). Bagian ini terkenal sulit untuk ditafsirkan, sehingga sangat penting untuk ditangani dengan hati-hati. Meskipun disebut sebagai “perumpamaan,” berkat penggunaan istilah penggembalaan, situasi yang digambarkannya tampak sangat nyata.

Setelah melewati masa penderitaan dan kesengsaraan yang hebat di bumi (Matius 24:21–22), Yesus akhirnya akan kembali sebagai Raja dan Hakim (Matius 25:31–32). Yesus menyambut kelompok pertama, domba, untuk menerima tempat yang sah di kerajaan-Nya di bumi. Ia menggambarkan kelompok itu sebagai kelompok yang diberkati oleh Bapa-Nya dan menyatakan bahwa Ia telah menerima setiap tindakan kebaikan yang mereka lakukan untuk saudara-saudara-Nya yang paling hina, orang-orang percaya lainnya, sebagai tindakan yang dilakukan untuk-Nya secara pribadi (Matius 25:34–40).

Beralih ke kelompok kedua, kambing, Kristus menyampaikan pesan yang sangat berbeda. Ia menyebut mereka terkutuk dan mengusir mereka ke tempat hukuman kekal bersama dengan setan dan para iblis pengikutnya. Tidak seperti kelompok pertama, orang-orang ini jelas bukan orang percaya kepada Yesus—terbukti dari fakta bahwa mereka tidak setia kepada-Nya.

Dalam Alkitab, iblis adalah malaikat yang bergabung dengan setan dalam pemberontakannya terhadap Tuhan. Selama pelayanan-Nya di bumi, Yesus mengusir banyak iblis dari orang-orang yang menderita (Markus 1:34). Uraiannya tentang mereka di sini menunjukkan bahwa setan pada akhirnya bertanggung jawab atas gerombolan malaikat yang jatuh, yang bersama setan, melawan Tuhan. Mereka semua ditakdirkan untuk ke neraka (Markus 9:48), yang juga merupakan tempat di mana roh manusia yang menolak Kristus akan tinggal (Markus 9:43).

Jika surga sering disalahpahami karena kekeliruan dan kepalsuan yang ditampilkan dalam berbagai agama di luar agama Kristen, atau yang tampil dalam mitos dan budaya populer, realitas neraka lebih mudah lagi untuk disalahpahami oleh jemaat Kristen. Ini sehubungan dengan kenyataan bahwa banyak pendeta dan guru Alkitab menghindari pembahasan tentang neraka karena takut membuat jemaat mereka kesal atas apa yang dipandang sebagai tempat yang mengerikan. Jarang ada khotbah atau penginjilan yang bertema neraka. Memang, neraka adalah topik yang paling tidak menyenangkan, tetapi karena Tuhan Yesus mengajarkan tentang neraka, kita tidak boleh tinggal diam tentang masalah ini. Lalu bagaimana pengertian kita tentang neraka?

Ajaran siksaan kekal dalam kesadaran mengajarkan bahwa orang jahat akan dibangkitkan untuk diadili dan dilemparkan ke neraka, di mana mereka secara sadar akan menderita selamanya tanpa akhir. Ini telah menjadi pandangan dominan dalam kekristenan sampai saat ini. Sebaliknya, ajaran anihilasionisme mengajarkan bahwa orang jahat akan menghadapi penghakiman yang nyata, tetapi hukumannya akan berpuncak pada kehancuran terakhir mereka – mereka akan binasa (Yohanes 3:16), dihancurkan (Matius 10:28), dan tidak ada lagi (Maleakhi 4:1-3). Pandangan ini menyatakan bahwa keabadian roh adalah anugerah yang hanya diberikan kepada orang yang ditebus (Roma 6:23; 1 Korintus 15:53-54).

Menurut Alkitab, neraka itu nyata (Markus 9:43), tempat orang berdosa dihukum (Matius 5:22), tempat siksaan (Wahyu 14:11), dan kekal (Markus 9:48). Neraka pada awalnya diciptakan untuk Setan dan para malaikatnya (Matius 25:41), tetapi juga dipakai sebagai tempat menghukum orang durhaka. Dalm hal ini, ada orang yang percaya bahwa neraka hanya diperuntukkan bagi para pelaku kejahatan terburuk seperti diktator yang kejam dan pembunuh berantai. Ada pula orang yang percaya bahwa Tuhan yang penuh kasih tidak akan mengirim orang ke api neraka. Selain itu, ada yang percaya bahwa neraka bukanlah realita, tapi keadaan di mana orang durhaka akan menderita karena terasing dari Tuhan dan orang percaya. Lebih dari itu, ada yang mengajarkan bahwa api neraka bukanlah hukuman yang terus menerus atau kekal, tetapi sekali saja; dan setelah itu orang durhaka akan lenyap. Apapun pengertian orang tentang neraka, itu adalah tempat yang akan dihuni oleh orang-orang yang memilih untuk tinggal di sana, yaitu karena mereka memilih untuk hidup dalam dosa; bukan karena mereka dilemparkan Tuhan ke neraka dengan semena-mena.

Alkitab menyatakan bahwa neraka adalah realita dan roh manusia adalah abadi. Tetapi, ada orang yang percaya bahwa konsep neraka hanyalah cara Tuhan untuk menakut-nakuti manusia, guna menegakkan kesetiaan atau perilaku tertentu. Tetapi, Yesus memperingatkan tentang bahaya neraka (Matius 10:28). Apakah Dia akan memperingatkan kita tentang bahaya neraka jika bahaya itu tidak nyata? Apakah mereka yang menyangkal keberadaan neraka lebih bijaksana, lebih pintar, dan lebih terinformasi daripada Yesus? Menyangkal bahaya neraka sama saja dengan meragukan perkataan Juruselamat kita.

