Standar bermasyarakat yang tidak pernah berubah

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Filipi 4:8

Filipi 4:2–9 adalah seruan Paulus kepada jemaat Kristen di Filipi mengenai cara mereka menangani perselisihan di dalam gereja. Paulus khususnya prihatin dengan pertengkaran antara dua wanita, Euodia dan Sintikhe. Nasihat Paulus adalah untuk berfokus pada kemampuan yang sudah diberikan Tuhan kepada kita untuk bersukacita dalam persekutuan kita dengan Kristus. Filipi 4:8 mengingatkan kita bahwa standar bermasyarakat orang percaya tidak pernah berubah. Dengan fokus yang tepat pada hal-hal positif, kita dapat mengalami kedamaian dalam hidup bermasyarakat melalui kuasa Allah.

Di dunia yang terobsesi dengan tren, citra diri, dan kesuksesan buatan sendiri, tekanan untuk menyesuaikan diri sangat nyata. Baik muda maupun tua, orang Kristen dibombardir dengan pesan-pesan halus—dan tidak begitu halus: Jadilah relevan. Jadilah dikagumi. Jadilah sukses. Namun definisi sukses menurut dunia seringkali datang dengan harga: kompromi rohani. Untuk terlihat bijak di mata dunia, kita tergoda untuk melunakkan kebenaran. Untuk bisa diterima teman atau rekan, kita mengaburkan batas antara kebenaran dan kesucian. Untuk mendapatkan kemenangan atau pujian orang lain, kita mungkin mulai mengadopsi nilai-nilai yang tidak pernah dimaksudkan Tuhan untuk umat-Nya. Inilah standar dunia saat ini yang hanya bisa membawa kedamaian palsu yang bersifat sementara.

Dunia merayakan kecerdikan, promosi diri, dan kekayaan materi. Tetapi Tuhan memanggil kita untuk mengejar yang benar, bukan yang sedang tren. Untuk menghormati yang mulia, bukan hanya yang populer. Untuk memegang keadilan, meskipun ada harga yang harus dibayar. Untuk tetap suci, walaupun dunia menyebutnya kuno. Untuk menghargai apa yang manis dan sedap didengar, meskipun sering dianggap ketinggalan zaman. Kita hidup di zaman di mana kesuksesan harus terlihat, keras, dan sering kali diukur dengan jumlah teman, pengikut, dan saldo rekening. Namun hidup Kristen berjalan di jalur yang berbeda. Tepuk tangan dari manusia cepat memudar, tetapi pujian dari Allah bersifat kekal.

Keunggulan di mata Allah tidak ditentukan oleh popularitas, kekayaan, atau status. Itu ditentukan oleh seberapa besar karakter-Nya tercermin dalam hati dan pikiran kita. Apa yang dianggap kelemahan oleh dunia—kerendahan hati, kesetiaan, kebaikan—justru adalah hal-hal yang dianggap terpuji di surga. Itulah sebabnya nasihat Paulus dalam Filipi 4:8 begitu radikal—dan begitu dibutuhkan. Ia tidak hanya berkata, ‘lakukanlah semua itu’; ia berkata, ‘pikirkanlah semuanya itu.’ Karena apa yang kita isi dalam pikiran kita akan membentuk hidup kita.

Orang percaya harus “memikirkan semuanya ini.” Sementara Allah menjaga hati kita (Filipi 4:7), kita juga diperintahkan untuk memfokuskan hidup kita pada hal-hal yang menyenangkan Allah. Apa yang terus-menerus ditekankan di seluruh tulisan Paulus adalah keterlibatan Allah dalam setiap aspek kehidupan orang percaya. Pada saat yang sama, orang percaya diperintahkan untuk hidup sesuai dengan jalan Allah. Ia melakukan pekerjaan-Nya, tetapi juga memberi kita pekerjaan untuk dilakukan. Orang percaya dipanggil untuk percaya kepada Tuhan, tetapi juga untuk melayani Tuhan. Paulus memberikan contoh tentang cara melakukan keduanya. Ia setia dalam doa, tetapi menyerahkan seluruh hidupnya untuk memuliakan Tuhan.

Terlalu banyak orang Kristen saat ini merasa terbebani untuk terlihat ‘keren’ atau ‘bijak’ di mata dunia. Namun Kitab Suci jelas: ‘Hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi Allah’ (1 Korintus 3:19). Hikmat sejati dimulai dengan takut akan Tuhan (Amsal 9:10), bukan dengan diterima oleh budaya. Ketika orang Kristen mulai berpikir seperti dunia, mereka akhirnya akan hidup seperti dunia. Tetapi ketika pikiran kita dibentuk oleh kebenaran dan kesucian, kita akan selaras dengan hati Allah. Ini bukan ajakan untuk legalisme atau mengasingkan diri dari dunia. Yesus berdoa agar murid-murid-Nya tidak diambil dari dunia, tetapi agar mereka dijaga dari yang jahat (Yohanes 17:15). Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk membedakan—untuk menyaring nilai, keinginan, dan ambisi kita melalui kebenaran Allah yang tidak berubah. Ini demi kebahagiaan kita yang sejati.

Menjadi umat yang setia mungkin akan membuat kita kehilangan promosi. Menolak kompromi bisa berarti kehilangan teman. Memegang kebenaran bisa membuat kita tidak populer. Tetapi ingatlah: standar Tuhan bukan beban untuk kita—melainkan berkat. Standar itu melindungi hati, menjaga kesaksian, dan menunjuk dunia ke arah yang lebih baik.

Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa standar-Nya akan mudah diikuti. Tetapi Dia menjanjikan bahwa Roh-Nya akan memberi kita kekuatan. Ketika kita mengarahkan pikiran kita kepada yang mahakuasa dan patut dipuji, kita diubahkan dari dalam (Roma 12:2). Kita menjadi pribadi yang penuh kedalaman, keyakinan, dan sukacita—dibentuk bukan oleh tren dan tekanan dunia, tetapi oleh kebenaran Tuhan.

Pagi ini, mari kita lawan tekanan untuk membengkokkan iman dan melebur dengan dunia. Jangan biarkan budaya mendefinisikan keberhasilan atau kemenangan kita. Sebaliknya, pusatkan pikiran kita pada apa yang telah Tuhan nyatakan baik. Sebab dengan melakukan itu, kita bukan hanya menghormati Kristus—kita menjadi terang di tengah kegelapan. Orang lain akan melihat perbedaannya. Dan sekalipun mereka tidak memberikan tepuk tangan, Bapa kita di surga akan melakukannya.

Doa:
Tuhan, jagalah pikiranku dari daya tarik nilai-nilai dunia. Tolong aku untuk merenungkan apa yang benar, mulia, adil, dan suci. Ajarku untuk mengasihi apa yang Engkau kasihi dan mendambakan perkenanan-Mu di atas segalanya. Kuatkan aku untuk tetap teguh, bahkan ketika tekanan untuk menyesuaikan diri begitu besar. Aku ingin mencerminkan kemuliaan-Mu, bukan ilusi dunia. Amin.

Tinggalkan komentar