“Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?” Lukas 12:25

Kita hidup di dunia yang penuh kekuatiran. Karena itu, di zaman ini obat untuk kecemasan dan depresi dikonsumsi orang dalam jumlah besar. Orang juga mencari damai dengan memakai terapi, hiburan, kekayaan, media sosial — bahkan dalam pemakaian narkoba. Namun rasa damai tetap sulit ditemukan. Mengapa? Karena dunia tidak menawarkan harapan yang kekal. Keluarga hancur, komunitas terpecah, bangsa-bangsa konflik, bahkan iklim dan ekonomi terasa tidak stabil. Masa depan? Tak terduga. Entah akhir dunia sudah dekat atau belum, kita tetap akan menghadapi berbagai pencobaan. Inilah realitas kehidupan setelah kejatuhan manusia.
Lukas 12:22–34 mencatat bahwa Yesus memberi tahu murid-murid-Nya untuk melepaskan kekhawatiran dan mempercayai Tuhan. Dia telah memberi tahu mereka untuk menolak ketenaran, takut akan kematian, dan bergantung pada kekayaan (Lukas 12:1–21). Kemudian, Ia akan memberi tahu mereka bahwa mereka mungkin harus meninggalkan keluarga juga (Lukas 12:49-53). Sebaliknya, mereka perlu berfokus pada tugas yang akan diberikan Yesus kepada mereka (Lukas 12:35-48), untuk membangun gereja setelah kenaikan-Nya. Matius 6:25-34 membahas ajaran yang sama, meskipun mungkin pada waktu dan tempat yang berbeda.
Yesus mengajar para pengikutnya tentang prioritas yang tepat. Ini termasuk mengakui bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, bahkan hal-hal rahasia. Orang percaya harus lebih percaya kepada kuasa Allah daripada takut akan kematian, atau khawatir tentang hal-hal seperti makanan dan pakaian. Orang Kristen harus tetap siap untuk kedatangan Kristus, bahkan ketika iman memisahkan mereka yang percaya dari mereka yang tidak. Gagasan-gagasan ini berputar di sekitar tema utama ayat 34: bahwa hati seseorang mencerminkan apa yang paling mereka hargai.
Inilah inti ayat dari bagian ini (Lukas 12:22–31). Yesus tidak menjamin semua pengikut-Nya akan hidup di bumi dengan makanan yang cukup dan pakaian yang layak. Ia mengatakan bahwa khawatir—terobsesi atau panik, dalam konteks ini—tentang makanan dan pakaian tidak akan ada gunanya. Ia baru saja menceritakan perumpamaan tentang seorang pria yang mengumpulkan begitu banyak gandum sehingga ia bisa berhenti bekerja selama beberapa tahun, tetapi semua gandum di semua lumbung tidak akan membuatnya tetap hidup jika Tuhan memutuskan waktunya di bumi telah berakhir (Lukas 12:13–21).
Kecemasan tidak akan memperpanjang hidup Anda. Oleh karena itu, khawatir tentang makanan, pakaian, dan hal-hal lain tidak akan memperpanjang hidup Anda. Tuhan akan menyediakan para pengikut-Nya dengan apa yang mereka butuhkan untuk memenuhi tujuan-tujuan-Nya dalam hidup mereka. Tujuan itu adalah prioritas dan hak istimewa kita yang besar.
Memang, tujuan Tuhan tidak selalu sejalan dengan apa yang kita inginkan. Kita, seperti petani kaya, mungkin ingin “bersantai, makan, minum, bergembira” selama beberapa tahun (Lukas 12:19). Yesus ingin kita begitu berani membagikan Injil sehingga kita tidak takut ketika otoritas mengancam hidup kita (Lukas 12:4). Dia tidak ingin kita memanfaatkan hubungan kita dengan-Nya, tetapi melayani-Nya dengan tekun dan memimpin orang lain dengan setia (Lukas 12:35–48). Pada akhirnya, bukan dalam hidup ini kita dapat berharap untuk diberi makan dan berpakaian dengan baik, tetapi pada saat kedatangan Yesus kembali (Lukas 12:37; Wahyu 19:7–10).
Penafsiran ayat ini bisa diperdebatkan meskipun makna metaforisnya tetap sama. Bahasa Yunani yang diterjemahkan “satu jam” juga dapat berarti “satu hasta”—ukuran panjang. “Jangkauan” hanya berarti “panjang”; “hidup” ditambahkan untuk kejelasan. Alkitab menafsirkan frasa tersebut berarti kekhawatiran tidak dapat menambah sedikit pun waktu dalam rentang hidup kita. Dengan menerjemahkan “hasta” secara harfiah, Alkitab mengartikannya sebagai kekhawatiran tidak dapat menambah delapan belas inci pada tinggi badan kita. Apa pun terjemahannya, inti ayat ini adalah kekhawatiran tidak dapat memberi kita apa yang kita inginkan.