Hakikat neraka adalah tempat kesengsaraan dan penderitaan yang tidak pernah berakhir (Wahyu 14:11). Walaupun demikian, perdebatan antara mereka yang percaya dan yang tidak percaya akan hakikat neraka masih sering terjadi. Dalam hal ini, apakah api itu nyata dan kekal, atau melambangkan malapetaka yang lebih besar, sebenarnya bukan masalah. Kita semua yakin bahwa semua keuntungan yang ditawarkan dunia ini—uang, ketenaran, reputasi, kekuasaan, atau kepuasan seksual—tidak sebanding kerugian yang akan terjadi dengan hilangnya nyawa kita. Neraka jelas harus dihindari.

“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya.” Markus 8:36-37

Berbeda dengan pandangan sebagian orang, Allah tidak senang dengan kematian orang jahat (Yehezkiel 18:32). Ia sedih jika ada orang yang memilih neraka daripada memilih Dia. Sebaliknya, Allah begitu mengasihi dunia ini sehingga Ia mengutus Anak-Nya untuk menyelamatkan dan menebus kita (Yohanes 3:16). Karena itu, malaikat-malaikat di surga bersukacita jika ada orang yang bertobat dan lolos dari neraka.

“Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat.”Lukas 15:10

Kematian dan kebangkitan Yesus adalah kabar baik bagi orang berdosa yang terhilang yang bersedia percaya bahwa hutang dosa kita telah dibayar lunas. Mereka yang menerima kasih karunia Allah melalui iman dalam Kristus akan hidup selamanya bersama-Nya.

Yesus adalah yang terbaik yang dapat diberikan Allah kepada kita. Allah tidak memiliki sesuatu yang lebih besar untuk ditawarkan selain Anak-Nya. Mereka yang telah menaruh iman mereka kepada Yesus Kristus tidak memiliki alasan untuk takut akan kematian dan kuburan; sebaliknya, mereka menunggu yang terbaik, yang belum datang. Namun, ada orang-orang yang mengeraskan hati dan lebih tertarik untuk mendapatkan apa yang ditawarkan dunia karena itu bisa dilihat mata. Sungguh tragis hal ini, karena Kristus telah mengalahkan dosa, kematian, dan neraka demi kita.

Kedua pandangan tentang hakikat neraka bertujuan untuk menanggapi Kitab Suci dengan serius. Para pendukung api neraka yang abadi menekankan keadilan dan kekudusan Tuhan; penganut anihilasionisme menekankan makna istilah-istilah Alkitab seperti “kematian,” “kehancuran,” dan “binasa,” serta masalah moral tentang siksaan kekal. Namun, perdebatan tersebut sering dilakukan untuk mencapai kemenangan teologi daripada unuk mencari jalan agar orang mau memilih jalan yang sempit yang menuju ke arah keselamatan. Dengan demikian, pendekatan itu lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat. Perjanjian Baru tidak menjabarkan doktrin neraka yang sepenuhnya sistematis; sebaliknya, ia memberikan peringatan yang jelas yang dirancang untuk mendesak pertobatan dan kepercayaan kepada Kristus.

Di sinilah letak pertanyaan yang lebih dalam: Mengapa orang harus berpaling kepada Tuhan? Apakah itu hanya untuk menghindari hukuman? Ataukah itu karena menyadari kasih Tuhan? Dan jika demikian, pandangan neraka mana yang bisa memotivasi lebih baik?

Beberapa orang berpendapat bahwa api neraka abadi bisa menciptakan urgensi yang lebih besar – “Jika neraka itu kekal, bagaimana kita bisa menghindarinya?” Tetapi rasa takut adalah motivator yang rapuh di zaman ini. Banyak orang muda saat ini menolak Kekristenan bukan karena mereka tidak takut akan penghakiman, tetapi karena mereka menganggap gagasan tentang siksaan kekal tidak realistis dan menjijikkan secara moral – karena adanya penggambaran Tuhan yang lebih menyerupai seorang tiran daripada seorang Bapa yang penuh kasih. Pada pihak yang lain ada pendapat bahwa pemusnahan roh terdengar “terlalu lunak.” Memang pemusnahan roh melibatkan rasa sakit, menunjukkan keadilan Tuhan, dan kehilangan manusia secara nyata, tetapi menurut mereka itu seharusnya terus berlanjut tanpa akhir.

Perdebatan ini bisa memengaruhi cara kita menggambarkan karakter Tuhan dalam penginjilan. Apakah Tuhan lebih dimuliakan dengan menekakan kasih dan keadilan-Nya, atau dengan menekankan keadilan dan kesucian-Nya? Pada akhirnya, inti penginjilan bukanlah kabar buruk untuk menakut-nakuti orang, tetapi kabar baik untuk mengungkapkan keindahan Kristus, keseriusan dosa, dan harapan penebusan. Seseorang yang tidak mengasihi Tuhan tidak akan menikmati surga, tidak peduli apa yang mereka “hindari.” Karena itu, doktrin neraka tidak boleh diabaikan, tetapi juga tidak boleh menjadi inti dari Injil kita. Injil bukanlah “Hindari hukuman,” tetapi “Datanglah kepada Tuhan yang memberi hidup.”

Perdebatan antara pemusnahan roh dan siksaan kekal kemungkinan akan terus berlanjut. Tetapi kita harus ingat: doktrin ada untuk melayani misi – bukan untuk menjadi penghalangnya. Jika ada pendekatan yang bisa membantu lebih banyak orang memahami keadilan, belas kasihan, dan karunia Tuhan, kita tidak boleh ragu untuk menggunakannya dalam kasih dan kebenaran. Neraka bukanlah akhir dari cerita. Kasih Kristuslah yang merupakan akhir dari cerita!

Tinggalkan komentar