Satu hal lagi yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa ayat ini tidak memberi tahu kita bahwa kita harus menolak perawatan medis yang dapat menyembuhkan atau meringankan kondisi penyakit atau cedera. Rencana Tuhan, bukan kekhawatiran kita, yang menentukan rentang hidup kita, tetapi perawatan medis mungkin merupakan bagian dari rencana Tuhan bagi hidup kita. Bahwa kita tidak boleh paranoid tentang kehidupan duniawi tidak berarti kita harus memperlakukannya dengan sembarangan.
Mari kita renungkan lebih lanjut. Apa sebenarnya yang bisa dicapai dengan kekuatiran?
I. Kekuatiran: Gejala Masalah yang Lebih Dalam
Kekuatiran bukan hanya masalah psikologis. Itu adalah gejala rohani.
Sebelum kejatuhan manusia, Adam dan Hawa tidak mengenal kekuatiran. Mereka berjalan bersama Allah dan percaya kepada-Nya. Namun setelah kejatuhan, rasa takut muncul: takut dihukum, takut kekurangan, takut akan masa depan. Maka dimulailah kecemasan manusia.
Pada dasarnya, kekuatiran adalah ketidakpercayaan:
- Meragukan kuasa Allah — Apakah Dia benar-benar sanggup menolong?
- Meragukan kasih-Nya — Apakah Dia benar-benar peduli?
- Meragukan rencana-Nya — Bagaimana jika Dia salah arah?
Keraguan ini bukan hal sepele. Itu adalah dosa. Karena itu menyangkal siapa Allah sebenarnya.
II. Kekuatiran Tidak Mengubah Masa Depan
Perkataan Yesus sangat jelas: Kekuatiran tidak menambah apa-apa. Tidak membawa solusi, tidak memperpanjang hidup, tidak memperbaiki keadaan.
Kekuatiran justru merampas:
- Merampas kenyenyakan tidur kita.
- Mengaburkan pertimbangan sehat.
- Merusak kesehatan jasmani dan rohani.
- Meretakkan hubungan dengan orang lain.
- Menggerogoti iman.
Kekuatiran adalah seperti pencuri. Ia datang seolah membantu kita bersiap, padahal hanya menambah beban. Lalu apakah salah untuk merencanakan masa depan? Tidak! Merencanakan hari depan itu bijak. Tapi rasa kuatir yang berlebihan adalah tanda kurang iman.
III. Akar Solusi: Kembali kepada Allah
Kita tidak bisa berhenti kuatir hanya dengan kemauan sendiri. Kuncinya adalah pertobatan dan iman.
Mintalah pengampunan atas dosa kita karena mengabaikan Allah dan huasa-Nya, dan kita akan menerima damai-Nya. Dosa apa?
- Melupakan-Nya dalam rencana hidup kita.
- Tidak mempercayai-Nya dalam kesulitan.
- Menggantikan-Nya dengan berhala kenyamanan, uang, atau kendali manusiawi.
Yesaya 26:3 berkata, “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya.”
Hari ini, mari kita mengaku: “Tuhan, aku telah berdosa karena kuatir. Aku meragukan tangan dan hati-Mu. Ampunilah aku.”
Dan Tuhan yang kaya kasih karunia akan menjawab: “Damai-Ku Kuberikan kepadamu.”
IV. Panggilan untuk Hidup dalam Hikmat dan Percaya
Yesus tidak memanggil kita untuk jadi optimis yang naif. Dia memanggil kita untuk hidup dalam iman yang bijaksana:
- Rencanakan — tapi jangan panik.
- Bekerja — tapi jangan cemas.
- Sadari tantangan — tapi tetap pandang Kristus.
Dunia memang rusak. Tapi Allah tetap berdaulat. Dia melihat burung pipit. Dia tahu kebutuhan Anda. Dia tetap bekerja sekarang juga. Bagian kita? Percaya saja. Tetap taat. Beristirahat dalam Dia. Kita bisa kuatir. Itu mudah. Tapi kita tidak bisa menyelesaikan masalah kita dengan kekuatiran. Hanya Allah yang bisa. Hari ini, berhentilah memikul beban sendirian. Serahkan beban itu kepada Tuhan. Dia mengundang kita:
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Matius 11:28
Maukah kita datang? Maukah kita percaya? Maukah kita berserah? Mari kita mengaku kecemasan kita, bertobat dari ketidakpercayaan kita, dan menerima damai dari Sang Raja Damai.
Doa Penutup:
Tuhan, kami mengaku bahwa kami sering memikul beban yang tidak Engkau minta kami tanggung. Kami lebih sering kuatir daripada menyembah. Kami lebih sering takut daripada percaya. Ampunilah kami. Pulihkan iman kami. Gantikan kecemasan kami dengan damai sejahtera-Mu yang sempurna. Dalam nama Yesus kami berdoa, Ami